-POV Bi Yani-
Ambulans segera datang dengan sirine yang meraung-raung. Aku membukakan pintu dengan panik dan menunjukkan sofa, tempat Bu Lara berada.
“Pindahkan pasien!” seru seorang petugas ambulans kepada rekannya. Aku menangis dan merasa cemas, bagaimana jika Bu Lara keguguran?
“Ibu, ikut kami, ya?” ajak seorang petugas itu dan aku tentu saja menganggukkan kepala. Kami segera meluncur menuju ke rumah sakit yang tak begitu jauh dari kediaman Bu Lara. Di sana, Bu Lara sudah ditunggu oleh para dokter jaga.
***
“"Di mana ruang operasinya?"
"Di lorong kedua, ikuti saya!"Seorang perawat kemudian membimbing tim medis dengan cepat menuju ke ruang operasi. Langkah mereka berderap bergantian, suasana di lorong itu penuh dengan ketegangan."Hati-hati!" Perawat rumah sakit dan tim medis yang bertugas tampak mendorong kereta itu dengan kecepatan yang terkontrol. Mereka terlihat tenang meski langkah mereka besar-besar dan berderap seperti pasukan kuda di medan perang.Perawat dan tim medis melewati lorong-lorong rumah sakit yang hening dengan langkah gusar. Aku yang membersamai di belakang juga kesusahan menyesuaikan langkah, tetapi aku tidak menyerah. Aku juga berlari mengikuti orang-orang yang ada di hadapanku dengan napas terengah-engah.“Belok sini,” Mereka kemudian masuk ke dalam ruang operasi. Setelah itu, tim dokter yang berada di sana, mengambil alih segalanya."Oh, Tuhan. Kumohon, selamatkan Bu Lara," aku berbisik sambil menengadahkan tangan, memohon perlindungan. Semoga saja Tuhan mendengar doa yang kupanjatkan.“Silakan tunggu di ruang tunggu,” kata seorang perawat sambil menunjukkan deretan kursi yang ada tak jauh dari kamar operasi.
“Baik,” Aku duduk di sana seperti yang diminta dan kembali memunajatkan doa supaya Bu Lara tertolong, baik ibu maupun janinnya.
Aku tidak menyangka, kedatangan wanita asing itu ke rumah Bu Lara dapat membawa marabahaya seperti ini. Sebenarnya, siapa dia?
Aku benar-benar tidak mengira bahwa kehidupan rumah tangga orang kaya begitu rumit dan tidak bahagia. Ah. Jangankan orang kaya, kehidupan rumah tangga orang miskin sepertiku juga sama. Bedanya, Pak Seno tidak pernah memukul Bu Lara. Berbeda dengan suamiku yang sering memukuliku.
Lalu, apa masalahnya?
“Jangan-jangan, dia selingkuh?” Aku mulai menerka-nerka karena kehadiran wanita asing itu mirip seperti drama di televisi ketika melabrak istri sah kekasih gelapnya.
Namun, aku salut pada Bu Lara, alih-alih menangis dan meminta penjelasan, dia hanya mengusir si pelakor itu dan menutup pintu keras-keras. Setelahnya, ya tentu saja, Bu Lara menangis, tapi … si pelakor itu tidak tahu bahwa hati Bu Lara ternyata juga bisa sakit dan terluka.
“Syukurlah, tidak seperti istri-istri di sinetron ikan terbang itu,” Tiba-tiba aku berpikir demikian, mungkin karena Bu Lara aslinya lebih cantik daripada pelakor yang memakai riasan tebal dan baju kurang bahan itu.
Bu Lara anggun dan sangat menawan. Entah mengapa Pak Seno bisa terpikat dengan wanita jenis murahan seperti mbak-mbak tadi. Modelnya seperti wanita penjaja cinta yang biasa ada di pertigaan lampu merah. Levelnya sungguh berbeda dengan Bu Lara!
“Hhh … Apa yang kupikirkan?” Aku memukul kepalaku sendiri karena sudah terlalu lancang mengurusi rumah tangga orang. Satu hal yang aku tidak mengerti dari prinsip Bu Lara adalah: tidak mau bercerai.
Ketika aku menanyakan alasannya, perceraian hanya akan merusak mental anaknya. Lalu, bagaimana dengan mental Bu Lara? Apakah dia bahagia?
Ngomongin orang memang enak daripada ngomongin diri sendiri. Sampai detik ini pun, aku juga belum bercerai dengan suamiku sendiri. Padahal, dia sudah tua, pengangguran dan tukang mukul! Kami juga tidak punya anak. Apa yang membuatku bertahan? Entahlah.
“Rumor tidak sedap, mungkin?” Aku mulai mempertimbangkan tentang perceraian. Lelaki seperti suamiku, bukankah sudah seharusnya mendekam di penjara? Entahlah. Aku bukanlah seseorang dengan harta ataupun kekuasaan. Aku juga sudah tua, 50 tahun. Berbeda dengan Bu Lara. Seharusnya, dia bisa lebih mengejar kebahagiannya.
“Apakah aku harus menelepon Pak Seno?”
Aku mulai bertanya-tanya dengan tindakanku selanjutnya. Bukankah, suaminya berhak mengetahui kondisi Bu Lara? Tapi, mereka sedang bertengkar. Apa aku sebaiknya diam saja?
Ah. Seandainya aku bisa berpikir lebih cepat, pasti aku tidak akan dipecat.
***
“Dasar lancang! Berani-beraninya tidak menghubungiku! Pembantu sialan!”
Ayo kirim gem untuk buku ini biar masuk peringkat! Terima kasih!
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir