“Pernikahan, kontrak?” gumam Adellia, nyaris tak percaya. “Kamu tidak sedang mabuk, kan?”
Keenan hanya menghela napas pendek, lalu melangkah perlahan ke arah sofa. Ia duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, dan menyandarkan tubuh ke sandaran seolah tak terburu waktu.
“Rico mengincar warisan keluargamu. Qalest menginginkan posisi dan pengaruh.” Nada suaranya tetap tenang, tapi sarat dengan ketegasan. “Dan kamu... hanyalah batu sandungan yang mereka rencanakan untuk disingkirkan setelah akad.”
Adellia menelan ludah. Kata-kata itu seperti cambuk yang menyayat kesadarannya. Tapi Keenan belum selesai.
Ia menatapnya lurus, sorot matanya setajam belati.
“Kamu ingin mereka menang, Adellia?” tanyanya pelan, tapi dinginnya menusuk seperti baja.
“Apa kamu, sudah tahu soal Rico dan Qalest?”
Keenan terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Sudah cukup lama. Tapi kamu butuh melihatnya sendiri untuk percaya, bukan?”
Adellia merasa lututnya lemas. Ia menggigit bibir, mencoba menahan luapan emosi yang kembali menggumpal di dadanya.
“Apa untungnya buatmu?” tanyanya tajam. “Kamu tidak terdengar seperti pria yang peduli pada orang asing.”
Keenan menoleh pelan, menatap Adellia dalam-dalam. “Rico adalah keponakanku, tapi dia bukan keluargaku.”
Mata Keenan menggelap. Ada luka lama di sana—yang belum dibahas, tapi cukup terasa menusuk.
“Aku ingin menyingkirkan dia dari lingkaran ini. Dan kamu, Adellia , adalah kuncinya.”
Adellia terdiam. Meremas gaun pengantin yang ia kenakan, terasa seperti sisa-sisa mimpi buruk yang gagal terwujud.
“Lalu, setelah itu? Apa yang Kamu inginkan dariku?” suaranya bergetar, tapi sorot matanya tetap kuat.
“Kontraknya sederhana,” jawab Keenan. “Enam bulan. Kita berperan sebagai pasangan sah di mata keluarga dan publik. Setelah itu, cerai. Kamu bebas, aku juga.”
“Dan selama enam bulan itu?” tanya Adellia dengan nada curiga.
“Aku akan melindungimu dari semua yang ingin menghancurkanmu. Rico, Qalest, bahkan keluargamu sendiri kalau perlu. Sebagai suamimu.”
Ia melangkah mendekat.
“Tapi kamu juga harus siap berpura-pura mencintaiku, sebaik kamu pernah berpura-pura mencintai Rico.”
Adellia membeku. Hatinya menolak. Logikanya berontak. Tapi harga dirinya, terlalu tercabik untuk memilih diam.
“Aku tidak percaya padamu,” bisiknya.
Keenan mengangguk pelan. “Bagus. Karena aku juga tidak percaya siapa pun malam ini. Termasuk kamu.”
Sunyi menyelimuti mereka berdua. Tapi dalam hening itu, keputusan mulai tumbuh—pelan, tapi pasti.
“Kontrak kita. Sudah ditandatangani dua pihak. Termasuk satu pengacara keluarga Mahesa yang kupercayai,” ucapnya datar.
“Kau bahkan sudah menyiapkan semua ini?” Adellia menatapnya tak percaya, seakan semuanya seperti sudah terencanakan dan tersusun begitu rapi.
Adel membuka lembaran itu. Mata elangnya menyisir kalimat demi kalimat:
Enam bulan sebagai suami istri sah.
Tidak ada kewajiban fisik.
Kedua pihak berjanji menjaga citra pernikahan di mata publik.
Setelah masa berakhir, perceraian akan diproses secara damai dan tertutup.
Ia mengangguk pelan. “Baik.”
Keenan menatapnya lama, sebelum berkata, “kamu akan tinggal di penthouse-ku. Ada satu kamar untukmu. Tapi ingat... di depan siapa pun, kamu adalah istri sah Keenan Daviero Mahendra.”
Adel membalas tatapannya, penuh tantangan. “Dan kamu... pria yang kuceraikan setelah ini selesai.”
Sekilas, Keenan tersenyum. Tapi tatapannya tak lagi lembut.
“Pastikan kamu tidak jatuh cinta duluan, Adellia.”
Adellia mendengus pelan, “Ch! Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu.”
Keenan tersenyum dengan sudut bibirnya. “Sudah siap pindah ke rumah suamimu, Nyonya Mahendra?” tanyanya ringan.
**
Penthouse Keenan menempati dua lantai teratas gedung tertinggi di pusat kota Amberlyn. Begitu pintu lift pribadi terbuka, Adel hampir kehilangan kata-kata.
Interior bernuansa monokrom dengan sentuhan marmer dan kayu hitam mengilap. Jendela setinggi langit-langit menampilkan panorama kota yang megah, seakan dunia berada tepat di bawah kaki mereka.
Namun, suasana itu terlalu sepi. Terlalu dingin. Seperti pemiliknya.
“Kamarmu di sebelah kanan. Kamar utama di sebelah kiri, milikku,” ujar Keenan datar sambil berjalan melewati dapur terbuka. Ia melepaskan jas pengantin dan meletakkannya di sandaran kursi, seolah hari itu bukan hari pernikahannya.
Adel melangkah masuk pelan, menyentuh sofa berbalut kulit abu-abu tua, mencium aroma kopi dan kayu. Rumah ini terlalu bersih. Terlalu rapi. Tidak seperti rumah, lebih seperti museum yang tak boleh disentuh.
“Tempat ini... dingin,” gumamnya lirih.
Keenan menoleh singkat. “Lebih baik rumah yang dingin daripada rumah yang penuh pengkhianatan.”
Adel menggertakkan giginya. Ia tahu kata-kata itu disengaja.
Ia berjalan menuju kamar yang ditunjukkan padanya. Ruangan itu cukup luas, dengan ranjang queen, lemari besar, dan balkon kecil menghadap taman vertikal. Tapi tak ada sentuhan pribadi. Hanya ruangan kosong yang dipoles sempurna, seperti dirinya: pengantin tanpa cinta.
**
Ketika malam tiba, Adel duduk di tepi ranjang, masih mengenakan piyama satin pemberian asisten rumah tangga Keenan. Rambutnya basah setelah mandi, tubuhnya letih, pikirannya lebih kacau daripada sebelumnya.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk.
“Masuk,” sahutnya pelan.
Keenan muncul, mengenakan kaus hitam dan celana training. Rambutnya agak berantakan, wajahnya tidak setegang sebelumnya.
“Aku punya satu syarat tambahan untuk kontrak kita,” katanya langsung, tanpa basa-basi.
Adel mendongak. “Bukannya semua sudah kamu atur?”
Keenan bersandar di ambang pintu. “Kita harus makan malam bersama... minimal seminggu tiga kali. Di meja makan. Seperti pasangan normal.”
Adel mengernyit. “Untuk apa? Menciptakan ilusi bahagia?”
“Untuk jaga citra. Kita akan diliput media lebih dari yang kamu pikirkan. Orang akan bertanya, stafku akan bicara, dan… kupastikan kita akan diawasi,” ujar Keenan datar.
Adel mendengus. “Dan kamu pikir makan malam seminggu tiga kali bisa menyelamatkan pernikahan palsu ini?”
“Tidak,” jawab Keenan, menyeringai kecil. “Tapi itu akan menyelamatkan reputasimu. Reputasi kita.”
Adel terdiam. Ia benci mengakuinya, tapi Keenan benar.
Di dunia yang mereka tinggali, citra lebih penting dari kenyataan.“Oke,” katanya akhirnya. “Tapi aku pilih makan malam hari Minggu. Sisanya kamu tentukan.”
Keenan mengangguk. “Deal.”
Sebelum keluar, ia menambahkan, “Dan Adel... jangan khawatir. Aku tidak akan menyentuhmu.”
Adel tertawa kecil, pahit. “Kau terlalu percaya diri kalau berpikir aku akan takut disentuh.”
“Slide keempat tolong diganti. Visualnya terlalu padat, kita butuh sesuatu yang lebih clean tapi tetap powerful,” ujar Adellia sambil berdiri di depan layar besar ruang meeting privat Divisi Kreatif.Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana panjang hitam, rambutnya diikat rapi. Wajahnya penuh konsentrasi, meski ada lelah yang samar terlihat.“Presentasi kita ke investor tinggal lima hari. Aku nggak mau ada satu pun celah,” lanjutnya tegas.Timnya mencatat dengan cepat, sebagian menatap layar laptop, sebagian lagi mengikuti arah tangan Adellia yang menunjukkan poin demi poin penting di slide.Setelah tiga hari kembali bekerja, Adellia kembali jadi versi dirinya yang paling tajam. Profesional, tegas, dan nyaris tanpa cela. Keberadaan Rico di ruang rapat sebelumnya memang sempat mengusik fokusnya—tapi hanya sebentar. Ia menolak membiarkan masa lalu mendikte masa depannya.“Tim riset, pastikan data pengguna dari kuartal terakhir benar-benar uptodate. Aku ingin angka yang valid, buk
“Dan semua tetap terkendali,” gumam Adellia sambil menatap ke piring kosong di depannya. “Kau sungguh profesional, Tuan Daviero.”Keenan tersenyum tipis. Tapi tak ada kehangatan di dalamnya.“Profesionalisme menyelamatkan kita dari banyak hal. Termasuk dari patah hati.”“Kalau begitu,” ucap Adellia, fokusnya kembali ke piring yang sedang ia bilas, “mari pastikan tidak ada yang melenceng dari kontrak. Bahkan sekadar genggaman tangan.”Keenan terdiam. Lalu, ia mengambil gelas wine-nya dan berjalan perlahan ke arah jendela besar yang menghadap kota.“Catatan yang bagus, Nyonya Daviero,” ujarnya, menyesap anggurnya. “Aku akan mengingatnya baik-baik.”**Langit pagi itu mendung, seolah ikut mencerminkan perasaan Adellia yang setengah enggan melangkah keluar dari mobilnya. Ia berdiri di depan gedung perusahaan keluarganya, Mahesa Group.Tiga hari sejak pernikahan kontrak itu. Tiga hari penuh adaptasi, kejutan, dan sandiwara yang harus ia jalani bersama Keenan.Dan hari ini, pertunjukan kemb
Pintu penthouse terbuka dengan bunyi klik lembut, memperlihatkan interior megah yang menyambut dengan suasana dingin, hening. Seperti biasa.Keenan masuk lebih dulu tanpa sepatah kata pun. Jasnya langsung dilempar asal ke sofa, dasinya ditarik kasar, dan tubuhnya melayang ke bar stool dapur terbuka. Matanya menatap kosong ke arah city lights yang memantul dari jendela besar.Adellia berdiri di depan pintu, memperhatikan punggung tegap itu dengan napas yang pelan. Ia bisa merasakan dentuman emosi dari pria itu—campuran marah, kecewa, dan entah apa lagi. Walaupun emosinya sempat mencair sesaat, waktu dalam perjalan pulang tadi.Kaki Adellia melangkah perlahan, ke arah Keenan berada.“Kau baik-baik saja?” tanyanya hati-hati.Keenan tak menjawab. Tangannya sibuk menuang air putih dari dispenser, menenggaknya dalam satu tegukan.“Jika diam berarti ‘ya’, maka aku akan berhenti bertanya,” gumam Adellia, setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.Tetap sunyi.Adellia mendekat, menaruh clu
“Apa yang dia bicarakan?”Nada Keenan terdengar datar saat mereka kembali duduk di meja utama. Namun, sorot matanya berkata lain—tajam, gelap, menyelidik.Adellia meliriknya sekilas, lalu menarik napas pendek. “Bukan hal penting.”Keenan menoleh penuh ke arahnya, rahangnya mengeras. Sorot matanya menusuk.“Sungguh? Bukan hal penting?”Kata-kata itu bukan pertanyaan, lebih seperti tuduhan yang terbungkus dalam nada pelan.Adellia menahan tawa kecil. “Keenan, kau berakting terlalu serius.”Ia menyesap wine di hadapannya sebelum menatap sekeliling. Para tamu masih tenggelam dalam percakapan hangat, gelas beradu pelan, tawa-tawa ringan terdengar di udara.“Di sini tidak ada yang mendengar percakapan kita,” bisiknya, masih tersenyum. “Santailah sedikit.”Namun Keenan tetap tak bergeming. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, pandangan tetap menusuk wajah Adellia.“Dia menyentuhmu.”“Dan kau sudah menghentikannya,” jawab Adellia tenang. “Itu cukup, bukan?”Keenan tak menjawab. Tapi sikapn
Langit sore menggantung sendu ketika Adellia berdiri di balkon penthouse, mengenakan gaun satin biru tua dan secangkir teh hangat di tangan. Angin berembus pelan, mengibaskan ujung rambutnya. Di balik gelas kristal, matanya menatap kota yang terus bergerak tanpa peduli perasaan siapa pun.Ia tahu... badai belum benar-benar usai.“Kamu kelihatan terlalu tenang untuk seorang pengantin baru,” suara Keenan terdengar dari balik pintu geser. Ia baru saja selesai menerima panggilan, dasi dilepas, kemeja sedikit terbuka di leher.Adellia menoleh, tersenyum tipis. “Atau aku hanya sedang menyimpan tenang itu untuk nanti.”Keenan menyandarkan tubuhnya di kusen pintu, menatap Adellia dalam diam. Ada sesuatu dalam sorot matanya—campuran antara kekaguman dan kewaspadaan. Lalu ia berjalan pelan, berdiri di samping Adellia.“Rico sudah menemui Kakek,” ucapnya. “Dia tidak senang. Dan itu membuatku semakin yakin, keputusan Kakek bukan sekadar strategi. Tapi juga pelajaran.”Adellia mendesah. “Kamu piki
Begitu pintu lift tertutup dan para tamu turun ke lobi, suasana di penthouse mendadak terasa lengang. Adellia berdiri mematung di dekat jendela, matanya menatap bias lampu kota malam hari, sementara Keenan berjalan perlahan ke arahnya dengan gelas anggur di tangan."Dia menjengkelkan," ucap Keenan pelan.Adellia tak perlu bertanya siapa yang dimaksud. “Dia memang begitu. Tapi tak seburuk Rico.”Keenan menghela napas, lalu meletakkan gelasnya di meja dekat sofa. “Kupikir aku cukup ahli membaca niat orang. Tapi Qalest... dia lebih beracun dari yang kuduga.”Adellia menoleh. “Dia ingin tempatku. Itu sudah jelas sejak dulu.”“Aku tahu.” Keenan menyandarkan tubuh ke sandaran sofa. “Tapi aku tak suka dia mengganggumu. Terutama di rumah ini.”Kata “rumah” terdengar asing, tapi hangat. Membuat dada Adellia sedikit sesak.“Kamu tidak perlu repot membelaku,” gumamnya. “Ini cuma sementara, kan?”Keenan mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Justru karena sementara... aku ingin memast
Ketukan keras di pintu utama mengagetkan keduanya. Adellia meletakkan garpunya, menoleh ke arah sumber suara. Keenan langsung bangkit, menyalakan layar kecil di dinding yang menampilkan kamera luar.Wajah Rico.Keenan menghela napas pelan. “Sial.”“Aku harus sembunyi?” tanya Adellia cepat.Keenan menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Tidak. Ini rumahmu juga sekarang.”Ia berjalan ke pintu dan membukanya.“Wah, pagi-pagi sudah datang tanpa undangan. Kau kehilangan sopan santunmu, Rico?” nada Keenan datar.Rico menerobos masuk tanpa menunggu izin. “Kau pikir aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan, paman?”Matanya langsung mencari-cari sosok Adellia, dan menemukannya berdiri di dapur, mengenakan jubah sutra tipis dan wajah tanpa riasan. Natural. Cantik. Dan sangat milik orang lain sekarang.“Pagi yang menyenangkan, Rico,” sapa Adellia, berusaha terdengar tenang.“Kita bisa bicara baik-baik, bukan?”Keenan menyilangkan tangan. “Bicara tentang apa? Tentang bagaimana kau meningg
Keenan menoleh, menatapnya dengan tatapan sulit dibaca. “Bukan takut. Aku hanya tak ingin jadi pria pertama yang kau benci... di ranjang.”Pintu tertutup perlahan.Dan untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan itu, Adel merasa, tidak yakin siapa yang sebenarnya bermain api di pernikahan kontrak ini.Aroma rosemary dan bawang putih memenuhi seluruh lantai atas penthouse malam itu. Lampu gantung kristal menyala lembut di atas meja makan marmer panjang, yang kini hanya dihuni dua piring dan dua gelas wine.Adel memandang pemandangan di hadapannya dengan canggung. Pria yang kini sah menjadi suaminya duduk di ujung meja, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku. Tangan kirinya sibuk menuang anggur ke gelasnya sendiri, sementara tangan kanan menekan sesuatu di ponsel."Benar-benar romantis," gumam Adel sarkastik. Ia menyibak anak rambut dari wajahnya, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang entah datang dari mana.Keenan mengangkat alis, masih belum menatapnya. "Kita sepakat ini
“Pernikahan, kontrak?” gumam Adellia, nyaris tak percaya. “Kamu tidak sedang mabuk, kan?”Keenan hanya menghela napas pendek, lalu melangkah perlahan ke arah sofa. Ia duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, dan menyandarkan tubuh ke sandaran seolah tak terburu waktu.“Rico mengincar warisan keluargamu. Qalest menginginkan posisi dan pengaruh.” Nada suaranya tetap tenang, tapi sarat dengan ketegasan. “Dan kamu... hanyalah batu sandungan yang mereka rencanakan untuk disingkirkan setelah akad.”Adellia menelan ludah. Kata-kata itu seperti cambuk yang menyayat kesadarannya. Tapi Keenan belum selesai.Ia menatapnya lurus, sorot matanya setajam belati.“Kamu ingin mereka menang, Adellia?” tanyanya pelan, tapi dinginnya menusuk seperti baja.“Apa kamu, sudah tahu soal Rico dan Qalest?”Keenan terdiam sejenak sebelum menjawab.“Sudah cukup lama. Tapi kamu butuh melihatnya sendiri untuk percaya, bukan?”Adellia merasa lututnya lemas. Ia menggigit bibir, mencoba menahan luapan emosi yang kembal