Lelaki itu akhirnya pergi juga meninggalkan kamar, meninggalkan Ela dengan degup jantung yang menderu. Bibir wanita itu kembali tersungging manis. Membayangkan tingkah agresifnya tadi sungguh membuatnya malu. Ia sungguh tak percaya, bisa melakukan hal yang sangat tabu untuknya. Wajahnya memerah, sontak ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Setelah mengatur debar di dada, Ela mulai siap-siap seperti permintaan suaminya. Ia beranjak ke lemari, meraih kado dari Farah yang dulu hampir saja ia buang. Tapi setelah ia tahu kegunaan pakaian tipis menerawang itu, ia menyimpannya kembali di lemari. Kini ia berniat memakainya untuk menyenangkan sang suami. Yah, kini hatinya telah mantap, siap sempurna tanpa ada keraguan sedikitpun.Hampir 20 menit ia bersiap-siap dan menunggu kedatangan sang suami di kamar tepatnya di tempat tidur. Beberapa kali ia menguap, tapi sayangnya orang yang ditunggu tak kunjung datang. Ela menarik selimut hampir menutupi seluruh badannya. Ia belum siap menu
Bismillahirrahmanirrahim.“Aku terima nikah dan kawinnya Ela Almahera binti Hisyam dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas murni seberat 20 gram dibayar tunai.”“Sah.”“Sah,” teriak para saksi serentak dengan wajah sumringah. Beberapa tamu ikut merasakan kebahagiaan pasangan pengantin baru. Kedua keluarga saling melempar senyum dan berjabat tangan, sebagai ungkapan rasa haru dan bahagia.“Alhamdulillah, Barakallah,” ucap beberapa tamu yang menyaksikan jalannya akad nikah.Ela tersenyum bahagia, akad nikah berjalan dengan lancar. Bahkan hanya dengan satu tarikan napas. Kini ia telah resmi menyandang status istri Erlangga. Senyum bahagia terpancar dari wajah cantiknya. Gadis berhijab coklat susu itu bertekad akan melayani sang suami dengan sepenuh hati. Meskipun belum ada cinta di hatinya, demi bakti pada orang tua, ia terima dengan tulus. Ela memandang wajah lelaki yang terlihat tenang dan meneduhkan dengan senyum terbingkai di bibir. Binar mata sang pengantin wanita mengha
Bismillahirrahmanirrahim.“Ela, lihat aku. Apa benar yang dikatakan pria ini.”“Itu tidak benar Mas, mana mungkin aku melewati malam panjang dengannya,” lirih suara Ela membantah apa yang dikatakan pria itu. Sakit hatinya dituduh sembarangan. Apa lagi di depan lelaki yang baru resmi menjadi suaminya.“Tentu saja ia tidak akan mengakuinya. Mana ada maling ngaku, bisa penuh penjara. Percayalah padaku,” timpal Soni percaya diri seraya tersenyum menyeringai.“Ela! Katakan sejujurnya. Apa kamu mengenal pria ini,” tanya Erlangga dengan napas menderu kencang.Ela bungkam.“Tentu saja dia mengenalku, beberapa kali kami melewati malam yang syahdu. Mana mungkin dia bisa lupa.” Kekeh lelaki itu ringan.“Iya-kan Ela.”Bisik-bisik warga kembali memanas. “Tak menyangka wanita Sholehah itu hanya tampilan luar saja. Ternyata dalamnya bobrok.”"Tanggalkan saja hijab itu, hanya sebatas hiasan belaka." Perih hati Ela mendengar perkataan warga.Komentar demi komentar pedas warga, bagaikan dengungan lebah
Bismillahirrahmanirrahim.Tak lama kemudian, mobil memasuki area rumah sakit. Kini Abi Hisyam tengah ditangani dokter, Ela dan Umi Rosyida menunggu di ruang tunggu. Dua perempuan beda generasi itu tampak sedih dan khawatir.“Umi, Ela takut, takut Abi kenapa-kenapa. Tadi Abi jatuh dengan kepala membentur lantai. Benturannya sampai terdengar keras. Semoga tidak ada yang serius ya Umi.” Desah Ela meratap sedih.“Umi yang salah Nak, seharusnya Umi tahu kalau Abi gelisah mendengar tuduhan itu padamu. Umi berada di sisi Abi tak kalah kagetnya dengan Abi, hingga Umi tidak menyadari kondisi beliau yang sangat terpukul, tiba-tiba Abi jatuh pingsan begitu saja.”“Kita berdoa dan serahkan semuanya pada Allah ya, Nak.” hibur sang Umi seraya mengelus pucuk kepala sang putri.Umi Rosyida menatap Ela penuh iba, tak menyangka nasib putrinya setragis ini. Menikah dan bercerai dihari yang sama. Ela belum sempat merasakan menjadi seorang istri, kini dalam waktu tidak sampai sehari, statusnya berubah me
Bismillahirrahmanirrahim.“Sudah toh Ma, jangan marah-marah terus, nanti darah tinggimu kumat. Papa lagi yang repot.” Oceh lelaki itu mengusap bahu sang istri.“Oh begitu ya, bilang saja, sekarang papa tidak mau direpotkan lagi oleh penyakitku. Tidur di luar sana,” titah sang istri makin tersulut emosi.Belum reda amarahnya karena perbuatan Erlangga, sekarang pria yang hampir mendekati seperempat abad menemaninya dalam suka dan duka mulai bosan, tak mau lagi direpotkan olehnya.“Bukan begitu Ma, justru karena papa sayang sama mama, makanya papa bilang jangan marah-marah, nanti darah tingginya kumat.” Balas pria itu merengkuh wanitanya hangat. “Sini, Papa peluk, siapa tahu bisa meredakan emosi mama.” Tanpa menunda Bu Waida langsung menubruk suaminya.“Mama tahu Pa, papa adalah lelaki terbaik yang Allah kirim untuk Mama. Mama hanya sedih mengingat sikap Erlangga pada Ela. Padahal kita tahu Ela itu wanita sholehah. Mama tidak percaya perkataan lelaki yang datang waktu itu. Mana mungkin
Baru saja Ela hendak melangkah pergi, terdengar lagi ucapan yang bernada membelanya.“Tapi kok aku tidak percaya ya pada omongan lelaki itu, selama ini Ela itu menurutku cukup baik menjaga sikap dan perilaku. Mana mungkin Ela bisa bertindak diluar batas itu.” “Pacaran saja tidak pernah, masa tiba-tiba menghabiskan malam panjang sama lelaki lain. Tak masuk akal.” bela Bu Widyo pemilik warung.Senyum sekilas terkembang di bibir Ela, ternyata masih ada yang percaya sama dia. Meskipun hanya segelintir orang. Paling tidak rasa percaya orang itu bisa membuatnya bernapas lebih tenang. Tidak semua orang percaya dengan perkataan Soni. Itu satu keuntungan baginya, paling tidak ia bisa bernapas dengan lega. Tidak terdesak di tengah kerumunan orang yang merendahkan dan menghinanya.Ela tak jadi masuk ke warung, ia tak cukup siap mendengar komentar pedas warga. Lebih baik menghindar sementara waktu. Sampai berita ini tidak lagi menjadi topik hangat untuk dibicarakan.Baru tiga langkah Ela berjal
Bismillahirrahmanirrahim.“Ayo! Kita ke rumah sakit. Jenguk Abi Hisyam,” ajak Bu Waida pada putranya.“Tidak mau Ma, Mama saja yang ke sana. Aku tidak mau bertemu dengan perempuan murahan itu.” Tolak Erlangga cepat.Wajah Bu Waida sontak terperanjat kaget, tak menyangka anaknya semakin pedas saja mulutnya. Apa ini efek gagal kawin. Belum sempat menikmati malam pertama sudah menjadi duren, alias duda keren.Salah sendiri sih, kenapa buru-buru menjatuhkan talak. Tunggu selesai malam pertama atau tunggu selama satu Minggu. Ini tidak, menyesal sendiri kan jadinya.Lelaki yang dipandang menjadi jengah sendiri. “Kenapa sih Ma, melihatku terus.”“Iya Mama bingung sama sikapmu. Kenapa sekarang enteng sekali mulutmu mengeluarkan kata umpatan. Di pernikahan kemaren, kamu sempat-sempatnya bilang Ela itu pel**ur, sekarang gantian gadis murahan. Apa kamu tidak takut kualat. Ntar cinta benaran baru tahu rasa kamu. Tapi si Ela sudah terlanjur sakit hati dikatai yang tidak-tidak.”“Rem mulutmu blong
Bismillahirrahmanirrahim.“Ayuk Ma, kita pergi sekarang.” Ajak Erlangga seraya menarik tangan sang ibu.Mata Bu Waida berkaca-kaca, tak lama kemudian jatuh berderai. Ia duduk sebentar di ruang tunggu, terisak perih. Kini sahabatnya begitu membenci dirinya. Bu Waida tak bisa membayangkan, bila tak lagi bisa kumpul dan bercengkerama dengan umi Rosyida. Ini terjadi karena ulah putranya sendiri. Sekarang dia menyesal meminta Ela menjadi istri anaknya. Andai tahu begini akhirnya, takkan pernah ia berniat meminta Umi Rosyida menjadi besannya. Putusnya persahabatan itu membuat Bu Waida sangat bersedih hati.Erlangga melihat kesedihan di mata sang Mama ikut larut dalam penyesalan. Andai ia tidak gegabah dan mudah percaya dengan perkataan Soni, tentu sekarang kedua keluarga bahagia. Abi Hisyam tidak perlu masuk rumah sakit, umi Rosyida tidak membenci ibunya, entah apa penilaian Ela padanya. Terakhir tak penting, Erlangga lebih tak siap melihat duka di mata ibunya. Kini hanya tinggal penyesal