Bian membuka kedua matanya. Ia berucap dengan tenang. Sudah memprediksikan sebelumnya jika Dea akan histeris karena ulahnya.
"Masih pagi Dea. Kenapa berteriak seperti itu?"Bian memandangi Dea tanpa rasa bersalah sama sekali. Meski sebenarnya hatinya merasa takut jika Dea bertambah marah dan benci kepadanya."Kenapa Dea bisa tidur di sini?"Dea melihat tubuhnya dibalik selimut. Takut jika Bian memanfaatkan keadaan."Pasti Kakak sengaja, ya?"Meski pakaian yang dikenakan gadis itu masih sama seperti tadi malam, Dea tetap tidak terima. Ia menganggap Bian sengaja ingin tidur berdua dengannya.Bian hanya geleng-geleng kepala. Ia bangun dari tidurnya dengan tubuh bagian atas yang tidak mengenakan apa-apa.Dea berusaha tetap tenang. Sudah lama ia tidak melihat Bian seperti itu. Dulu kakak angkatnya tersebut sangat kurus dan tidak berotot. Tetapi kini sungguh berbeda jauh."Kenapa kamu mengunci pintu kamarmu? Kamu ketiduran di mobil. Dan kakak bangunkan berkali-kali tetap tidak mau membuka mata."Dea mencoba mengingat semuanya. Ia merasa malu karena berpikir yang tidak-tidak tentang kakaknya. Gadis itu mencoba mencari kunci pintu kamarnya. Meraba saku pada celananya."Kuncinya hilang," ungkapnya sedih.Bian menghembuskan nafas berat. Kunci cadangan pun sudah tidak tahu entah kemana."Ya sudah. Untuk sementara kamu tidur di kamar ini saja. Masih banyak baju kok di almari itu."Bian melenggang pergi untuk mandi. Ia akan berangkat ke kantor pagi ini.Dea mengelus dadanya perlahan. "Perutnya kotak-kotak!" lirihnya geregetan.Mengingat kemarin belum mandi, Dea terpaksa mandi lagi di kamar mandi dekat dapur. Ia mandi secepat kilat lalu menyiapkan sarapan roti bakar.Bian keluar dari kamar sudah lengkap dan rapi dengan pakaian kerjanya. Ia melihat Dea makan roti seorang diri."Kamu tidak kerja hari ini?" tanya Bian kepada Dea."Dea sudah dipecat. Menyedihkan sekali nasibku.""Mau kerja di tempat kakak?"Kebetulan sekali perusahaan Jaya Cemerlang sedang membutuhkan dua karyawan baru sebagai sekretaris dan karyawan bagian marketing."Kamu bisa jadi sekretaris Kakak di kantor.""Dea mau jadi karyawan biasa aja."Dea berdiri dari duduknya. Ia menuju kamar untuk berganti pakaian.Bian duduk dan setia menanti Dea dengan penuh kesabaran. Meski sebenarnya ia menginginkan gadis itu menjadi sekretarisnya di kantor."Dea, Dea. Apa kamu sebegitu bencinya sama aku? Harusnya kamu tidak bersikap seperti ini."Tidak butuh waktu lama Dea sudah mengenakan pakaian baru. Ia tidak menyangka jika Bian tahu dan paham baju apa yang cocok untuk dirinya.Dea bersikap santai. Ia berjalan mendahului kakaknya agar Bian tidak lagi berusaha menggandeng tangannya seperti kemarin.Lagi-lagi Dea hanya diam saat keduanya ada di mobil yang dalam perjalanan menuju kantor. Sebelum mereka turun, Dea mengatakan sesuatu kepada Bian."Jangan sampai ada yang tahu kalau kita sudah menikah. Kalau tidak, Dea akan pergi dari rumah."Sebuah ancaman dari Dea yang membuat Bian hanya bisa pasrah dan menerima."Kamu tidak perlu khawatir."Kali ini mereka berjalan beriringan. Bian merasakan perutnya lapar karena belum sarapan."Mau ikut kakak sarapan?" ajaknya."Dea sudah kenyang. Di mana ruangan Dea?""Kamu bisa bertanya kepadanya," ucap Bian sambil menunjuk ke arah seseorang yang hendak memasuki ruangan HRD."Baik. Terima kasih."Dea langsung mengabaikan suami sekaligus atasannya tersebut. Ia bersemangat untuk mengetahui lebih dalam tentang pekerjaan barunya nanti.Bian masih menatap Dea hingga gadis itu tak terlihat lagi. Ia berjanji akan membuat Dea bisa menerimanya sebagai seorang suami. Bahkan ia tak akan menyerah hingga gadis itu juga mencintainya.Dengan perlahan Bian berjalan menuju kantin perusahaan. Di sana sudah ramai dengan para karyawan yang juga tengah menikmati sarapan mereka masing-masing.Ponsel Bian berbunyi. Ada sebuah pesan dari Reza—papa kandung Dea yang kini juga menjadi papanya."Nanti siang kita harus bertemu. Ada yang ingin papa bicarakan tentang kesepakatan kita kemarin."Bian menghela nafas panjang. Ia pikir lelaki paruh baya itu tidak serius dengan ucapannya. Nyatanya ia salah."Kenapa perasaanku jadi tidak enak begini?" batinnya risau.***Siang pun telah tiba. Dea meletakkan bolpoin di tangannya. Melihat ke arah samping di mana ada Naomi—rekan kerja Dea yang tadi sudah berkenalan dengannya."Makan siang yuk, Nom?" ajak Dea kepada teman barunya."Eh, maaf ya Dea. Aku sudah ada janji sama pacarku."Sesaat kemudian Bagas datang. Ia juga bekerja satu ruangan dengan mereka. Lelaki itu merupakan pacar Naomi."Atau kamu mau ikut juga?""Nggak kok, Nom. Nggak papa kalian duluan aja."Dea masih duduk di kursinya. "Kak Bian bakalan ngajakin Dea makan bareng nggak ya?" Dea terdiam sesaat. "Kok aku jadi mikirin dia?"Sedetik kemudian David datang. Ia juga teman baru Dea di bagian pemasaran."Makan sama aku aja yuk, Dea?"Dea terkesiap. Ia bingung sendiri. Ingin menolak, tetapi merasa tidak enak."Makan di kantin aja, ya?" jawab Dea kemudian.David mengangguk cepat. Ia sangat senang karena Dea menerima ajakannya. Diam-diam lelaki itu menaruh hati kepada Dea sejak pandangan pertama.Dea dan David keluar dari ruangan kerja mereka. Ketika itu Dea melihat Bian hendak keluar dari kantor sendirian."Kak Bian mau ke mana?" batinnya penasaran. "Ah, biarin aja. Bukan urusan Dea.""Ayo Dea! Kok malah bengong, sih!"David bertanya sambil tangannya menggandeng Dea.Seketika tatapan mata Bian menatap tajam ke arah istrinya."Lepaskan ya, Dav!" ucap Dea sambil menarik tangannya dengan cepat.Sebenarnya ingin sekali Bian menghampiri Dea, tetapi ia sudah terlanjur berjanji dengan Reza."Kak Bian kok nggak ngajakin Dea sih? Dia mau ke mana?"Meski mencoba cuek, Dea tetap ingin tahu apa yang hendak dilakukan suaminya. Tentu ia tidak terima jika diam-diam Bian melakukan pertemuan dengan seorang wanita."Jangan-jangan Kak Bian ketemuan sama ceweknya."Tanpa terasa Dea sudah tiba di kantin. Gadis itu baru sadar jika sejak tadi David mengajaknya berbicara."Aku nggak tahu makanan apa yang kamu sukai. Aku pesankan ini. Habisnya kamu dari tadi ditanyain nggak nyahut sama sekali.""Eh, maaf ya Dav. Semua makanan aku suka kok. Terima kasih ya?"Dea berucap sambil garuk-garuk kepala. Gadis itu jadi teringat makan malamnya kemarin dengan Bian. Hanya lelaki itu yang paham akan semua makanan favoritnya. Bahkan Reno pun selalu lupa.Dea menikmati makan siangnya tanpa rasa semangat sama sekali. Berkali-kali ia mengabaikan David yang berusaha untuk lebih akrab dengannya.Dea telah menyelesaikan makan siangnya. Ia hendak melakukan pembayaran."Dea, nggak perlu. Aku sudah bayar semuanya.""Harusnya kamu tidak perlu berbuat seperti itu, Dav. Nanti kalau keterusan bagaimana? Aku minta traktir terus sama kamu," goda Dea kemudian."Em, Dea. Aku rela kok bayarin kamu setiap hari. Asalkan—"David hendak melanjutkan kalimatnya. Namun tiba-tiba datang seseorang yang membuatnya terdiam seketika."Dea, kakak mau bicara sama kamu!" Tanpa menunggu jawaban dari Dea, Bian segera menarik tangan gadis itu untuk meninggalkan David yang masih terbengong di tempatnya."Kakak?" David tidak begitu paham mengapa mereka terlihat sangat dekat.Setelah keluar dari area kantin, Bian masih menggenggam tangan Dea begitu kuat. Ia membawa gadis itu masuk ke dalam lift yang kebetulan sepi."Ih, lepaskan! Apa-apaan sih, Kak Bian! Sakit!" rintih Dea. Ia merasa kesal dengan sikap kakaknya."Kenapa kamu dekat-dekat sama cowok lain?" ujar Bian tegas. Kali ini ia benar-benar merasa cemburu."Bukan urusan Kakak!" Dea sedikit membentak. Ia tidak suka diatur-atur oleh siapapun.Bian terdiam. Ia mencoba menahan emosinya agar tidak meledak hingga menyakiti wanita yang dicintainya.Bian mendorong tubuh istrinya hingga gadis itu tidak dapat bergerak. Ia mengunci tubuh Dea dan menautkan jemarinya pada jari-jari gadis bertubuh mungil itu."Aku ini suami kamu, Dea!" lirih Bian seraya mendekatkan wajahnya. Ia pand
Dea menggeser posisinya ke kanan sedangkan lelaki berpenampilan urakan itu ikut duduk tepat di sisi kirinya."Sa–saya mau pulang Bang," jawab Dea terbata.Gadis itu terus membatin di dalam hatinya. Berharap ada seseorang berhati baik yang mau menolong."Bagaimana kalau kita bersenang-senang sebentar dengannya, Bos. Mumpung lagi sepi," ucap salah satu anak buah lelaki itu sambil memperhatikan keadaan sekeliling."Sepertinya dia anak baru di sini," ujar yang lain ikut menimpali."Saya harus pergi."Tanpa berpikir panjang lagi Dea segera meninggalkan tempat itu. Lebih baik ia berjalan menuju keramaian. Tetapi sayangnya para preman itu terus mengikuti Dea. Semakin Dea mempercepat langkah kakinya, semakin para lelaki itu bersemangat untuk mengejarnya.Hingga akhirnya mereka berhasil mengepung Dea. Gadis itu tidak bisa lagi bergerak untuk kabur."Apa yang kalian inginkan! Tolong pergi! Jangan sakiti saya."Dea mengiba. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil menundukkan kepalanya."Kamu tidak p
Bian berniat untuk menggantikan pakaian istrinya agar tidak merasa sesak. Namun sungguh di luar kuasanya. Lelaki itu justru terpesona dengan kulit putih dan bersih milik Dea."Jangan hiraukan itu Bian! Kau bisa membuatnya semakin membencimu."Setelah beberapa menit lamanya, Bian sudah berhasil mengganti pakaian Dea dengan piyama tidur yang longgar.Lalaki itu bangga dengan dirinya sendiri karena masih bisa untuk mengontrol diri agar tidak bertindak lebih kepada istrinya.Bian segera menyelimuti tubuh Dea hingga ke lehernya. Setelah itu ia keluar dari kamar dan berniat untuk tidur di kamarnya sendiri.***Pagi harinya Bian bersemangat untuk membuat sarapan nasi goreng. Ia sengaja menyediakan dua porsi untuk dirinya sendiri juga untuk istrinya."Aaaaa....!!!!"Sebuah teriakan melengking dari kamar Dea mengejutkan Bian seketika. Lelaki itu hampir saja menjatuhkan makanannya."Kenapa lagi dengan Dea?"Bian segera berjalan menuju kamar istrinya. Ia mencoba untuk membuka pintu kamar Dea, tet
"Kenapa kamu mau menjadi sekretaris di perusahaan ini?"Bian berdiri dari tempatnya. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celananya."Kau masih jadi simpanan Papa Reza? Bagaimana jika dia selingkuh dengan sekretarisnya?" ucap Bian dengan santai. Ia ingin Mawar sadar bahwa semua tindakannya tidak benar."Aku tidak peduli Pak Bian. Sepertinya sekarang aku mulai tertarik denganmu. Aku akan membuatmu bertekuk lutut kepadaku," balas Mawar tak kalah santai.Ia sangat yakin bisa meluluhkan hati Bian. Tidak ada lelaki yang bisa menolak pesonanya.Bian segera menjauh dari tubuh Mawar ketika menyadari wanita itu mulai berulah lagi."Jangan pernah berharap. Dan mulai besok, gunakan pakaian yang lebih sopan."Bian meninggalkan Mawar seorang diri. Ia keluar dari ruangannya hendak menemui seseorang yang mengadakan janji temu dengannya."Lebih baik aku tidak mengajak Mawar."CEO tampan itu melangkah dengan tenang. Di saat itu teleponnya berdering. Bian berbicara sambil berjalan, namun langkahnya
"Auh! Kakiku!" keluh Dea. Ia merasakan kakinya sakit. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada kaki kanannya.Bian menyadari perubahan raut wajah Dea. Seolah gadis itu merasa tidak nyaman. "Apa yang terjadi Dea?" tanya Bian khawatir. Ia masih menopang tubuh istrinya.Tanpa menunggu jawaban dari Dea, CEO tampan itu segera mengangkat tubuh istrinya ala bridal style. Membuat pandangan orang-orang tertuju kepada mereka. Tak terkecuali dengan Reno yang menghentikan dansanya bersama Mawar.Bian langsung membawa Dea ke dalam mobil dan berniat untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Ia tak peduli dengan tatapan tajam dari semua orang."Sial! Pasti dia sengaja memanas-manasiku!" umpat Reno tidak terima. Lelaki itu pun mengajak Mawar pergi dari acara makan malam tersebut.Setelah menunggu beberapa menit, seorang dokter telah selesai memeriksa Dea."Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" ucap Bian merasa khawatir dengan keadaan Dea."Bapak tidak perlu khawatir. Kakinya hanya keseleo saja."Dea
Sebuah suara jeritan memenuhi ruang kamar kecil itu. Dea menahan rasa sakit yang luar biasa pada inti tubuhnya. Begitu menyakitkan baginya.Air mata terus mengalir deras dari kedua mata milik Dea. Namun Bian tak peduli sama sekali. Ia terus bergerak sesuka hatinya sambil sesekali meracau menyebut nama Dea."Cukup Kak," ucap Dea namun tersekat di tenggorokannya.Beberapa jam berlalu. Bian mulai terkapar lemah di sebelah Dea. Gadis itu menangis hingga ikut tertidur di samping seorang lelaki yang telah merenggut kesuciannya.Keesokan harinya Dea terbangun terlebih dahulu. Ia masih merasakan sakit yang tiada terkira.Perlahan gadis yang tak lagi perawan itu mulai bangun. Ia mencoba melangkah menuju kamar mandi. Jalannya tertatih seakan sangat sulit untuk bergerak bebas.Dea mengahabiskan waktunya di bawah kucuran air shower. Hatinya sakit meski sebenarnya akan lebih sakit jika Bian melakukan hal itu dengan Mawar."Kenapa Kak Bian tega?"Dea memejamkan sejenak kedua matanya. Tanpa terasa a
"Mawar apa yang sedang kamu lakukan?" Bian menaikkan sebelah alisnya sambil membetulkan dasinya."P–Pak Bian?" Tergagap Mawar menjawab pertanyaan dari sang atasan.Bian melihat jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Seharusnya mereka sudah berada di ruangan kerja masing-masing."Ikut ke ruangan saya!" perintah Bian kepada sekretarisnya. Ia ingin Mawar tidak bertindak seenaknya sendiri saat di kantor tempatnya bekerja.Mawar pun hanya menurut saja. Tidak mungkin ia melawan saat di kantor. Ia pun tidak mau dipecat secepat itu.Sementara dari kejauhan, Dea tengah memperhatikan. Kini ia bingung dengan perasaannya sendiri. Ada rasa cemburu tiap kali melihat Bian dengan Mawar. Apalagi setelah kejadian tadi malam."Apa benar Kak Bian mencintaiku? Atau dia juga ada affair dengan Mawar?"Meski kesal dan sangat sakit hati dengan Mawar, Dea tidak ingin bertindak gegabah. Ia harus bisa membalaskan dendamnya kepada Mawar dengan cara yang licik.Gadis itu pun tidak ingin terba
"Mamaku ingin aku datang ke rumahnya. Katanya dia butuh pertolongan."Akhirnya Dea menceritakan tentang permasalahan keluarganya. Kedua orang tuanya yang berpisah karena perselingkuhan. Juga mantan tunangan yang telah mengkhianatinya. Semua teman-teman Dea merasa iba. Apalagi David yang berniat menjadi penawar hatinya."Aku akan mengantarkanmu nanti pulang kerja," tawar David kemudian."Atau kamu bisa ijin setelah kita sampai di kantor," timpal Naomi."Terima kasih, Nom."Dea melihat ke arah David yang sedari tadi menunggu jawaban darinya."Untuk kamu, Dav. Terima kasih sudah peduli kepadaku. Aku tidak mau merepotkanmu. Sebaiknya aku datang sendiri saja."David tidak bisa memaksa. Ia hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk Dea.Setelah tiba di kantor, Dea mencoba meminta ijin kepada atasannya di ruangan sang manajer."Kamu harus tahu bahwa kamu itu karyawan baru di sini. Saya harap ini memang urusan mendesak. Dan kamu hanya diperboleh ijin satu kali saja dalam bulan ini. Mengerti?"