Gita memejamkan mata erat, saat mendengar namanya dipanggil waiter. Ia segera memasuki bilik kamar mandi dan bersembunyi di sana. Jantungnya berdegup kencang. Demi apapun juga, setelah sekian lama ia melupakan laki-laki itu, kini ia ada di hadapan mata.
Entah perasaan apa yang menggelayuti hatinya. Kaget, malu, sakit hati pun masih ia rasa mengingat masa lalu. Namun, tak elakkan juga, bahwa Gita sedikit merasa senang, melihat laki-laki yang pernah mengisi hatinya itu baik-baik saja. "Apa kabar? Apa kabar kamu, Devan?" gumam Gita lirih. Ia melihat keadaan dirinya sekarang. Dan Gita pikir ia sangat memalukan. Baju rumahan yang biasa saja, serta sandal jepit yang ia pakai, cukup membuat dirinya merasa malu jika berhadapan dengan Devan yang tadi di mata Gita terlihat sangat --- tampan. Deg. Hatinya semakin berdegup kencang saat ia masih memuji ketampanan Devan. "Dasar, bodoh! Untuk apa kamu masih mikirin dia, Gita? Yang jelas, Devan kini sudah mapan dan pasti sudah berkeluarga," gumam Gita dengan meremat samping bajunya. Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru serta Gita mendengar bahwa suara itu sedang membuka bilik toilet satu per satu. "Anin? Itu kamu, kan?" Suara itu membuat Gita semakin panas dingin. Dengan erat ia membungkam mulutnya sendiri. Sangat tidak ingin bertemu dengan Devan dalam keadaan seperti ini. Selanjutnya, terdengar suara teriakan para wanita yang menemukan laki-laki di toilet wanita. Hingga Gita merasa lega saat dirinya bisa mendengar para wanita tersebut mengusir Devan. "Syukurlah," desah Gita dan segera beranjak pergi setelah beberapa lama. Segera membayar pesanannya dan meminta untuk dibawa pulang saja. Gita segera berjalan cepat, takut ia menemui Devan seperti tadi. Tidak lucu sepertinya, saat ia berusaha bersembunyi malah akan bertemu saat ini juga. Lagi-lagi hanya desahan lega yang Gita lakukan, karena semenjak ia berjalan meninggalkan Mall, tak ada tanda-tanda Devan akan muncul di hadapannya. "Hiduplah dengan bahagia, Devan," lirih Gita mendoakan sang mantan. ****** Devan mengumpat kesal ketika diusir para wanita yang mulai berdatangan masuk ke toilet, saat mencari Gita. Bahkan saat menunggu beberapa saat di depan toilet dan beberapa wanita keluar dari sana, ia tak temukan seseorang yang ia maksud. "Mungkin lo salah lihat kali." Suara Aldo menginterupsi. Mengundang decakan sebal dari Devan. "Aku yakin, aku gak salah lihat," tegas Devan keras kepala. Setelahnya laki-laki itu pergi tanpa menghiraukan Aldo. Ia berniat menunggu di mobil sedikit lebih lama. Kebetulan mobilnya ia parkir di luar Mall. Jika dugaannya benar, maka yang dimaksud Devan tadi tidak akan lama akan keluar dari Mall. Jikapun Devan salah, ia akan pergi segera. Dan benar saja, apa yang dilihat Devan adalah nyata. Bayangan yang ia rasa lihat di dalam resto tadi bukanlah hayalan atau imajinasinya saja. "Anin," lirih Devan dengan merembang air mata. Membayangkan bagaimana ia sangat merindukan wanita itu, hatinya membuncah saat melihat paras cantik yang lama tak ditemuinya sekarang ada di depan mata. Ketika Devan hendak keluar dari mobil dan mengejar Gita, Aldo menahan tangannya. "Lepas, Al!" geram Devan tak sabar. Ia hanya takut, wanita yang ia maksud semakin jauh darinya. "Apa lo gak sadar, Dev? Berarti dia sembunyi kan tadi? Kalau begitu, itu artinya dia tidak siap untuk bertemu. Jangan membuatnya semakin sulit, Devan," ucap Aldo menasehati. Devan menepis tangan Aldo dan segera menarik gagang pintu mobil. "Jangan gegabah, Dev. Kita ikuti saja dulu. Agar kita tidak kehilangan jejak," ucap Aldo menghentikannya yang akan mengejar Gita. Tanpa menjawab apapun, Devan kembali menutup pintu mobil dan menuruti usul Aldo. Membuat sekertaris sekaligus tangan kanan Devan itu bernapas lega. "Kenapa dia jalan kaki? Emang mau kemana sih, dia?" gumam Devan sendiri yang hanya dilirik Aldo dengan dengusan napas kesalnya. "Jam makan siang hampir habis, Pak Devan. Sebentar lagi kita..." "Oh, shit! Kenapa dia masuk gang sih?" umpat Devan memukul setirnya pelan. Aldo yang melihat itu hanya menggeleng kepala. Susah ya, kalau bucin. Begitu pikir Aldo. "Pak, Devan. Itu memang jalan untuk pejalan kaki. Kalau kita tetap mengikuti jalan ini, di depan sana sudah ada tembusan dari jalan yang gadis anda lewati," jelas Aldo yang hanya dilirik Devan. Namun setelahnya, laki-laki itu tersenyum samar. "Gadisnya" katanya. Devan sengaja memperlambat laju mobilnya, sembari menunggu Gita keluar dari jalan yang Aldo maksud. "Terus kenapa gak keluar-keluar?" protes Devan. "Yaa... ya mungkin dia masih beli-beli sesuatu... mungkin," jawab Aldo lirih di akhir. Lagi-lagi dengusan kasar yang terdengar. Devan tak sabar hingga turun dari mobil dan sedikit berlari mencari Gita. "Aduuh, laper banget lagi gue. Mana gak bawa mobil sendiri tadi. Terus gimana nasib gue. Pekerjaan lagi banyak-banyaknya pula. Oh, Tuhan, tolonglah aku," oceh Aldo yang sedang kelaparan. "Aaaaa!" Suara teriakan itu terdengar oleh Aldo. Hingga laki-laki itu segera turun dari mobil dan mengejar Devan. "Bos?!" seru Aldo yang terkejut melihat Devan terjatuh saat melawan dua orang di depannya. Tak menunggu lama, Aldo segera membantu Devan menghajar dua orang yang sepertinya sudah menganggu Gita. Melawan dua orang preman bertubuh sedikit lebih besar dari Aldo, membuatnya kewalahan, hingga membuahkan hasil bibirnya berdarah. Namun, lebih parah Devan. Selain bibirnya berdarah, wajahnya terkihat merah dan lebam. "Kamu..." lirih Gita menyentuh pipi Devan setelah dua preman tadi pergi usai dihajar Devan dan Aldo. Air mata Gita jatuh, ketika melihat luka di wajah tampan Devan. Membuat Devan tersenyum dan membalas belaian tangan Gita di wajahnya. "I miss you, Anin," lirih Devan membuat Gita menegang.Abimana menggeram marah ketika mendengar ucapan Sandra yang membuatnya tahu, bahwa Gita hamil dan ia tak tahu sama sekali. "Jadi, kemarin dia di rumah sakit itu, karena..." ucap Abimana terbata. Pikirannya kembali saat melihat tangan Gita yang terluka. Ia mengira, Gita menyayat nadinya karena tahu dirinya hamil anak Abimana dan ternyata Abimana sudah mempunyai istri lagi. Tentu saja hal itu membuat frustasi Gita. "Aku harus menemui Gita. Harus," putus Abimana yang hendak pergi meninggalkan Sandra sendirian. "Berhenti, Abi. Kamu gak bisa pergi gitu aja ninggalin aku! Aku juga istrimu!" larang Sandra menghalangi jalan Abimana. "Gita juga istriku, Sandra! Kamu jangan egois!" geram Abimana kesal. "Satpam! Tutup semua pintu!" teriak Sandra mengundang kedua orang tua Abimana kembali keluar dari kamar. Namun, Danu dan Sekar hanya melihat apa yang dilakukan Sandra. Bagi orang tua Abimana, uang dan perusahaan lebih penting dari cinta. "Pa, Ma. Gita hamil! Kalian akan punya cucu. Cucu ka
Roda kehidupan itu terus berputar. Tak akan ada yang tahu apa dan bagaimana hidup seseorang akan berjalan. Meski tiap orang selalu berusaha untuk hidupnya yang lebih baik, tapi terkadang hidup berjalan tak sesuai dengan yang diinginkan. Namun, ketahuilah, Tuhan-MU lebih tahu apa yang seseorang butuhkan, dan lebih tahu mana yang baik dan yang buruk untuk hambanya. Hadi sudah memanggil pengacara kepercayaannya untuk mengurus perceraian Gita dengan Abimana. Secepat mungkin ayah Gita itu tak mau kecolongan lagi dan membuat Gita dalam derita."Aku mau perceraian Gita secepatnya selesai, bisa?" tanya Hadi yang diangguki Catur, pengacaranya. "Semua berkas sudah terkumpul bersama bukti-bukti, saya tinggal memprosesnya ke pengadilan besok, Pak," jawab Catur mantap. "Kamu ingat tentang masalah yang aku ceritakan dulu?" tanya Hadi membuat Catur mengingat-ingat. "PT. BIMA adalah perusahaan hasil curian. Berkas dan bukti yang kamu minta sudah saya siapkan. Bisa segera diproses juga?" tanya Ha
Manusia selalu dihadapkan dengan pilihan. Dimana semua pilihan itu ada konsekuensinya. Jika pilihannya benar, ia aman dan bahagia. Namun, jika ia salah memilih, bisa saja kesedihan dan penyesalan yang ada. Gita merasakannya sekarang. Pilihan pertama yang ia buat saat memutuskan menikah dengan Abimana, rupanya membuatnya menelan pil pahit yang harus ia terima. Dan sekarang, ia kembali harus memilih antara bertahan atau berpisah dengan Abimana. "Mari berpisah, Mas." Satu kalimat itu sukses membuat Abimana memerah padam. Satu kata itu sangat ia benci. Apalagi sekarang ia menyadari, ia sangat tidak ingin berpisah dengan Gita. "Sudah pernah kukatakan padamu, Gita. Tidak akan ada kata pisah dalam hubungan kita," ucap Abimana dingin. Rasa sakit akibat pukulan Gibran sudah tak lagi ia rasa. Namun, kesal hatinya sekarang terasa sakit ketika Gita benar-benar meminta pisah darinya. "Aku gak akan ada gunanya untuk kamu, Mas. Lebih baik, kamu jaga istri kamu itu dengan baik," ucap Gita berpali
Sandra dilarikan ke rumah sakit karena tak sengaja terkena pukulan dari Gibran. Meski Abimana babak belur karena ulah Gibran, ia tetap berusaha membawa istrinya itu ke rumah sakit. Sedangkan Gibran, laki-laki itu merasa bertanggung jawab karena membuat Sandra pingsan, juga membuat babak belur Abimana. Meski hatinya kesal, tapi tidak pantas juga jika meninggalkan Abimana yang babak belur untuk mengurus istrinya yang pingsan. Namun, kali ini Gibran merasa bodoh. Bodohnya ia malah membawa mereka ke rumah sakit yang sama dengan Gita. "Dasar bodoh! Kenapa gue bawa kesini, sih!" maki Gibran sendiri dalam hati. "Gue anter lo ke UGD aja. Setelah itu gue pulang!" ucap Gibran penuh penekanan. Kesal? Tentu saja. Orang yang ia hajar nyatanya malah ia tolong sendiri. Entah mau bersikap bagaimana, Abimana hanya merasa kakak Gita itu memang baik seperti Gita. Ia merasa keluarga Gita memang keluarga yang selalu tak enak hati pada orang lain. "Pak Gibran. Anda di sini? Nona Gi...""Ssstttt!" Gib
Devan dan Gibran panik ketika melihat pergelangan tangan Gita bersimbah darah. Bahkan, Devan telah berurai air mata. Pikirannya dipenuhi ketakutan. Hatinya terasa sesak melihat Gita benar-benar lemas dan menutup mata. "Gak, gak mungkin. Anin, bangun, Anin. Kamu gak boleh lakuin ini," panik Devan yang terus menekan pergelangan tangan Gita. Sedangkan Gibran sedang memanggil Dokter, karena ia sudah berkali-kali memencet tombol darurat tak juga Dokter ataupun suster datang. Ketika Dokter datang, Devan dan Gibran segera menunggu di luar ruangan. Gibran tak habis pikir, jika adiknya begitu sulit menerima keadaannya saat ini. Ya, mana mungkin ia akan dengan mudah menerima. Gibran sangat tahu bagaimana sakitnya Gita saat ini. "Van, lo harus tenang. Gue titip Gita sebentar. Gue pergi dulu, menemui Abimana. Gue mau beri pelajaran padanya," ucap Gibran dengan wajah penuh amarah. Devan hanya mengangguk lemah. Tangannya masih gemetar mengingat keadaan Gita tadi. Sungguh demi apapun juga, ia ta
Pada umumnya, orang mengatakan bahwa pernikahan tanpa adanya seorang anak itu terasa tidak lengkap. Bahkan, banyak wanita di seluruh dunia mendamba hadirnya seorang anak. Namun, untuk masalah yang Gita hadapi saat ini, benar-benar memporak-porandakan hatinya. Harusnya kabar dirinya hamil dan akan jadi seorang ibu adalah kabar bahagia. Tapi, bolehkah sekarang ia merasa menolak dulu hadirnya anugerah itu?Gita melamun memandang keluar jendela dengan pemandangan malam yang gelap. Air matanya tak henti menetes. Ia juga tahu, jika keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya. Namun, ia bisa apa. Dirinya benar-benar rapuh sekarang. "Gita, makan dulu yuk, Sayang. Kamu belum makan apapun loh," bujuk Ratna yang merasa khawatir dengan kondisi Gita yang semakin lemah. "Untuk apa aku makan, Ma. Bukankah lebih baik mati daripada hidup dengan kesengsaraan seperti i..."PLAK!"Jaga mulut kamu, Gita! Mama gak pernah ajarkan kamu putus asa seperti ini!" Ratna marah dengan air mata yang merebak. Ia sa