Share

Teror

“Aku ngerasa gak enak karena udah bohongin Keira.”

Atas paksaan Arkan, Hana akhirnya mengalah dan tidak ikut turun untuk makan malam. Sebagai gantinya, pria itu membawakan makanannya ke atas dan makan berdua di depan kamar.

“Bohong gimana?” tanya Arkan sambil memisahkan daging ikan dari tulangnya.

“Karena kita gak ngomong apa-apa. Harusnya kita kasih tahu.” Hana menjulurkan tangan, hendak meraih potongan ikan goreng saat tangan Arkan menampar tangannya.

“Jangan dibiasain!” serunya galak.

Hana bersungut-sungut, namun tidak membantah lagi dan bersandar ke dinding. Diperhatikannya Arkan yang masih tekun memisahkan lauk.

“Nih.” Arkan mengulurkan sendok, lalu mulai makan. Setelah menelan suapan pertamanya, dia berkata, “Biar kita bertiga dulu yang tahu. Yang lain juga bakalan tahu nanti kalau udah lihat perubahan di diri kamu.”

“Tapi aku ngerasa berdosa,” ucap Hana sambil menyingkirkan brokolinya.

“Kamu tahu pamali gak sih?” tanya Arkan tak senang.

“Pamali apa?” tanya Hana polos.

“Usia kandungan tiga bulan belum boleh diumbar-umbarin. Pikirin dong kalau sampai mereka ngomong ke temen-temennya yang lain di asrama. Kamu mau?”

“Yang bener itu sebelum tiga bulan, Mas. Ini udah bulan ketiga. Gak perlu dikasih tahu juga semua orang bakalan tahu dan sadar,” balas Hana sinis. “Apalagi kalau sampai Keira denger aku muntah-muntah semalam.”

Arkan termenung.

“Bener juga sih.” Arkan mengangguk-angguk, lalu sekali lagi berseru galak, “Makan brokolinya!”

Dengan bibir dimajukan, Hana melahap brokolinya cepat-cepat.

“Nanti mau jawab apa? Gak mungkin langsung nembak ‘Aku hamil’ gitu kan?” tanya Hana lugu. “Aku kan baru pertama kali ini mau jadi ibu.”

“Jawaban sepele gitu mau kamu pikirin juga?” ejek Arkan.

“Ya ngasih jawabannya yang menghebohkan gitu lho. Bikin mereka blank sebelum akhirnya sadar dan ngamuk.” Hana membalas polos.

Arkan tertawa.

“Udah. Diem. Sekarang yang harus kamu pikirin adalah apa yang mau kamu kerjain selama cuti kerja. Mas gak izinin kamu nulis buku dulu. Kamu juga gak boleh pergi kemana-mana kecuali ditemani Mbak Zara atau Keira.”

“Kok gitu?” protes Hana.

“Mas gak mau kamu kenapa-kenapa di luar sana.”

“Aku bukan anak kecil! Jangan bersikap over-protektif gitu!” Kali ini Hana tidak bisa lagi mengontrol kemarahannya.

Arkan tidak menghiraukannya dan terus makan. Hana juga, tapi matanya tidak berhenti menatap suaminya.

“Mas gak mau kamu mendadak terguling di tangga, atau kepleset dan jatuh. Ngerti?” tanya Arkan saat akhirnya mereka selesai makan.

Hana tidak bisa lagi menjawab. Matanya berkaca-kaca oleh kemarahan.

“Han,” bisik Arkan lembut. “Mas gak mau kamu kenapa-kenapa. Untuk beberapa minggu aja sampai kandungan kamu kuat, tinggal dulu di sini ya. Nanti Mas tanyain lagi sama Umi gimana baiknya soal setoran ngaji kamu.”

Hana tetap membisu. Arkan membereskan piring bekas makan mereka dan turun, lalu kembali lagi seolah tidak mau meninggalkan Hana lama-lama.

“Kamu istirahat aja.” Arkan berkata sambil meraih tangan Hana dan menggenggamnya. Berdua, mereka berjalan menuju kamar. Segera dikuncinya pintu, lalu menyusul Hana yang duduk di sofa sambil menatap ke luar. Halaman ramai dengan santri-santri yang hendak mengaji. Sesekali terdengar suara teriakan, juga tawa dan omelan disana-sini.

Hana tidak menjawab. Tubuhnya bersandar di sofa depan jendela, matanya terus menatap ke depan sementara bibirnya menyenandungkan shalawat Fatih.

“Kamu mikirin apa?”

“Bukan apa-apa, Mas.”

Terdengar dengkingan ponsel dari arah meja. Arkan meraihnya, lalu membuka kunci. Mereka memang tidak membatasi ponsel masing-masing. Hana boleh membuka ponsel Arkan dan sebaliknya.

Mata Arkan bergulir, membaca pesan dengan teliti. Diulangnya membaca hingga tiga kali sambil terus melirik istrinya, lalu segera menghapus pesan tersebut dan membuka aplikasi I*******m.

“Siapa, Mas?”

“Operator,” dusta Arkan. Dia tidak mau istrinya menjadi cemas berlebihan.

Hana kembali melanjutkan shalawatnya. Diam-diam, Arkan menyentuh ikon story dan mengganti fitur menjadi video live. Diarahkannya kamera dengan hati-hati ke arah wajah Hana, lalu mengiringinya dari belakang.

Segera chat memenuhi layar, disusul ikon likes yang melayang-layang. Bibir Arkan membaca live chat tanpa suara.

Alina_Ilyas: Aduh, ademnya

Mutiara.24: Suaranya Ning Hana subhanallah sekali

ZidanLevi_: Shalawat terus dibikin live gini buat apa? Mau pamer kalau kamu sekarang jadi anak alim?

ZidanLevi_: Kalau udah jalang ya selamanya aja jalang.

Senyum Arkan memudar. Dia ingat kalau pria ini yang mengirimkan chat ke nomor ponsel istrinya barusan. Belum jadi Arkan membalas, komentar-komentar lain muncul dan mengata-ngatai pemilik akun tersebut.

Annisa_humaira: Sama fasihnya dengan Ning Alina. Subhanallah

Sekali lagi Arkan mengulum senyum. Humaira adalah guru sekaligus sahabat dari kakak sepupunya, Alina Ștefan alias pemilik akun Alina_Ilyas. Tidak pernah sedetikpun dia tidak membanggakan Alina, muridnya yang cerdas dan berhasil bersekolah hingga ke luar negeri.

Segera dimatikannya live chat dan mengelus dahi Hana. Arkan lantas meletakkan ponsel di sofa dan kembali mengelus dahi istrinya yang dingin.

“Apa sih? Geli,” ucap Hana ketus sambil menyingkirkan tangan Arkan yang menggerayangi hidungnya.

Arkan mencondongkan tubuh dan mencium pipi dingin Hana.

“Kamu pernah pacaran gak, Han?”

Hana menoleh, dahinya mengernyit.

“Kok pertanyaan Mas aneh gitu?”

“Mas cuma pengen tahu apa kamu dulu segalak ini sama mantan-mantanmu,” balas Arkan sambil lalu, meski hatinya mulai mendesiskan kecemburuan.

Bibir Hana maju beberapa senti.

“Sudah kubilang waktu malam pernikahan. Mas laki-laki pertama yang nyentuh aku. Ngerangkul aku, cium pipiku, dan ... dan ....” Pipi Hana kali ini berubah merah padam. Arkan bahkan bisa melihat semburat merah dari pipi istrinya.

“Dan apa?” goda Arkan.

“Gak jadi.”

Jemari Arkan lantas menjawil pipi istrinya.

“Bilang aja. Gak apa-apa kok.” Sekali lagi Arkan menggodanya.

Hana mendesis, lalu berusaha bergeser. Ekspresinya berubah horor saat wajah Arkan mendadak zoom-in, hanya berjarak beberapa senti dari pipinya.

“Astaghfirullah, kaget aku,” gumam Hana. Dijambaknya cambang suaminya sebelum meluruskan tubuh dan menyandarkan kepala ke bahu Arkan.

“Kalau aku dulu pernah begini sama mantan-mantanku, aku gak akan malu waktu Mas cium aku setelah akad. Mungkin malah aku yang lebih dulu meluk atau cium pipi Mas. Eh.” Hana kembali menutup mulut.

Tawa Arkan semakin lebar hingga nyaris membelah mukanya.

“Nah kan, kamu ketahuan.”

“Kenapa? Mau ngetawain? Mau ngatain aku culun?” tanya Hana galak.

Arkan menggeleng.

“Kamu gemesin gini kok mau dikatain culun,” ucapnya geli.

Di kejauhan, suara adzan Isya’ menggema dari masjid.

“Kenapa, Mas?” tanya Hana lembut saat Arkan tidak berhenti menatapnya.

Arkan menggeleng. Diulurkannya tangan dan mengelus wajah Hana. Sesekali tangannya terhenti di wajah Hana, lalu menelusuri tulang wajahnya yang tajam. Mau tak mau Arkan mulai penasaran kenapa wajah Hana sama sekali tidak mirip dengan orangtua maupun saudara-saudaranya.

“Kok Mas Arkan bengong?” tanya Hana sambil tersenyum.

“Malam ini kamu cantik banget.” Arkan berkata cepat-cepat. Batinnya berkata bisa bahaya jika Hana tahu apa yang baru saja dipikirkannya.

Pipi Hana memerah.

“Kenapa Mas gak ke masjid dan ngaji aja? Kasihan anak-anak lain nungguin,” ucap Hana gugup.

Arkan menaikkan sebelah alis.

“Kamu gak suka Mas di rumah?”

“Aku lebih gak suka lagi kalau Mas ngerayu terus dari tadi. Yang ada aku makin mual,” balas Hana. “Eh, iya. Tolong ambilin mangga di pohon depan, Mas.”

Arkan menaikkan alis saat mendengar permintaan istrinya.

“Besok aja. Gelap.”

“Mas gak kasihan sama aku?” rengek Hana. “Daripada mangganya busuk, atau jatuh terus bolong-bolong. Mau? Aku sih gak mau.”

Arkan diam sejenak, mengamati tingkah istrinya yang terus merajuk meminta mangga.

“Mas, tolong ambilin.” Hana sekali lagi merengek. “Mas mau anaknya nanti ileran?”

Arkan tertawa, kemudian mengangguk dan bangkit. Dia lalu beringsut turun dari sofa, kemudian turun ke lantai satu. Hana mengikuti dari belakang, namun berbelok ke balkon dan membungkukkan tubuh ke pagar balkon. Sebelum itu disambarnya ponsel dan mengantonginya.

“Pakai tongkat itu, Mas,” teriak Hana sambil menunjuk tongkat pemetik yang tersandar di pohon.

Arkan meraihnya dan mengarahkannya ke pohon. Beberapa kali tongkat besar tersebut oleng, sementara Hana berteriak, “Ayo, Mas. Disana ada satu yang enak tuh.”

Arkan bergeser ke sisi yang ditunjuk Hana dan mulai mengarahkan tongkatnya. Satu butir jatuh, membuatnya berseru kegirangan. Ivan dan Dirga, sahabat suaminya yang berdiri di beranda masjid berteriak-teriak dengan nada meledek.

Hana baru akan bicara lagi saat terasa getaran di saku dasternya. Diulurkannya tangan, mengeluarkan ponsel dan menemukan sebuah pesan Telegram. Penasaran, dibukanya pesan yang berasal dari pengguna tak dikenal tersebut.

[Aku penasaran kenapa laki-laki ini mau jadi suamimu. Memangnya pantas seorang jalang menikah dengan anak kyai? Dan aku juga pengen tahu. Apa kamu menjebaknya? Atau kamu menggoda dia dan kalian ‘terpeleset’?]

Tubuh Hana merinding hebat membaca pesan itu. Dia baru akan membalas saat dua pesan lain masuk secara bersamaan.

[Bodoh sekali laki-laki itu kalau dia yang suka dan ngajak kamu nikah. Seharusnya dia punya pilihan lebih baik dibanding perempuan jalang seperti kamu]

[Gimana kalau kita bermain kayak dulu lagi? Aku mau lihat gimana tanggapan netizen santri se-Indonesia kalau tahu ternyata menantu Kyai terbaik di Kediri ternyata bukan orang suci kayak yang mereka pikir?]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status