Share

Kabar Bahagia (2)

“Aku bisa jalan sendiri.”

Arkan tidak menghiraukannya. Setengah menyeret, dibawanya Hana menuju elevator dan menekan tombol angka empat.

“Mas kayaknya seneng,” gumam Hana.

Arkan menunduk untuk mencium dahi Hana, kemudian berkata, “Mas bakalan jadi ayah. Gimana gak seneng?”

Pipi Hana menghangat. Arkan terkekeh, lalu membiarkan Hana masuk lebih dulu. Perawat yang baru keluar tersenyum melihat kemesraan mereka.

“Kamu mikirin apa?” tanya Arkan saat lift naik menuju lantai empat.

“Perawat tadi,” ucap Hana. “Mungkin dia mikir kalau kita gak tahu malu banget pelukan di ruang publik.”

Arkan tertawa.

“Biarin aja. Yang penting kita gak mengganggu orang lain.”

Hana mengangguk.

Tiba di lantai empat, Arkan memperhatikan catatan di tangannya dan menatap ke sekeliling. Disipitkannya mata, lalu menghampiri ruangan yang terletak di ujung koridor.

“Dokter Fiona,” gumam Arkan. Dicocokkannya catatan dengan plang yang tertempel di pintu, lalu menjejalkan kertas ke saku kemeja koko dan mengetuk pintu ruangan.

“Masuk.”

Arkan mendorong pintu, sementara Hana mengikuti di belakang sambil mencengkeram kemejanya. Mereka masuk ke sebuah ruangan luas bernuansa biru muda. Di tengah ruangan, sebuah meja kerja besar terletak bersama seorang wanita yang tengah menekuni map.

“Oh, Gus Arkan ya? Yang diceritakan Septia semalam?”

Arkan mengangguk.

“Nama saya Fiona. Dan ini istrinya? Ning Hana?” tanya Fiona ramah.

Hana mengangguk, menyalami tangan Fiona.

“Langsung kita mulai saja ya, Ning.”

Wanita itu menyingkirkan map-nya dan bangkit, kemudian menuntun Hana menuju ranjang di pojok ruangan. Dengan sopan, dimintanya Hana berbaring sementara dirinya mengenakan sarung tangan karet dan mengecek monitor USG-nya. Fiona lantas meraih gel dan mengoleskannya di perut Hana, lalu menempelkan alat USG.

Arkan yang duduk di pinggir ranjang meremas jemari Hana semakin erat saat akhirnya dokter Fiona mengatakan bahwa istrinya tengah hamil tiga bulan. Matanya terasa panas, namun itu belum seberapa saat Arkan melirik Hana. Ekspresinya yang semula datar kali ini dipenuhi kebahagiaan, meski Hana berulang kali menghapus air mata yang membasahi pelipisnya. Jemarinya membalas genggaman Arkan, senyumnya terlihat damai saat menatap suaminya tersebut.

Begitu selesai dan Fiona membersihkan perutnya dengan tisu, Hana bangkit dan berjalan dengan langkah gemetar menuju meja kerja dokter tersebut. Hatinya masih tidak percaya dengan berita ini. Dia, yang selalu disumpah-serapahi tidak akan mendapat keberkahan dalam hidupnya dan dituduh akan membunuh anaknya sendiri suatu hari nanti, mendadak mendapat rezeki yang sejak memasuki bulan keenam pernikahan selalu dia nantikan. Di satu sisi, Hana begitu bahagia. Namun disisi lain dia takut kalau orang tuanya tahu tentang hal ini.

“Saya resepkan beberapa obat ya. Ini ada obat mual dan penambah darahnya. Seperti yang mungkin dikasih tahu Septia semalam, hentikan dulu minum kopi dan sodanya sementara waktu ya, Ning. Sebagai gantinya, Ning Hana perbanyak minum jus dan air putih. Oh iya, Septia juga bilang kalau Ning Hana punya darah rendah, jadi vitamin penambah darahnya tolong diminum dengan teratur. Juga diet sehatnya jangan lupa, serta kurangi dulu kerja beratnya. Di dalam resep ini saya tulis semua makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan Ning Hana untuk tujuh bulan ke depan,” ucap Fiona sambil menyodorkan selembar kertas.

Arkan menerimanya. Diucapkannya terimakasih sebelum pamit meninggalkan ruangan tersebut, lalu menggandeng Hana berjalan ke luar. Dalam perjalanan menuju lantai satu untuk menebus obat, Hana yang memeluk pinggang Arkan dengan satu tangan berkata, “Mas, beliin jus mangga.”

Arkan mengangguk. Diciumnya ubun-ubun istrinya sekali lagi, kemudian berjalan menuju ruang tunggu.

“Kamu disini aja, biar Mas yang ngantri.” Telunjuk Arkan mengarah ke apotek yang terlihat ramai.

Hana mengangguk. Disandarkannya tubuh ke bangku panjang, merasa letih luar biasa. Hari baru menunjukkan pukul sebelas siang, tapi dia sudah mengantuk.

Dia merasa baru tidur sebentar saat Arkan membangunkannya dengan lembut. Dahi Hana mengernyit, lalu bertanya dengan lugu, “Obatnya udah?”

Arkan mengangguk. Hana lalu bangkit dan mengikuti langkah Arkan menuju lobi depan. Satu tangannya mencengkeram kemeja koko Arkan erat-erat, yang mendadak saja berhenti dan berbalik.

“Kamu tunggu disini.”

Hana mengangguk, kali ini berjongkok dan menyandarkan kepala pada pilar rumah sakit dan menatap punggung Arkan yang menjauh. Matanya memejam, kedua lengannya memeluk lutut sambil mengulang hafalan.

Wanita itu beristighfar seketika saat pinggangnya terasa ditendang dari belakang. Diluruskannya tubuh, kemudian berbalik dan menatap sekeliling. Tidak ada siapapun yang berada di dekatnya sekarang.

Hana kembali berbalik, lalu mengulang hafalannya. Sekali lagi, tubuhnya terasa didorong. Kali ini begitu kuat hingga Hana hampir terjerembab ke depan. Napasnya tersengal, dan sekali lagi Hana menoleh untuk mencari tahu siapa yang menjahilinya.

“Han?”

Hana mendongak saat Arkan mendekatinya. Sorot matanya terlihat bingung, lalu mengedarkan pandang dan bertanya, “Kamu lihatin apa?”

“Tadi ada yang nendang aku dari belakang, Mas.”

Arkan mengernyit, sekali lagi mengedarkan pandang. Tidak ada siapapun di sekitar mereka. Hanya ada satu orang berpakaian hitam yang berdiri tak jauh dari mereka, namun dia sibuk menelepon dengan keranjang buah di satu tangan.

“Ayo, kita pulang. Kamu belum makan siang.”

Hana mengedarkan pandang sekali lagi, lalu memasuki mobil.

***

“Hana mana?” tanya Salwa saat menemukan Arkan tengah mengobrak-abrik lemari penyimpanan makanan.

Arkan menoleh sejenak, lalu berkata, “Istirahat, Mi. Dia kayaknya kecapekan.”

“Gimana pemeriksaannya?” tanya Zara.

Arkan bangkit dan menutup kulkas, lalu duduk di kursi makan sambil menyobek bungkus keripiknya dan berkata, “Ya begitulah.”

“Begitulah apanya?” tanya Faris tak sabar.

Arkan hanya tersenyum. Semua orang bertatapan, bingung dengan reaksi Arkan.

“Tinggal ngomong kenapa sih, Ar?” tanya Zara sebal. “Pakai main rahasia segala.”

Salwa ikut duduk di sebelah Arkan. Sambil meneguk air dingin, bibirnya tak henti-hentinya tersenyum kecil melihat putranya menjahili saudaranya yang lain.

“Abi mana?” tanya Arkan, mengalihkan pembicaraan.

“Di atas. Hana sudah makan siang?” tanya Salwa penuh perhatian.

Arkan menggeleng. “Belum, Mi.”

Sesaat ruang makan hening. Hanya ada bunyi berisik kresek yang dibuka, juga toples makanan yang dibuka dan ditutup berulang kali. Faris sibuk dengan ponselnya sambil menjahili Zara. Sementara Aisyah dan Riza asyik membicarakan pekerjaan mereka

Arkan meneguk air putihnya, kemudian bangkit dan berkata, “Arkan pamit ke atas dulu, Umi. Siapa tahu Hana udah bangun.”

Arkan benar saat dia tiba di lantai tiga satu menit kemudian. Hana bangun karena mimpi buruk, dan kini bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponsel.

“Mau duduk di luar?” tawar Arkan.

Hana menggeleng. Matanya tetap terfokus menatap ponsel di tangannya, berulang kali mengetik dan menghapus sebelum akhirnya menghela napas.

“Kalau gak sanggup, biarin aja. Daripada kamu ikut pusing,” ucap Arkan sambil meletakkan ponsel istrinya di meja nakas.

Hana menuruti ucapan suaminya. Kali ini dia bersandar sambil terus menunduk menatap kedua jemarinya yang dimainkan. Sesekali Arkan mendengar bibirnya mengulang surah Al Waqiah. Terus begitu, bahkan ketika Arkan berpindah posisi ke sebelahnya.

“Mikirin apa, Han?” tanya Arkan lembut.

Hana tidak menjawab—bibirnya masih sibuk menghafal. Sesekali Arkan mengikuti bacaannya, atau hanya diam dan menyimak.

“Kamu diam aja sejak Mas masuk kamar. Gak mau ngomong sesuatu?” pancing Arkan.

Hana menggeleng.

“Gak ada yang perlu diomongin, Mas.”

Arkan baru akan menyahut saat terdengar dentingan ponsel. Diceknya ponselnya sendiri, namun benda tersebut tidak menyala. Butuh waktu lima detik bagi Arkan untuk menyadari kalau ponsel Hana yang menyala.

“Gak mau diangkat, Han?” tanya Arkan hati-hati.

Hana menggeleng lagi.

Arkan menjulurkan tangan, bermaksud hendak meraih benda pipih tersebut saat Hana berkata, “Biarin aja, Mas. Aku gak mau Mas ikutan stres dengerin ocehan mereka.”

Arkan tertegun.

“Tolong diam, Mas. Aku lagi gak mau ngomong sama siapa-siapa,” lanjut Hana dengan nada datar.

Akhirnya Arkan mengangguk. Diusapnya kepala Hana sambil mengulang hafalannya. Namun mendadak Hana menyingkirkan tangannya dan bangkit, lalu berjalan menuju sofa.

“Kamu kenapa?”

Hana tidak menjawab lagi. Dagunya ditopang pada lutut sementara matanya tertuju ke depan.

“Kamu kenapa, Han?”

Hana merebahkan tubuh di sofa tanpa melepas pegangannya pada lutut. Bibirnya senantiasa berdzikir tanpa henti, lalu kembali melanjutkan hafalannya yang sebelumnya tertunda. Di belakangnya, Arkan termenung dengan tampang bingung, sebelum akhirnya nekat mengambil ponsel Hana.

Tepat saat Arkan baru membuka kunci, benda itu bergetar oleh panggilan masuk. Nama ‘Ibu' tertera di caller ID.

“Halo? Assalamu’alaikum?”

“Wa'alaikumsalam. Apa kabar, Bu?” tanya Arkan ramah.

“Baik.” Di seberang, Naira menggeram sebelum kembali berkata, “Tolong kamu bilang ke Hana supaya jangan terus ngungkit-ngungkit pemberiannya sama keluarganya, Ar. Hidupnya gak akan berkah kalau sikapnya begini terus.”

“Sikap yang mana yang Ibu maksud?” tanya Arkan tenang. Diliriknya Hana yang masih meringkuk di sofa. Dia lalu turun dari ranjang dan duduk di pinggir sofa, lega saat Hana tidak mengusirnya.

“Pelit. Sudah kewajibannya untuk membahagiakan orangtua, bukannya malah membantah dan mengungkit kejadian atau hartanya yang udah lama habis,” ucap Naira galak.

Arkan mengangguk-angguk paham, sekali lagi melirik Hana yang kali ini masih menatap ke depan. Sorot matanya terlihat kosong, namun tangannya mencengkeram tangan Arkan erat-erat.

“Nanti Arkan kasih tahu, Bu. Sekarang Hana lagi istirahat.”

“Betulan dikasih tahu ya? Memalukan kalau berstatus menantu Kyai tapi sikapnya gak terdidik begitu. Ibu kasihan sama kamu, Ar. Ada banyak pilihan santri yang lebih baik, tapi kamu malah memilih Hana yang kelakuannya kayak iblis,” desis Naira penuh kebencian.

“Iya, Bu. Nanti Arkan nasihatin.”

Arkan menutup telepon saat Naira mengucap salam dengan nada datar. Diletakkannya ponsel di meja dan merapikan rambut Hana yang terjurai menutupi wajah.

“Gak usah dipikirin ya, Han,” hibur Arkan. “Kamu harus tenang.”

Hana mengangguk. Dia bangkit dan melingkarkan tangan ke pinggang Arkan erat-erat.

“Han, keluar yuk,” ajak Arkan sekali lagi. “Lihat nih, kulit kamu udah sewarna cat rumah sakit.”

“Gak mau.”

“Kamu gak bosan di kamar terus? Hirup udara segar gitu lho. Jangan ngehirup AC terus,” rajuk Arkan.

“Aku capek, Mas.”

“Mau digendong?” goda Arkan.

Hana mendecak, namun akhirnya bangkit dan berjalan lebih dulu. Cahaya matahari menghajar matanya hingga Hana menyipit karena silau. Satu tangan Arkan meraih tangan Hana dan menggenggamnya, lalu menuntunnya duduk di ayunan panjang.

“Nah, sekarang kamu jadi lebih manusiawi,” kekeh Arkan.

Hana kembali tertawa. Dihembuskannya napas sebelum menyandarkan kepala ke bahu Arkan.

“Aku tetep boleh kerja gak, Mas?’ tanya Hana penuh harap.

Arkan menggeleng.

“Kamu istirahat dulu sampai bulan depan. Soal itu biar nanti Mas pikirin lagi.”

“Tapi nanti kalau Ibu sama Ayah butuh uang gimana? Apa aku ceritain aja kalau aku libur sementara? Gimana kalau beliau bilang supaya aku gak boleh malas-malasan?” tanya Hana lagi.

“Nanti biar Mas yang urus itu. Sudah ya, kamu jangan mikirin apa-apa lagi. Kamu tenang aja,” tutur Arkan lembut.

Hana mengangguk. Matanya terpejam, sementara bibirnya terus bershalawat dengan suara lirih. Bibirnya menyunggingkan senyum damai, satu tangannya memeluk pinggang Arkan seolah tidak mau berpisah jauh.

“Nah, ini dia yang lagi dighibahin semua orang!” Mendadak Keira menerjang dan menatap galak pada mereka.

“Di-ghibahin gimana?” tanya Hana lugu. Di sebelahnya, tubuh Arkan menegang dan wajahnya pucat pasi.

Keira melipat lengan, bertanya serius, “Tadi pagi kalian kemana? Gak ikut menghadiri acara di aula, malah gendong-gendongan sampai jadi pusat perhatian."

Hana tetap tenang. Dirinya sudah biasa menghadapi hal ini.

“Bukan apa-apa. Aku harus check-up tadi, tapi aku gak mau ikut turun. Akhirnya dipaksa sama Mas Arkan.”

Di dalam hati, Hana beristighfar dan memohon ampun karena sudah berbohong. Dia tidak mau berbicara dulu, lebih karena situasinya tidak tepat. Mungkin Keira akan ikut bahagia, tapi kemungkinan terburuk lainnya adalah semua orang jadi tahu. Padahal Hana ingin merahasiakannya lebih dulu.

“Umi udah tahu,” bisik Arkan. “Kan Umi ikut lihat semalam. Tapi jangan kasih tahu Keira. Dia ember soalnya.”

Hana mengangguk.

“Check-up ngapain?” tanya Keira galak.

“Maag,” senyum Hana. “Kamu kan tahu aku punya maag akut.”

“Kenapa sampai harus digendong? Kamu kan bisa jalan sendiri,” protes Keira lagi.

Hana mengulum senyum, menjawab santai, “Kalau kamu udah nikah sama Ivan nanti, dan ternyata dia lebih bucin dari Mas Arkan, kamu bakalan tahu kalau dia rela gendong kamu dari lantai tiga ke mobil saat sakit.”

Anehnya, wajah Keira memerah seketika. Hana tertawa, juga Arkan yang menyunggingkan senyum tipis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status