"Maaf, saya salah orang," ucap Devan. Ia hampir frustasi mengingat apa yang ia lihat tadi seperti seseorang yang ia kenal. Namun, rupanya ia salah menduga.
"Sial! Aku pasti sudah gila!" umpat Devan dan berlari kembali ke arah mobil. Lalu segera melesat menyusul Aldo ke tempat meeting. "Selamat pagi, Pak Danu," sapa Devan ramah serta mengulurkan jabat tangan yang seketika di sambut oleh ayah Abimana itu. "Selamat pagi, Pak Devan. Wah, saya sangat suka sekali aura pebisnis hebat seperti pak Devan ini. Selalu bersemangat dan enerjik," ucap Danu berbasa-basi yang hanya dibalas senyuman oleh Devan. "Perkenalkan, ini anak saya, dia juga yang akan menggantikan posisi saya nantinya, Pak Devan," ucap Danu yang segera disambut oleh Abimana. "Saya Abimana, Pak Devan. Semoga kita bisa bekerja sama," sapa Abimana. Devan tersenyum dan menoleh ke arah Aldo. Yang di toleh seolah mengerti, Aldo hanya tersenyum dan menarik kursi untuk Devan. "Agar lebih akrab, bagaimana kalau kita sarapan dulu?" ujar Danu. "Mohon maaf, Pak Danu. Sepertinya kita langsung ke pembahasan saja. Karena saya masih ada perlu di kantor," sela Devan sopan. Danu mengangguk kemudian menegakkan bahunya dan kembali menatap Devan. "Sebelumnya saya minta maaf, Pak Devan. Rencana saya untuk mengajukan investor pada perusahaan anda, terpaksa harus saya batalkan." Devan mengernyit. Menunggu ucapan Danu selanjutnya. "Karena baru saja saya sudah mendapatkan investor. Jadi, perusahaan kami tidak perlu lagi mencari investor," jelas Danu yang terlihat meminta maaf. Tapi tidak merasa bersalah. Namun, Devan sangat tahu arti mimik wajah seseorang. Tentu saja Devan kesal. Dia sudah jauh-jauh kemari untuk memenuhi meeting yang diajukan oleh perusahaan Danu, justru dibuat kesal, sia-sia. Devan menoleh sebentar ke arah Aldo yang juga terheran. Sebisa mungkin, Devan menampakkan wajah biasa saja seraya berkata, "anda tidak perlu meminta maaf, Pak Danu. Seperti sejak awal saya katakan. Bahwa saya menolak pertemuan ini. Apalagi untuk investasi di perusahaan anda. Itu sangat mustahil. Mana mungkin saya berinvestasi pada perusahaan yang bermasalah, yang nantinya malah membuat rugi saya," ucap Devan melenyapkan garis senyum Danu dan Abimana. Jelas, Devan dan Aldo tahu ucapan itu terasa menjatuhkan pihak lawan bicara saat ini. Namun, Devan adalah Devan. Ia akan mengatakan apapun yang sesungguhnya. Sedang Aldo yang sangat mengenal Devan tersenyum puas. Tentu saja bos nya itu tak akan mau diremehkan. Apalagi membatalkan sepihak seperti ini. Sangat-sangat membuang waktu bagi pebisnis seperti Devan. Terlebih lagi, Devan sudah dibuat kesal dengan perkara mengejar orang yang ternyata bukan orang yang dicarinya. "Baiklah, sepertinya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Saya permisi." Tanpa perlu basa-basi lagi, Devan segera berlalu dari hadapan Danu dan Abimana yang sudah mengeluarkan semua umpatan untuk Devan. Namun, sang ayah memperingatinya bahwa Devan El Barra bukanlah lawan yang sebanding dengannya. "Awas saja, Pa. Kelak kita pasti bisa membuat dia merasa jatuh di bawah perusahaan kita," ucap Abimana yakin, yang ternyata masih di dengar Devan dari kejauhan. "Kau salah orang, Bung! Sepertinya dia belum tahu siapa Devandra El Barra," ucap Devan sembari terus melangkah dan memakai kacamata hitamnya. Menambah kesan keren sebagai seorang bos. Sedang Aldo tersenyum puas dengan apa yang diucapkan atasan sekaligus temannya itu. Setibanya di kantor, Devan tak lantas bekerja seperti biasanya. Dari yang Aldo lihat, bosnya itu tengah memikirkan sesuatu sekaligus kesal bersamaan. "Are you, okay?" tanya Aldo menyodorkan sekaleng kopi instan ke hadapan Devan. Yang disapa tersenyum dengan menerima pemberian Aldo. "Not good," kata Devan datar setelah meneguk kopinya. "Soal meeting tadi pagi?" "No! Gue gak akan terpengaruh masalah sepele dengan para penjilat itu!" Benar. Aldo sangat tahu itu. Jangankan perkara sepele demikian, bahkan dulu Devan pernah gagal menerima tender besar dari perusahaan asing karena di sabotase oleh perusahaan lawan yang terlalu berambisi itu. Nyatanya, justru lawan Devan yang rugi menerima tender tersebut, karena rupanya perusahaan asing tersebut terduga penipuan besar. "Kenapa? Dijodohin lagi sama Ibu?" tanya Aldo yang membuat Devan teringat sesuatu. "Oh, shit! Gue lupa, ada janji temu siang ini. Arrgghh!" kesal Devan yang kini beranjak dari hadapan Aldo. Meski sebenarnya bukan perkara itu yang sedang mengganggu pikirannya. Aldo hanya terkikik geli, karena sangat tahu jika Devan akhir-akhir ini selalu dibuatkan janji temu oleh ibunya. "Makanya kawin. Biar gak dijodohin mulu," ujar Aldo terkikik geli sembari menikmati kopinya. Namun itu tak lama, karena setelahnya kepalanya di geplak Devan dari belakang. "Ganti rugi lo kalau otak gue rusak gara-gara lo," kesal Aldo mengelus kepalanya. Sedangkan Devan hanya tertawa senang. "Cieeehh, jadi kencan buta nih ceritanya," seru Aldo yang tak digubris Devan. Devan menuju Cafe Asmara yang pagi tadi disebutkan oleh ibunya. Pandangannya mengitari beberapa orang untuk mencari seseorang seperti foto yang dikirimkan oleh ibunya. Namun, sebelum menemukannya, sebuah lambaian tangan terlihat, Devan segera menghampirinya. "Hai." Sapaan itu terdengar akrab. Namun Devan benci terasa akrab diawal bertemu. Mereka tak sedekat itu, bukan? "Sudah pesan minum?" tanya Devan langsung. "Tidak. Belum. Lebih baik aku nunggu kamu buat pesan bersama. Mau pesan makan sekarang?" tanya gadis itu dengan senyum merekahnya. Devan menilai, gadis itu sudah jatuh hati padanya. Terlihat dari tatapannya yang tak sedikitpun lepas dari Devan. "Tidak perlu. Saya mau ke intinya saja. Saya menyetujui bertemu dengan anda, bukan berarti saya menerima tentang apa keinginan Ibu saya. Dan saya harap, anda mengerti, bahwa saya tidak tertarik untuk dijodohkan seperti ini. Jadi..." Devan menjeda ucapannya, melihat wajah Winda yang mulai, kecewa. "Saya menolak untuk dijodohkan," pungkas Devan menunduk meminta maaf. Byur! Devan tak menyangka, jika gadis di depannya ini cukup-- barbar. "Anda pikir saya mau dengan laki-laki sok seperti anda?!" kesal Winda yang segera beranjak pergi dari sana.Abimana menggeram marah ketika mendengar ucapan Sandra yang membuatnya tahu, bahwa Gita hamil dan ia tak tahu sama sekali. "Jadi, kemarin dia di rumah sakit itu, karena..." ucap Abimana terbata. Pikirannya kembali saat melihat tangan Gita yang terluka. Ia mengira, Gita menyayat nadinya karena tahu dirinya hamil anak Abimana dan ternyata Abimana sudah mempunyai istri lagi. Tentu saja hal itu membuat frustasi Gita. "Aku harus menemui Gita. Harus," putus Abimana yang hendak pergi meninggalkan Sandra sendirian. "Berhenti, Abi. Kamu gak bisa pergi gitu aja ninggalin aku! Aku juga istrimu!" larang Sandra menghalangi jalan Abimana. "Gita juga istriku, Sandra! Kamu jangan egois!" geram Abimana kesal. "Satpam! Tutup semua pintu!" teriak Sandra mengundang kedua orang tua Abimana kembali keluar dari kamar. Namun, Danu dan Sekar hanya melihat apa yang dilakukan Sandra. Bagi orang tua Abimana, uang dan perusahaan lebih penting dari cinta. "Pa, Ma. Gita hamil! Kalian akan punya cucu. Cucu ka
Roda kehidupan itu terus berputar. Tak akan ada yang tahu apa dan bagaimana hidup seseorang akan berjalan. Meski tiap orang selalu berusaha untuk hidupnya yang lebih baik, tapi terkadang hidup berjalan tak sesuai dengan yang diinginkan. Namun, ketahuilah, Tuhan-MU lebih tahu apa yang seseorang butuhkan, dan lebih tahu mana yang baik dan yang buruk untuk hambanya. Hadi sudah memanggil pengacara kepercayaannya untuk mengurus perceraian Gita dengan Abimana. Secepat mungkin ayah Gita itu tak mau kecolongan lagi dan membuat Gita dalam derita."Aku mau perceraian Gita secepatnya selesai, bisa?" tanya Hadi yang diangguki Catur, pengacaranya. "Semua berkas sudah terkumpul bersama bukti-bukti, saya tinggal memprosesnya ke pengadilan besok, Pak," jawab Catur mantap. "Kamu ingat tentang masalah yang aku ceritakan dulu?" tanya Hadi membuat Catur mengingat-ingat. "PT. BIMA adalah perusahaan hasil curian. Berkas dan bukti yang kamu minta sudah saya siapkan. Bisa segera diproses juga?" tanya Ha
Manusia selalu dihadapkan dengan pilihan. Dimana semua pilihan itu ada konsekuensinya. Jika pilihannya benar, ia aman dan bahagia. Namun, jika ia salah memilih, bisa saja kesedihan dan penyesalan yang ada. Gita merasakannya sekarang. Pilihan pertama yang ia buat saat memutuskan menikah dengan Abimana, rupanya membuatnya menelan pil pahit yang harus ia terima. Dan sekarang, ia kembali harus memilih antara bertahan atau berpisah dengan Abimana. "Mari berpisah, Mas." Satu kalimat itu sukses membuat Abimana memerah padam. Satu kata itu sangat ia benci. Apalagi sekarang ia menyadari, ia sangat tidak ingin berpisah dengan Gita. "Sudah pernah kukatakan padamu, Gita. Tidak akan ada kata pisah dalam hubungan kita," ucap Abimana dingin. Rasa sakit akibat pukulan Gibran sudah tak lagi ia rasa. Namun, kesal hatinya sekarang terasa sakit ketika Gita benar-benar meminta pisah darinya. "Aku gak akan ada gunanya untuk kamu, Mas. Lebih baik, kamu jaga istri kamu itu dengan baik," ucap Gita berpali
Sandra dilarikan ke rumah sakit karena tak sengaja terkena pukulan dari Gibran. Meski Abimana babak belur karena ulah Gibran, ia tetap berusaha membawa istrinya itu ke rumah sakit. Sedangkan Gibran, laki-laki itu merasa bertanggung jawab karena membuat Sandra pingsan, juga membuat babak belur Abimana. Meski hatinya kesal, tapi tidak pantas juga jika meninggalkan Abimana yang babak belur untuk mengurus istrinya yang pingsan. Namun, kali ini Gibran merasa bodoh. Bodohnya ia malah membawa mereka ke rumah sakit yang sama dengan Gita. "Dasar bodoh! Kenapa gue bawa kesini, sih!" maki Gibran sendiri dalam hati. "Gue anter lo ke UGD aja. Setelah itu gue pulang!" ucap Gibran penuh penekanan. Kesal? Tentu saja. Orang yang ia hajar nyatanya malah ia tolong sendiri. Entah mau bersikap bagaimana, Abimana hanya merasa kakak Gita itu memang baik seperti Gita. Ia merasa keluarga Gita memang keluarga yang selalu tak enak hati pada orang lain. "Pak Gibran. Anda di sini? Nona Gi...""Ssstttt!" Gib
Devan dan Gibran panik ketika melihat pergelangan tangan Gita bersimbah darah. Bahkan, Devan telah berurai air mata. Pikirannya dipenuhi ketakutan. Hatinya terasa sesak melihat Gita benar-benar lemas dan menutup mata. "Gak, gak mungkin. Anin, bangun, Anin. Kamu gak boleh lakuin ini," panik Devan yang terus menekan pergelangan tangan Gita. Sedangkan Gibran sedang memanggil Dokter, karena ia sudah berkali-kali memencet tombol darurat tak juga Dokter ataupun suster datang. Ketika Dokter datang, Devan dan Gibran segera menunggu di luar ruangan. Gibran tak habis pikir, jika adiknya begitu sulit menerima keadaannya saat ini. Ya, mana mungkin ia akan dengan mudah menerima. Gibran sangat tahu bagaimana sakitnya Gita saat ini. "Van, lo harus tenang. Gue titip Gita sebentar. Gue pergi dulu, menemui Abimana. Gue mau beri pelajaran padanya," ucap Gibran dengan wajah penuh amarah. Devan hanya mengangguk lemah. Tangannya masih gemetar mengingat keadaan Gita tadi. Sungguh demi apapun juga, ia ta
Pada umumnya, orang mengatakan bahwa pernikahan tanpa adanya seorang anak itu terasa tidak lengkap. Bahkan, banyak wanita di seluruh dunia mendamba hadirnya seorang anak. Namun, untuk masalah yang Gita hadapi saat ini, benar-benar memporak-porandakan hatinya. Harusnya kabar dirinya hamil dan akan jadi seorang ibu adalah kabar bahagia. Tapi, bolehkah sekarang ia merasa menolak dulu hadirnya anugerah itu?Gita melamun memandang keluar jendela dengan pemandangan malam yang gelap. Air matanya tak henti menetes. Ia juga tahu, jika keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya. Namun, ia bisa apa. Dirinya benar-benar rapuh sekarang. "Gita, makan dulu yuk, Sayang. Kamu belum makan apapun loh," bujuk Ratna yang merasa khawatir dengan kondisi Gita yang semakin lemah. "Untuk apa aku makan, Ma. Bukankah lebih baik mati daripada hidup dengan kesengsaraan seperti i..."PLAK!"Jaga mulut kamu, Gita! Mama gak pernah ajarkan kamu putus asa seperti ini!" Ratna marah dengan air mata yang merebak. Ia sa