Abimana terperanjat melihat seorang wanita di depannya. Ia meneguk salivanya dengan susah payah. Sungguh, siapapun juga tak akan tahan dengan godaan berat seperti pemandangan di hadapannya ini.
Sedangkan Danu hanya mendengus kesal. Sangat tahu dengan apa maksud dari istrinya itu. Namun, ia tak hiraukan, yang jelas saat ini perusahaannya butuh bantuan. "M..Ma, apa ini? Mak... maksudku, apa maksud ucapan Mama?" tanya Abimana tersendat dengan tak beralih pandangan dari wanita di hadapannya. Wanita itu tersenyum miring, segera duduk dengan menyilangkan kakinya yang menampakkan kaki jenjang yang mulus serta membuat Abimana semakin gelisah. "Duduklah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik," ucap wanita itu yang di angguki dengan senyum merekah dari Sekar. Semua orang duduk dengan kegugupan Abimana yang masih nampak. "Aku tahu, kalian sedang diambang kesulitan. Dan aku bisa membantu perusahaan kalian, asalkan kamu..." wanita itu menjeda ucapannya sembari menunjuk Abimana dan melanjutkan ucapannya, "menikah denganku," kata sang wanita dengan tegas. "Dia akan menikahimu," jawab Danu datar enggan menatap wanita yang menurutnya terlalu terbuka itu. "Ta... tapi aku, sudah menikah," jawab Abimana terbata masih menganga menatap belahan dada wanita dengan dress merah menyala. "Ck! Kamu gak usah pikirin itu, Sayang. Kalau kamu masih mau sama Gita juga gak papa. Tapi kamu tetep bisa menikah sama Sandra." Ah, rupanya wanita itu bernama Sandra. Abimana mengangguk sembari tersenyum. Ya, dia akan menyetujui usul sang Mama. "Kenapa kamu, mau menikah denganku? Padahal aku sudah menikah," tanya Abimana mengundang decakan kesal dari kedua orang tuanya. "Apa itu masih penting, Abi? Yang penting perusahaan kita bisa..." "Aku hamil." Jawaban itu membuat semua orang di sana terkejut. Namun tidak dengan Sekar. Sepertinya, Ibu Abimana itu memang sudah merencanakan hal ini jauh-jauh hari. "Pacarku tidak mau bertanggung jawab. Dan aku tidak mau perusahaan Papaku kena imbasnya," jawab Sandrs dengan menggertakkan giginya menahan marah. "Sudah, Sandrs. Kamu gak perlu khawatir. Abimana akan bertanggung jawab untukmu. Anggap saja kita saling menguntungkan. Bukankah begitu, Pa?" tanya Sekar melihat Danu seolah memaksa untuk mengiyakannya. "Ya, benar. Lebih cepat lebih baik," jawab Danu membuat Abimana menoleh dan menatap sang ayah. Apa-apaan ini? Kenapa kedua orang tuanya memaksanya untuk menikah lagi? "Tapi, Pa. Aku sama Gita..." "Pikirkan perusahaan, Abi. Jangan jadi bodoh untuk kedua kali," bisik Danu dan Abimana hanya mendesah pasrah. "Jadi?" tanya Sandra menunggu kepastian. "Tentu saja, Sayang. Abimana tidak akan mengecewakanmu," jawab Sekar tanpa menunggu jawaban dari Abimana. Ya, jelas saja Abimana tidak mengelak rencana gila dari orang tuanya. Laki-laki mana yang tak tergiur dengan tubuh molek dihadapannya. Ya, meskipun barang bekas. Batin Abimana, sembari tersenyum manis menatap Sandra. ************ Ibu udah buat janji temu buat kamu, Van. Namanya Winda. Dia anak dari dari toko bakery teman Ibu. Meski toko bakery, tapi tokonya besar loh, Van. Punya cabang dimana-mana. Teman Ibu itu udah dari jaman kuliah, jadi Ibu tahu itu seperti apa. Dia baru lulus kuliah dari luar negeri. Dia cantik, pintar---" "Devan udah selesai sarapan, Buk." Devan tak mengindahkan celotehan ibunya. Sudah beberapa kali memang sang ibu selalu membuat janji dengan anak-anak temannya, demi menjodohkan dirinya. "Kamu itu dengerin Ibu gak sih, Van? Ibu ini masih ngomong sama kamu," protes Ayu, karena Devan mengacuhkan ucapannya. "Ibu, sudah berapa kali aku bilang sih. Aku tuh gak mau di jodoh-jodohin, Buk. Aku gak suka," protes Devan karena muak selalu di jodoh-jodohkan. "Terus, kalau gak Ibu kenalin, kamu gimana bisa deket sama cewek, Devandra?" Devan memejamkan mata, menghela napas lelah. Lelah dengan semua omelan sang Ibu. "Kalau jodoh pasti gak kemana kok, Bu. Ibu tenang aja, jodoh itu sudah diatur sama yang di atas." "Tapi jodoh gak akan ketemu kalau gak dicari, Devandra El Barra!" Lagi. Devan hanya membuang napas kasar. Ia lelah berdebat dengan Ibunya jika sedang dalam pembahasan-- Jodoh. "Ibu gak mau tahu, pokoknya nanti kamu harus datang saat makan siang di cafe Asmara. Jangan telat, dan jangan aneh-aneh." Devan pasrah. Apa tadi katanya? Cafe Asmara? Nama cafenya aja lebay banget. Seperti sengaja sekali membuat janji di tempat dengan nama demikian. Devandra El Barra. Ceo sekaligus pemilik sebuah perusahaan Mall terbesar di kotanya. Sejak Ayahnya meninggal, Devan meneruskan bisnis orang tuanya itu. Ayah Devan meninggal karena kecelakaan tunggal sejak 6 tahun yang lalu. Saat kecelakaan itu terjadi, Devan masih duduk di bangku kuliah, yang bahkan belum usai. Karena mau tidak mau, ia harus meneruskan posisi Ayahnya di kantor. Devan menepikan mobilnya ketika ponselnya berdering. Dari sekertarisnya, Aldo. "Halo, Al?" "Lo lupa, kalau hari ini ada meeting?" "Meeting?" "Ya, dengan Pak Danu dari PT. BIMA," jawab Aldo membuat Devan berdecak kesal. "Padahal waktu dia hubungi aku, udah ku tolak, Al. Tapi dia bersikeras minta menemui aku," desah Devan lelah. "Yaudah. Temui aja dulu lah. Lagian udah lo iyakan juga kan waktu itu?" Devan mendesah lelah. Ya, mau bagaimana lagi. "Gue dapat info dari orang yang gue suruh, Van," ucap Aldo sedikit berbisik. "Info apa?" "Kabarnya, PT. BIMA sedang terlilit hutang. Perusahaannya sedang di ambang kehancuran," ucap Aldo di seberang sana, membuat Devan terkejut. "Lo yakin tentang sumber informasi itu? "Yakin. Makanya dia cari investor buat menutupi hutangnya," jelas Aldo lagi. Devan berpikir sejenak. Namun, kini pandangannya fokus pada sesuatu yang ia pandang dari kejauhan. "Gita?" lirih Devan yang kini segera beranjak mengejar seseorang yang ia lihat setelah mematikan panggilan Aldo.Abimana menggeram marah ketika mendengar ucapan Sandra yang membuatnya tahu, bahwa Gita hamil dan ia tak tahu sama sekali. "Jadi, kemarin dia di rumah sakit itu, karena..." ucap Abimana terbata. Pikirannya kembali saat melihat tangan Gita yang terluka. Ia mengira, Gita menyayat nadinya karena tahu dirinya hamil anak Abimana dan ternyata Abimana sudah mempunyai istri lagi. Tentu saja hal itu membuat frustasi Gita. "Aku harus menemui Gita. Harus," putus Abimana yang hendak pergi meninggalkan Sandra sendirian. "Berhenti, Abi. Kamu gak bisa pergi gitu aja ninggalin aku! Aku juga istrimu!" larang Sandra menghalangi jalan Abimana. "Gita juga istriku, Sandra! Kamu jangan egois!" geram Abimana kesal. "Satpam! Tutup semua pintu!" teriak Sandra mengundang kedua orang tua Abimana kembali keluar dari kamar. Namun, Danu dan Sekar hanya melihat apa yang dilakukan Sandra. Bagi orang tua Abimana, uang dan perusahaan lebih penting dari cinta. "Pa, Ma. Gita hamil! Kalian akan punya cucu. Cucu ka
Roda kehidupan itu terus berputar. Tak akan ada yang tahu apa dan bagaimana hidup seseorang akan berjalan. Meski tiap orang selalu berusaha untuk hidupnya yang lebih baik, tapi terkadang hidup berjalan tak sesuai dengan yang diinginkan. Namun, ketahuilah, Tuhan-MU lebih tahu apa yang seseorang butuhkan, dan lebih tahu mana yang baik dan yang buruk untuk hambanya. Hadi sudah memanggil pengacara kepercayaannya untuk mengurus perceraian Gita dengan Abimana. Secepat mungkin ayah Gita itu tak mau kecolongan lagi dan membuat Gita dalam derita."Aku mau perceraian Gita secepatnya selesai, bisa?" tanya Hadi yang diangguki Catur, pengacaranya. "Semua berkas sudah terkumpul bersama bukti-bukti, saya tinggal memprosesnya ke pengadilan besok, Pak," jawab Catur mantap. "Kamu ingat tentang masalah yang aku ceritakan dulu?" tanya Hadi membuat Catur mengingat-ingat. "PT. BIMA adalah perusahaan hasil curian. Berkas dan bukti yang kamu minta sudah saya siapkan. Bisa segera diproses juga?" tanya Ha
Manusia selalu dihadapkan dengan pilihan. Dimana semua pilihan itu ada konsekuensinya. Jika pilihannya benar, ia aman dan bahagia. Namun, jika ia salah memilih, bisa saja kesedihan dan penyesalan yang ada. Gita merasakannya sekarang. Pilihan pertama yang ia buat saat memutuskan menikah dengan Abimana, rupanya membuatnya menelan pil pahit yang harus ia terima. Dan sekarang, ia kembali harus memilih antara bertahan atau berpisah dengan Abimana. "Mari berpisah, Mas." Satu kalimat itu sukses membuat Abimana memerah padam. Satu kata itu sangat ia benci. Apalagi sekarang ia menyadari, ia sangat tidak ingin berpisah dengan Gita. "Sudah pernah kukatakan padamu, Gita. Tidak akan ada kata pisah dalam hubungan kita," ucap Abimana dingin. Rasa sakit akibat pukulan Gibran sudah tak lagi ia rasa. Namun, kesal hatinya sekarang terasa sakit ketika Gita benar-benar meminta pisah darinya. "Aku gak akan ada gunanya untuk kamu, Mas. Lebih baik, kamu jaga istri kamu itu dengan baik," ucap Gita berpali
Sandra dilarikan ke rumah sakit karena tak sengaja terkena pukulan dari Gibran. Meski Abimana babak belur karena ulah Gibran, ia tetap berusaha membawa istrinya itu ke rumah sakit. Sedangkan Gibran, laki-laki itu merasa bertanggung jawab karena membuat Sandra pingsan, juga membuat babak belur Abimana. Meski hatinya kesal, tapi tidak pantas juga jika meninggalkan Abimana yang babak belur untuk mengurus istrinya yang pingsan. Namun, kali ini Gibran merasa bodoh. Bodohnya ia malah membawa mereka ke rumah sakit yang sama dengan Gita. "Dasar bodoh! Kenapa gue bawa kesini, sih!" maki Gibran sendiri dalam hati. "Gue anter lo ke UGD aja. Setelah itu gue pulang!" ucap Gibran penuh penekanan. Kesal? Tentu saja. Orang yang ia hajar nyatanya malah ia tolong sendiri. Entah mau bersikap bagaimana, Abimana hanya merasa kakak Gita itu memang baik seperti Gita. Ia merasa keluarga Gita memang keluarga yang selalu tak enak hati pada orang lain. "Pak Gibran. Anda di sini? Nona Gi...""Ssstttt!" Gib
Devan dan Gibran panik ketika melihat pergelangan tangan Gita bersimbah darah. Bahkan, Devan telah berurai air mata. Pikirannya dipenuhi ketakutan. Hatinya terasa sesak melihat Gita benar-benar lemas dan menutup mata. "Gak, gak mungkin. Anin, bangun, Anin. Kamu gak boleh lakuin ini," panik Devan yang terus menekan pergelangan tangan Gita. Sedangkan Gibran sedang memanggil Dokter, karena ia sudah berkali-kali memencet tombol darurat tak juga Dokter ataupun suster datang. Ketika Dokter datang, Devan dan Gibran segera menunggu di luar ruangan. Gibran tak habis pikir, jika adiknya begitu sulit menerima keadaannya saat ini. Ya, mana mungkin ia akan dengan mudah menerima. Gibran sangat tahu bagaimana sakitnya Gita saat ini. "Van, lo harus tenang. Gue titip Gita sebentar. Gue pergi dulu, menemui Abimana. Gue mau beri pelajaran padanya," ucap Gibran dengan wajah penuh amarah. Devan hanya mengangguk lemah. Tangannya masih gemetar mengingat keadaan Gita tadi. Sungguh demi apapun juga, ia ta
Pada umumnya, orang mengatakan bahwa pernikahan tanpa adanya seorang anak itu terasa tidak lengkap. Bahkan, banyak wanita di seluruh dunia mendamba hadirnya seorang anak. Namun, untuk masalah yang Gita hadapi saat ini, benar-benar memporak-porandakan hatinya. Harusnya kabar dirinya hamil dan akan jadi seorang ibu adalah kabar bahagia. Tapi, bolehkah sekarang ia merasa menolak dulu hadirnya anugerah itu?Gita melamun memandang keluar jendela dengan pemandangan malam yang gelap. Air matanya tak henti menetes. Ia juga tahu, jika keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya. Namun, ia bisa apa. Dirinya benar-benar rapuh sekarang. "Gita, makan dulu yuk, Sayang. Kamu belum makan apapun loh," bujuk Ratna yang merasa khawatir dengan kondisi Gita yang semakin lemah. "Untuk apa aku makan, Ma. Bukankah lebih baik mati daripada hidup dengan kesengsaraan seperti i..."PLAK!"Jaga mulut kamu, Gita! Mama gak pernah ajarkan kamu putus asa seperti ini!" Ratna marah dengan air mata yang merebak. Ia sa