“Sisi lain Mas Arkan yang baru aku tahu tuh ternyata bucin ya.”Arkan yang tengah menyendok keripik ke dalam plastik menoleh. Tak jauh darinya, Keira asyik melihat-lihat berbagai kotak kaca yang berisi makanan beraneka macam. Tatapan Arkan turun ke tangannya yang berisi berbagai macam makanan.“Ini bukan bucin, Kei,” balas Arkan. “Nanti kalau kamu udah nikah dan pengen sesuatu, kamu pasti bakalan minta suamimu buat beliin apapun yang kamu mau ke luar.”Keira mencibir. “Masa sih?”“Mas yakin sih, kamu bakalan minta macam-macam ke Ivan nanti. Kamu kan manja.”Pipi Keira merah padam seketika. Dibalikkannya badan, membiarkan Arkan sibuk dengan belanjaannya.Saat dia berbalik lagi, gadis itu dibuat kaget dengan makanan yang menumpuk di nampan.“Mas lapar atau udah seminggu gak makan?” ejek Keira.“Buat persediaan Hana di atas, biar dia gak nekat turun karena lapar pas gak ada orang di rumah,” balas Arkan cuek. “Kamu mau beli sesuatu gak?”“Beli apa?” tanya Keira balik.Arkan mengembuskan n
“Mas kok lama?” protes Hana begitu dia tiba di lantai tiga. Kali ini, istrinya berkumpul bersama Aisyah, Zara, dan Salwa yang sibuk mengobrol.Arkan meletakkan toples berisi kerupuk ikan di depan Hana sambil berkata, “Mas beliin banyak jajanan buat kamu, jadi maaf ya kalo lama.”“Mas beli apa aja?” tanya Hana sebelum menyeruput teh-nya.“Ya banyak pokoknya. Mas simpan di kamar semua, jadi kamu gak perlu turun kalo pas semua orang lagi ngaji.”Hana mengangguk. Dibukanya toples, mengucapkan bismillah, kemudian mulai melahapnya pelan-pelan.“Umi lagi nulis apa?” tanya Arkan.Salwa mendongak, menjawab lembut, “Daftar penerima bantuan buat anak yatim tahun ini.”Arkan berusaha mengintip, namun bahunya ditampar pelan oleh Zara.“Mau tahu aja,” ejeknya.Arkan mencibir, lalu menatap istrinya yang sibuk membaca buku fiqih sambil makan. Dehaman iseng Zara membuat Arkan menoleh.“Mbak iri?” tanya Arkan.Zara menggeleng, tampangnya terlihat polos luar biasa. Salwa dan Aisyah mengulum senyum, seme
Ba'da shalat Maghrib, seperti biasa Hana bersantai di sofa sambil mengulang kembali hafalannya. Sesekali ditatapnya keramaian di halaman, lantas memperbaiki posisi. Kali ini menurunkan tangan dan mengelus perut.Sepanjang hari, hatinya terus merasa bahagia. Selain karena Arkan menemaninya seharian di rumah, pria itu begitu menjaganya dan tidak sekalipun jauh-jauh darinya. Bahkan saat Hana bersandar di bahunya sambil memperhatikan layar laptop dan bertanya-tanya tentang pekerjaannya, tidak sekalipun Arkan menggoda maupun protes. Malah menjawab dengan sabar, mendekap bahunya semakin erat, dan sesekali mencium dahinya.Bersama Arkan, Hana perlahan mulai melupakan satu per satu masa lalu buruknya. Tingkah Arkan yang tak pernah berhenti membuatnya tertawa, tersenyum, dan mengomel sedikit demi sedikit membuat Hana bisa berdamai.Setiap harinya, Hana tidak pernah berhenti berdoa agar pernikahan mereka awet hingga ke surga. Setiap harinya pula, dia selalu berharap agar selalu bisa membahagiak
“Itu apa, Mas?” tanya Hana saat Arkan menekuni catatan di sebelahnya.“Daftar acara. Sepanjang minggu di bulan depan, Mas harus ngisi kajian kitab kuning, seminar, dan ceramah penting di beberapa kota.” Arkan mencoret-coret kertasnya sejenak, lalu melanjutkan, “Nanti kita tanya dokter Fiona apa kamu udah boleh pergi jauh.”Hana terkejut. “Aku boleh nemenin Mas?”Arkan mengangguk.“Nanti kita sekalian jalan-jalan. Mau kemana? Mas turutin.”Hana tidak menjawab dan malah menyandarkan kepala di lengan Arkan. Pria itu tersenyum, lalu melingkarkan lengannya yang lain ke bahu istrinya sambil terus menulis.“Aku seneng. Akhirnya gak terkurung di kamar ini lagi,” bisiknya.Arkan tertawa. Ditundukkannya kepala dan mencium dahi Hana.“Kan ini buat kebaikanmu juga.”Hana mengangguk. Dilepasnya pelukan Arkan dan merebahkan kepala di paha suaminya.“Mas.” Arkan ber-hmm.“Aku cinta sama Mas.”Bibir Arkan tak kuasa menahan senyum. Dikecupnya dahi Hana dengan lembut, lalu merapikan rambut istrinya ya
Paginya saat semua orang sudah berangkat bekerja dan Hana sudah menyelesaikan hafalannya, mendadak ponselnya kembali berdenting.Hana meletakkan bukunya, lalu meraih ponsel dan membukanya dengan malas-malasan. Bibirnya menggumam, ‘Dari kemarin kerjanya ganggu mulu.’[Dasar sundal!]Sekujur tubuh Hana merinding. Tangannya bahkan bergetar hebat, takut membaca pesan teror tersebut.“Ning mau makan sekarang?” tanya Nina yang kebetulan naik untuk mengambil baju kotor anak-anak.Hana menggeleng. Ditunjuknya toples makanan.Nina tidak menjawab lagi dan menunduk sopan sebelum akhirnya pergi. Hana kembali meraih buku fiqih tentang shalat dan lanjut membacanya.“Permisi, Ning. Ada paket buat Ning Hana.” Mendadak Latifah naik dan mengangsurkan sebuah benda seukuran novel ke depan Hana.Hana seketika mengelap tangan dengan tisu, kemudian menerimanya dan bertanya ramah, “Dari siapa, Mbak?”“Saya gak tahu, Ning. Tadi dikasih satpam yang jaga di depan.”Hana diam sejenak, lalu meraih cutter dari lem
Satu bulan kemudian...“Yee, jalan-jalan!”Hana tertawa saat Keira memasuki bangku belakang dengan riang. Di bangku tengah, ada Zara yang sibuk bekerja. Sementara di luar, Arkan dan Faris bolak-balik mengambil barang dari teras menuju mobil.“Kei, jangan lompat-lompat. Kalau masih berisik, mendingan kamu tinggal di rumah aja,” omel Zara tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.Hana terkekeh, lalu kembali bersandar dan melanjutkan hafalannya. Di luar, santri-santri yang baru kembali dari sekolah siang sesekali melirik ke arah mobil. Tak lama, Naura masuk dan ikut duduk di sebelah Keira.“Tadi aku jajan dulu,” tutur Naura tanpa diminta. “Ada yang mau?”“Mbak mau.” Zara menjulurkan tangan, namun Naura membuka plastik dan meletakkannya di meja yang membatasi antara kedua bangku. Gadis itu lalu bersandar sambil memainkan ponselnya.“Tadi Umi nitip pesan supaya Hana nanti jaga makan. Jangan jajan sembarangan.” Naura kembali berkata.Hana mendecak. “Gak bisa cobain bakwan malang dong nanti.”
“Setiap orang punya keahlian, Mbak.” Hana tertawa. “Pilihannya ada dua; dia mau mengembangkan dan memanfaatkannya jadi sumber penghasilan atau dibiarin layu dan mati. Aku yang pertama, Mentari yang kedua.”“Kalau punya semangat, dia bisa jadi Antoni Gaudi abad 21. Atau Michelangelo versi perempuan. Tapi dia lebih suka santai dan dilayani. Ya aku bisa apa.” Hana tertawa lagi. Di dalam hati, dia memuji diri sendiri yang sudah lebih tenang saat bercerita tentang keluarganya. Mungkin ini semua karena kesabaran Arkan yang begitu besar terhadap dirinya.Pukul setengah empat sore, satu jam pertama setelah perjalanan, Arkan membelokkan mobil ke sebuah pom bensin. Zara dan Faris meloncat turun, pamit hendak ke kamar kecil yang berada di minimarket tak jauh dari tempat pengisian bensin.“Kamu mau dibeliin sesuatu?” tanya Arkan setelah menepikan mobil. Di belakang, Naura dan Keira adu mulut sejenak sebelum turun berdua dan berlari menuju minimarket.“Kita udah punya banyak makanan di belakang.”
“Sayang, bangun. Kita udah sampai."Hana membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah senyum lembut yang terbit dari bibir suaminya. Wanita itu tersenyum kecil, berusaha menegakkan tubuh meski akhirnya mendesis.“Ngilu,” bisik Hana sambil memegangi pinggang. Sejak usia kandungannya memasuki bulan keempat, pinggangnya mulai berdenyut ngilu setiap saat. Hana sudah berusaha meminimalisirnya dengan melakukan pekerjaan rumah yang ringan, tapi pada akhirnya dia dilarang oleh Salwa dan dirinya hanya bisa puas dengan mengerjakan pekerjaan ringan di kantor humas asrama.“Mau Mas bantu jalan?” tanya Arkan lembut. Satu tangannya terulur, memijat bahu istrinya dengan lembut.“Kakiku masih ada.” Hana menolak dengan halus. Dilepasnya safety-belt dan membuka pintu mobil, kemudian turun dan bersandar di pintu.Hal kedua yang dilihat Hana begitu turun adalah sebuah halaman seluas setengah lapangan bola. Beberapa mobil box dan mobil bak terparkir rapi, berikut tembok-tembok rendah dengan sulur tanam