Share

Bab 3 # Pertimbangan

-POV Bi Yani-

Ambulans segera datang dengan sirine yang meraung-raung. Aku membukakan pintu dengan panik dan menunjukkan sofa, tempat Bu Lara berada.

“Pindahkan pasien!” seru seorang petugas ambulans kepada rekannya. Aku menangis dan merasa cemas, bagaimana jika Bu Lara keguguran? 

“Ibu, ikut kami, ya?” ajak seorang petugas itu dan aku tentu saja menganggukkan kepala. Kami segera meluncur menuju ke rumah sakit yang tak begitu jauh dari kediaman Bu Lara. Di sana, Bu Lara sudah ditunggu oleh para dokter jaga.

***

“"Di mana ruang operasinya?"

"Di lorong kedua, ikuti saya!"

Seorang perawat kemudian membimbing tim medis dengan cepat menuju ke ruang operasi. Langkah mereka berderap bergantian, suasana di lorong itu penuh dengan ketegangan.

"Hati-hati!" Perawat rumah sakit dan tim medis yang bertugas tampak mendorong kereta itu dengan kecepatan yang terkontrol. Mereka terlihat tenang meski langkah mereka besar-besar dan berderap seperti pasukan kuda di medan perang.

Perawat dan tim medis melewati lorong-lorong rumah sakit yang hening dengan langkah gusar. Aku yang membersamai di belakang juga kesusahan menyesuaikan langkah, tetapi aku tidak menyerah. Aku juga berlari mengikuti orang-orang yang ada di hadapanku dengan napas terengah-engah.

“Belok sini,” Mereka kemudian masuk ke dalam ruang operasi. Setelah itu, tim dokter yang berada di sana, mengambil alih segalanya.

"Oh, Tuhan. Kumohon, selamatkan Bu Lara," aku berbisik sambil menengadahkan tangan, memohon perlindungan. Semoga saja Tuhan mendengar doa yang kupanjatkan. 

“Silakan tunggu di ruang tunggu,” kata seorang perawat sambil menunjukkan deretan kursi yang ada tak jauh dari kamar operasi.

“Baik,” Aku duduk di sana seperti yang diminta dan kembali memunajatkan doa supaya Bu Lara tertolong, baik ibu maupun janinnya.

Aku tidak menyangka, kedatangan wanita asing itu ke rumah Bu Lara dapat membawa marabahaya seperti ini. Sebenarnya, siapa dia?

Aku benar-benar tidak mengira bahwa kehidupan rumah tangga orang kaya begitu rumit dan tidak bahagia. Ah. Jangankan orang kaya, kehidupan rumah tangga orang miskin sepertiku juga sama. Bedanya, Pak Seno tidak pernah memukul Bu Lara. Berbeda dengan suamiku yang sering memukuliku.

Lalu, apa masalahnya?

“Jangan-jangan, dia selingkuh?” Aku mulai menerka-nerka karena kehadiran wanita asing itu mirip seperti drama di televisi ketika melabrak istri sah kekasih gelapnya.

Namun, aku salut pada Bu Lara, alih-alih menangis dan meminta penjelasan, dia hanya mengusir si pelakor itu dan menutup pintu keras-keras. Setelahnya, ya tentu saja, Bu Lara menangis, tapi … si pelakor itu tidak tahu bahwa hati Bu Lara ternyata juga bisa sakit dan terluka.

“Syukurlah, tidak seperti istri-istri di sinetron ikan terbang itu,” Tiba-tiba aku berpikir demikian, mungkin karena Bu Lara aslinya lebih cantik daripada pelakor yang memakai riasan tebal dan baju kurang bahan itu.

Bu Lara anggun dan sangat menawan. Entah mengapa Pak Seno bisa terpikat dengan wanita jenis murahan seperti mbak-mbak tadi. Modelnya seperti wanita penjaja cinta yang biasa ada di pertigaan lampu merah. Levelnya sungguh berbeda dengan Bu Lara!

“Hhh … Apa yang kupikirkan?” Aku memukul kepalaku sendiri karena sudah terlalu lancang mengurusi rumah tangga orang. Satu hal yang aku tidak mengerti dari prinsip Bu Lara adalah: tidak mau bercerai.

Ketika aku menanyakan alasannya, perceraian hanya akan merusak mental anaknya. Lalu, bagaimana dengan mental Bu Lara? Apakah dia bahagia?

Ngomongin orang memang enak daripada ngomongin diri sendiri. Sampai detik ini pun, aku juga belum bercerai dengan suamiku sendiri. Padahal, dia sudah tua, pengangguran dan tukang mukul! Kami juga tidak punya anak. Apa yang membuatku bertahan? Entahlah. 

“Rumor tidak sedap, mungkin?” Aku mulai mempertimbangkan tentang perceraian. Lelaki seperti suamiku, bukankah sudah seharusnya mendekam di penjara? Entahlah. Aku bukanlah seseorang dengan harta ataupun kekuasaan. Aku juga sudah tua, 50 tahun. Berbeda dengan Bu Lara. Seharusnya, dia bisa lebih mengejar kebahagiannya.

“Apakah aku harus menelepon Pak Seno?”

Aku mulai bertanya-tanya dengan tindakanku selanjutnya. Bukankah, suaminya berhak mengetahui kondisi Bu Lara? Tapi, mereka sedang bertengkar. Apa aku sebaiknya diam saja?

Ah. Seandainya aku bisa berpikir lebih cepat, pasti aku tidak akan dipecat.

***

“Dasar lancang! Berani-beraninya tidak menghubungiku! Pembantu sialan!”

De Lilah

Ayo kirim gem untuk buku ini biar masuk peringkat! Terima kasih!

| Like

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status