Baru saja Ela hendak melangkah pergi, terdengar lagi ucapan yang bernada membelanya.
“Tapi kok aku tidak percaya ya pada omongan lelaki itu, selama ini Ela itu menurutku cukup baik menjaga sikap dan perilaku. Mana mungkin Ela bisa bertindak diluar batas itu.”“Pacaran saja tidak pernah, masa tiba-tiba menghabiskan malam panjang sama lelaki lain. Tak masuk akal.” bela Bu Widyo pemilik warung.Senyum sekilas terkembang di bibir Ela, ternyata masih ada yang percaya sama dia. Meskipun hanya segelintir orang. Paling tidak rasa percaya orang itu bisa membuatnya bernapas lebih tenang. Tidak semua orang percaya dengan perkataan Soni. Itu satu keuntungan baginya, paling tidak ia bisa bernapas dengan lega. Tidak terdesak di tengah kerumunan orang yang merendahkan dan menghinanya.Ela tak jadi masuk ke warung, ia tak cukup siap mendengar komentar pedas warga. Lebih baik menghindar sementara waktu. Sampai berita ini tidak lagi menjadi topik hangat untuk dibicarakan.Baru tiga langkah Ela berjalan, terdengar sapa seseorang.“Ela? Kenapa tidak jadi masuk? Mau beli apa?” tanya nenek Sumirah tetap ramah dan tidak julid seperti warga lainnya.Senyum Ela makin terkembang lebar, tambah satu lagi orang yang masih menyambut baik dirinya. Tidak seperti sebagian warga di dalam sana. Tidak tahu kejadian sebenarnya, tapi langsung mengatakan ia wanita rendahan.Beberapa ibu-ibu yang berada di dalam warung sontak keluar. Nenek Sumirah jadi mengerti.“Oh! Nenek mengerti sekarang. Mereka itu sibuk membicarakan mu ya, makanya kamu lebih memilih pergi. Ya sudah sana! Kamu pulang saja. Biar nenek yang anter apa yang kamu butuhkan nanti. Memangnya Ela mau beli apa?” tanya nenek Sumirah lembut.“Tidak perlu Nek, terima kasih.” Dengan mata berlinang, Ela meninggalkan warung Bu Widyo.Ya Allah sampai kapan aku harus mengalami hal buruk ini. Beri hamba kekuatan dan kesabaran menghadapinya ya Allah.Masih sempat Ela, mendengar bentakan nenek Sumirah pada ibu-ibu yang tengah menjadikan dirinya sebagai santapan empuk untuk diperbincangkan. Andai yang diperbincangkan itu hal yang baik dari dirinya, tentu akan lain ceritanya.“Kalian ini pasti membicarakan hal buruk tentang Ela, emang kalian percaya begitu saja. Bukannya kalian sangat mengenal karakter dan kepribadian Ela.”“Tuh lihat, gara-gara omongan kalian Ela tidak jadi belanja.”“Lhoh, kenapa kami tidak percaya. Bisa jadi omongan lelaki itu benar.”“Ah sudahlah! Susah bicara sama kalian yang hobi bergosip, kalian gosok makin sip dan panas.”Setelah sampai rumah, Ela langsung ke kamar. Duduk merenung dalam waktu yang cukup lama. Hingga saking asyiknya melamun, sampai-sampai Ela tidak mendengar ponselnya berbunyi.Telpon itu terus saja berbunyi dengan nyaring. Akhirnya Ela sadar dan bergegas mengangkat. Sebelumnya tak lupa Ela melihat siapa yang menelponnya.“Ela, apa benar yang kudengar, kalau Erlangga menjatuhkan talak tepat setelah akad.”“Iya Far, kini aku menjadi janda dalam hitungan satu jam. Bisa kamu bayangin Far, betapa sedih dan hancurnya hatiku.”“Tapi kenapa?”“Soni memfitnahku.”“Astagfirullah, Soni benar-benar tak waras. Kenapa anak itu, tega sekali dia memfitnahmu.”“Kalau dia benar mencintaimu, tak mungkin hal itu dilakukannya.”“Tapi buktinya dia menghancurkan semua impianku,” lirih Ela menyahuti.“Maafkan aku Ela, andai aku ada di sana. Pastilah mulut rombeng Soni aku bekap segera, sehingga dia tidak bisa bicara yang tidak-tidak mengenaimu.”“Iya Farah, tidak apa-apa. Mungkin ini memang sudah takdirku.” Jawab Ela lesu.“Semangat Ela, mungkin saja Allah telah mempersiap lelaki terbaik untukmu. Kita tunggu dan banyak berdoa.”“Aku takut Far, takut menghadapi mulut dan umpatan orang pada keluargaku.”“Tidak Ela, kenapa harus takut. Tidak semua orang buta, pasti ada beberapa yang tidak percaya begitu saja. Apalagi yang mengenal baik dan dekat denganmu. Buktinya aku lebih percaya kamu dari pada perkataan Soni.”“Terima kasih Farah, mohon bantu aku menghadapi sikap nyinyir orang.”“Itu sudah pasti Ela. Ya sudah, sekarang tenangkan pikiranmu dan istirahatlah. Bawa tidur, agar sementara waktu kamu bisa melupakan kejadian menyedihkan itu.”Ela segera memutuskan sambungan telepon, setelah selesai bicara.Gadis berhidung Bangir itu beranjak ke kamar mandi, rasanya tubuhnya lengket semua. Apalagi baju penganten yang masih melekat di badan mengganggu ruang geraknya.Selesai mandi, Ela menuju dapur. Dari semalam ia belum makan apa-apa. Tadi di rumah sakit umi sempat menawarkan makan dulu sebelum pulang, tapi rasa lapar itu hilang bersamaan dengan luka yang dialaminya.Pasti tadi Umi sempat masak, pikirnya. Ela segera menyingkap tudung saji, benar saja di sana ada ayam goreng kegemaran Ela.Ela segera menyantapnya dengan deraian air mata kembali tergenang. Bayangan kejadian terus saja datang menghantuinya. Baru makan beberapa suap, Ela sudah tidak berselera.Teringat olehnya perkataan Erlangga yang mengatakan dirinya pelacur. Ya Allah, lempeng banget mulutnya berkata.Sampai kapan pun ia tidak bisa memaafkan perkataan Erlangga. Dasar lelaki tidak punya hati, kecam Ela mencebik kesal.***Kini Ela telah berada di rumah sakit.Di rumah pun perasaannya tidak tenang. Ia terus saja kepikiran dengan Abi Hisyam. Makanya Ela tak mau lama-lama meninggalkan Abinya.Sesampainya di ruang rawat sang Abi, Ela melihat Umi Rosyida mengusap wajah lelaki yang tampak tidur itu dengan jarinya.“Bi, Umi kangen. Sehari Abi tidak bicara, bagi Umi rasa setahun. Ayo bangun Bi, jangan tinggalkan Umi. Anak kita masih butuh perhatian Abi. Jangan biarkan Ela menghadapi masalahnya sendirian. Umi tak sanggup melihat gurat luka dan lelah di hatinya.”Ela trenyuh mendengar perkataan Uminya, ternyata Umi tak kalah jauh menderita darinya. Sekarang ia berjanji tidak mau menambah beban bagi Umi. Dia harus keluar dari lumpur hitam penghinaan orang. Ia harus kuat dan siap menghadapi semua mulut pedas tetangga dan Umi tidak perlu melihat luka di matanya. Ia harus ceria dan banyak tertawa. Agar umi tidak larut dalam kesedihan.Ela bergegas memasuki ruang rawat Abi Hisyam. Dengan pelan ia mengusah bahu sang Umi. Masih tampak jelas di matanya, ketika Umi Rosyida pura-pura kuat di depannya. Masih sempat ia lihat dengan cepat Umi menghapus lelehan air mata di pipinya. Setelah itu barulah Umi menoleh ke Ela.“Loh Nak, kok sudah ke sini aja. Kenapa tidak tidur barang sejenak. Kamu itu harus istirahat, semalaman kamu jaga Abi.”“Maaf Umi, Ela tidak bisa tidur kalau berjauhan dari Abi. Boleh gak Ela tidur di sini saja.”Umi Rosyida paham. Dari kecil Ela sangat dekat dengan Abinya. Sudah sebesar ini saja, Ela terkadang kelewat manja dan tidak masuk akal. Ela tidak bisa tidur kalau tidak ditemani sang Abi.“Ya sudah, Ela mau tidur di mana?”Ela menunjuk tepat di sebelah Abi. Umi Rosyida terkekeh pelan.“Ya ampun sayang, mana muat tempat tidur sekecil itu kalian tidur berdua. Kamu ini ada-ada saja.”Ela tersenyum bahagia, melihat Uminya tertawa.“Bukan di situ juga kali Mi, Ela mau merebahkan kepala di dekat dada Abi.”“Oalah! Begitu toh. Ya sudah! Tidurlah sekarang juga.”***“Ayo! Kita ke rumah sakit. Jenguk Abi Hisyam,” ajak Bu Waida pada putranya.“Tidak mau Ma, Mama saja yang ke sana. Aku tidak mau bertemu dengan perempuan murahan itu.” Tolak Erlangga cepat.Bersambung...Bismillahirrahmanirrahim.“Ayo! Kita ke rumah sakit. Jenguk Abi Hisyam,” ajak Bu Waida pada putranya.“Tidak mau Ma, Mama saja yang ke sana. Aku tidak mau bertemu dengan perempuan murahan itu.” Tolak Erlangga cepat.Wajah Bu Waida sontak terperanjat kaget, tak menyangka anaknya semakin pedas saja mulutnya. Apa ini efek gagal kawin. Belum sempat menikmati malam pertama sudah menjadi duren, alias duda keren.Salah sendiri sih, kenapa buru-buru menjatuhkan talak. Tunggu selesai malam pertama atau tunggu selama satu Minggu. Ini tidak, menyesal sendiri kan jadinya.Lelaki yang dipandang menjadi jengah sendiri. “Kenapa sih Ma, melihatku terus.”“Iya Mama bingung sama sikapmu. Kenapa sekarang enteng sekali mulutmu mengeluarkan kata umpatan. Di pernikahan kemaren, kamu sempat-sempatnya bilang Ela itu pel**ur, sekarang gantian gadis murahan. Apa kamu tidak takut kualat. Ntar cinta benaran baru tahu rasa kamu. Tapi si Ela sudah terlanjur sakit hati dikatai yang tidak-tidak.”“Rem mulutmu blong
Bismillahirrahmanirrahim.“Ayuk Ma, kita pergi sekarang.” Ajak Erlangga seraya menarik tangan sang ibu.Mata Bu Waida berkaca-kaca, tak lama kemudian jatuh berderai. Ia duduk sebentar di ruang tunggu, terisak perih. Kini sahabatnya begitu membenci dirinya. Bu Waida tak bisa membayangkan, bila tak lagi bisa kumpul dan bercengkerama dengan umi Rosyida. Ini terjadi karena ulah putranya sendiri. Sekarang dia menyesal meminta Ela menjadi istri anaknya. Andai tahu begini akhirnya, takkan pernah ia berniat meminta Umi Rosyida menjadi besannya. Putusnya persahabatan itu membuat Bu Waida sangat bersedih hati.Erlangga melihat kesedihan di mata sang Mama ikut larut dalam penyesalan. Andai ia tidak gegabah dan mudah percaya dengan perkataan Soni, tentu sekarang kedua keluarga bahagia. Abi Hisyam tidak perlu masuk rumah sakit, umi Rosyida tidak membenci ibunya, entah apa penilaian Ela padanya. Terakhir tak penting, Erlangga lebih tak siap melihat duka di mata ibunya. Kini hanya tinggal penyesal
Bismillahirrahmanirrahim.“Anda siapa? Kenapa datang ke ruang Abi saya.” Tanya Ela lagi karena pria itu tak kunjung berbalik badan. Punggungnya tampak bergetar, kemungkinan karena kaget ketangkap basah oleh keluarga pasien.Tak mungkin menghindar lagi, pria itu akhirnya berbalik posisi menghadap Ela. Betapa terkejutnya Ela, setelah mengetahui siapa pria yang ada di depannya.“Mas Erlangga,” desis Ela pelan. Ia tak menyangka, ternyata Mas Erlangga lah orang yang selalu datang menggantikan bunga itu. Terpikirkan pun tidak dalam benaknya, mana berani ia datang secara terang-terangan. Tapi setelah melihat kenyataan di depan mata, barulah ia percaya. Tapi apa tujuannya datang dan mengganti bunga itu. Ela jadi penasaran.“Jadi Mas orang yang selalu datang diam-diam ke sini. Kenapa? Merasa bersalah karena telah menyebabkan Abi sampai begini,” tanya Ela sarkas. Tanpa senyum ataupun binar mata teduh. Seperti yang selalu ia tampakkan pada lawan bicaranya.Lelaki itu hanya diam terpaku, tak men
Bismillahirrahmanirrahim.“Syukurlah, kalau begitu. Ada apa nih ingin menemuiku, ada yang pentingkah.” Tanya Erlangga kepo menatap sang sahabat lekat-lekat. Lelaki yang ditanya justru diam menatapnya dengan seksama. Seperti mencari kebenaran yang sempat membuatnya dihinggapi keraguan.“Iya penting sekali," sahutnya singkat, lalu kembali diam."Tentang apa?""Maaf jika pertanyaan ku membuatmu tersinggung.""Kamu jangan berbelit-belit, katakan saja ada apa?""Aku dengar desas desus, katanya kamu menalak istrimu setelah akad. Benar itu,” tanya Daniel menatap tajam sahabatnya dengan pancaran ketidakpercayaan.“Tahu dari mana?”“Tidak penting aku tahu dari mana, kamu jawab saja.”“Iya.”“Kenapa? kenapa kamu secepat itu menalaknya."“Dia tidak pantas untukku. Hati siapa yang tidak terbakar emosi, seorang pria datang mengaku telah melewati malam yang panjang dengan Ela.”"Kamu langsung percaya?"“Tentu saja, yang jelas aku langsung menalaknya. Jika kamu ada diposisiku mungkin kamu akan melak
Bismillahirrahmanirrahim.“Eh Ela, itu Soni bukan sih. Kemana saja tuh anak, setelah kejadian waktu itu dia menghilang begitu saja. Kenapa baru sekarang dia muncul.”“Mana?” tanya Ela celingak celinguk. Matanya tajam memindai keberadaan Soni. “Lelaki itu harus tanggung jawab atas perbuatannya menghancurkan rumah tanggaku dan Erlangga.” Lirih ela berucap.“Kamu nggak salah lihat Farah. Coba tunjuk sebelah mananya.”“Itu, dibalik rak arah jarum jam angka 9.”Ela mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Farah, memindai dan menajamkan pandangan, tapi orang yang dicari tidak kelihatan.“Mana sih Far! Kok aku gak melihatnya,” tanya Ela ragu. Farah melihat jauh ke sana, ia bingung sendiri. Perasaan tadi ia benar-benar melihat Soni. "Oh iya, gak ada ya. Kemana tuh cowok," tanya Farah mengernyit bingung.“Mungkin sudah pergi,” sahut Farah kembali dengan raut wajah menyesal seraya memandang Ela tak enak hati. Yang dipandang mengerucutkan bibir.“Tadi benaran aku melihatnya Ela,” sambung Far
Bismillahirrahmanirrahim.“Siapa itu?” gumam Ela dalam hati. Ela lebih menajamkan pendengaran, siapa pria di dalam sana. Kenapa dia ada di ruang rawat Abi Hisyam.Belakangan ini ada dua pria yang memberikan perhatian untuk Abi, Erlangga dan lelaki misterius ini. Apa motif mereka sebenarnya. Kalau Erlangga pasti karena menyesal menyebabkan Abi masuk rumah sakit dan koma. Untuk menunjukkan rasa penyesalannya maka ia mati-matian merawat Abi. Lalu lelaki misterius ini apa pula motifnya. Ela mendesah berat seraya menggeleng, tanda tak mengerti.Suara pria mengaji itu semakin terdengar syahdu, Ela saja sampai merinding saking bagusnya suara pria di dalam sana. Semoga saja Abi menjadi lebih tenang dan segera siuman dari komanya. Ela pernah baca di sosial media, ayat suci yang diperdengarkan di telinga pasien bisa memancing urat syarat dan membuat pasien lebih cepat sadar.Ela tidak mau mengganggu kegiatan mengaji pria misterius di dalam sana. Ia memutuskan untuk pergi ke kantin sebentar. Se
Bismillahirrahmanirrahim.Dering ponsel Ela berbunyi tak lama kemudian. Gadis berlesung pipit itu segera mengangkatnya.“Iya, benar ini saya.Maaf ada apa ya.”Ela menyimak dengan seksama apa yang dikatakan lawan bicaranya lewat sambungan telpon. Sesekali wanita itu mengangguk tanda mengerti. Tak lama rasa kaget menghiasi ruang rawat Abi Hisyam.“Apa? Benarkah!” seru Ela tak percaya.Erlangga yang sedang memeriksa Abi Hisyam terperanjat kaget.Spontan dia menoleh ke arah Ela. Begitu juga dengan Umi Rosyida. Melihat rautbahagia terpancar dari wajah anak gadisnya, membuatnya juga ikut merasakankebahagiaan.Erlangga dan Umi Rosyida seakan menunggu penjelasan dari Ela. Keduanya memperhatikan interaksi Ela melalui sambungan telepon.“Anda sedang tidak bercanda-kan? Ini serius?”Ela diam sejenak, mendengarkan penuturan dari si penelpon.“Baiklah! Saya bisa datang ke sana. Kirimkan alamatlengkapnya.” Pinta Ela dengan raut senang dan bahagia. Ela mengusap wajahnyadengan kedua telapak tangan se
Bismillahirrahmanirrahim.“Sekarang kamu meminta Mama bicara dengan umi Rosyida, apa kamu lupa atau mendadak lupa. Persahabatan Mama dengan umi Rosyida sedang tidak baik-baik saja. Sampai hari ini Umi Rosyida itu masih membenci mama. Bagaimana cara mama memintanya membujuk Ela. Sudahlah! Lupakan Ela dan carilah wanita lain.” Jawab Bu Waida pasrah. Pasrah akan nasib anaknya yang tidak berpikir panjang sebelum memutuskan sesuatu.“Tidak bisa Ma, pikiranku tidak bisa lepas dari Ela. Dalam kepalaku hanya ada bayangannya. Aku juga tidak mengerti, kenapa aku jadi begini.”“Sekarang kamu baru tahu rasa, apa akibatnya. Makanya lain kali harus berhati-hati dengan tindakan. Ambil pelajaran, jangan diulangi.”“Mama sudah ingatkan kamu untuk menarik ucapan itu, tapi apa yang kamu lakukan. Menarik paksa tangan Mama untuk segera pulang ke rumah.” “Ini yang Mama takutkan, kamu itu gegabah, lihat sekarang kamu menyesalinya bukan.” Sambung wanita paruh baya itu seraya mengusap wajah dengan kedua tela