Share

Part 05

Baru saja Ela hendak melangkah pergi, terdengar lagi ucapan yang bernada membelanya.

“Tapi kok aku tidak percaya ya pada omongan lelaki itu, selama ini Ela itu menurutku cukup baik menjaga sikap dan perilaku. Mana mungkin Ela bisa bertindak diluar batas itu.”

“Pacaran saja tidak pernah, masa tiba-tiba menghabiskan malam panjang sama lelaki lain. Tak masuk akal.” bela Bu Widyo pemilik warung.

Senyum sekilas terkembang di bibir Ela, ternyata masih ada yang percaya sama dia. Meskipun hanya segelintir orang. Paling tidak rasa percaya orang itu bisa membuatnya bernapas lebih tenang. Tidak semua orang percaya dengan perkataan Soni. Itu satu keuntungan baginya, paling tidak ia bisa bernapas dengan lega. Tidak terdesak di tengah kerumunan orang yang merendahkan dan menghinanya.

Ela tak jadi masuk ke warung, ia tak cukup siap mendengar komentar pedas warga. Lebih baik menghindar sementara waktu. Sampai berita ini  tidak lagi menjadi topik hangat untuk dibicarakan.

Baru tiga langkah Ela berjalan, terdengar sapa seseorang.

“Ela? Kenapa tidak jadi masuk? Mau beli apa?” tanya nenek Sumirah tetap ramah dan tidak julid seperti warga lainnya.

Senyum Ela makin terkembang lebar, tambah satu lagi orang yang masih menyambut baik dirinya. Tidak seperti sebagian warga di dalam sana. Tidak tahu kejadian sebenarnya, tapi langsung mengatakan ia wanita rendahan.

Beberapa ibu-ibu yang berada di dalam warung sontak keluar. Nenek Sumirah jadi mengerti.

“Oh! Nenek mengerti sekarang. Mereka itu sibuk membicarakan mu ya, makanya kamu lebih memilih pergi. Ya sudah sana! Kamu pulang saja. Biar nenek yang anter apa yang kamu butuhkan nanti. Memangnya Ela mau beli apa?” tanya nenek Sumirah lembut.

“Tidak perlu Nek, terima kasih.” Dengan mata berlinang, Ela meninggalkan warung Bu Widyo.

Ya Allah sampai kapan aku harus mengalami hal buruk ini. Beri hamba kekuatan dan kesabaran menghadapinya ya Allah.

Masih sempat Ela, mendengar bentakan nenek Sumirah pada ibu-ibu yang tengah menjadikan dirinya sebagai santapan empuk untuk diperbincangkan. Andai yang diperbincangkan itu hal yang baik dari dirinya, tentu akan lain ceritanya.

“Kalian ini pasti membicarakan hal buruk tentang Ela, emang kalian percaya begitu saja. Bukannya kalian sangat mengenal karakter dan kepribadian Ela.”

“Tuh lihat, gara-gara omongan kalian Ela tidak jadi belanja.”

“Lhoh, kenapa kami tidak percaya. Bisa jadi omongan lelaki itu benar.”

“Ah sudahlah! Susah bicara sama kalian yang hobi bergosip, kalian gosok makin sip dan panas.”

Setelah sampai rumah, Ela langsung ke kamar. Duduk merenung dalam waktu yang cukup lama. Hingga saking asyiknya melamun, sampai-sampai Ela tidak mendengar ponselnya berbunyi.

Telpon itu terus saja berbunyi dengan nyaring. Akhirnya Ela sadar dan bergegas mengangkat. Sebelumnya tak lupa Ela melihat siapa yang menelponnya.

“Ela, apa benar yang kudengar, kalau Erlangga menjatuhkan talak tepat setelah akad.”

“Iya Far, kini aku menjadi janda dalam hitungan satu jam. Bisa kamu bayangin Far, betapa sedih dan hancurnya hatiku.”

“Tapi kenapa?”

“Soni memfitnahku.”

“Astagfirullah, Soni benar-benar tak waras. Kenapa anak itu, tega sekali dia memfitnahmu.”

“Kalau dia benar mencintaimu, tak mungkin hal itu dilakukannya.”

“Tapi buktinya dia menghancurkan semua impianku,” lirih Ela menyahuti.

“Maafkan aku Ela, andai aku ada di sana. Pastilah mulut rombeng Soni aku bekap segera, sehingga dia tidak bisa bicara yang tidak-tidak mengenaimu.”

“Iya Farah, tidak apa-apa. Mungkin ini memang sudah takdirku.” Jawab Ela lesu.

“Semangat Ela, mungkin saja Allah telah mempersiap lelaki terbaik untukmu. Kita tunggu dan banyak berdoa.”

“Aku takut Far, takut menghadapi mulut dan umpatan orang pada keluargaku.”

“Tidak Ela, kenapa harus takut. Tidak semua orang buta, pasti ada beberapa yang tidak percaya begitu saja. Apalagi yang mengenal baik dan dekat denganmu. Buktinya aku lebih percaya kamu dari pada perkataan Soni.”

“Terima kasih Farah, mohon bantu aku menghadapi sikap nyinyir orang.”

“Itu sudah pasti Ela. Ya sudah, sekarang tenangkan pikiranmu dan istirahatlah. Bawa tidur, agar sementara waktu kamu bisa melupakan kejadian menyedihkan itu.”

Ela segera memutuskan sambungan telepon, setelah selesai bicara.

Gadis berhidung Bangir itu beranjak ke kamar mandi, rasanya tubuhnya lengket semua. Apalagi baju penganten yang masih melekat di badan mengganggu ruang geraknya.

Selesai mandi, Ela menuju dapur. Dari semalam ia belum makan apa-apa. Tadi di rumah sakit umi sempat menawarkan makan dulu sebelum pulang, tapi rasa lapar itu hilang bersamaan dengan luka yang dialaminya.

Pasti tadi Umi sempat masak, pikirnya. Ela segera menyingkap tudung saji, benar saja di sana ada ayam goreng kegemaran Ela.

Ela segera menyantapnya dengan deraian air mata kembali tergenang. Bayangan kejadian terus saja datang menghantuinya. Baru makan beberapa suap, Ela sudah tidak berselera.

Teringat olehnya perkataan Erlangga yang mengatakan dirinya pelacur. Ya Allah, lempeng banget mulutnya berkata.

Sampai kapan pun ia tidak bisa memaafkan perkataan Erlangga. Dasar lelaki tidak punya hati, kecam Ela mencebik kesal.

***

Kini Ela telah berada di rumah sakit.

Di rumah pun perasaannya tidak tenang. Ia terus saja kepikiran dengan Abi Hisyam. Makanya Ela tak mau lama-lama meninggalkan Abinya.

Sesampainya di ruang rawat sang Abi, Ela melihat Umi Rosyida mengusap wajah lelaki yang tampak tidur itu dengan jarinya.

“Bi, Umi kangen. Sehari Abi tidak bicara, bagi Umi rasa setahun. Ayo bangun Bi, jangan tinggalkan Umi. Anak kita masih butuh perhatian Abi. Jangan biarkan Ela menghadapi masalahnya sendirian. Umi tak sanggup melihat gurat luka dan lelah di hatinya.”

Ela trenyuh mendengar perkataan Uminya, ternyata Umi tak kalah jauh menderita darinya. Sekarang ia berjanji tidak mau menambah beban bagi Umi. Dia harus keluar dari lumpur hitam penghinaan orang. Ia harus kuat dan siap menghadapi semua mulut pedas tetangga dan Umi tidak perlu melihat luka di matanya. Ia harus ceria dan banyak tertawa. Agar umi tidak larut dalam kesedihan.

Ela bergegas memasuki ruang rawat Abi Hisyam. Dengan pelan ia mengusah bahu sang Umi. Masih tampak jelas di matanya, ketika Umi Rosyida pura-pura kuat di depannya. Masih sempat ia lihat dengan cepat Umi menghapus lelehan air mata di pipinya. Setelah itu barulah Umi menoleh ke Ela.

“Loh Nak, kok sudah ke sini aja. Kenapa tidak tidur barang sejenak. Kamu itu harus istirahat, semalaman kamu jaga Abi.”

“Maaf Umi, Ela tidak bisa tidur kalau berjauhan dari Abi. Boleh gak Ela tidur di sini saja.”

Umi Rosyida paham. Dari kecil Ela sangat dekat dengan Abinya. Sudah sebesar ini saja, Ela terkadang kelewat manja dan tidak masuk akal. Ela tidak bisa tidur kalau tidak ditemani sang Abi.

“Ya sudah, Ela mau tidur di mana?”

Ela menunjuk tepat di sebelah Abi. Umi Rosyida terkekeh pelan.

“Ya ampun sayang, mana muat tempat tidur sekecil itu kalian tidur berdua. Kamu ini ada-ada saja.”

Ela tersenyum bahagia, melihat Uminya tertawa.

“Bukan di situ juga kali Mi, Ela mau merebahkan kepala di dekat dada Abi.”

“Oalah! Begitu toh. Ya sudah! Tidurlah sekarang juga.”

***

“Ayo! Kita ke rumah sakit. Jenguk Abi Hisyam,” ajak Bu Waida pada putranya.

“Tidak mau Ma, Mama saja yang ke sana. Aku tidak mau bertemu dengan perempuan murahan itu.” Tolak Erlangga cepat.

Bersambung...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
aduh baca bab ini hati ini ikut hancur dn juga baca sambil keluar mata .aduh sedih banget ngerassin penderitaan nya Ella dn ibu nya .biar 2 orang laki2 itu biar cpt fpt balasan nya thor apa lagi Erlangga mulut lemes banget kaya oerempuan menghina nya ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status