Senja yang mulai menguning, memberi keindahan alami yang seharusnya bisa dinikmati, namun tidak olehku. Kehadiran Olivia yang mendadak, setelah penggerebekan yang kulakukan, menjadi hinaan terbesar bagiku.
"Wanita itu! Beraninya!"Aku terduduk lemas setelah berbagai peristiwa yang kualami terasa mengguncang duniaku. Tiba-tiba saja, perutku terasa sakit, ototku kembali menegang. Padahal, aku baru saja berjanji pada dokter untuk menjaga kandungan yang berusia hampir 6 bulan ini dengan baik, setelah sebelumnya hampir mengalami keguguran. Seno tidak pulang selama beberapa hari, dengan dalih lembur, lagi dan lagi. Aku sekarang mengetahui, mengapa ada beberapa properti yang dimiliki atas namanya, secara rahasia. Apakah, Seno membelikan Olivia apartemen atau rumah? Membayangkan hal itu, kepalaku menjadi sangat sakit. Teganya mereka bermain api di belakangku! "Bu," panggil Bi Yani, aku dapat mendengar suaranya meski samar. Namun, aku masih bersusah payah mengatur napas. Peningkatan kekayaan Seno yang drastis, membuatku tidak bisa mencecar Seno seperti awal pernikahan kami, dulu. Pria itu telah berubah. Seno yang manis dan perhatian sekarang menjadi pria pemarah. Aku sekarang hanya sanggup merajut mahligai rumah tangga dengan kebersamaan ala kadarnya. Aku bahkan tidak bisa merasa kecewa, karena hal ini sudah kualami sejak lama. Entah mengapa, aku bisa bertahan. Entah karena kepolosan, kebodohan, atau karena prinsip hidup yang selama ini kupaksakan dalam bawah sadar. Aku adalah gadis yang tumbuh dalam keluarga tak utuh, dan aku tidak ingin buah hatiku mengalami perasaan terbuang seperti yang aku rasakan dulu. "Bi … bi …"Aku akhirnya memanggil Bi Yani. Rasanya, aku sudah tak kuat lagi. Prang! "Bu! Astaga!" Bi Yani berteriak, bahkan membanting nampan yang berisi buah-buahan potong yang masih segar, untuk segera berlari menuju ke arahku."Bu!" panggilnya lagi, dengan kepanikan tiada tara, ketika mengetahui aku tampak sedang mengeluarkan darah yang mulai merembes di antara kaki. "Bi—bi…""Sa—saya akan memanggil dokter! Bu! Bertahanlah!"Aku hampir pingsan, beruntung aku masih bisa menyesuaikan diri dan memposisikan tubuhku dengan benar. Bi Yani memapahku ke sofa yang tak jauh dari awal tempatku berdiri tadi, dan aku dibaringkan dengan lembut di sana untuk sementara. Bi Yani tampak kebingungan karena belum pernah mengalami kejadian yang mencengangkan seperti ini. Napasnya memburu, sambil mencoba mencari-cari kontak dokter yang ada di tas tanganku. "Di mana… di mana kartu nama dokter itu? Astaga!"Bi Yani terus mencari nomor kontak dokter atau rumah sakit yang biasa didatangi olehku. Namun, ia tak kunjung menemukannya. Pelayan itu lalu menumpahkan segala isi taski sambil berdoa semoga kartu nama dokter kandungan atau bidan yang biasa kudatangi segera ditemukan. "Saya akan menelpon Pak Seno!""Ti… dak… jangan.""Tapi, Bu!"Aku hanya menggeleng pelan dan mulai berbaring. Rasanya aku mengantuk tapi rasa sakit juga mulai menjalari tubuhku."Oh, Tidak!" Bi Yani berteriak panik. Ia tampak kebingungan dan memporak-porandakan barang-barang untuk mencari sesuatu. Sesaat kemudian, Bi Yani mengangkat telepon dan menghubungi seseorang. "Halo? Rumah Sakit Andromeda? Tolong kirimkan ambulans sekarang! Nyonya saya sedang pendarahan!” Bi Yani mulai berbicara dengan operator yang ada di seberang sana. Suaranya terdengar panik dan suara tangis mulai terdengar.Aku masih merintih menahan sakit, namun rasa kantuk ini tak kunjung hilang.
Bi Yani adalah pelayan baru. Pelayan yang dipilih sendiri olehku. Aku memecat semua pelayan yang dipekerjakan oleh Seno. Hal ini dikarenakan, tidak ada satu pun pelayan yang menjawab ketika aku menanyakan perihal Seno. Mereka bahkan bersekongkol untuk menyembunyikan jejak perselingkuhan suamiku dengan berbagai alasan. Aku baru mengetahui dan memiliki bukti akan firasat burukku dari seseorang yang tidak dikenal. Sebuah pesan anonim mengirimkan gambar mengejutkan yang mencitrakan penampakan suamiku dengan seorang wanita yang tidak berbusana. Hancur hatiku ketika mengetahui pesan tersebut. Tanpa aba-aba, aku segera meluncur ke kantor suami dan mendapati kenyataan pahit yang selama ini tidak kusadari. ***"Halo?!""Ya? Dengan Rumah Sakit Andromeda, ada yang bisa saya bantu?""Tolong! Ambulans! Majikan saya berdarah! Tolong, Mbak!""Apa? Bu! Tenanglah! Berikan alamat Anda.""West avenue resident blok gg no. 7, Menteng. Tolong! Segera!"“Baik! Mohon ditunggu dan pastikan pasien dalam keadaan sadar!”
Ayo kirimkan gem untuk cerita ini!
-POV Bi Yani- Ambulans segera datang dengan sirine yang meraung-raung. Aku membukakan pintu dengan panik dan menunjukkan sofa, tempat Bu Lara berada. “Pindahkan pasien!” seru seorang petugas ambulans kepada rekannya. Aku menangis dan merasa cemas, bagaimana jika Bu Lara keguguran? “Ibu, ikut kami, ya?” ajak seorang petugas itu dan aku tentu saja menganggukkan kepala. Kami segera meluncur menuju ke rumah sakit yang tak begitu jauh dari kediaman Bu Lara. Di sana, Bu Lara sudah ditunggu oleh para dokter jaga. *** “"Di mana ruang operasinya?""Di lorong kedua, ikuti saya!"Seorang perawat kemudian membimbing tim medis dengan cepat menuju ke ruang operasi. Langkah mereka berderap bergantian, suasana di lorong itu penuh dengan ketegangan."Hati-hati!" Perawat rumah sakit dan tim medis yang bertugas tampak mendorong kereta itu dengan kecepatan yang terkontrol. Mereka terlihat tenang meski langkah mereka besar-besar dan berderap seperti pasukan kuda di medan perang.Perawat dan tim medis
-POV Andre-Aku tidak pernah menyangka bahwa pasien yang ada di meja operasi ini adalah … Lara!"Dokter, sa–ya berharap … bayi saya selamat," ucapnya dengan suara gemetar.Apa yang terjadi padanya? Dan, bayi … Lara sudah bersuami? "Dokter!" "Ah!" Untuk sesaat, aku mematung tanpa melakukan tindakan apapun. Aku terhanyut akan kenangan masa kecil yang tiba-tiba datang. Lara Selene adalah teman masa kecil yang selama ini kucari-cari. Lalu, bagaimana mungkin kami bertemu dalam kondisi tragis begini? "Operasi, dimulai." Aku kembali pada pekerjaan utama dan tidak membuang waktu lagi. Tim medis yang terampil dengan hati-hati menolongku untuk memulai prosedur penyelamatan yang kritis ini Kami mulai melakukan tindakan operasi yang mungkin dapat berlangsung selama berjam-jam, dengan ketegangan yang dapat dirasakan oleh semua orang yang ada di dalam ruangan. Ruang operasi itu penuh dengan suara peralatan medis yang berdenting, lampu operasi yang menyilaukan, dan juga gerakan cepat tim oper
-PoV Bi Yani- "Permisi…" "Ya. Suster! Bagaimana hasilnya?” Akhirnya, seorang perawat keluar dari kamar operasi. Lampu darurat di sana sudah menggelap. Benar dugaanku, operasi itu telah selesai. "Syukurlah. Pasien dan janinnya selamat, Nyonya. Jangan khawatir. Pasien sedang dalam masa pemulihan," jelas perawat itu dengan senyuman. "Syukurlah. Terima kasih, Sus!" Aku menjawab penuh kelegaan. Doa-doa yang kulangitkan ternyata didengar oleh Tuhan. "Sama-sama." Perawat itu kemudian pamit undur diri setelah menanyakan hubunganku dengan Bu Lara. Ia mengira, aku adalah ibu dari si pasien. Aku hanya menjawab bahwa aku adalah asistennya. Katanya, aku memiliki tindak-tanduk yang seperti seorang keluarga karena sangat mengkhawatirkan Bu Lara. “Kami memang keluarga,” kataku. Perawat itu tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Aku kembali duduk di kursi tunggu dan mengucap syukur dengan penuh haru. "Nyonya Lara, syukurlah…" Aku serta-merta mencium ubin rumah sakit untuk memanja
-PoV Lara- Batas antara kenyataan dan khayalan menjadi kabur ketika kau baru saja menjalani operasi yang begitu lama. Dalam kebencian yang tertanam setelah kembali bertemu dengan Olivia, ingatanku mulai berputar ke masa ketika kami masih menjadi mahasiswa. Waktu itu, belasan tahun silam, aku baru saja pindah ke Kampus Triguna yang ada di Jakarta, setelah menjalani kehidupan bersama bibiku di Surabaya. Sepeninggalan ibu dan ayahku, aku dijemput bibi dari Indonesia dan diasuh di kota pahlawan itu. Lumayan sulit juga beradaptasi di sana, terutama jika wajahmu sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Banyak yang bilang bahwa aku cantik, meski aku selalu merasa, wajahku biasa saja. Di kampung halamanku, wajah sepertiku malah terbilang eksotis karena perpaduan dari ras kaukasoid dan ras asia. Tidak ada batas antara wajah cantik kaukasoid dengan cantik ala asia. Kami cukup menghargai perbedaan, berbeda dengan di Indonesia. Aku cukup senang disebut cantik, tapi banyak juga yang merund
Seno—suamiku itu—tersenyum menyambut ancamanku. Ada apa dengannya?"Tentu saja, Sayang. Jangan ceraikan aku. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu," ucap Seno sambil membelai lembut wajahku. Bukankah reaksinya terlihat aneh? Aku hanya menatap nanar langit-langit rumah sakit yang ada di atasku. Cahaya menyilaukan itu sejenak menepis bayang-bayang menjijikkan perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya. "Jangan besar kepala. Aku bukannya mengemis cintamu. Aku hanya tidak ingin anak kita besar tanpa orang tua utuh, sepertiku!" Suaraku terdengar tajam, Seno cukup terkejut dengan perubahanku. Ia tampak membelalakkan mata.Ya. Aku memang tidak pernah semarah ini kepadanya. Aku terbiasa diam dan bersikap acuh tak acuh. Namun, kali ini berbeda. Aku harus bersuara lantang dan memberitahunya bahwa aku bukan lagi wanita bodoh yang haus cinta. "Kau sangat kejam, Sayang."Kejam? Bukankah, Seno yang telah berbuat kejam kepadaku? Selama ini, aku hanya pasrah menerima nasib pernikahan yang pahit
Aku menatap tajam dokter yang sedang berada di hadapanku saat ini. Seorang dokter tinggi gagah dengan bola mata kecokelatan khas pria blasteran pada umumnya. Rambutnya hitam bergelombang yang disisir rapi seperti penampakan jas putih yang membalut badannya. Andre. Temanku ketika kecil yang kini menjadi musuhku. "K—kau!" Bara amarahku tiba-tiba membuncah—seolah dapat mencabik raga sang dokter saat itu juga. Kenangan tentang hubungan dokter Andre dan aku di masa lalu, tiba-tiba mencuat kembali dan kini melukaiku. Andre dan aku bukanlah musuh pada awalnya, namun sebuah insiden mengerikan begitu membekas dalam benakku. Insiden itulah yang kemudian menjadikan kami musuh bebuyutan, hingga sekarang. Aku bahkan mencoba untuk memutuskan kontak, meski Andre dan kakaknya sering mencari-cariku, katanya. Aku juga tidak pernah mengkonfirmasi hal itu. Aku memang gadis yang penuh dengan luka di masa lalu. Aku bahkan belum merasa bahagia seutuhnya, hingga suatu ketika, seorang janin tiba-tiba
PoV Andre Untuk beberapa hari, Lara harus berada di rumah sakit. Proses pemulihannya tidak boleh terganggu dan dia harus dipastikan untuk beristirahat secara total, baik secara fisik maupun psikis. Seno, ya? Nama suaminya. Sungguh, aku tak suka melihatnya. Sepertinya, dia sedang mencitrakan diri sebagai suami idaman. Pria itu terlihat bolak-balik ke sana untuk mengecek keadaan Lara di tengah kesibukannya. Entah ia memang benar-benar khawatir atau hanya berpura-pura. Bukankah, pelayan itu bilang bahwa Lara pendarahan karena ulah seorang wanita muda? Pasti itu sekingkuhannya. ***"Pasien Lara, bagaimana keadaannya?" Aku menyempatkan diri bertanya ketika melewati nurse-station saat lepas tugas. Aku sedang tidak memiliki jadwal untuk mengecek Lara secara profesional, jadi, sungkan rasanya jika harus masuk ke dalam kamar Lara tanpa ada keperluan yang jelas. "Sudah lebih baik, Dok. Ada apakah?" tanya perawat itu penasaran. Binar matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang menanti kabar te
Aku melirik sekilas bibir tebal Olivia yang seakan ingin kuhisap. Namun, aku bergeming. Menurutku, Olivia tidaklah secantik itu. Aku terbiasa bertemu wanita yang lebih cantik darinya. Terlebih, kakakku.Kakakku adalah wanita yang sangat cantik dengan gen terbaik dari ayah yang merupakan ras Kaukasian. Rambut pirang kakak, bukanlah pirang palsu seperti yang dimiliki oleh wanita itu.Betapa pun Aku memindai penampilan Olivia, tidak ada satu hal pun yang menarik minatku. Olivia benar-benar bukan tipeku. "Tolong mundur sedikit," sentakku yang mulai merasa tak nyaman. Aroma parfum Olivia terlalu menyengat dan menyebabkan kepala terasa pusing. "Eh?"Olivia mulai memundurkan langkah. Aku bisa melihat dari gelagatnya bahwa ia cukup canggung. Gelagat itu tidak tampak ketika kami bertemu di awal tadi."Sudah lama kerja di sini, Dok?" tanyanya sambil memainkan ujung rambut yang tertiup angin malam. Suaranya sedikit aneh. Kalau bisa kubilang, terlalu dibuat-buat. Entah untuk tujuan apa."Lumayan