Share

Bab 3 : Menjadi Ny. Mahendra

Auteur: Mommy_Ay
last update Dernière mise à jour: 2025-05-08 15:24:54

“Pernikahan, kontrak?” gumam Adellia, nyaris tak percaya. “Kamu tidak sedang mabuk, kan?”

Keenan hanya menghela napas pendek, lalu melangkah perlahan ke arah sofa. Ia duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, dan menyandarkan tubuh ke sandaran seolah tak terburu waktu.

“Rico mengincar warisan keluargamu. Qalest menginginkan posisi dan pengaruh.” Nada suaranya tetap tenang, tapi sarat dengan ketegasan. “Dan kamu... hanyalah batu sandungan yang mereka rencanakan untuk disingkirkan setelah akad.”

Adellia menelan ludah. Kata-kata itu seperti cambuk yang menyayat kesadarannya. Tapi Keenan belum selesai.

Ia menatapnya lurus, sorot matanya setajam belati.

“Kamu ingin mereka menang, Adellia?” tanyanya pelan, tapi dinginnya menusuk seperti baja.

“Apa kamu, sudah tahu soal Rico dan Qalest?”

Keenan terdiam sejenak sebelum menjawab.

“Sudah cukup lama. Tapi kamu butuh melihatnya sendiri untuk percaya, bukan?”

Adellia merasa lututnya lemas. Ia menggigit bibir, mencoba menahan luapan emosi yang kembali menggumpal di dadanya.

“Apa untungnya buatmu?” tanyanya tajam. “Kamu tidak terdengar seperti pria yang peduli pada orang asing.”

Keenan menoleh pelan, menatap Adellia dalam-dalam. “Rico adalah keponakanku, tapi dia bukan keluargaku.”

Mata Keenan menggelap. Ada luka lama di sana—yang belum dibahas, tapi cukup terasa menusuk.

“Aku ingin menyingkirkan dia dari lingkaran ini. Dan kamu, Adellia , adalah kuncinya.”

Adellia terdiam. Meremas gaun pengantin yang ia kenakan, terasa seperti sisa-sisa mimpi buruk yang gagal terwujud.

“Lalu, setelah itu? Apa yang Kamu inginkan dariku?” suaranya bergetar, tapi sorot matanya tetap kuat.

“Kontraknya sederhana,” jawab Keenan. “Enam bulan. Kita berperan sebagai pasangan sah di mata keluarga dan publik. Setelah itu, cerai. Kamu bebas, aku juga.”

“Dan selama enam bulan itu?” tanya Adellia dengan nada curiga.

“Aku akan melindungimu dari semua yang ingin menghancurkanmu. Rico, Qalest, bahkan keluargamu sendiri kalau perlu. Sebagai suamimu.”

Ia melangkah mendekat.

“Tapi kamu juga harus siap berpura-pura mencintaiku, sebaik kamu pernah berpura-pura mencintai Rico.”

Adellia membeku. Hatinya menolak. Logikanya berontak. Tapi harga dirinya, terlalu tercabik untuk memilih diam.

“Aku tidak percaya padamu,” bisiknya.

Keenan mengangguk pelan. “Bagus. Karena aku juga tidak percaya siapa pun malam ini. Termasuk kamu.”

Sunyi menyelimuti mereka berdua. Tapi dalam hening itu, keputusan mulai tumbuh—pelan, tapi pasti.

“Kontrak kita. Sudah ditandatangani dua pihak. Termasuk satu pengacara keluarga Mahesa yang kupercayai,” ucapnya datar.

“Kau bahkan sudah menyiapkan semua ini?” Adellia menatapnya tak percaya, seakan semuanya seperti sudah terencanakan dan tersusun begitu rapi.

Adel membuka lembaran itu. Mata elangnya menyisir kalimat demi kalimat:

Enam bulan sebagai suami istri sah.

Tidak ada kewajiban fisik.

Kedua pihak berjanji menjaga citra pernikahan di mata publik.

Setelah masa berakhir, perceraian akan diproses secara damai dan tertutup.

Ia mengangguk pelan. “Baik.”

Keenan menatapnya lama, sebelum berkata, “kamu akan tinggal di penthouse-ku. Ada satu kamar untukmu. Tapi ingat... di depan siapa pun, kamu adalah istri sah Keenan Daviero Mahendra.”

Adel membalas tatapannya, penuh tantangan. “Dan kamu... pria yang kuceraikan setelah ini selesai.”

Sekilas, Keenan tersenyum. Tapi tatapannya tak lagi lembut.

“Pastikan kamu tidak jatuh cinta duluan, Adellia.”

Adellia mendengus pelan, “Ch! Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu.”

Keenan tersenyum dengan sudut bibirnya. “Sudah siap pindah ke rumah suamimu, Nyonya Mahendra?” tanyanya ringan.

**

Penthouse Keenan menempati dua lantai teratas gedung tertinggi di pusat kota Amberlyn. Begitu pintu lift pribadi terbuka, Adel hampir kehilangan kata-kata.

Interior bernuansa monokrom dengan sentuhan marmer dan kayu hitam mengilap. Jendela setinggi langit-langit menampilkan panorama kota yang megah, seakan dunia berada tepat di bawah kaki mereka.

Namun, suasana itu terlalu sepi. Terlalu dingin. Seperti pemiliknya.

“Kamarmu di sebelah kanan. Kamar utama di sebelah kiri, milikku,” ujar Keenan datar sambil berjalan melewati dapur terbuka. Ia melepaskan jas pengantin dan meletakkannya di sandaran kursi, seolah hari itu bukan hari pernikahannya.

Adel melangkah masuk pelan, menyentuh sofa berbalut kulit abu-abu tua, mencium aroma kopi dan kayu. Rumah ini terlalu bersih. Terlalu rapi. Tidak seperti rumah, lebih seperti museum yang tak boleh disentuh.

“Tempat ini... dingin,” gumamnya lirih.

Keenan menoleh singkat. “Lebih baik rumah yang dingin daripada rumah yang penuh pengkhianatan.”

Adel menggertakkan giginya. Ia tahu kata-kata itu disengaja.

Ia berjalan menuju kamar yang ditunjukkan padanya. Ruangan itu cukup luas, dengan ranjang queen, lemari besar, dan balkon kecil menghadap taman vertikal. Tapi tak ada sentuhan pribadi. Hanya ruangan kosong yang dipoles sempurna, seperti dirinya: pengantin tanpa cinta.

**

Ketika malam tiba, Adel duduk di tepi ranjang, masih mengenakan piyama satin pemberian asisten rumah tangga Keenan. Rambutnya basah setelah mandi, tubuhnya letih, pikirannya lebih kacau daripada sebelumnya.

Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk.

“Masuk,” sahutnya pelan.

Keenan muncul, mengenakan kaus hitam dan celana training. Rambutnya agak berantakan, wajahnya tidak setegang sebelumnya.

“Aku punya satu syarat tambahan untuk kontrak kita,” katanya langsung, tanpa basa-basi.

Adel mendongak. “Bukannya semua sudah kamu atur?”

Keenan bersandar di ambang pintu. “Kita harus makan malam bersama... minimal seminggu tiga kali. Di meja makan. Seperti pasangan normal.”

Adel mengernyit. “Untuk apa? Menciptakan ilusi bahagia?”

“Untuk jaga citra. Kita akan diliput media lebih dari yang kamu pikirkan. Orang akan bertanya, stafku akan bicara, dan… kupastikan kita akan diawasi,” ujar Keenan datar.

Adel mendengus. “Dan kamu pikir makan malam seminggu tiga kali bisa menyelamatkan pernikahan palsu ini?”

“Tidak,” jawab Keenan, menyeringai kecil. “Tapi itu akan menyelamatkan reputasimu. Reputasi kita.”

Adel terdiam. Ia benci mengakuinya, tapi Keenan benar.

Di dunia yang mereka tinggali, citra lebih penting dari kenyataan.

“Oke,” katanya akhirnya. “Tapi aku pilih makan malam hari Minggu. Sisanya kamu tentukan.”

Keenan mengangguk. “Deal.”

Sebelum keluar, ia menambahkan, “Dan Adel... jangan khawatir. Aku tidak akan menyentuhmu.”

Adel tertawa kecil, pahit. “Kau terlalu percaya diri kalau berpikir aku akan takut disentuh.”

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Diselingkuhi Tunangan Dinikahi Paman CEO   Bab 63 : Ruang Introgasi

    Keenan tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap pintu observasi yang tertutup. Detik berikutnya, pintu itu terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah tegang namun tenang.“Pak Keenan?”“Bagaimana kondisi istri saya? Dan bayi kami?”“Dia mengalami luka di bagian kepala, tapi sejauh ini tidak ada tanda-tanda pendarahan dalam. Cekikan di lehernya cukup parah, tapi tidak merusak saluran napas permanen. Kami juga memantau janinnya... dan untungnya, detak jantung bayi stabil. Tapi kami akan terus observasi selama 24 jam ke depan untuk memastikan tidak ada komplikasi lanjutan.”Keenan menutup matanya, bahunya merosot sejenak. Seperti menahan tangis yang hampir pecah.“Boleh saya masuk?”“Dia sudah sadar. Tapi... mungkin masih sedikit trauma.”Keenan mengangguk pelan lalu melangkah masuk.Adellia terbaring di ranjang putih dengan infus di tangan. Kepalanya diperban, lehernya tampak memar. Tapi matanya terbuka, menatap Keenan dengan lemah.“Del...” suara Keenan pecah saat duduk di sisi ra

  • Diselingkuhi Tunangan Dinikahi Paman CEO   Bab 62 : Wanita yang Menyedihkan

    Clara terkekeh lirih. Matanya basah, tapi bukan karena sedih—melainkan frustrasi. “Kamu pikir kamu bisa ambil semua ini dari aku? Dia, perusahaannya, bahkan anak yang harusnya...!”“Kamu gila,” bisik Adellia.Clara mendekat lebih agresif. “Aku nggak akan diam. Kalau Keenan nggak mau denger aku, kamu yang harus dengar! Kamu pikir dia mencintaimu karena kamu istimewa? Tidak. Kamu cuma pelarian. Dia kesepian. Sama kayak aku.”“Tapi aku nggak menyakiti orang lain hanya karena kesepian!” balas Adellia lantang. Ia menarik napas, mencoba menahan emosi. “Clara, aku kasihan sama kamu. Tapi ini bukan caranya.”Clara gemetar, masih menggenggam lengan Adellia.“Bukankah kamu yang bilang, kalau aku butuh teman ngobrol, kamu siap menjadi pendengarnya?”Suara itu membuat bulu kuduk Adellia berdiri.Dengan wajah pucat, mata merah, dan senyuman miring yang jauh dari waras. Tangan Clara mencengkram sesuatu di balik jaketnya, tapi Adellia terlalu fokus pada sorot matanya yang membara.Adellia menyipit.

  • Diselingkuhi Tunangan Dinikahi Paman CEO   Bab 61 : Salah Rumah

    Mereka tertawa bersama. Lalu hening. Tapi bukan hening yang canggung—melainkan damai.Keenan menatap jendela, lalu berbisik pelan, “Hari ini aku mau kita keluar sebentar.”“Keluar?” tanya Adellia, sedikit terkejut. “Kemana?”“Ke tempat yang belum pernah kita kunjungi. Cuma kita.” Ia menatap perut Adellia dan tersenyum.“Trip dadakan?”“Yup. Cuma sebentar. Aku cuma pengen nunjukin ke dunia kalau kamu... keluarga yang ingin aku tunjukkan dengan bangga.”Adellia membisu. Matanya sedikit memerah. “Kamu serius?”Keenan mengangguk mantap.**Matahari mulai naik ketika mobil Keenan melaju menyusuri jalanan pinggir kota yang dipenuhi pepohonan. Angin semilir masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma rumput dan tanah basah yang menenangkan. Di kursi penumpang, Adellia menyender nyaman dengan bantal leher dan headphone di telinga, sesekali mengelus perutnya yang makin bulat.“Nyaman, Nyonya?” tanya Keenan sambil melirik dari balik kacamata hitamnya.“Nyaman banget. Tapi aku kaya

  • Diselingkuhi Tunangan Dinikahi Paman CEO   Bab 60 : Lady Gaga KW

    Keenan mengunyah dengan dramatis. “Hmm... 80 persen cinta, 20 persen gula, dan 100 persen kamu.”Adellia tertawa keras. “Matematika kamu kacau!”“Cintaku juga kacau waktu kamu belum datang.”“Oh Tuhan...” Adellia memutar mata, tapi ia tak bisa menyembunyikan senyumnya yang semakin lebar.Keenan bangkit, menghampiri istrinya lagi, kali ini tanpa menyandarkan tubuh. Ia hanya berdiri di depannya, memandangi wajah Adellia dalam-dalam. Lalu, ia mengusap pipi gadis itu pelan dengan ibu jarinya.“Terima kasih, Del.”Adellia menelan ludah. Suasana tiba-tiba terasa hangat, berbeda dari canda mereka sebelumnya. “Untuk apa?”“Untuk bangun lebih dulu pagi ini. Untuk masak sarapan. Untuk masih mau bercanda sama aku, walaupun kamu pasti capek. Untuk... tetap di sini.”Adellia menggigit bibir bawahnya. “Aku juga harusnya yang bilang makasih. Karena kamu nggak pergi, walaupun banyak alasan buat ninggalin aku.”Keenan menyentuh perut Adellia yang kini membulat, lalu mencium bagian atasnya dengan lembu

  • Diselingkuhi Tunangan Dinikahi Paman CEO   Bab 59 : Cumi Kejang-Kejang

    “Dua puluh menit cukup untuk satu tawa,” sahut Adellia, menyeretnya duduk. “Pertanyaan pertama. Di antara kita, siapa yang paling drama kalau lagi flu?”“...Kamu,” Keenan menjawab cepat.“Jawaban salah! Yang benar: kamu. Aku cuma bersin satu kali langsung dicek suhu, direndam air hangat, dan ditawari ranjang rumah sakit.”Keenan terkekeh pelan. “Itu karena kamu hamil.”Adellia menyilangkan tangan di dada. “Oke. Pertanyaan dua. Kalau suatu hari aku berubah jadi sapi, kamu tetap sayang?”“Sapi?” Keenan menyipitkan mata, geli.“Ya. Sapi. Bukan sapi betina biasa. Sapi agresif. Yang suka tendang pintu.”Keenan tertawa kecil. “Ya. Aku akan tetap sayang... tapi kamu tidur di kandang.”“Kurang ajar!” Adellia mencubit lengannya, membuat Keenan semakin tertawa.*Sepanjang hari itu, Adellia terus melancarkan operasi "Penculikan Senyum". Dari menyanyikan lagu dangdut sambil cuci buah, sampai menyelinap ke ruang kerja Keenan dengan rambut palsu dan menyamar jadi ‘asisten pribadi dari Viremont’.D

  • Diselingkuhi Tunangan Dinikahi Paman CEO   Bab 58 : Penculikan Senyum

    Keenan menatapnya sejenak, lalu meraih tangan Adellia.“Clara bukan orang jahat, Del. Tapi dia... rapuh. Sangat rapuh. Dan kalau emosinya terganggu, dia bisa menjadi orang lain. Dia pernah menyayat lengannya sendiri hanya karena merasa diabaikan.”Adellia menelan ludah, jantungnya berdebar tak nyaman.“Aku akan bicara dengannya. Sementara itu, kamu tetap di sini. Jangan ke luar kamar. Apa pun yang terjadi—jangan buka pintu kalau bukan aku yang datang.”“Keenan—”“Aku serius,” potong Keenan, menatapnya dalam. “Aku nggak tahu dia datang karena apa, atau dalam kondisi seberapa parah. Tapi aku gak akan ambil risiko dia menyakitimu.”Adellia mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan Keenan lebih erat. “Hati-hati.”Keenan mencium keningnya, sekali. Lalu berbalik dan melangkah keluar dari kamar.**Ruangan itu dingin, remang-remang. Salah satu ruang cadangan di lantai servis, yang biasa digunakan untuk rapat tertutup atau tamu yang tak diinginkan.Clara berdiri di tengah ruangan, tampak puca

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status