“Kamu baik-baik aja, Han?”
Hana mengangguk. Ponselnya tidak berhenti berdering sejak tadi. Ratusan chat dari Fahmi, Tari, dan Naira bergantian masuk, mendesaknya untuk mengirimkan uang. Denting notifikasi membuat kepalanya semakin berdenyut-denyut, namun Hana tidak berani mematikan ponsel karena tahu kalau keributan akan semakin parah jika dia bersikap begitu.“Mas matiin aja ya HP-nya.” Arkan berkata sambil meraih ponsel tersebut. Hana tidak menjawab, hanya menatap datar sambil memeluk bantalnya.Di depan mereka, Salwa bertanya, “Kamu mau izin aja, Nduk?”Belum jadi Hana menjawab, ponselnya kembali berdering. Arkan melirik dengan ekspresi putus asa, kontras dengan Hana yang menatap lurus ke depan. Di dalam hati, dia memuji kegigihan Naira yang beralih menelepon Arkan ketika tidak diacuhkan olehnya.“Assalamualaikum.” Arkan berkata lebih dulu sambil mengusap dada. Jelas dia kaget dengan hardikan Naira yang langsung mengatai Hana dengan sederet makian mengerikan. “Hana lagi istirahat, Bu. Dia kurang sehat dari kemarin.”Sambil memutar bola mata, Arkan menyalakan fitur loud-speaker. Makian kasar itu bergema ke sekeliling kamar, diiringi dengan nada benci seolah Naira muak sekali dengan Hana. Salwa dan Hana terus menunggu hingga akhirnya Naira menutup telepon setelah menitipkan pesan mengancam pada Hana.“Sabar ya, Nduk. Doakan ibumu.”Salwa tidak mau mengajarkan Hana untuk membenci ibunya sendiri. Menurutnya, Hana hanya harus bersabar hingga Naira berubah suatu saat nanti.“Iya, Umi,” sahut Hana pelan. “Ibu gak salah. Yang salah itu Hana karena gak pernah mau dengerin ucapan beliau.”“Jangan terus menyalahkan diri sendiri,” balas Arkan tak suka. Dia lalu bangkit sambil menggumam, “Ustadzah Septia mana sih? Lama banget.”Sepeninggal Arkan, Hana meluruskan posisi. Sesekali dihirupnya minyak aroma therapy di tangannya, lalu menatap Salwa yang tidak berhenti memandangnya sejak tadi.“Umi kenapa?”Salwa tidak menjawab. Berbagai spekulasi mencuat di benaknya, namun dia tidak tahu mana yang akan ditanyakannya lebih dulu.“Umi?”“Kamu....”Mereka menoleh saat mendengar bunyi gemerisik di luar kamar. Arkan menatap Septia dengan sorot sebal, kontras dengan ekspresi wanita muda tersebut yang terlihat geli.“Saya baru aja selesai meriksa santri putra, Gus.”“Jarak dari unit kesehatan ke sini deket lho, Ustadzah. Lagian Hana muntah-muntah dari tadi. Saya takut dia kenapa-kenapa.” Arkan membalas tak kalah sebal.Septia mengangguk-angguk. “Ya sudah. Maaf ya, Gus, karena saya lama sampainya. Nah, dimana Hana sekarang?”Dituntun Arkan, Septia memasuki kamar dan langsung mendekati ranjang. Sebelum itu diulurkannya tangan dan mencium tangan Salwa, lalu menatap Hana.“Maag-mu kambuh lagi?”“Mungkin, Ustadzah.” Hana menjawab pelan. “Soalnya semalam saya gak makan.”Sambil mengeluarkan perlengkapan bekerjanya, Septia kembali bertanya, “Kenapa gak makan? Kamu mau maag-nya tambah parah lalu berubah jadi asam lambung?”Hana tidak menjawab. Dibiarkannya Septia memeriksanya, ekspresinya terlihat dingin saat wanita muda itu meliriknya dengan sorot mata penuh arti.“Hana kenapa, Ustadzah?” desak Arkan.Septia menegakkan punggung dan melepaskan tensimeter, lalu berbisik di telinga Salwa. Mata Salwa melebar sebelum akhirnya berbisik di telinga putranya.“Mas harus beli....” Ucapannya terhenti saat Septia memelototinya. Arkan lalu berdeham dan melanjutkan, “Beli obat buat kamu. Tunggu sebentar ya, Han.”Hana mengangguk. Ekspresinya tetap tidak berubah meski Arkan sudah pergi, membuat Septia kebingungan. Dia menoleh pada Salwa sejenak, lalu membereskan barang-barangnya dan berjalan ke arah jendela.Di belakang, Salwa mengikutinya.“Hana kenapa, Ustadzah?” tanya Salwa.Septia melirik Hana yang tetap melamun sambil mengulang hafalannya, kemudian kembali menatap Salwa.“Sudah berapa lama Hana kayak begini, Bu?” balasnya pelan.“Udah beberapa minggu. Dia sering marah-marah dan nangis terus.”Septia memutar-mutar stetoskop di tangannya, lalu melirik Hana sekali lagi sebelum kembali menatap Salwa.“Ini baru perkiraan saya, tapi kayaknya Hana hamil, Bu.”Mata Salwa melebar, kaget. Mendadak semua kepingan puzzle yang coba diingatnya sejak tadi mulai tersusun rapi. Bagaimana keheranannya ketika Hana yang terus shalat selama beberapa minggu terakhir, perubahan emosinya yang drastis, dan keinginannya untuk makan makanan tertentu. Arkan tentu saja menurutinya tanpa banyak tanya, namun sebagai perempuan, Salwa merasa aneh dengan itu semua.“Beneran?” tanyanya tak percaya.“Untuk lebih pastinya, lebih baik kita tunggu Gus Arkan dulu, Bu.”Setengah jam kemudian, Arkan muncul dengan napas terengah-engah. Satu tangannya menenteng plastik putih yang langsung diberikannya pada Septia. Wanita itu lantas mendekati Hana dan menyentuh tangannya.“Coba kamu tes pakai ini, Han.”Ekspresi Hana berubah bingung saat menerima test-pack yang disodorkan Septia. Dipandanginya Arkan, namun pria itu hanya mengangguk memberinya semangat.Sepeninggal Hana ke kamar mandi, Septia yang sudah tak bisa membendung rasa penasarannya bertanya, “Hana kenapa, Bu? Saya lihat dia murung terus dari tadi.”Dengan muram, Salwa menceritakan tentang yang terjadi sepanjang hari kemarin. Ekspresi Septia berubah simpati, ingat bahwa satu tahun lalu, Naira juga pernah membuat drama serupa hingga Hana lari dari kantin saat masa kunjungan.“Bukannya saya mau ikut campur, tapi kenapa ibunya bisa kayak begitu ya, Bu? Selama ini saya perhatiin Hana dan tahu kalau dia anak yang baik, tapi kenapa ibunya terus aja nyamain dia sama setan? Ehm.” Ekspresi Septia berubah salah tingkah saat Arkan menatapnya tajam. “Saya ingat beberapa pengurus yang ikut jaga di kantin tahun lalu cerita kalau Hana dikatain ibunya begitu. Udah lama saya pengen nanyain, tapi takut kalau dia jadi kepikiran dan murung lagi.”“Saya juga gak tahu, Ustadzah. Normalnya, semarah apapun orangtua terhadap anaknya, gak ada yang sampai menghina anak dengan makian serem kayak gitu. Tapi Bu Naira lain. Dia tega nyamain Hana sama iblis, meski yang dia lakuin cuma kesalahan kecil....”Obrolan mereka terhenti saat Hana mendekat dan menyentuh bahu Arkan. Diberikannya test-pack tersebut dengan senyum kecil.“Ini beneran, Han?” tanyanya tak percaya.Hana mengangguk. Tanpa malu, Arkan langsung maju dan memeluknya, mengundang tawa geli Hana dan senyum dari Salwa dan Septia.“Ehm.” Septia berdeham. Di sebelahnya, Hana tertawa saat suaminya buru-buru melepas pelukan dan berdeham dengan wajah semerah kepiting rebus.“Untuk lebih pastinya, lebih baik dicek lagi ke rumah sakit ya, Gus. Supaya dokter disana bisa memeriksa lebih detail dan ngasih tahu apa yang harus dikonsumsi Hana selama beberapa bulan ke depan.”Arkan mengangguk.Sepeninggal Septia, Arkan kembali menatap istrinya sambil tersenyum lebar. Sekali lagi diciumnya seluruh wajah Hana dan menatapnya senang.“Ibu?”Hanya dengan satu kata itu, kebahagiaan seakan tersapu dari wajah mereka. Ekspresi Hana berubah tegang, juga dengan Arkan yang takut sebelum akhirnya kembali tenang. Dituntunnya Hana untuk duduk di pinggir ranjang dan menatapnya tepat di mata.“Ibu kenapa?”“Gimana kalau beliau tahu, Mas?” tanya Hana lagi.Beberapa tahun lalu sebelum mondok di pesantren keluarga Arkan, Naira yang tidak pernah melewatkan hari untuk memakinya selalu mengatainya ‘caper’ ketika Hana sedang sakit. Saat Hana meminta diperiksakan ke puskesmas karena sakit kepalanya tidak kunjung sembuh, Naira mengatainya berlebihan. Saat Hana demam berhari-hari hingga sekujur tubuhnya ngilu, Naira mengatainya pemalas karena rumah terlihat berantakan sementara kedua adiknya yang lain dibiarkan bermalas-malasan. Hana tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia memberitahukan kabar bahagia ini, tapi yang pasti jantungnya berdebar dua kali lebih kencang. Sama seperti perasaan ketika Naira memelototi dan mulai melayangkan sederet makian andalannya.“Kamu mau kasih tahu?” Arkan bertanya balikHana spontan menggeleng.“Ya udah. Kalau beliau gak tanya, gak usah dikasih tahu dulu.”“Aku bisa jalan sendiri.”Arkan tidak menghiraukannya. Setengah menyeret, dibawanya Hana menuju elevator dan menekan tombol angka empat.“Mas kayaknya seneng,” gumam Hana.Arkan menunduk untuk mencium dahi Hana, kemudian berkata, “Mas bakalan jadi ayah. Gimana gak seneng?”Pipi Hana menghangat. Arkan terkekeh, lalu membiarkan Hana masuk lebih dulu. Perawat yang baru keluar tersenyum melihat kemesraan mereka.“Kamu mikirin apa?” tanya Arkan saat lift naik menuju lantai empat.“Perawat tadi,” ucap Hana. “Mungkin dia mikir kalau kita gak tahu malu banget pelukan di ruang publik.”Arkan tertawa.“Biarin aja. Yang penting kita gak mengganggu orang lain.”Hana mengangguk.Tiba di lantai empat, Arkan memperhatikan catatan di tangannya dan menatap ke sekeliling. Disipitkannya mata, lalu menghampiri ruangan yang terletak di ujung koridor.“Dokter Fiona,” gumam Arkan. Dicocokkannya catatan dengan plang yang tertempel di pintu, lalu menjejalkan kertas ke saku kemeja koko dan mengetuk pintu ruang
“Aku ngerasa gak enak karena udah bohongin Keira.”Atas paksaan Arkan, Hana akhirnya mengalah dan tidak ikut turun untuk makan malam. Sebagai gantinya, pria itu membawakan makanannya ke atas dan makan berdua di depan kamar.“Bohong gimana?” tanya Arkan sambil memisahkan daging ikan dari tulangnya.“Karena kita gak ngomong apa-apa. Harusnya kita kasih tahu.” Hana menjulurkan tangan, hendak meraih potongan ikan goreng saat tangan Arkan menampar tangannya.“Jangan dibiasain!” serunya galak.Hana bersungut-sungut, namun tidak membantah lagi dan bersandar ke dinding. Diperhatikannya Arkan yang masih tekun memisahkan lauk.“Nih.” Arkan mengulurkan sendok, lalu mulai makan. Setelah menelan suapan pertamanya, dia berkata, “Biar kita bertiga dulu yang tahu. Yang lain juga bakalan tahu nanti kalau udah lihat perubahan di diri kamu.”“Tapi aku ngerasa berdosa,” ucap Hana sambil menyingkirkan brokolinya.“Kamu tahu pamali gak sih?” tanya Arkan tak senang.“Pamali apa?” tanya Hana polos.“Usia kan
“Anak-anak lain udah pada tanya-tanya kenapa kamu digendong Mas Arkan kemarin.”Hana menaikkan sebelah alis, bertanya geli, “Terus jawabannya?”“Kubilang karena kamu lagi sakit. Eh, emangnya kamu beneran sakit?” tanya Naura penasaran.Hana menggeleng. Disesapnya teh hijau yang sebelumnya dibawakan salah satu khadimah.“Terus kenapa kamu kemarin muntah-muntah? Keracunan?” tanya Naura lagi.Keira yang sejak tadi mengintip ke bawah membalas sinis, “Jangan pura-pura gak tahu, Ra.”“Kok kamu malah ngatain aku?” tanya Naura galak.“Oh, jelas. Kamu masih pura-pura gak tahu kalau sebentar lagi kita mau punya keponakan baru?”Naura melotot, lalu menatap Hana dan bertanya dengan nada bersemangat, “Beneran, Han? Kamu hamil?”Hana mengangguk.“Jangan kasih tahu temen-temen yang lain dulu,” lanjut Hana cepat-cepat. “Biar jadi kejutan.”“Kenapa? Semua orang pastinya bakalan seneng kan?” tanya Naura bingung.“Jangan sekarang.”“Kamu takut ibu kamu tahu?” tebak Keira.Hana mengangguk. Diseruputnya la
“Mas janji bakalan cepet pulang, Han.”Selepas shalat tahajud dan membereskan barang bawaan, Arkan mengajak istrinya untuk duduk di depan jendela. Satu tangannya merangkul pinggang istrinya, sementara matanya tertuju ke halaman asrama yang sepi.“Aku tahu. Mas gak pernah betah di luar rumah lama-lama.”“Kalau gitu jangan sedih,” pinta Arkan. “Nanti Mas yang berat ninggalin kamu.”Hana tersenyum. Ekspresinya terlihat teduh saat berkata, “Aku gak apa-apa, Mas. Serius. Kita kan tetep bisa video-call, bisa kirim voice-note, atau saling ngasih kabar. Yang penting Mas fokus aja sama pekerjaan disana. Jangan khawatirin aku.”Arkan menunduk. Hana terus menatapnya dengan senyum yang tidak pudar sedikitpun. Disunggingkannya senyum kecil dan mengangguk.“Yang penting kamu ingat pesan Mas. Gak boleh keluar asrama. Gak boleh nulis sampai begadang. Gak boleh melamun sendirian. Nanti Mas minta Keira buat nemenin kamu.”Hana mengangguk.“Udah tahu mau dibeliin apa?” tanya Arkan penasaran.“Enggak usa
“Kamu udah makan siang?”Hana mengangguk, satu tangannya menyendok potongan buah yang dibawakan Aisyah.“Vitaminnya udah diminum?”“Udah, Mas. Kok bawel bener sih,” gelak Hana.“Mas khawatir sama kamu, Sayang,” balas Arkan tak mau kalah. “Mas kepikiran siapa yang nyuapin kamu kalau Mas gak di rumah kayak sekarang. Kamu kan males disuruh makan.”“Aku bukan anak kecil, Mas,” balas Hana masam.“Emang anak kecil doang yang disuapin?” tanya Arkan geli. Sambil berkata begitu, tangannya menyuap potongan buah ke mulut dan melambaikan tangan entah pada siapa.Hana mendengus. Mendadak dia muak melihat wajah suaminya, jadi diberikannya ponsel pada Zara dan berkata, “Tolong Mbak Zara yang urusin ya. Aku males lihat mukanya.”Sambil menahan tawa, Zara melambaikan tangan dan berkata, “Maklum, Ar. Bumil pusing dari pagi, jadi kerjanya ngomel terus. Keira aja udah kena marah beberapa kali.”“Oh, kalo yang terakhir itu sih bodo amat.”Aisyah, Zara, Naura, bahkan Hana tidak bisa menahan tawa. Kontras d
“Hana gak apa-apa kan?”Keira dan Naura mengangguk. Aisyah dan Riza bertatapan, begitu juga dengan para khadimah yang lain.“Apa pintu depannya gak ditutup?” tanya Aisyah serius.“Di-ditutup, Ning. Saya sendiri yang nutup karena mau ke kantin.” Latifah menjawab terbata-bata.“Terus kalian tahu siapa yang masuk?” tanya Riza.Keira dan Naura menggeleng.“Tapi dia pake baju hitam-hitam, Mas. Mukanya juga ditutup topi.”Dahi Aisyah berkerut, membuat Naura buru-buru menambahkan, “Topi yang biasa dipake pencuri itu, Mbak. Bolongnya di bagian mata sama mulut doang.”Semua orang berpandangan. Dengan absennya Arkan, mereka begitu takut membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada Hana jika tidak ada siapapun di rumah.“Gimana kalau dia masuk lagi, Umi?” rengek Keira. “Kita gak bisa menjamin apa dia gak berani masuk lagi meski tadi Keira udah mukulin kepalanya pake buku tebal.”“Astaghfirullah,” seru Salwa kaget, sementara Keira menyeringai dengan ekspresi bersalah.“Dia narik kepala Hana tadi,
Pukul setengah tiga malam, Hana terbangun dan merasakan sekujur tubuhnya pegal. Diliriknya ponsel yang sudah menghitam. Selama tiga jam, dia mengobrol dengan Arkan yang membicarakan berbagai hal. Mulai dari pekerjaan selama di Rembang, Salwa yang menemaninya setiap pagi, juga buku-buku yang dibacanya beberapa hari terakhir. Kamarnya sudah gelap, juga pintunya tertutup rapat. ‘Mungkin Umi langsung tidur,’ pikirnya sambil turun.Sambil mengucek mata, Hana berjalan ke kamar mandi dan berwudhu. Pantulan wajahnya di cermin membuat wanita itu berhenti sejenak, lalu maju dan mengamati lebih lekat.‘Aku jelek banget,’ pikirnya.Seumur hidup, Hana tidak pernah merasakan ketenangan. Semua hal dicobanya agar bisa merasakan kedamaian—mengebut dengan sepeda di jalanan sepi, mendengarkan musik rock dengan volume maksimum, bahkan menyiksa diri. Bukannya tenang, jiwanya makin meronta dan over-thinking setiap akan tidur hingga membuat Hana insomnia.Hingga hari itu tiba.Mungkin Allah SWT memberinya
“Assalamu’alaikum, Han. Bunâ.” Alina melambaikan tangan, kemudian kembali menunduk menekuni sesuatu.“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Mbak?” tanya Hana ramah.“Terkurung di rumah, jelas gak baik-baik aja.” Alina membalas masam. Wanita itu kali ini mengarahkan wajah pada kamera, satu tangannya tengah memeluk mangkuk sementara tangan yang lain mengaduk sesuatu.“Sakit lagi?” tanya Hana khawatir. Alina dan kata ‘sakit' bukanlah hal yang luar biasa, mengingat kalau wanita itu pernah mengalami kejadian mengerikan di masa lalunya. “Mas Fauzan mana?”“Kerja dong. Kamu sendiri kenapa malah nyantai kayak istri sultan gitu? Libur?” celetuk Alina asal.Hana terbahak, lantas menjawab, “Aku libur. Cuti sampai bulan depan.”“Oh, sakit juga?” tanya Alina prihatin.Hana tidak menjawab dan kembali melahap mangganya.“Mana Arkan?” tanyanya penasaran.“Ke Rembang.”Di layar, Alina menyipitkan mata dan berkata, “Biasanya kamu ikut. Mbak gak lupa lho kalau kamu hobi update story lagi nemenin Arkan kemana aja.