Share

Bab 7. Anin?

Author: Little Casper
last update Last Updated: 2024-11-13 21:48:50

Orang bilang, apa yang terjadi pada kita adalah akibat dari apa yang kita perbuat. Hukum tabur tuai, berlaku di dunia. Dan Gita seakan merasakan dari dampak kata-kata itu sekarang.

Karma.

Benarkah ia mendapat karma dari keputusannya? Seharusnya ia menuruti apa kata sang Ayah yang tak merestui hubungannya dengan Abimana. Sekarang? Ia harus menelan pil pahit dari pilihannya.

Sakit. Itu yang Gita rasa. Tak bisa menyalahkan siapapun. Kecuali menyatakan bahwa dirinya lah yang bodoh. Tak bisa berpikir panjang dan hanya mengedepankan cinta butanya pada laki-laki yang jelas ternyata ia tidak tahu apapun tentangnya.

Sudah tiga hari ini Gita sendirian di rumah yang lumayan besar milik keluarga Abimana. Memang rumah itu tak sebesar rumahnya. Namun, ia merasakan bentuk nyata dari kata 'sepi'.

Sedangkan Abimana pun tak pernah menghubunginya sama sekali. Hanya saat malam setelah Abimana pergi, laki-laki itu mengirim pesan jika ia sudah mengirim sejumlah uang pada Gita untuk biaya hidupnya.

Gita sudah berkeliling di rumah ini. Dan ya, tak ada sedikitpun hal menarik di sana. Karena Gita menilai Rumah itu seperti bukan Rumah dalam arti sebenarnya.

"Harusnya di belakang sini ada taman. Pasti sejuk dipandang mata jika melihat tanaman hijau dan bunga yang warna-warni," celetuk Gita yang duduk di belakang rumah Abimana. Di mana hanya ada sepasang kursi dengan meja bundar dari besi bercat putih. Cantik. Tapi kosong. Itu yang dirasakan Gita.

"Kalau begini terus, aku kesepian. Mendingan aku jalan-jalan aja deh. Biar gak bosan," ujar Gita sedikit menampakkan senyuman manis yang akhir-akhir ini menghilang.

Gita bersiap dan mengambil tas kecilnya dan mulai berjalan. Menarik napas dalam dan merasakan udara di pagi itu. Rasanya segar. Seolah selama ini ia terkurung di rumah suaminya.

"Aku gak tahu, kalau selama ini aku merasa sesak. Harusnya kan aku bisa mencari kesenanganku sendiri? Kenapa kamu bodoh sekali Gita?" gumam Gita sendiri sembari berulang kali menghirup dalam-dalam udara di luar pagi itu. Seolah ia tak pernah merasakannya selama ini.

"Mulai sekarang aku akan mencari kesenanganku sendiri. Gak boleh sedih. Gak boleh cengeng," ucap Gita mantap dengan mengeratkan genggamannya pada tali selempang tasnya.

Ia berjalan riang menikmati cuaca pagi serta pemandangan lalu lalang kendaraan.

Bermaksud untuk belanja barang kebutuhannya, Gita memasuki sebuah mall yang tak seberapa jauh dilalui dengan berjalan kaki.

Menatap takjub Mall yang sudah ramai pengunjung itu, Gita tersenyum dan mulai masuk dengan semangat. Andai saja Abimana tidak berubah, ia pasti akan sering jalan-jalan ke mall itu bersama suaminya. Seperti sebelum ia menikah, Abimana selalu menuruti semua keinginannya. Bahkan selalu membujuk saat Gita merajuk.

Ah, Gita sungguh merindukan momen manis itu. Meski sekarang, semua hilang bak ditelan bumi. Gita akan memaklumi. Ia akan menerima. Bahkan ia rela menahan sakit karena memang itu pilihannya sendiri.

Matanya tertuju pada sebuah baju tidur couple yang terpasang cantik di manekin. Itu yang selalu ia impikan saat setelah menikah dengan Abimana. Namun, senyumnya luntur bersama ingatan pahit yang beberapa hari ini ia alami.

Gita menggeleng pelan. Menepis semua angan-angannya. "Aku akan pergi makan dulu, setelahnya belanja buat mengisi kulkas," gumam Gita berusaha tersenyum kembali.

Saat Gita menunggu pesanan makannya datang, netranya fokus pada seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang. Tanpa terasa ia menitikkan air mata, tapi segera ia menghapusnya saat bertemu mata dengan orang tersebut dan berlari menuju toilet.

*****

Devan menghela napas lega setelah setumpukan berkas sudah selesai ia tinjau. Banyak laporan yang belum ia selesaikan karena dari kemarin ia sibuk meeting. Laporan keuangan sudah ia periksa. Peninjauan pembangunan gedung untuk Mall baru juga sudah ia pantau kemarin.

Hanya saja ada sedikit kendala. Bukan kendala sepenuhnya, tapi sekertarisnya sedang cuti melahirkan, sehingga dia sedikit kewalahan tentang keadministrasian. Meskipun sudah dibantu Sekertaris utama yaitu Aldo. Namun, pekerjaannya jadi lumayan berat karena sekertaris yang mengurus keadministrasian tidak ada.

"Segera buka lowongan, Al. Gak mungkin kita selalu merangkap tugas seperti ini, kan. Bisa repot kita," ucap Devan menyandarkan punggungnya di kursi kerja. Sedikit merenggangkan tubuhnya yang seharian duduk menatap dokumen.

"Sebenarnya, aku bisa saja menggantikan posisi Mbak Mirna," celetuk Aldo yang mendapat lirikan tajam dari Devan. Oh, ayolah. Devan sudah lelah, jangan lagi memancing emosi.

"Kamu itu tugasnya membantu saya dan menemani saya kemanapun ada pekerjaan. Kamu mau lepas tugas?" kata Devan yang hanya mendapat cekikikan dari Aldo.

"Canda doang. Makan yuk ah. Laper. Lo kalau lagi laper tuh serem tau," ucap Aldo yang segera beranjak dari sofa. Devan mendengus kasar dan mau tak mau mengikuti langkah Aldo. Dirinya pun memang sudah lelah dan lapar.

Pilihan tempat makan siang mereka tak lain adalah restoran yang ada di dalam Mall-nya sendiri. Ya. Devan memang selalu melakukan hal itu. Jika semua yang ada di Mall nya sendiri sudah lengkap dan nyaman, buat apa ia mencari tempat makan siang lain. Bahkan, ia sudah memberi tahu pada semua karyawannya untuk bersikap biasa saja, saat Devan ingin makan atau sekedar berjalan-jalan di mall nya sendiri.

Saat berjalan, netranya sedikit menangkap bayangan seseorang, yang menurutnya ia kenal.

"Anin?!" gumam Devan mengalihkan fokus Aldo.

"Lo manggil gue?" tanya Aldo heran yang melihat Devan berlari seakan mengejar seseorang.

"Dev? Oops. Pak Devan! Anda mau kemana?!" seru Aldo yang ikut berlari bersama Devan. Hampir saja ia keceplosan memanggil Devan dengan namanya. Mereka memang bersahabat. Namun, Mall ini masih lingkup kerja mereka, yang masih banyak bawahan yang tahu mereka siapa.

"Pak Devan?"

"Gue yakin tadi melihat Anin di sini, Al," ucap Devan dengan napas yang terengah. Saat menghampiri meja yang tadi melihat seseorang, tapi meja itu sudah kosong.

"Anin? Oh maksud lo gadis lo itu?" bisik Aldo tak percaya.

"Pesanan atas nama Gita?"

Dan atas panggilan pesanan itu, Devan terkejut. Sepertinya dugannya kali ini benar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Disia-siakan Suami, Diratukan Mantan Terindah   Bab 43. Bolehkah egois?

    Abimana menggeram marah ketika mendengar ucapan Sandra yang membuatnya tahu, bahwa Gita hamil dan ia tak tahu sama sekali. "Jadi, kemarin dia di rumah sakit itu, karena..." ucap Abimana terbata. Pikirannya kembali saat melihat tangan Gita yang terluka. Ia mengira, Gita menyayat nadinya karena tahu dirinya hamil anak Abimana dan ternyata Abimana sudah mempunyai istri lagi. Tentu saja hal itu membuat frustasi Gita. "Aku harus menemui Gita. Harus," putus Abimana yang hendak pergi meninggalkan Sandra sendirian. "Berhenti, Abi. Kamu gak bisa pergi gitu aja ninggalin aku! Aku juga istrimu!" larang Sandra menghalangi jalan Abimana. "Gita juga istriku, Sandra! Kamu jangan egois!" geram Abimana kesal. "Satpam! Tutup semua pintu!" teriak Sandra mengundang kedua orang tua Abimana kembali keluar dari kamar. Namun, Danu dan Sekar hanya melihat apa yang dilakukan Sandra. Bagi orang tua Abimana, uang dan perusahaan lebih penting dari cinta. "Pa, Ma. Gita hamil! Kalian akan punya cucu. Cucu ka

  • Disia-siakan Suami, Diratukan Mantan Terindah   Bab 42. Yang sesungguhnya

    Roda kehidupan itu terus berputar. Tak akan ada yang tahu apa dan bagaimana hidup seseorang akan berjalan. Meski tiap orang selalu berusaha untuk hidupnya yang lebih baik, tapi terkadang hidup berjalan tak sesuai dengan yang diinginkan. Namun, ketahuilah, Tuhan-MU lebih tahu apa yang seseorang butuhkan, dan lebih tahu mana yang baik dan yang buruk untuk hambanya. Hadi sudah memanggil pengacara kepercayaannya untuk mengurus perceraian Gita dengan Abimana. Secepat mungkin ayah Gita itu tak mau kecolongan lagi dan membuat Gita dalam derita."Aku mau perceraian Gita secepatnya selesai, bisa?" tanya Hadi yang diangguki Catur, pengacaranya. "Semua berkas sudah terkumpul bersama bukti-bukti, saya tinggal memprosesnya ke pengadilan besok, Pak," jawab Catur mantap. "Kamu ingat tentang masalah yang aku ceritakan dulu?" tanya Hadi membuat Catur mengingat-ingat. "PT. BIMA adalah perusahaan hasil curian. Berkas dan bukti yang kamu minta sudah saya siapkan. Bisa segera diproses juga?" tanya Ha

  • Disia-siakan Suami, Diratukan Mantan Terindah   Bab 41. Ketahuan

    Manusia selalu dihadapkan dengan pilihan. Dimana semua pilihan itu ada konsekuensinya. Jika pilihannya benar, ia aman dan bahagia. Namun, jika ia salah memilih, bisa saja kesedihan dan penyesalan yang ada. Gita merasakannya sekarang. Pilihan pertama yang ia buat saat memutuskan menikah dengan Abimana, rupanya membuatnya menelan pil pahit yang harus ia terima. Dan sekarang, ia kembali harus memilih antara bertahan atau berpisah dengan Abimana. "Mari berpisah, Mas." Satu kalimat itu sukses membuat Abimana memerah padam. Satu kata itu sangat ia benci. Apalagi sekarang ia menyadari, ia sangat tidak ingin berpisah dengan Gita. "Sudah pernah kukatakan padamu, Gita. Tidak akan ada kata pisah dalam hubungan kita," ucap Abimana dingin. Rasa sakit akibat pukulan Gibran sudah tak lagi ia rasa. Namun, kesal hatinya sekarang terasa sakit ketika Gita benar-benar meminta pisah darinya. "Aku gak akan ada gunanya untuk kamu, Mas. Lebih baik, kamu jaga istri kamu itu dengan baik," ucap Gita berpali

  • Disia-siakan Suami, Diratukan Mantan Terindah   Bab 40. Mari berpisah!

    Sandra dilarikan ke rumah sakit karena tak sengaja terkena pukulan dari Gibran. Meski Abimana babak belur karena ulah Gibran, ia tetap berusaha membawa istrinya itu ke rumah sakit. Sedangkan Gibran, laki-laki itu merasa bertanggung jawab karena membuat Sandra pingsan, juga membuat babak belur Abimana. Meski hatinya kesal, tapi tidak pantas juga jika meninggalkan Abimana yang babak belur untuk mengurus istrinya yang pingsan. Namun, kali ini Gibran merasa bodoh. Bodohnya ia malah membawa mereka ke rumah sakit yang sama dengan Gita. "Dasar bodoh! Kenapa gue bawa kesini, sih!" maki Gibran sendiri dalam hati. "Gue anter lo ke UGD aja. Setelah itu gue pulang!" ucap Gibran penuh penekanan. Kesal? Tentu saja. Orang yang ia hajar nyatanya malah ia tolong sendiri. Entah mau bersikap bagaimana, Abimana hanya merasa kakak Gita itu memang baik seperti Gita. Ia merasa keluarga Gita memang keluarga yang selalu tak enak hati pada orang lain. "Pak Gibran. Anda di sini? Nona Gi...""Ssstttt!" Gib

  • Disia-siakan Suami, Diratukan Mantan Terindah   Bab 39. Kemarahan Gibran

    Devan dan Gibran panik ketika melihat pergelangan tangan Gita bersimbah darah. Bahkan, Devan telah berurai air mata. Pikirannya dipenuhi ketakutan. Hatinya terasa sesak melihat Gita benar-benar lemas dan menutup mata. "Gak, gak mungkin. Anin, bangun, Anin. Kamu gak boleh lakuin ini," panik Devan yang terus menekan pergelangan tangan Gita. Sedangkan Gibran sedang memanggil Dokter, karena ia sudah berkali-kali memencet tombol darurat tak juga Dokter ataupun suster datang. Ketika Dokter datang, Devan dan Gibran segera menunggu di luar ruangan. Gibran tak habis pikir, jika adiknya begitu sulit menerima keadaannya saat ini. Ya, mana mungkin ia akan dengan mudah menerima. Gibran sangat tahu bagaimana sakitnya Gita saat ini. "Van, lo harus tenang. Gue titip Gita sebentar. Gue pergi dulu, menemui Abimana. Gue mau beri pelajaran padanya," ucap Gibran dengan wajah penuh amarah. Devan hanya mengangguk lemah. Tangannya masih gemetar mengingat keadaan Gita tadi. Sungguh demi apapun juga, ia ta

  • Disia-siakan Suami, Diratukan Mantan Terindah   Bab 38. Perasaan Gita

    Pada umumnya, orang mengatakan bahwa pernikahan tanpa adanya seorang anak itu terasa tidak lengkap. Bahkan, banyak wanita di seluruh dunia mendamba hadirnya seorang anak. Namun, untuk masalah yang Gita hadapi saat ini, benar-benar memporak-porandakan hatinya. Harusnya kabar dirinya hamil dan akan jadi seorang ibu adalah kabar bahagia. Tapi, bolehkah sekarang ia merasa menolak dulu hadirnya anugerah itu?Gita melamun memandang keluar jendela dengan pemandangan malam yang gelap. Air matanya tak henti menetes. Ia juga tahu, jika keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya. Namun, ia bisa apa. Dirinya benar-benar rapuh sekarang. "Gita, makan dulu yuk, Sayang. Kamu belum makan apapun loh," bujuk Ratna yang merasa khawatir dengan kondisi Gita yang semakin lemah. "Untuk apa aku makan, Ma. Bukankah lebih baik mati daripada hidup dengan kesengsaraan seperti i..."PLAK!"Jaga mulut kamu, Gita! Mama gak pernah ajarkan kamu putus asa seperti ini!" Ratna marah dengan air mata yang merebak. Ia sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status