Share

6. First Kiss

"Dea, kakak mau bicara sama kamu!" Tanpa menunggu jawaban dari Dea, Bian segera menarik tangan gadis itu untuk meninggalkan David yang masih terbengong di tempatnya.

"Kakak?" David tidak begitu paham mengapa mereka terlihat sangat dekat.

Setelah keluar dari area kantin, Bian masih menggenggam tangan Dea begitu kuat. Ia membawa gadis itu masuk ke dalam lift yang kebetulan sepi.

"Ih, lepaskan! Apa-apaan sih, Kak Bian! Sakit!" rintih Dea. Ia merasa kesal dengan sikap kakaknya.

"Kenapa kamu dekat-dekat sama cowok lain?" ujar Bian tegas. Kali ini ia benar-benar merasa cemburu.

"Bukan urusan Kakak!" Dea sedikit membentak. Ia tidak suka diatur-atur oleh siapapun.

Bian terdiam. Ia mencoba menahan emosinya agar tidak meledak hingga menyakiti wanita yang dicintainya.

Bian mendorong tubuh istrinya hingga gadis itu tidak dapat bergerak. Ia mengunci tubuh Dea dan menautkan jemarinya pada jari-jari gadis bertubuh mungil itu.

"Aku ini suami kamu, Dea!" lirih Bian seraya mendekatkan wajahnya. Ia pandangi bibir merona milik Dea.

Dea menggeleng perlahan sambil memejamkan kedua matanya. Ia tidak kuat jika harus bertatap muka sedekat itu.

Bian tidak bisa mengendalikan diri. Kali ini ia ingin sekali menjamah bibir indah yang ada di hadapannya.

Beberapa menit berlalu. Dea mulai membuka kedua matanya. Ia dapat melihat Bian yang masih memandanginya dengan penuh perasaan.

"Lepaskan! Dea mau kembali ke ruangan kerja."

Bian mulai menurunkan tangan Dea dan melepaskan genggamannya. Ia mulai mengatur jarak dengan gadis itu.

Seketika Dea menjauh dari Bian. Pintu lift terbuka. Gadis itu berlari menuju toilet terdekat.

Bian hanya mampu memandangi Dea dan tidak mengejarnya. Ia tahu jika tindakannya berlebihan.

Di dalam toilet, Dea bercermin. Ia sentuh bibirnya dengan perlahan. Tanpa sadar gadis itu mulai memejamkan kembali kedua matanya.

Dea masih dapat merasakan sentuhan yang baru saja Bian lakukan kepadanya. Sentuhan bibir dengan bibir yang kian beradu. Rasanya sangat manis sekali.

"Kak Bian telah melakukannya."

Dea memegangi dadanya. Jantungnya berdetak sangat cepat dan kuat.

"Kenapa aku tidak mampu untuk menolaknya?"

Refleks Dea membuka kedua matanya. Ia kembali bercermin. Pipinya bersemu merah. Sepertinya gadis itu mulai jatuh cinta kepada suaminya.

"Tidak. Ini tidak mungkin."

Tidak ingin kembali terjebak pada kesalahan yang sama, Dea segera mencuci wajah dan mengusap bibirnya berkali-kali. Seolah menghilangkan jejak sentuhan dari bibir Bian.

Setelah itu, Dea kembali ke ruangan kerjanya. Meski masih deg-degan, ia berusaha untuk bersikap tenang.

"Aku harus menjelaskan apa kepada David. Pasti dia akan bertanya-tanya."

Gadis itu duduk di kursi kerjanya dengan tenang. Ia akan menganggap bahwa tidak pernah terjadi apa-apa antara dia dan Bian Dirgantara

Saat Dea mulai merasa tenang, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara meja yang digebrak. Rupanya David sudah berada di depannya.

"Dari tadi bengong mulu. Kenapa, sih? Kamu habis dimarahi sama Pak Bian ya," celetuknya percaya diri.

Dea merasa lega. Ternyata David menganggap jika dia telah dimarahi CEO tampan yang merupakan suaminya itu.

"Kamu sabar aja ya, Dea. Pak Bian memang sukanya marah-marah. Nggak pernah tersenyum pada karyawan."

Dea hanya tersenyum kecut sambil manggut-manggut. Ia mulai melanjutkan pekerjaannya kembali setelah David beranjak dari tempatnya dan kembali ke kursi kerjanya yang berada cukup jauh dari Dea sedang duduk.

"Syukurlah. Dia sudah pergi. Rasa-rasanya risih juga dekat sama cowok yang baru dikenal. Apa ini karena—"

Dea geleng-geleng kepala. Gadis itu kembali mengingat kejadian yang baru saja ia alami.

"First kiss memang susah dilupain. Apalagi sama pasangan yang sudah halal. Tapi, aku 'kan nggak suka sama hubungan ini. Bukan sebuah pernikahan impian. Dan ini hanya sebuah pernikahan kontrak."

Gadis itu kembali menggerutu. Ia bingung sendiri dengan perasaannya yang tak menentu. Sebentar kesal dan sebentar rindu.

Tak ingin ambil pusing, Dea mulai fokus dengan pekerjaannya. Ternyata ia cukup kesulitan di hari pertama gadis itu bekerja. Tanpa Dea sadari sedari tadi ada seseorang yang sibuk memperhatikannya.

Sedangkan di ruangan CEO, Bian tampak resah. Ia tidak bisa berkonsentrasi terhadap pekerjaannya yang menumpuk.

Bian menghembuskan nafas berat. Ia mengusap kasar wajahnya sendiri.

"Aku tidak bisa melupakan kejadian tadi. Semakin aku berusaha untuk melupakannya, semakin aku menginginkan hal yang lebih dari Dea."

Bian hampir saja prustasi karena ulahnya sendiri terhadap Dea. Harusnya ia bisa mengontrol diri dan tidak bertindak kurang ajar kepada Dea.

"Apa aku salah? Tetapi Dea sudah sah menjadi istriku. Hanya saja ... aku tidak ingin dia semakin membenciku. Dan aku menyembunyikan perasaanku dengan menjadikan pernikahan ini sebagai nikah kontrak satu tahun. Apakah aku sanggup menjalaninya?"

Bian mengambil ponselnya. Membuka galleri dan memandangi tiap foto yang memperlihatkan sosok Dea.

Lelaki itu tersenyum. Dulu mereka sangat dekat. Hampir setiap momen selalu mereka abadikan bersama. Dan Dea memilih untuk memakai ponsel kakaknya.

"Ini semua gara-gara aku sendiri. Aku memang bodoh."

Bian semakin menyesali perbuatannya. Tetapi semua sudah terlanjur. Ia tidak mungkin menceraikan Dea. Bahkan lelaki itu sudah berjanji akan membuat hati istrinya luluh meski secara pelan-pelan.

"Tidak. Aku tidak boleh lemah. Seorang lelaki sejati akan terus berjuang untuk wanita yang ia cintai."

Bian mulai melanjutkan kembali pekerjaannya. Ia memang bekerja tanpa sekretaris sudah hampir dua bulan. Hal itu menyebabkan dirinya cukup sibuk melakukan tugasnya.

***

Di hari pertama kerja, Dea bekerja delapan jam tanpa over time. Hal itu membuatnya cukup bersemangat.

"Dea, hari ini semua pulang lebih awal dari biasanya. Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" ajak David kepada gadis itu.

Dea berpura-pura sibuk melihat jam di tangannya. Ia memang tidak membawa ponsel karena benda kesayangannya itu masih tertinggal di kamarnya yang terkunci.

"Maaf ya, Dav. Hari ini aku tidak bisa. Badanku capek. Mungkin karena belum terbiasa bekerja di tempat ini."

Dea segera keluar dari ruangannya. Entah kenapa perutnya terasa sakit.

Setelah beberapa menit berlalu, Dea keluar dari area perusahaan. Rupanya suasana begitu sepi. Para karyawan sudah pulang.

Sejenak Dea melihat ke arah parkiran. Dan ternyata juga sudah kosong.

Ada perasaan lega karena tidak akan ada yang menganggu Dea. Tetapi ia juga sedikit takut karena sendirian di sana.

Dea memilih untuk berjalan menuju halte bus. Ia ingin naik kendaraan umum agar lebih hemat.

Cukup lama menanti bus, tetapi belum ada yang lewat.

"Tumben sekali nggak ada bus yang lewat," ucap Dea mengeluh. Gadis itu melihat ke arah kanan dan kiri.

Dari kejauhan terlihat segerombolan lelaki berpenampilan preman sedang berjalan menuju ke arah Dea sedang duduk. Membuat gadis itu merasa gelisah seketika.

"Apakah mereka juga mau naik bus?" lirih Dea mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Para lelaki itu semakin mendekat. Salah satu dari mereka tersenyum ketika melihat seorang perempuan cantik sedang duduk sendirian.

"Hai, cantik ... mau ke mana nih?" Lelaki itu berucap sambil memainkan dagu dengan jemarinya dan tersenyum menggoda.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Evina14441 Evina14441
wahhhh cerita nya seru sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status