Bab 22Semua kejadian berlalu dengan cepat sejak kerusuhan itu. Yudha juga jarang sekali masuk kantor. Kalau pun datang, hanya sebentar untuk menandatangani laporan atau mengecek ke HRD.Aku tahu apa yang tengah Yudha lakukan, beberapa kali aku mengikutinya dan semua sama, Yudha berhenti di sebuah apartemen yang sama. Entah siapa yang dia temui di sana dan urusan apa. Hari ini, aku meminta Yudha untuk datang ke kantor karena ada sesuatu yang urgen dan harus segera diselesaikan. Dia mengiyakan. Tepat pukul 10.00 WIB Yudha datang dengan tergesa. Kemejanya agak sedikit lecek dengan rambut yang sudah mulai sedikit gondrong. Duh, ingin rasanya aku mengurus semua keperluanmu, Yudh, tetapi apalah daya aku hanya kau pandang sebelah mata.“Apa ada yang urgent, Tiara?” tanyanya padaku seolah perusahaan ini tidaklah terlalu penting baginya. Padahal, sebelumnya aku tahu pasti bagaimana gigihnya Yudha memulihkan perusahaan peninggalan ayahnya ini yang waktu itu hampir saja tutup karena mengala
Bab 21PoV Tiara. Menurutmu, bagaimana rasanya mencintai seseorang dengan tulus selama bertahun-tahun tanpa balasan dengan perasaan yang sama? Bukankah rasanya menyakitkan? Menjengkelkan? Menyedihkan? Benar, perasaan seperti itulah yang setiap hari kurasakan ketika memandang wajahnya … dan ketika menyadari bahwa dia mencintai wanita lain. Aku merupakan sekretarisnya. Orang tuaku dan orang tuanya sudah menjalin pertemanan yang baik dan cukup lama. Semasa papanya Yudha masih hidup, beliau pernah mengutarakan keinginannya untuk menjadikan aku sebagai menantu. Namun, belum sempat niatnya terwujud, beliau telah lebih dulu berpulang.Aku bekerja dengan giat bagi kemajuan perusahaan. melakukan segala cara untuk mendapatkan perhatiannya. Mengubah cara berpakaianku menjadi lebih feminim, gaya bicaraku menjadi lebih lembut dan manis, bahkan rela bekerja lembur tanpa mendapatkan bonus. Semua itu demi menarik perhatiannya! Aku tidak peduli jika orang lain mengatakan bahwa aku terobsesi pada pri
Bab 20: "Ya, setelah kamu memanggil saya dengan benar." Aku cukup terkejut dengan ucapan Dokter Pram yang tidak terduga. Kami tidak pernah ada hubungan khusus yang melibatkan perasaan dengannya, tetapi dalam waktu beberapa hari terakhir ini tingkahnya, khususnya padaku seoalah kami mempunyai hubungan spesial. Terlalu dekat rasanya untuk menggunakan sapaan akrab seperti yang dia pinta, canggung aja rasanya. "Ya, maaf, terima kasih sudah mengizinkan Yudha untuk dibawa pulang," jawabku. Aku segera beranjak dari tempatku dan bermaksud untuk menunaikan salat Asar di mushala rumah sakit. Namun, lagi-lagi Dokter Pram menghentikan dengan ajakannya. "Aisyah, ikut aku ke kantin, yuk, kamu pasti capek, ‘kan mengurus temanmu itu." Aku menggeleng pelan, menjawab dengan sopan, "Terima kasih ajakannya, Mas, tapi saya sudah makan dan sekarang maun ke mushala dulu." "Ok, tapi lain kali kalau kamu menolak ajakan saya, mungkin besok-besok kamu yang akan jadi pasien saya karena membiarkan per
Bab 19: Siapa Dia? "Dia? Dia siapa maksudmu Yudha?" tanyaku penasaran. Teka-teki yang tak kunjung mendapat titik terang ini malah menghasilkan rahasia baru yang harus dibongkar satu-persatu. Yudha terdiam sejenak. Dia menatap lurus ke depan, sepertinya mengingat kejadian mengerikan yang menyebabkan tubuhnya cedera di beberapa bagian. "Yudha?" "Astagfirullah! Maaf, tadi aku tidak sengaja teringat kejadian itu." "Kejadian? Apakah kejadian yang membuat kamu jadi seperti ini, Yud? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa banyak sekali luka di tubuhmu, Yudha? Kamu tidak memberikan nyawamu cuma-cuma karena masalahku, ‘kan?" ucapku menodongnya dengan banyak pertanyaan. Menanggapi kekhawatiranku, Yudha malah tertawa lebar. Bahkan suaranya sampai menggema ke seluruh ruangan inapnya, dan aku tahu dia melakukan itu seraya menahan rasa sakit yang seketika menjalar ke seluruh bagian tubuhnya yang cedera. "Aisyah, kita berteman sudah berapa lama sih? Kamu tenang saja, aku ini bukan pria
Bab 18: "Aisyah …." Suara parau Yudha, bercampur dengan nada serak terdengar oleh telingaku. Dia memaksakan diri untuk duduk meski badannya terasa sangat lemah, terdengar dari rintihan sakitnya membuatku merasa iba. Aku mendekati ranjang Yudha, menahan tubuhnya agar tidak memaksakan diri. Terlihat Tiara bergegas menghampiri, tetapi entah kenapa dia tiba-tiba menahan langkahnya dan membuang pandangan ke lain arah. "Yudha ... sudah, jangan banyak gerak dulu. Maaf, sepertinya suaraku terlalu keras sehingga membangunkanmu.” "Aisyah ... terima kasih, ya, terima kasih banyak. A—aku ... a—ku ..." Sorot mata Yudha terlihat pilu. Dia pasti menangkap wajah lelahku yang beberapa hari ini menungguinya dengan setia di rumah sakit, meski sempat pulang sebentar ke rumah. "Yudha, badan kamu masih lemah. Sekarang fokus saja untuk pemulihan. Aku tidak bisa melihat sahabatku sakit seperti ini, apalagi karena aku penyebabnya." Yuda sempat ingin mengelak pernyataanku, tetapi aku langsung me
Bab 17Kedatangan TiaraWalaupun Yudha telah sadar dan Dokter menyatakan tidak ada yang terganggu dalam fisiknya, luar maupun dalam. Namun, pihak rumah sakit belum memberikan izin kami untuk membawanya pulang.“Yudha masih butuh penanganan yang serius, Syah.” Begitu kata Mas Pram saat kucoba bertanya padanya kapan kira-kira Yudha bisa dibawa pulang.Penyelidikan polisi atas kasus yang menimpa Yudha pun kini mulai dilanjutkan kembali. Alhamdulillah Yudha bisa memberikan keterangan dengan lancar sehingga itu bisa membantu memudahkan polisi untuk mengungkap siapa pelakunya.Hari ini sudah hari ketiga semenjak Yudha dinyatakan sadar dari koma, aku tengah bersiap untuk berangkat ke rumah sakit saat ponsel berdering tanda masuk satu panggilan.Hmm, lagi-lagi kontak dengan nama ‘Sayangku’.“Assalamualaikum, Mas, selamat pagi ...,” jawabku sesaat setelah panggilan tersambung.[Mau ke rumah sakit?] tanyanya.“Iya, ini udah mau berangkat, kok,” imbuh Aisyah.[Gak usah bawa mobil, bareng aku aj