Share

Bab 2 # Tidak Mau Bercerai

Senja yang mulai menguning, memberi keindahan alami yang seharusnya bisa dinikmati, namun tidak olehku.  Kehadiran Olivia yang mendadak, setelah penggerebekan yang kulakukan, menjadi hinaan terbesar bagiku.

"Wanita itu! Beraninya!"

Aku terduduk lemas setelah berbagai peristiwa yang kualami terasa mengguncang duniaku. Tiba-tiba saja, perutku terasa sakit, ototku kembali menegang. Padahal, aku baru saja berjanji pada dokter untuk menjaga kandungan yang berusia hampir 6 bulan ini dengan baik, setelah sebelumnya hampir mengalami keguguran.

Seno tidak pulang selama beberapa hari, dengan dalih lembur, lagi dan lagi. Aku sekarang mengetahui, mengapa ada beberapa properti yang dimiliki atas namanya, secara rahasia. Apakah, Seno membelikan Olivia apartemen atau rumah? Membayangkan hal itu, kepalaku menjadi sangat sakit. Teganya mereka bermain api di belakangku!

"Bu," panggil Bi Yani, aku dapat mendengar suaranya meski samar. Namun, aku masih bersusah payah mengatur napas.

Peningkatan kekayaan Seno yang drastis, membuatku tidak bisa mencecar Seno seperti awal pernikahan kami, dulu. Pria itu telah berubah.

Seno yang manis dan perhatian sekarang menjadi pria pemarah. Aku sekarang hanya sanggup merajut mahligai rumah tangga dengan kebersamaan ala kadarnya. Aku bahkan tidak bisa merasa kecewa, karena hal ini sudah kualami sejak lama.

Entah mengapa, aku bisa bertahan.

Entah karena kepolosan, kebodohan, atau karena prinsip hidup yang selama ini kupaksakan dalam bawah sadar.

Aku adalah gadis yang tumbuh dalam keluarga tak utuh, dan aku tidak ingin buah hatiku mengalami perasaan terbuang seperti yang aku rasakan dulu.

"Bi … bi …"

Aku akhirnya memanggil Bi Yani. Rasanya, aku sudah tak kuat lagi.

Prang!

"Bu! Astaga!" Bi Yani berteriak, bahkan membanting nampan yang berisi buah-buahan potong yang masih segar, untuk segera berlari menuju ke arahku.

"Bu!" panggilnya lagi, dengan kepanikan tiada tara, ketika mengetahui aku tampak sedang mengeluarkan darah yang mulai merembes di antara kaki.

"Bi—bi…"

"Sa—saya akan memanggil dokter! Bu! Bertahanlah!"

Aku hampir pingsan, beruntung aku masih bisa menyesuaikan diri dan memposisikan tubuhku dengan benar. Bi Yani memapahku ke sofa yang tak jauh dari awal tempatku berdiri tadi, dan aku dibaringkan dengan lembut di sana untuk sementara.

Bi Yani tampak kebingungan karena belum pernah mengalami kejadian yang mencengangkan seperti ini.

Napasnya memburu, sambil mencoba mencari-cari kontak dokter yang ada di tas tanganku.

"Di mana… di mana kartu nama dokter itu? Astaga!"

Bi Yani terus mencari nomor kontak dokter atau rumah sakit yang biasa didatangi olehku. Namun, ia tak kunjung menemukannya.

Pelayan itu lalu menumpahkan segala isi taski sambil berdoa semoga kartu nama dokter kandungan atau bidan yang biasa kudatangi segera ditemukan.

"Saya akan menelpon Pak Seno!"

"Ti… dak… jangan."

"Tapi, Bu!"

Aku hanya menggeleng pelan dan mulai berbaring. Rasanya aku mengantuk tapi rasa sakit juga mulai menjalari tubuhku.

"Oh, Tidak!" Bi Yani berteriak panik. Ia tampak kebingungan dan memporak-porandakan barang-barang untuk mencari sesuatu. Sesaat kemudian, Bi Yani mengangkat telepon dan menghubungi seseorang.

"Halo? Rumah Sakit Andromeda? Tolong kirimkan ambulans sekarang! Nyonya saya sedang pendarahan!” Bi Yani mulai berbicara dengan operator yang ada di seberang sana. Suaranya terdengar panik dan suara tangis mulai terdengar. 

Aku masih merintih menahan sakit, namun rasa kantuk ini tak kunjung hilang.

Bi Yani adalah pelayan baru. Pelayan yang dipilih sendiri olehku. Aku memecat semua pelayan yang dipekerjakan oleh Seno. Hal ini dikarenakan, tidak ada satu pun pelayan yang menjawab ketika aku menanyakan perihal Seno. Mereka bahkan bersekongkol untuk menyembunyikan jejak perselingkuhan suamiku dengan berbagai alasan.

Aku baru mengetahui dan memiliki bukti akan firasat burukku dari seseorang yang tidak dikenal. Sebuah pesan anonim mengirimkan gambar mengejutkan yang mencitrakan penampakan suamiku dengan seorang wanita yang tidak berbusana.

Hancur hatiku ketika mengetahui pesan tersebut. Tanpa aba-aba, aku segera meluncur ke kantor suami dan mendapati kenyataan pahit yang selama ini tidak kusadari.

***

"Halo?!"

"Ya? Dengan Rumah Sakit Andromeda, ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong! Ambulans! Majikan saya berdarah! Tolong, Mbak!"

"Apa? Bu! Tenanglah! Berikan alamat Anda."

"West avenue resident blok gg no. 7, Menteng. Tolong! Segera!"

“Baik! Mohon ditunggu dan pastikan pasien dalam keadaan sadar!”

De Lilah

Ayo kirimkan gem untuk cerita ini!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status