Share

5. Terdiam Seketika

Bian membuka kedua matanya. Ia berucap dengan tenang. Sudah memprediksikan sebelumnya jika Dea akan histeris karena ulahnya.

"Masih pagi Dea. Kenapa berteriak seperti itu?"

Bian memandangi Dea tanpa rasa bersalah sama sekali. Meski sebenarnya hatinya merasa takut jika Dea bertambah marah dan benci kepadanya.

"Kenapa Dea bisa tidur di sini?"

Dea melihat tubuhnya dibalik selimut. Takut jika Bian memanfaatkan keadaan.

"Pasti Kakak sengaja, ya?"

Meski pakaian yang dikenakan gadis itu masih sama seperti tadi malam, Dea tetap tidak terima. Ia menganggap Bian sengaja ingin tidur berdua dengannya.

Bian hanya geleng-geleng kepala. Ia bangun dari tidurnya dengan tubuh bagian atas yang tidak mengenakan apa-apa.

Dea berusaha tetap tenang. Sudah lama ia tidak melihat Bian seperti itu. Dulu kakak angkatnya tersebut sangat kurus dan tidak berotot. Tetapi kini sungguh berbeda jauh.

"Kenapa kamu mengunci pintu kamarmu? Kamu ketiduran di mobil. Dan kakak bangunkan berkali-kali tetap tidak mau membuka mata."

Dea mencoba mengingat semuanya. Ia merasa malu karena berpikir yang tidak-tidak tentang kakaknya. Gadis itu mencoba mencari kunci pintu kamarnya. Meraba saku pada celananya.

"Kuncinya hilang," ungkapnya sedih.

Bian menghembuskan nafas berat. Kunci cadangan pun sudah tidak tahu entah kemana.

"Ya sudah. Untuk sementara kamu tidur di kamar ini saja. Masih banyak baju kok di almari itu."

Bian melenggang pergi untuk mandi. Ia akan berangkat ke kantor pagi ini.

Dea mengelus dadanya perlahan. "Perutnya kotak-kotak!" lirihnya geregetan.

Mengingat kemarin belum mandi, Dea terpaksa mandi lagi di kamar mandi dekat dapur. Ia mandi secepat kilat lalu menyiapkan sarapan roti bakar.

Bian keluar dari kamar sudah lengkap dan rapi dengan pakaian kerjanya. Ia melihat Dea makan roti seorang diri.

"Kamu tidak kerja hari ini?" tanya Bian kepada Dea.

"Dea sudah dipecat. Menyedihkan sekali nasibku."

"Mau kerja di tempat kakak?"

Kebetulan sekali perusahaan Jaya Cemerlang sedang membutuhkan dua karyawan baru sebagai sekretaris dan karyawan bagian marketing.

"Kamu bisa jadi sekretaris Kakak di kantor."

"Dea mau jadi karyawan biasa aja."

Dea berdiri dari duduknya. Ia menuju kamar untuk berganti pakaian.

Bian duduk dan setia menanti Dea dengan penuh kesabaran. Meski sebenarnya ia menginginkan gadis itu menjadi sekretarisnya di kantor.

"Dea, Dea. Apa kamu sebegitu bencinya sama aku? Harusnya kamu tidak bersikap seperti ini."

Tidak butuh waktu lama Dea sudah mengenakan pakaian baru. Ia tidak menyangka jika Bian tahu dan paham baju apa yang cocok untuk dirinya.

Dea bersikap santai. Ia berjalan mendahului kakaknya agar Bian tidak lagi berusaha menggandeng tangannya seperti kemarin.

Lagi-lagi Dea hanya diam saat keduanya ada di mobil yang dalam perjalanan menuju kantor. Sebelum mereka turun, Dea mengatakan sesuatu kepada Bian.

"Jangan sampai ada yang tahu kalau kita sudah menikah. Kalau tidak, Dea akan pergi dari rumah."

Sebuah ancaman dari Dea yang membuat Bian hanya bisa pasrah dan menerima.

"Kamu tidak perlu khawatir."

Kali ini mereka berjalan beriringan. Bian merasakan perutnya lapar karena belum sarapan.

"Mau ikut kakak sarapan?" ajaknya.

"Dea sudah kenyang. Di mana ruangan Dea?"

"Kamu bisa bertanya kepadanya," ucap Bian sambil menunjuk ke arah seseorang yang hendak memasuki ruangan HRD.

"Baik. Terima kasih."

Dea langsung mengabaikan suami sekaligus atasannya tersebut. Ia bersemangat untuk mengetahui lebih dalam tentang pekerjaan barunya nanti.

Bian masih menatap Dea hingga gadis itu tak terlihat lagi. Ia berjanji akan membuat Dea bisa menerimanya sebagai seorang suami. Bahkan ia tak akan menyerah hingga gadis itu juga mencintainya.

Dengan perlahan Bian berjalan menuju kantin perusahaan. Di sana sudah ramai dengan para karyawan yang juga tengah menikmati sarapan mereka masing-masing.

Ponsel Bian berbunyi. Ada sebuah pesan dari Reza—papa kandung Dea yang kini juga menjadi papanya.

"Nanti siang kita harus bertemu. Ada yang ingin papa bicarakan tentang kesepakatan kita kemarin."

Bian menghela nafas panjang. Ia pikir lelaki paruh baya itu tidak serius dengan ucapannya. Nyatanya ia salah.

"Kenapa perasaanku jadi tidak enak begini?" batinnya risau.

***

Siang pun telah tiba. Dea meletakkan bolpoin di tangannya. Melihat ke arah samping di mana ada Naomi—rekan kerja Dea yang tadi sudah berkenalan dengannya.

"Makan siang yuk, Nom?" ajak Dea kepada teman barunya.

"Eh, maaf ya Dea. Aku sudah ada janji sama pacarku."

Sesaat kemudian Bagas datang. Ia juga bekerja satu ruangan dengan mereka. Lelaki itu merupakan pacar Naomi.

"Atau kamu mau ikut juga?"

"Nggak kok, Nom. Nggak papa kalian duluan aja."

Dea masih duduk di kursinya. "Kak Bian bakalan ngajakin Dea makan bareng nggak ya?" Dea terdiam sesaat. "Kok aku jadi mikirin dia?"

Sedetik kemudian David datang. Ia juga teman baru Dea di bagian pemasaran.

"Makan sama aku aja yuk, Dea?"

Dea terkesiap. Ia bingung sendiri. Ingin menolak, tetapi merasa tidak enak.

"Makan di kantin aja, ya?" jawab Dea kemudian.

David mengangguk cepat. Ia sangat senang karena Dea menerima ajakannya. Diam-diam lelaki itu menaruh hati kepada Dea sejak pandangan pertama.

Dea dan David keluar dari ruangan kerja mereka. Ketika itu Dea melihat Bian hendak keluar dari kantor sendirian.

"Kak Bian mau ke mana?" batinnya penasaran. "Ah, biarin aja. Bukan urusan Dea."

"Ayo Dea! Kok malah bengong, sih!"

David bertanya sambil tangannya menggandeng Dea.

Seketika tatapan mata Bian menatap tajam ke arah istrinya.

"Lepaskan ya, Dav!" ucap Dea sambil menarik tangannya dengan cepat.

Sebenarnya ingin sekali Bian menghampiri Dea, tetapi ia sudah terlanjur berjanji dengan Reza.

"Kak Bian kok nggak ngajakin Dea sih? Dia mau ke mana?"

Meski mencoba cuek, Dea tetap ingin tahu apa yang hendak dilakukan suaminya. Tentu ia tidak terima jika diam-diam Bian melakukan pertemuan dengan seorang wanita.

"Jangan-jangan Kak Bian ketemuan sama ceweknya."

Tanpa terasa Dea sudah tiba di kantin. Gadis itu baru sadar jika sejak tadi David mengajaknya berbicara.

"Aku nggak tahu makanan apa yang kamu sukai. Aku pesankan ini. Habisnya kamu dari tadi ditanyain nggak nyahut sama sekali."

"Eh, maaf ya Dav. Semua makanan aku suka kok. Terima kasih ya?"

Dea berucap sambil garuk-garuk kepala. Gadis itu jadi teringat makan malamnya kemarin dengan Bian. Hanya lelaki itu yang paham akan semua makanan favoritnya. Bahkan Reno pun selalu lupa.

Dea menikmati makan siangnya tanpa rasa semangat sama sekali. Berkali-kali ia mengabaikan David yang berusaha untuk lebih akrab dengannya.

Dea telah menyelesaikan makan siangnya. Ia hendak melakukan pembayaran.

"Dea, nggak perlu. Aku sudah bayar semuanya."

"Harusnya kamu tidak perlu berbuat seperti itu, Dav. Nanti kalau keterusan bagaimana? Aku minta traktir terus sama kamu," goda Dea kemudian.

"Em, Dea. Aku rela kok bayarin kamu setiap hari. Asalkan—"

David hendak melanjutkan kalimatnya. Namun tiba-tiba datang seseorang yang membuatnya terdiam seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status