"Dea, kakak mau bicara sama kamu!" Tanpa menunggu jawaban dari Dea, Bian segera menarik tangan gadis itu untuk meninggalkan David yang masih terbengong di tempatnya.
"Kakak?" David tidak begitu paham mengapa mereka terlihat sangat dekat.Setelah keluar dari area kantin, Bian masih menggenggam tangan Dea begitu kuat. Ia membawa gadis itu masuk ke dalam lift yang kebetulan sepi."Ih, lepaskan! Apa-apaan sih, Kak Bian! Sakit!" rintih Dea. Ia merasa kesal dengan sikap kakaknya."Kenapa kamu dekat-dekat sama cowok lain?" ujar Bian tegas. Kali ini ia benar-benar merasa cemburu."Bukan urusan Kakak!" Dea sedikit membentak. Ia tidak suka diatur-atur oleh siapapun.Bian terdiam. Ia mencoba menahan emosinya agar tidak meledak hingga menyakiti wanita yang dicintainya.Bian mendorong tubuh istrinya hingga gadis itu tidak dapat bergerak. Ia mengunci tubuh Dea dan menautkan jemarinya pada jari-jari gadis bertubuh mungil itu."Aku ini suami kamu, Dea!" lirih Bian seraya mendekatkan wajahnya. Ia pandangi bibir merona milik Dea.Dea menggeleng perlahan sambil memejamkan kedua matanya. Ia tidak kuat jika harus bertatap muka sedekat itu.Bian tidak bisa mengendalikan diri. Kali ini ia ingin sekali menjamah bibir indah yang ada di hadapannya.Beberapa menit berlalu. Dea mulai membuka kedua matanya. Ia dapat melihat Bian yang masih memandanginya dengan penuh perasaan."Lepaskan! Dea mau kembali ke ruangan kerja."Bian mulai menurunkan tangan Dea dan melepaskan genggamannya. Ia mulai mengatur jarak dengan gadis itu.Seketika Dea menjauh dari Bian. Pintu lift terbuka. Gadis itu berlari menuju toilet terdekat.Bian hanya mampu memandangi Dea dan tidak mengejarnya. Ia tahu jika tindakannya berlebihan.Di dalam toilet, Dea bercermin. Ia sentuh bibirnya dengan perlahan. Tanpa sadar gadis itu mulai memejamkan kembali kedua matanya.Dea masih dapat merasakan sentuhan yang baru saja Bian lakukan kepadanya. Sentuhan bibir dengan bibir yang kian beradu. Rasanya sangat manis sekali."Kak Bian telah melakukannya."Dea memegangi dadanya. Jantungnya berdetak sangat cepat dan kuat."Kenapa aku tidak mampu untuk menolaknya?"Refleks Dea membuka kedua matanya. Ia kembali bercermin. Pipinya bersemu merah. Sepertinya gadis itu mulai jatuh cinta kepada suaminya."Tidak. Ini tidak mungkin."Tidak ingin kembali terjebak pada kesalahan yang sama, Dea segera mencuci wajah dan mengusap bibirnya berkali-kali. Seolah menghilangkan jejak sentuhan dari bibir Bian.Setelah itu, Dea kembali ke ruangan kerjanya. Meski masih deg-degan, ia berusaha untuk bersikap tenang."Aku harus menjelaskan apa kepada David. Pasti dia akan bertanya-tanya."Gadis itu duduk di kursi kerjanya dengan tenang. Ia akan menganggap bahwa tidak pernah terjadi apa-apa antara dia dan Bian DirgantaraSaat Dea mulai merasa tenang, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara meja yang digebrak. Rupanya David sudah berada di depannya."Dari tadi bengong mulu. Kenapa, sih? Kamu habis dimarahi sama Pak Bian ya," celetuknya percaya diri.Dea merasa lega. Ternyata David menganggap jika dia telah dimarahi CEO tampan yang merupakan suaminya itu."Kamu sabar aja ya, Dea. Pak Bian memang sukanya marah-marah. Nggak pernah tersenyum pada karyawan."Dea hanya tersenyum kecut sambil manggut-manggut. Ia mulai melanjutkan pekerjaannya kembali setelah David beranjak dari tempatnya dan kembali ke kursi kerjanya yang berada cukup jauh dari Dea sedang duduk."Syukurlah. Dia sudah pergi. Rasa-rasanya risih juga dekat sama cowok yang baru dikenal. Apa ini karena—"Dea geleng-geleng kepala. Gadis itu kembali mengingat kejadian yang baru saja ia alami."First kiss memang susah dilupain. Apalagi sama pasangan yang sudah halal. Tapi, aku 'kan nggak suka sama hubungan ini. Bukan sebuah pernikahan impian. Dan ini hanya sebuah pernikahan kontrak."Gadis itu kembali menggerutu. Ia bingung sendiri dengan perasaannya yang tak menentu. Sebentar kesal dan sebentar rindu.Tak ingin ambil pusing, Dea mulai fokus dengan pekerjaannya. Ternyata ia cukup kesulitan di hari pertama gadis itu bekerja. Tanpa Dea sadari sedari tadi ada seseorang yang sibuk memperhatikannya.Sedangkan di ruangan CEO, Bian tampak resah. Ia tidak bisa berkonsentrasi terhadap pekerjaannya yang menumpuk.Bian menghembuskan nafas berat. Ia mengusap kasar wajahnya sendiri."Aku tidak bisa melupakan kejadian tadi. Semakin aku berusaha untuk melupakannya, semakin aku menginginkan hal yang lebih dari Dea."Bian hampir saja prustasi karena ulahnya sendiri terhadap Dea. Harusnya ia bisa mengontrol diri dan tidak bertindak kurang ajar kepada Dea."Apa aku salah? Tetapi Dea sudah sah menjadi istriku. Hanya saja ... aku tidak ingin dia semakin membenciku. Dan aku menyembunyikan perasaanku dengan menjadikan pernikahan ini sebagai nikah kontrak satu tahun. Apakah aku sanggup menjalaninya?"Bian mengambil ponselnya. Membuka galleri dan memandangi tiap foto yang memperlihatkan sosok Dea.Lelaki itu tersenyum. Dulu mereka sangat dekat. Hampir setiap momen selalu mereka abadikan bersama. Dan Dea memilih untuk memakai ponsel kakaknya."Ini semua gara-gara aku sendiri. Aku memang bodoh."Bian semakin menyesali perbuatannya. Tetapi semua sudah terlanjur. Ia tidak mungkin menceraikan Dea. Bahkan lelaki itu sudah berjanji akan membuat hati istrinya luluh meski secara pelan-pelan."Tidak. Aku tidak boleh lemah. Seorang lelaki sejati akan terus berjuang untuk wanita yang ia cintai."Bian mulai melanjutkan kembali pekerjaannya. Ia memang bekerja tanpa sekretaris sudah hampir dua bulan. Hal itu menyebabkan dirinya cukup sibuk melakukan tugasnya.***Di hari pertama kerja, Dea bekerja delapan jam tanpa over time. Hal itu membuatnya cukup bersemangat."Dea, hari ini semua pulang lebih awal dari biasanya. Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" ajak David kepada gadis itu.Dea berpura-pura sibuk melihat jam di tangannya. Ia memang tidak membawa ponsel karena benda kesayangannya itu masih tertinggal di kamarnya yang terkunci."Maaf ya, Dav. Hari ini aku tidak bisa. Badanku capek. Mungkin karena belum terbiasa bekerja di tempat ini."Dea segera keluar dari ruangannya. Entah kenapa perutnya terasa sakit.Setelah beberapa menit berlalu, Dea keluar dari area perusahaan. Rupanya suasana begitu sepi. Para karyawan sudah pulang.Sejenak Dea melihat ke arah parkiran. Dan ternyata juga sudah kosong.Ada perasaan lega karena tidak akan ada yang menganggu Dea. Tetapi ia juga sedikit takut karena sendirian di sana.Dea memilih untuk berjalan menuju halte bus. Ia ingin naik kendaraan umum agar lebih hemat.Cukup lama menanti bus, tetapi belum ada yang lewat."Tumben sekali nggak ada bus yang lewat," ucap Dea mengeluh. Gadis itu melihat ke arah kanan dan kiri.Dari kejauhan terlihat segerombolan lelaki berpenampilan preman sedang berjalan menuju ke arah Dea sedang duduk. Membuat gadis itu merasa gelisah seketika."Apakah mereka juga mau naik bus?" lirih Dea mencoba menyembunyikan kegugupannya.Para lelaki itu semakin mendekat. Salah satu dari mereka tersenyum ketika melihat seorang perempuan cantik sedang duduk sendirian."Hai, cantik ... mau ke mana nih?" Lelaki itu berucap sambil memainkan dagu dengan jemarinya dan tersenyum menggoda.Dea menggeser posisinya ke kanan sedangkan lelaki berpenampilan urakan itu ikut duduk tepat di sisi kirinya."Sa–saya mau pulang Bang," jawab Dea terbata.Gadis itu terus membatin di dalam hatinya. Berharap ada seseorang berhati baik yang mau menolong."Bagaimana kalau kita bersenang-senang sebentar dengannya, Bos. Mumpung lagi sepi," ucap salah satu anak buah lelaki itu sambil memperhatikan keadaan sekeliling."Sepertinya dia anak baru di sini," ujar yang lain ikut menimpali."Saya harus pergi."Tanpa berpikir panjang lagi Dea segera meninggalkan tempat itu. Lebih baik ia berjalan menuju keramaian. Tetapi sayangnya para preman itu terus mengikuti Dea. Semakin Dea mempercepat langkah kakinya, semakin para lelaki itu bersemangat untuk mengejarnya.Hingga akhirnya mereka berhasil mengepung Dea. Gadis itu tidak bisa lagi bergerak untuk kabur."Apa yang kalian inginkan! Tolong pergi! Jangan sakiti saya."Dea mengiba. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil menundukkan kepalanya."Kamu tidak p
Bian berniat untuk menggantikan pakaian istrinya agar tidak merasa sesak. Namun sungguh di luar kuasanya. Lelaki itu justru terpesona dengan kulit putih dan bersih milik Dea."Jangan hiraukan itu Bian! Kau bisa membuatnya semakin membencimu."Setelah beberapa menit lamanya, Bian sudah berhasil mengganti pakaian Dea dengan piyama tidur yang longgar.Lalaki itu bangga dengan dirinya sendiri karena masih bisa untuk mengontrol diri agar tidak bertindak lebih kepada istrinya.Bian segera menyelimuti tubuh Dea hingga ke lehernya. Setelah itu ia keluar dari kamar dan berniat untuk tidur di kamarnya sendiri.***Pagi harinya Bian bersemangat untuk membuat sarapan nasi goreng. Ia sengaja menyediakan dua porsi untuk dirinya sendiri juga untuk istrinya."Aaaaa....!!!!"Sebuah teriakan melengking dari kamar Dea mengejutkan Bian seketika. Lelaki itu hampir saja menjatuhkan makanannya."Kenapa lagi dengan Dea?"Bian segera berjalan menuju kamar istrinya. Ia mencoba untuk membuka pintu kamar Dea, tet
"Kenapa kamu mau menjadi sekretaris di perusahaan ini?"Bian berdiri dari tempatnya. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celananya."Kau masih jadi simpanan Papa Reza? Bagaimana jika dia selingkuh dengan sekretarisnya?" ucap Bian dengan santai. Ia ingin Mawar sadar bahwa semua tindakannya tidak benar."Aku tidak peduli Pak Bian. Sepertinya sekarang aku mulai tertarik denganmu. Aku akan membuatmu bertekuk lutut kepadaku," balas Mawar tak kalah santai.Ia sangat yakin bisa meluluhkan hati Bian. Tidak ada lelaki yang bisa menolak pesonanya.Bian segera menjauh dari tubuh Mawar ketika menyadari wanita itu mulai berulah lagi."Jangan pernah berharap. Dan mulai besok, gunakan pakaian yang lebih sopan."Bian meninggalkan Mawar seorang diri. Ia keluar dari ruangannya hendak menemui seseorang yang mengadakan janji temu dengannya."Lebih baik aku tidak mengajak Mawar."CEO tampan itu melangkah dengan tenang. Di saat itu teleponnya berdering. Bian berbicara sambil berjalan, namun langkahnya
"Auh! Kakiku!" keluh Dea. Ia merasakan kakinya sakit. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada kaki kanannya.Bian menyadari perubahan raut wajah Dea. Seolah gadis itu merasa tidak nyaman. "Apa yang terjadi Dea?" tanya Bian khawatir. Ia masih menopang tubuh istrinya.Tanpa menunggu jawaban dari Dea, CEO tampan itu segera mengangkat tubuh istrinya ala bridal style. Membuat pandangan orang-orang tertuju kepada mereka. Tak terkecuali dengan Reno yang menghentikan dansanya bersama Mawar.Bian langsung membawa Dea ke dalam mobil dan berniat untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Ia tak peduli dengan tatapan tajam dari semua orang."Sial! Pasti dia sengaja memanas-manasiku!" umpat Reno tidak terima. Lelaki itu pun mengajak Mawar pergi dari acara makan malam tersebut.Setelah menunggu beberapa menit, seorang dokter telah selesai memeriksa Dea."Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" ucap Bian merasa khawatir dengan keadaan Dea."Bapak tidak perlu khawatir. Kakinya hanya keseleo saja."Dea
Sebuah suara jeritan memenuhi ruang kamar kecil itu. Dea menahan rasa sakit yang luar biasa pada inti tubuhnya. Begitu menyakitkan baginya.Air mata terus mengalir deras dari kedua mata milik Dea. Namun Bian tak peduli sama sekali. Ia terus bergerak sesuka hatinya sambil sesekali meracau menyebut nama Dea."Cukup Kak," ucap Dea namun tersekat di tenggorokannya.Beberapa jam berlalu. Bian mulai terkapar lemah di sebelah Dea. Gadis itu menangis hingga ikut tertidur di samping seorang lelaki yang telah merenggut kesuciannya.Keesokan harinya Dea terbangun terlebih dahulu. Ia masih merasakan sakit yang tiada terkira.Perlahan gadis yang tak lagi perawan itu mulai bangun. Ia mencoba melangkah menuju kamar mandi. Jalannya tertatih seakan sangat sulit untuk bergerak bebas.Dea mengahabiskan waktunya di bawah kucuran air shower. Hatinya sakit meski sebenarnya akan lebih sakit jika Bian melakukan hal itu dengan Mawar."Kenapa Kak Bian tega?"Dea memejamkan sejenak kedua matanya. Tanpa terasa a
"Mawar apa yang sedang kamu lakukan?" Bian menaikkan sebelah alisnya sambil membetulkan dasinya."P–Pak Bian?" Tergagap Mawar menjawab pertanyaan dari sang atasan.Bian melihat jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Seharusnya mereka sudah berada di ruangan kerja masing-masing."Ikut ke ruangan saya!" perintah Bian kepada sekretarisnya. Ia ingin Mawar tidak bertindak seenaknya sendiri saat di kantor tempatnya bekerja.Mawar pun hanya menurut saja. Tidak mungkin ia melawan saat di kantor. Ia pun tidak mau dipecat secepat itu.Sementara dari kejauhan, Dea tengah memperhatikan. Kini ia bingung dengan perasaannya sendiri. Ada rasa cemburu tiap kali melihat Bian dengan Mawar. Apalagi setelah kejadian tadi malam."Apa benar Kak Bian mencintaiku? Atau dia juga ada affair dengan Mawar?"Meski kesal dan sangat sakit hati dengan Mawar, Dea tidak ingin bertindak gegabah. Ia harus bisa membalaskan dendamnya kepada Mawar dengan cara yang licik.Gadis itu pun tidak ingin terba
"Mamaku ingin aku datang ke rumahnya. Katanya dia butuh pertolongan."Akhirnya Dea menceritakan tentang permasalahan keluarganya. Kedua orang tuanya yang berpisah karena perselingkuhan. Juga mantan tunangan yang telah mengkhianatinya. Semua teman-teman Dea merasa iba. Apalagi David yang berniat menjadi penawar hatinya."Aku akan mengantarkanmu nanti pulang kerja," tawar David kemudian."Atau kamu bisa ijin setelah kita sampai di kantor," timpal Naomi."Terima kasih, Nom."Dea melihat ke arah David yang sedari tadi menunggu jawaban darinya."Untuk kamu, Dav. Terima kasih sudah peduli kepadaku. Aku tidak mau merepotkanmu. Sebaiknya aku datang sendiri saja."David tidak bisa memaksa. Ia hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk Dea.Setelah tiba di kantor, Dea mencoba meminta ijin kepada atasannya di ruangan sang manajer."Kamu harus tahu bahwa kamu itu karyawan baru di sini. Saya harap ini memang urusan mendesak. Dan kamu hanya diperboleh ijin satu kali saja dalam bulan ini. Mengerti?"
"Dengarkan dulu penjelasan kakak, Dea."Bian menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secera perlahan."Mama akan segera menjalani kuretase. Kakak akan mengantarkan kamu ke rumah sakit."Dea mulai merasa tenang. Namun lagi-lagi Bian yang telah menolongnya. Membuat gadis itu merasa bersalah."Kak Bian tidak ganti baju dulu?" lirih Dea mengalihkan pembicaraan."Hanya basah sedikit. Kakak memang tidak membawa baju ganti."Lelaki tampan itu segera tancap gas. Ia tidak ingin membuat Dea menunggu terlalu lama.Sedangkan gadis itu merasa aneh. Untuk diri sendiri Bian tidak terlalu memikirkan. Tetapi untuknya, sudah dipersiapkan baju baru yang bahkan sangat pas dengan ukuran tubuhnya.Dea pun hanya diam. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.Tak butuh waktu lama, mereka berdua telah tiba di rumah sakit. Dea dan Bian berjalan cepat menuju ruang tunggu.Melihat ada papa tirinya, gadis itu segera menautkan tangannya pada lengan kekar milik suaminya.Bian paham akan keadaan itu. Ia gen