Bismillahirrahmanirrahim.
“Sudah toh Ma, jangan marah-marah terus, nanti darah tinggimu kumat. Papa lagi yang repot.” Oceh lelaki itu mengusap bahu sang istri.“Oh begitu ya, bilang saja, sekarang papa tidak mau direpotkan lagi oleh penyakitku. Tidur di luar sana,” titah sang istri makin tersulut emosi.Belum reda amarahnya karena perbuatan Erlangga, sekarang pria yang hampir mendekati seperempat abad menemaninya dalam suka dan duka mulai bosan, tak mau lagi direpotkan olehnya.“Bukan begitu Ma, justru karena papa sayang sama mama, makanya papa bilang jangan marah-marah, nanti darah tingginya kumat.” Balas pria itu merengkuh wanitanya hangat.“Sini, Papa peluk, siapa tahu bisa meredakan emosi mama.” Tanpa menunda Bu Waida langsung menubruk suaminya.“Mama tahu Pa, papa adalah lelaki terbaik yang Allah kirim untuk Mama. Mama hanya sedih mengingat sikap Erlangga pada Ela. Padahal kita tahu Ela itu wanita sholehah. Mama tidak percaya perkataan lelaki yang datang waktu itu. Mana mungkin Ela berbuat serendah itu.”“Kenapa Erlangga tidak menuruni sifat Papa, belum apa-apa sudah melukai hati wanita sebaik Ela. Mama malu dengan Rosyida Pa, entah apa yang dipikirkannya tentang keluarga kita.”“Papa mengerti Ma, tapi semua sudah terjadi. Ya sudahlah! Kita hadapi dengan ikhlas apa pun resikonya nanti.”“Meskipun Rosyida marah, memaki dan yang terburuk memutuskan persahabatan dengan Mama?”“Apa pun itu, Allah pasti nanti memberikan solusi yang terbaik. Tidak ada masalah yang tidak selesai. Jadi sekarang tenangkan pikiran mama dan sebaiknya sekarang istirahat.”Pak Handoko menuntun sang istri ke tempat tidur, menarik selimut, tak lupa mengecup dahi sang istri dengan penuh rasa cinta.Sementara di luar pintu, Erlangga mendengar semua perkataan sang Mama. Melihat langsung bagaimana sang papa memperlakukan wanitanya. Membuat Erlangga tertunduk diam. Pikirannya mulai berkelana dengan kejadian di mesjid tempat akad nikah berlangsung. Perkataan sang Mama ada benarnya, terlalu cepat ia memutuskan bercerai. Harusnya ia selidiki lebih dulu, benar apa tidak yang dikatakan pria itu. Sekarang Erlangga mulai tampak ragu, mau meralat ucapan itu juga tidak mungkin. Erlangga memijit kepalanya yang mulai terasa sedikit pusing.Tapi mengingat ucapan lelaki itu yang mengatakan dengan sangat yakin, kalau mereka beberapa kali melewati malam yang syahdu. Kembali emosi Erlangga naik ke ubun-ubun.Tak mau ia mengamuk di depan pintu kamar orang tuanya, Erlangga memutuskan kembali ke kamar. ***Di rumah sakit Bhayangkara, di ruang rawat inap Abi Hisyam, tampak Ela mengusap bahu lelaki itu pelan.Dari semalam ia tak berani jauh dari sang Abi, takut sewaktu-waktu lelaki cinta pertamanya itu pergi meninggalkannya untuk selamanya.Dokter mengatakan, karena benturan keras di kepala mengakibatkan Abi Hisyam koma. Tidak hanya itu penyebab terjadinya koma menurut pikiran Ela. Abi tak kuat menanggung beban, syok berat menerima kenyataan anak gadisnya ditalak tepat setelah akad. Untung bukan jantungan mendadak, bisa-bisa Abi pergi untuk selamanya.Dokter sampai bertanya apa yang terjadi sebenarnya, kenapa kepala Abi bisa terbentur. Ela menjawab dengan sedikit berbohong, kalau kepala Abi terbentur lantai saat jatuh dan terpelesat dari kamar mandi. Ela tidak mungkin bilang, kalau Abi jatuh saat mendengar putrinya dihina dan ditalak setelah akad. Ayah mana yang siap menanggung hinaan dan cemoohan terhadap putrinya yang begitu berat, baru saja beban itu terlepas dari pundaknya, sekarang harus ia ambil alih kembali.Dokter tidak bisa memprediksi berapa lama Abi Hisyam koma. Semoga saja itu tidak lama, desis Ela dalam hati.Bagi Ela, Abi koma itu lebih baik, dari pada Abi pergi untuk selamanya. Dengan begitu Ela masih punya harapan sang Abi akan sembuh.Tepat pukul 10.00 pagi, sang Umi datang membawa rantang dan sedikit makanan sebagai bekal menjaga dan merawat orang sakit.“Bagaimana keadaan Abi, Nak?”“Masih sama dengan kemaren Umi, belum ada perubahan yang berarti.”Umi Rosyida mengangguk pelan.8“Sebaiknya sekarang kamu pulang, dari kemaren kamu di sini. Biar Umi yang jaga Abi. Lihat penampilanmu, kusut dan kuyu. Apa semalam kamu tidak bisa tidur?”“Iya Umi, perkataan Soni tidak mau hilang dalam pikiranku. Kenapa Soni tega sekali memfitnahku. Kapan aku melewati malam panjang dengannya.”“Sudahlah, jangan terlalu larut memikirkannya, nanti kamu ikutan sakit seperti Abi.” Nasehat sang Umi seraya mengelus kepala sang putri.“Tidak bisa Umi, tetap saja perkataan itu mengganggu pikiran Ela.”“Emang Umi, bisa melupakan kejadian kemaren?”“Tidak Nak, tidak mudah melupakan peristiwa itu dengan cepat, tapi tetap saja Umi harus kuat. Karena Umi punya kamu dan Abi. Umi tidak mau kamu stress.”“Pulanglah, lalu mandi kemudian istirahat. Siangnya Ela bisa ke sini lagi.” Titah sang Umi mendorong badan sang putri keluar.Kali ini Ela menurut, dari kemarin ia belum sempat ganti baju. Pakaian yang ia pakai saat akad kemaren masih melekat di badan. Ela tidak perduli, meskipun beberapa perawat dan sebagian orang memandang heran.Satu jam kemudian Ela sampai di rumah. Ela bermaksud mampir dulu ke warung membeli minuman segar sebelum pulang ke rumah.Warung yang dituju Ela berada tak jauh dari rumahnya. Hanya beberapa meter saja.Baru saja Ela hendak melangkah masuk ke dalam warung, terdengar olehnya ucapan nada miring dan ucapan menghina pada kelakuannya.“Tak menyangka ya Ela seperti itu, buat apa pakai hijab, kalau hanya untuk menutupi perbuatan yang hina.”“Untung lelaki itu datang tepat waktu dan membuka kedok Ela,” timpal ibu yang lain. Entah siapa, Ela tidak cukup mengenal dan membedakan suara siapa yang berbicara.“Tampangnya saja yang alim, tapi kelakuan nol.” Balas perempuan lainnya.Astagfirullahal adziim, ucap Ela dalam hati. Tega sekali mereka menjadikan kejadian kemaren sebagai berita viral. Pasti semua warga telah mengetahui semua kejadian pahit yang dialaminya kemaren. Sekarang bagaimana Ela menghadapi mereka. Rasanya Ela tak sanggup lebih lama berada di sini. Ela hanya bisa mengelus dada, perih rasa hatinya mengingat apa yang dilontarkan para warga padanya.Netizen zaman now emang cepat membuat berita viral. Ela memutuskan 7ntuk pergi dari toko ini segera. Rasanya tidak sanggup melihat wajah penuh kebencian memandang padanya.Baru saja Ela hendak melangkah pergi, terdengar lagi ucapan yang bernada membelanya.Bersambung...Lelaki itu akhirnya pergi juga meninggalkan kamar, meninggalkan Ela dengan degup jantung yang menderu. Bibir wanita itu kembali tersungging manis. Membayangkan tingkah agresifnya tadi sungguh membuatnya malu. Ia sungguh tak percaya, bisa melakukan hal yang sangat tabu untuknya. Wajahnya memerah, sontak ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Setelah mengatur debar di dada, Ela mulai siap-siap seperti permintaan suaminya. Ia beranjak ke lemari, meraih kado dari Farah yang dulu hampir saja ia buang. Tapi setelah ia tahu kegunaan pakaian tipis menerawang itu, ia menyimpannya kembali di lemari. Kini ia berniat memakainya untuk menyenangkan sang suami. Yah, kini hatinya telah mantap, siap sempurna tanpa ada keraguan sedikitpun.Hampir 20 menit ia bersiap-siap dan menunggu kedatangan sang suami di kamar tepatnya di tempat tidur. Beberapa kali ia menguap, tapi sayangnya orang yang ditunggu tak kunjung datang. Ela menarik selimut hampir menutupi seluruh badannya. Ia belum siap menu
“Mas, kok berhenti, gak jadi masuk?” tanya Ela bingung. Wanita itu memindai area ruang keluarga, dan tatapannya melongo kaget, menyaksikan pertikaian antara kakak ipar dan suaminya.Bukannya menjawab pertanyaan Ela, Faiq justru berbisik di telinga sang istri. “Lihat itu, mereka lagi berantem. Kita dengarkan dari sini.”“Menguping pembicaraan orang diam-diam itu tidak baik Mas, apalagi mereka tengah berantem. Ayo kita keluar saja,” ajak Ela cepat seraya berbisik. Tangannya tak lupa menarik tangan sang suami dan mengajaknya keluar. Tapi sayang, Faiq tak bergerak dari posisinya. Ela menatap suaminya dengan perasaan kalut, takut ketahuan oleh kakak ipar dan suaminya.“Ayo Mas, tunggu apa lagi. Sebaiknya kita pergi sekarang,” pinta Ela memelas.Faiq mendekatkan bibir ke telinga sang istri lalu berbisik, “Ini kedua kalinya mereka berantem, aku harus tahu apa yang mereka debatkan.”“Tapi....”“Syut... Diamlah. Nanti kita ketahuan, bahaya!” pinta Faiq menutup mulut sang istri. Akhirnya Ela men
“Bunda,” ucapnya terbata-bata. Wanita itu lantas membuka pintu dan memintanya mamanya masuk ke dalam. Perempuan yang dipanggil bunda itu pun lantas masuk ke apartemen sang putri. Lalu mendaratkan bokongnya di kursi tunggal yang ada di sana. Matanya memindai area ruang keluarga yang tertata dengan rapi dan juga bersih. Meskipun rapi dan bersih, tetap saja tinggal sendiri itu tidak menyenangkan.“Betah kamu tinggal menyendiri di sini?”“Maksud bunda?”“Kamu jangan pura-pura tidak tahu apa maksud perkataan bunda.”“Menikah!! Itu yang ingin bunda katakan bukan?”“Iya, apalagi.”“Kapan kamu bisa memenuhi permintaan bunda, Nak? Kamu itu bukan ABG labil lagi. Kamu itu sudah kelewat dewasa.”Widuri tersentak kaget, ia sangat paham dengan maksud perkataan sang bunda, memang dirinya sudah kelewat dewasa, bahkan sebentar lagi usianya mencapai 29 tahun. Tapi mau bagaimana, lelaki yang ia sukai dari dulu bahkan sampai sekarang tidak berubah, namun tidak direstui oleh sang bunda hanya karena lelak
“Baiklah! Saya mengerti. Sebenarnya apa yang hendak kamu bicarakan?” tanya Widuri menatap lekat sang mantan. Dadanya sampai sekarang masih bergetar hebat, saat menatap lelaki di depannya itu. Rasa cinta itu semakin menancap dalam hati, meskipun tidak terlihat rasa rindu itu di mata Faiq. Tak membuat rasa cintanya padam, tapi terus saja menyala terang. Apalagi setelah melihat keberhasilan dan kesuksesan yang pria itu sandang sekarang menambah rasa kagum dan keinginan untuk memiliki lelaki itu sepenuhnya semakin tertancap kuat dalam dadanya. Terlebih setelah mendengar perkataan Ela, kalau Faiq belum menikah dan tidak punya wanita spesial. Ia berharap, dialah wanita yang mendampingi Faiq melewati fase kehidupan berumah tangga. Ia merasa, Faiq masih mengharapkannya, belum bisa move on, buktinya sampai sekarang Faiq masih betah menyendiri. Bisa seyakin itu Widuri memahaminya, padahal andai ia tahu, jika Faiq sudah memiliki wanita spesial yang bergelar istri, entah bagaimana perasaan per
“Ela, Maaf! Tadi gak bangunin kamu, soalnya tidurmu pulas banget,” ucap Faiq menyesal seraya mendaratkan bokongnya di kursi tak jauh dari Ela. Lelaki itu menatap sang istri yang tak menoleh sedikit pun padanya.Sebenarnya tadi Faiq ragu untuk masuk ke dalam ruang keluarga, ulahnya semalam yang pura-pura pingsan membuatnya enggan bertemu dengan Ela. Ia khawatir Ela mengetahui kepura-puraannya dan bisa saja wanita itu menceritakan kepada orang tuanya. Tapi bila tetap diam dan menunggu di luar juga akan membuat kedua orang tuanya pasti bertanya-tanya. Makanya Faiq memberanikan diri masuk bergabung dengan istri dan kedua orang tuanya. Ia tak hiraukan, meskipun nanti pandangan buruk yang dilayangkan Ela.“Tidak apa-apa Mas.” Jawab Ela singkat, setelah terdiam cukup lama. Itu pun karena tak enak pada kedua mertuanya, bila Ela menampakkan kekesalan di depan sang mertua. “Oh iya Mas, nanti kita jadi pergi menemui Bu Widuri?” tanya Ela memastikan. “Kalau jadi, aku mau siap-siap sekalian mau ka
“Bukan begitu, sekarang sudah terlalu larut. Bagaimana kalau besok saja,” ucap Faiq bernegosiasi. Lelaki itu bicara tanpa beban, seolah sang istri tidak marah dituduh tidak virgin.Bukan tanpa alasan Faiq menunda sampai besok, malam ini karena sudah terlalu malam dan ia juga dari tadi menguap terus, maka tercetuslah ide menunda malam pertama itu sampai besok pagi.Lelaki itu berusaha membujuk Ela, tapi sayangnya Ela sudah terlalu kesal. Akhirnya ia bicara dengan ketus. Bahkan terkesan mengancam. Ela jelas tak bisa terima begitu saja, di mana harga dirinya. Kehormatannya dipertanyakan.“Sekarang! Atau tidak sama sekali,” ancam Ela tak terima dicurigai tidak perawan oleh lelaki yang baru beberapa hari ini sah menjadi suaminya.Sebagai wanita yang selalu menjaga kehormatannya, jelas kecewa dibuatnya.Sakit hatinya dituduh tidak perawan apalagi oleh suami sendiri. Rasanya Ela ingin menjambak rambut lelaki itu untuk melampiaskan kekesalan hati, tapi ia tak punya keberanian melakukannya. Si