Share

Kabar Bahagia

last update Last Updated: 2022-12-09 16:04:31

“Kamu baik-baik aja, Han?”

Hana mengangguk. Ponselnya tidak berhenti berdering sejak tadi. Ratusan chat dari Fahmi, Tari, dan Naira bergantian masuk, mendesaknya untuk mengirimkan uang. Denting notifikasi membuat kepalanya semakin berdenyut-denyut, namun Hana tidak berani mematikan ponsel karena tahu kalau keributan akan semakin parah jika dia bersikap begitu.

“Mas matiin aja ya HP-nya.” Arkan berkata sambil meraih ponsel tersebut. Hana tidak menjawab, hanya menatap datar sambil memeluk bantalnya.

Di depan mereka, Salwa bertanya, “Kamu mau izin aja, Nduk?”

Belum jadi Hana menjawab, ponselnya kembali berdering. Arkan melirik dengan ekspresi putus asa, kontras dengan Hana yang menatap lurus ke depan. Di dalam hati, dia memuji kegigihan Naira yang beralih menelepon Arkan ketika tidak diacuhkan olehnya.

“Assalamualaikum.” Arkan berkata lebih dulu sambil mengusap dada. Jelas dia kaget dengan hardikan Naira yang langsung mengatai Hana dengan sederet makian mengerikan. “Hana lagi istirahat, Bu. Dia kurang sehat dari kemarin.”

Sambil memutar bola mata, Arkan menyalakan fitur loud-speaker. Makian kasar itu bergema ke sekeliling kamar, diiringi dengan nada benci seolah Naira muak sekali dengan Hana. Salwa dan Hana terus menunggu hingga akhirnya Naira menutup telepon setelah menitipkan pesan mengancam pada Hana.

“Sabar ya, Nduk. Doakan ibumu.”

Salwa tidak mau mengajarkan Hana untuk membenci ibunya sendiri. Menurutnya, Hana hanya harus bersabar hingga Naira berubah suatu saat nanti.

“Iya, Umi,” sahut Hana pelan. “Ibu gak salah. Yang salah itu Hana karena gak pernah mau dengerin ucapan beliau.”

“Jangan terus menyalahkan diri sendiri,” balas Arkan tak suka. Dia lalu bangkit sambil menggumam, “Ustadzah Septia mana sih? Lama banget.”

Sepeninggal Arkan, Hana meluruskan posisi. Sesekali dihirupnya minyak aroma therapy di tangannya, lalu menatap Salwa yang tidak berhenti memandangnya sejak tadi.

“Umi kenapa?”

Salwa tidak menjawab. Berbagai spekulasi mencuat di benaknya, namun dia tidak tahu mana yang akan ditanyakannya lebih dulu.

“Umi?”

“Kamu....”

Mereka menoleh saat mendengar bunyi gemerisik di luar kamar. Arkan menatap Septia dengan sorot sebal, kontras dengan ekspresi wanita muda tersebut yang terlihat geli.

“Saya baru aja selesai meriksa santri putra, Gus.”

“Jarak dari unit kesehatan ke sini deket lho, Ustadzah. Lagian Hana muntah-muntah dari tadi. Saya takut dia kenapa-kenapa.” Arkan membalas tak kalah sebal.

Septia mengangguk-angguk. “Ya sudah. Maaf ya, Gus, karena saya lama sampainya. Nah, dimana Hana sekarang?”

Dituntun Arkan, Septia memasuki kamar dan langsung mendekati ranjang. Sebelum itu diulurkannya tangan dan mencium tangan Salwa, lalu menatap Hana.

“Maag-mu kambuh lagi?”

“Mungkin, Ustadzah.” Hana menjawab pelan. “Soalnya semalam saya gak makan.”

Sambil mengeluarkan perlengkapan bekerjanya, Septia kembali bertanya, “Kenapa gak makan? Kamu mau maag-nya tambah parah lalu berubah jadi asam lambung?”

Hana tidak menjawab. Dibiarkannya Septia memeriksanya, ekspresinya terlihat dingin saat wanita muda itu meliriknya dengan sorot mata penuh arti.

“Hana kenapa, Ustadzah?” desak Arkan.

Septia menegakkan punggung dan melepaskan tensimeter, lalu berbisik di telinga Salwa. Mata Salwa melebar sebelum akhirnya berbisik di telinga putranya.

“Mas harus beli....” Ucapannya terhenti saat Septia memelototinya. Arkan lalu berdeham dan melanjutkan, “Beli obat buat kamu. Tunggu sebentar ya, Han.”

Hana mengangguk. Ekspresinya tetap tidak berubah meski Arkan sudah pergi, membuat Septia kebingungan. Dia menoleh pada Salwa sejenak, lalu membereskan barang-barangnya dan berjalan ke arah jendela.

Di belakang, Salwa mengikutinya.

“Hana kenapa, Ustadzah?” tanya Salwa.

Septia melirik Hana yang tetap melamun sambil mengulang hafalannya, kemudian kembali menatap Salwa.

“Sudah berapa lama Hana kayak begini, Bu?” balasnya pelan.

“Udah beberapa minggu. Dia sering marah-marah dan nangis terus.”

Septia memutar-mutar stetoskop di tangannya, lalu melirik Hana sekali lagi sebelum kembali menatap Salwa.

“Ini baru perkiraan saya, tapi kayaknya Hana hamil, Bu.”

Mata Salwa melebar, kaget. Mendadak semua kepingan puzzle yang coba diingatnya sejak tadi mulai tersusun rapi. Bagaimana keheranannya ketika Hana yang terus shalat selama beberapa minggu terakhir, perubahan emosinya yang drastis, dan keinginannya untuk makan makanan tertentu. Arkan tentu saja menurutinya tanpa banyak tanya, namun sebagai perempuan, Salwa merasa aneh dengan itu semua.

“Beneran?” tanyanya tak percaya.

“Untuk lebih pastinya, lebih baik kita tunggu Gus Arkan dulu, Bu.”

Setengah jam kemudian, Arkan muncul dengan napas terengah-engah. Satu tangannya menenteng plastik putih yang langsung diberikannya pada Septia. Wanita itu lantas mendekati Hana dan menyentuh tangannya.

“Coba kamu tes pakai ini, Han.”

Ekspresi Hana berubah bingung saat menerima test-pack yang disodorkan Septia. Dipandanginya Arkan, namun pria itu hanya mengangguk memberinya semangat.

Sepeninggal Hana ke kamar mandi, Septia yang sudah tak bisa membendung rasa penasarannya bertanya, “Hana kenapa, Bu? Saya lihat dia murung terus dari tadi.”

Dengan muram, Salwa menceritakan tentang yang terjadi sepanjang hari kemarin. Ekspresi Septia berubah simpati, ingat bahwa satu tahun lalu, Naira juga pernah membuat drama serupa hingga Hana lari dari kantin saat masa kunjungan.

“Bukannya saya mau ikut campur, tapi kenapa ibunya bisa kayak begitu ya, Bu? Selama ini saya perhatiin Hana dan tahu kalau dia anak yang baik, tapi kenapa ibunya terus aja nyamain dia sama setan? Ehm.” Ekspresi Septia berubah salah tingkah saat Arkan menatapnya tajam. “Saya ingat beberapa pengurus yang ikut jaga di kantin tahun lalu cerita kalau Hana dikatain ibunya begitu. Udah lama saya pengen nanyain, tapi takut kalau dia jadi kepikiran dan murung lagi.”

“Saya juga gak tahu, Ustadzah. Normalnya, semarah apapun orangtua terhadap anaknya, gak ada yang sampai menghina anak dengan makian serem kayak gitu. Tapi Bu Naira lain. Dia tega nyamain Hana sama iblis, meski yang dia lakuin cuma kesalahan kecil....”

Obrolan mereka terhenti saat Hana mendekat dan menyentuh bahu Arkan. Diberikannya test-pack tersebut dengan senyum kecil.

“Ini beneran, Han?” tanyanya tak percaya.

Hana mengangguk. Tanpa malu, Arkan langsung maju dan memeluknya, mengundang tawa geli Hana dan senyum dari Salwa dan Septia.

“Ehm.” Septia berdeham. Di sebelahnya, Hana tertawa saat suaminya buru-buru melepas pelukan dan berdeham dengan wajah semerah kepiting rebus.

“Untuk lebih pastinya, lebih baik dicek lagi ke rumah sakit ya, Gus. Supaya dokter disana bisa memeriksa lebih detail dan ngasih tahu apa yang harus dikonsumsi Hana selama beberapa bulan ke depan.”

Arkan mengangguk.

Sepeninggal Septia, Arkan kembali menatap istrinya sambil tersenyum lebar. Sekali lagi diciumnya seluruh wajah Hana dan menatapnya senang.

“Ibu?”

Hanya dengan satu kata itu, kebahagiaan seakan tersapu dari wajah mereka. Ekspresi Hana berubah tegang, juga dengan Arkan yang takut sebelum akhirnya kembali tenang. Dituntunnya Hana untuk duduk di pinggir ranjang dan menatapnya tepat di mata.

“Ibu kenapa?”

“Gimana kalau beliau tahu, Mas?” tanya Hana lagi.

Beberapa tahun lalu sebelum mondok di pesantren keluarga Arkan, Naira yang tidak pernah melewatkan hari untuk memakinya selalu mengatainya ‘caper’ ketika Hana sedang sakit. Saat Hana meminta diperiksakan ke puskesmas karena sakit kepalanya tidak kunjung sembuh, Naira mengatainya berlebihan. Saat Hana demam berhari-hari hingga sekujur tubuhnya ngilu, Naira mengatainya pemalas karena rumah terlihat berantakan sementara kedua adiknya yang lain dibiarkan bermalas-malasan. Hana tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia memberitahukan kabar bahagia ini, tapi yang pasti jantungnya berdebar dua kali lebih kencang. Sama seperti perasaan ketika Naira memelototi dan mulai melayangkan sederet makian andalannya.

“Kamu mau kasih tahu?” Arkan bertanya balik

Hana spontan menggeleng.

“Ya udah. Kalau beliau gak tanya, gak usah dikasih tahu dulu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kegelisahan Alina

    “Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Ketakutan Raina

    Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Benci Yang Mengakar Dalam

    “Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Drama Santri Baru

    “Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kegelisahan Arkan

    “Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Omelan dan Nasihat Humaira

    “Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status