“Kamu yakin di sini lokasinya?”Duh, entah sudah berapa kali Adam terus bertanya tentang lokasi kost yang akan ditempati Lila itu. Sejak mereka keluar dari area bandara, Adam terus mengekori Lila seperti anak itik yang takut kehilangan induknya. Selama itu pula Adam terus bertanya ini-itu namun hanya dibalas singkat saja oleh Lila.Lila pikir jika Adam akan berhenti karena mengira Lila yang malas membicarakan apapun dengannya. Tetapi ternyata sisi ketidakpekaan Adam yang satu ini baru diketahui Lila sekarang. Seolah Adam begitu terobsesi dengan informasi yang akan didapatnya itu, Adam terus menanyakan banyak hal meski balasan Lila terkesan enggan.“Mama bilang sih benar di sini,” sahut Lila sembari memperlihatkan pesan terakhir sang ibu pada Adam.Dengan kerutan di kening yang semakin tercetak tebal, Adam terus mengamati isi pesan itu. Cukup lama bagi Adam hingga tatapan pria itu menjauh dari layar ponsel. Embusan napas berat Lila seakan menjadi balasan atas tingkah Adam yang super an
“Mas bisa loh cariin tempat kost lain sekarang juga. Enggak akan butuh waktu lama kok, La.”Untuk kesekian kalinya Adam tak menyerah meyakinkan Lila agar membatalkan rencananya tinggal di paviliun itu. Memang kondisi bangunan mungil itu cukup nyaman dan bersih, seperti layaknya rumah yang selalu rutin dibersihkan meski kosong sudah lama.Jika bukan karena kehadiran lelaki yang mengusik Adam, tentu Adam tak akan terus mendesak Lila agar mengubah pikirannya. Membayangkan Lila akan tinggal dekat dengan lelaki tengil, membuatnya tak tenang. Alarm kewaspadaan dalam tubuh Adam seketika berbunyi tak henti.“Aku bakalan tetap tinggal di sini, Mas. Aku udah buat kesepakatan sama Bu Indri. Mama juga udah setuju kok. Malah Mama yang nyaranin aku buat tinggal di sini.”“Tapi, Mama enggak ngasih tahu kan kalau ada cowok aneh yang juga tinggal di sini? Mama enggak mungkin ngijinin kamu tinggal di sini kalau tahu ada cowoknya, La.”“Aku kan nggak tinggal bareng sama dia, Mas.” Lila tak terima. Kenya
Lila sangka jika perasaannya akan berubah lebih baik saat dia meninggalkan Jakarta. Melupakan segala momen yang pernah disinggahi Adam di sana. Nyatanya, perbedaan koordinat tempat tinggalnya sekarang tak berdampak apa-apa. Malah rasa rindu itu semakin menjadi. Membuat lubang lain dalam hatinya yang bahkan tak bisa diisi oleh apapun. “Enggak baik loh kalau pagi-pagi aja udah diisi sama ngelamunin sesuatu yang belum tentu pasti adanya.” Suara seseorang di sebelah Lila mengusik pendengarannya. Pria sama yang sejak kemarin itu rupanya belum menemukan titik kebosanan mengganggu Lila. Jika bukan karena rasa sungkannya pada Bu Indri, sudah sejak pertemuan kedua mereka di rumah itu Lila akan meminta Kala berhenti menemuinya. Apapun alasannya Lila tak mau melihat wajah pria muda itu. “Permisi.” Lila melenggang pergi dari depan taman bunga itu. Keuntungan baginya karena tak jadi membatalkan kesepakatan untuk tinggal di paviliun itu adalah satu tempat indah ini. Tepat saat matahari mulai m
“Akhirnya ketemu juga.”Lila tak percaya melihat sosok di sebelahnya itu sekarang. Baru saja Lila bisa menghela napas lega, sekarang dia malah kembali disudutkan dengan percakapan satu arah yang hanya menguras energi dan kesabarannya.Tetapi setiap kali diusir, Kala malah semakin gencar mengusik Lila. Bahkan sikap ketus yang ditunjukkan Lila tak mempan sekali padanya. Entah harus bagaimana lagi Lila menghindari Kala dan tingkahnya yang absurd itu.“Kenapa kamu terus ngikutin aku sih?” Kali ini Lila tak bisa diam lagi.“Cuma mau ngajakin sarapan.” Kala malah menyengir lebar tanpa rasa bersalah. “Kamu pasti belum makan, kan?”“Aku enggak lapar.”“Kamu bohong lagi. Udah ayo!”Seakan tangan Lila sudah disahkan sebagai milik Kala, tanpa sungkan Kala menggenggam jemari Lila lantas menariknya lembut. Lila yang tak menduga kelancangan Kala kali ini menghempaskan tangan Kala tanpa basa-basi lagi.Wajah Lila sudah memerah menahan geram. Kala benar-benar sudah membuat kesabarannya habis. Ditamba
Sekali lagi Lila mengecek suhu tubuhnya. Tak ada termometer di dalam kamarnya itu, jadi dia hanya bisa mengira-ngira dengan menempelkan tangan ke kening.“Enggak terlalu panas kayaknya, tapi kenapa dingin banget kerasanya?”Dengan menguatkan kakinya bertumpu di lantai kamar, Lila mencari sweater yang sudah lama tak dipakainya itu. Lila harus berterima kasih pada ibunya yang bersikukuh membujuknya untuk tetap membawa benda itu, berjaga-jaga seandainya dibutuhkan.Terbukti perkataan Risma benar. Saat ini Lila memang sangat membutuhkannya agar tubuhnya tak terus menggigil kedinginan.“Permisi.”Suara dari depan menghentikan kegiatan Lila yang sedang memakai sweater. Tadinya Lila ingin menyahuti namun tenaganya mendadak habis. Suaranya lemah yang dia yakini tak akan bisa didengar oleh sosok yang entah siapa itu.“Lila? Kamu ada di dalam, kan?”Lila baru menyadari pemilik suara itu. Tangannya yang sudah terulur hendak menggerakkan handle pintu itu urung. Kejadian hari ini sudah melewati ba
Sementara itu Adam terus memijat keningnya, gusar. Situasi malah semakin rumit dan dia bahkan tak bisa keluar dengan mudah. Adam sadar jika pada akhirnya nanti situasi seperti ini akan muncul, namun dia tak mengira akan secepat ini. Sejujurnya Adam belum siap. “Kamu belum tidur, Dam?” Risma yang terbangun hendak mengambil segelas air dapur saat dia menemukan Adam sedang duduk dalam gelap. Khawatir dengannya, Risma memilih duduk setelah menyalakan lampu di ruang tengah itu. Diperhatikannya raut wajah Adam yang kusut, tak sengaja embusan napasnya malah meluncur begitu saja. “Maaf kalau aku jadi bikin Mama cemas.” “Ah, rupanya kamu peka juga ya sama perasaan Mama, Dam.” Sejak obrolan penting yang tak diduga-duga itu mencuat di rumah sakit, Risma memang terus kepikiran. Keputusan Adam yang disadari Risma juga dipicu oleh paksaan dari keadaan memang cukup membuat Risma was-was. Entah mengapa, Risma sekarang malah tak ingin Adam segera menikah dengan Maya. Berbeda dengan sebelumnya keti
“Mas tega banget! Anak sendiri sakit tapi malah mentingin nongkrong sama teman-teman Mas! Raka demam tinggi, Mas. Aku mau bawa dia ke dokter. Udah lebih dari dua hari demamnya nggak turun juga. Aku mau minta uangnya sama Mas.”Bukannya melunak, hati yang lebih keras dari baja itu malah semakin menjadi. Tamparan keras melayang ke pipi kanan Lila. Panas dan nyeri menjalar di sekitar pipi Lila lantas membuat gendang telinganya berdenging kencang.Kerongkongan Lila mendadak kering. Untuk menelan ludahnya sendiri pun sulit sekali. Kedua matanya yang kini terpaku menatap sang suami mulai berair.“Kasih saja obat yang ada di warung. Kalau cuma panas aja, minum obat sekali dua kali juga nanti sembuh sendiri.”Lila masih berdiri dengan satu tangannya menyentuh permukaan pipinya yang masih terasa nyeri itu.“Aku kan kemarin udah ngasih uang lima puluh ribu sama kamu. Masih aja minta lagi,” cetus Ridwan dengan kesal.“Aku bakalan pulang malam banget jadi pintunya jangan kamu kunci lagi. Malu kal
Keluar dari rumahnya, Lila bisa melihat tetangga-tetangganya diam saja. Bahkan ada yang langsung masuk ke rumah seperti baru saja melihat hantu. Tak ada yang membantu Lila satu orang pun. “Toloong… toloong…” Suara Lila sudah seperti desisan yang tak terdengar. Energi Lila pun sudah hampir habis karena selama dua hari ini Lila memutuskan untuk puasa. Tidak ada cara lain baginya karena persediaan uang di tangan sangat menipis dan hanya cukup dibelikan beras untuk dijadikan bubur bagi Raka. “Cepat sedikit!” perintah pria yang sejak tadi menarik tangan Lila kasar. Kaki Lila terseok-seok. Lila hampir terjatuh saat dia tak sengaja menginjak beberapa kerikil. Pria satunya memperhatikan kanan-kirinya. Masih banyak kendaraan yang lalu-lalang di jalanan yang tak terlalu besar itu. Akan menimbulkan keributan lain jika ada orang yang memperhatikan lantas melaporkan mereka pada aparat setempat. “Masukkan dia!” Baru saja Lila hendak dimasukkan ke mobil, Lila melihat pria yang tadi menyeretny