Share

Part 03

Bismillahirrahmanirrahim.

Tak lama kemudian, mobil memasuki area rumah sakit.

Kini Abi Hisyam tengah ditangani dokter, Ela dan Umi Rosyida menunggu di ruang tunggu. Dua perempuan beda generasi itu tampak sedih dan khawatir.

“Umi, Ela takut, takut Abi kenapa-kenapa. Tadi Abi jatuh dengan kepala membentur lantai. Benturannya sampai terdengar keras. Semoga tidak ada yang serius ya Umi.” Desah Ela meratap sedih.

“Umi yang salah Nak, seharusnya Umi tahu kalau Abi gelisah mendengar tuduhan itu padamu. Umi berada di sisi Abi tak kalah kagetnya dengan Abi, hingga Umi tidak menyadari kondisi beliau yang sangat terpukul, tiba-tiba Abi jatuh pingsan begitu saja.”

“Kita berdoa dan serahkan semuanya pada Allah ya, Nak.” hibur sang Umi seraya mengelus pucuk kepala sang putri.

Umi Rosyida menatap Ela penuh iba, tak menyangka nasib putrinya setragis ini. Menikah dan bercerai dihari yang sama. Ela belum sempat merasakan menjadi seorang istri, kini dalam waktu tidak sampai sehari, statusnya berubah menjadi janda.

Kenapa Erlangga tidak menunggu sampai tujuh hari, sepuluh hari, atau seratus hari kek. Jangan langsung putuskan pada hari setelah  akad nikah selesai. Rutuk  Umi Rosyida tak lepas memandang putrinya.

Umi Rosyida tak sanggup membayangkan betapa perih luka hati putrinya.

Kemana akan mereka sembunyikan rasa malu terhadap semua orang. Berita perceraian setelah akad itu pasti tersebar dengan cepat. Dalam waktu singkat keluarga mereka menjadi buah bibir.

Tamu undangan yang datang ke resepsi acara hanya akan melihat pelaminan tanpa pengantin. Sungguh ironis bukan? Siapa yang sanggup menanggung malu seperti keluarga Abi Hisyam.

Tak sedikit juga dana yang telah mereka keluarkan, sekarang menjadi mubazir dan sia-sia.

“Umi? Kok diam. Umi sedang memikirkan apa?”

Umi Rosyida memandang wajah anaknya penuh kasihan. Ela tidak boleh tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kalau Ela tahu berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan orang tuanya pasti akan bersedih. Sudah cukup deritanya ditalak setelah akad. Masalah biaya Ela tidak perlu tahu.

“Tidak Nak, Umi sedang tidak memikirkan apa-apa. Umi hanya berdoa pada Allah untuk keselamatan Abi.”

“Umi, rasanya Ela tak sanggup memikul beban ini. Ela malu Umi bertemu orang-orang. Semua orang pasti menghina dan memandang rendah Ela. Ela harus bagaimana Umi,” ucap Ela pilu dengan air mata tak berhenti mengalir.

Umi Rosyida tersentak kaget. Benar saja kata Ela, apa yang dipikirkan orang tentang keluarganya. Apa masih ada lelaki yang mau menikahi Ela, setelah peristiwa pahit ini. Ya Allah kenapa tega sekali lelaki itu memfitnah Ela. Umi Rosyida merutuk marah atas perbuatan Soni.

Spontan Umi Rosyida memeluk putrinya dengan erat. Air mata yang dari tadi ditahan-tahan olehnya, akhirnya mengalir juga.

Umi Rosyida bertekad akan mendatangi keluarga besar Soni dan meminta pertanggung jawaban atas perbuatan anaknya terhadap Ela.

Takdir macam apa yang melingkupi putrinya. Umi Rosyida tampak marah dan kesal bila ingat permintaan sahabatnya untuk menikahi Ela dengan Erlangga. Bila tahu begini akhirnya, pastilah ia tolak mentah-mentah. Sekarang apa yang bisa ia lakukan untuk menghibur luka sang putri.

Umi Rosyida merenggangkan pelukan, lalu menatap wajah putrinya dengan penuh kasih sayang. Kedua tangan Umi Rosyida terulur menghapus air mata di pipi Ela.

“Jangan menangis lagi Nak, Ela percaya dengan takdir Allah bukan? Semua yang sudah digariskan oleh Allah, tidak ada satu pun manusia yang mampu mengelaknya. Seperti yang terjadi pada Ela Hari ini, tiada satu pun dari kita menyangkanya, bukan? Jadi Ela tidak perlu malu, tapi terima dengan ikhlas. Biar hati kita tenang dan fokus untuk kesembuhan Abi.” Ujar umi Rosyida menguatkan dan memberi semangat untuk Ela.

“Apa yang dikatakan orang, Ela cukup abaikan saja. Jangan terlalu dipikirkan. Biarkan saja orang berkata apa pun tentang Ela, Ela hanya cukup dengarkan saja. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Ela mengertikan perkataan umi.”

“Iya Umi, Ela mengerti. Bantu Ela melewati kesedihan ini Umi.”

“Pasti Nak, siapa lagi yang bisa Ela harapkan selain Umi.”

“Terima kasih banyak Umi,” ucap Ela seraya memeluk wanita yang telah melahirkannya dengan taruhan nyawa.

Sementara di tempat lain. Tepatnya di kediaman Bu Waida, Erlangga tengah diceramahi habis-habisan oleh sang Mama.

“Kemana sih akal sehatmu, kenapa terlalu cepat memutuskan bercerai. Kamu lupa, umi Rosyida itu sahabat Mama.”

“Kamu tidak memikirkan akhir dari perbuatanmu itu, kamu telah berhasil menghancurkan persahabatan mama dan Umi Ela.” Kecam Bu Waida tak terima dengan sikap gegabah anaknya.

“Kamu lihat saja, setelah ini Umi Rosyida akan membenci mama yang tidak bisa mendidikmu dengan benar.”

Kekesalan sedang memenuhi hati Bu Waida, hingga ia tidak berhenti bicara menyayangkan sikap Erlangga yang terlalu gegabah menurutnya.

Bu Waida menarik napas pelan, kekesalan masih tampak jelas di raut wajahnya yang tertutup hijab.  

“Mama harusnya berterima kasih pada pemuda itu. Dia datang menyelamatkan kehormatan keluarga kita. Kenapa sekarang aku yang disudutkan.” Elak Erlangga tak habis pikir.

“Kamu percaya begitu saja omongan lelaki itu tanpa menyelidiki lebih dulu. Apakah begini yang kamu pelajari selama sekian tahun menempuh pendidikan. Memutuskan sesuatu tanpa tabayyun lebih dulu itu sama saja perbuatan yang sia-sia. Hakim saja kalau mau memutuskan benar apa tidak, perlu waktu berhari-hari menyelidikinya. Sedangkan kamu, tanpa menyelidi lebih dulu kebenarannya, malah langsung memutuskan bercerai.”

Bu Waida tak tahan lagi melihat sikap anaknya. Dengan kemarahan tinggi wanita itu pergi ke kamar.

Tadi sahabatnya itu pasti butuh pertolongan, sebagai sahabat dia justru meninggalkan rumah itu. Maafkan aku Ros, desis Bu Waida teramat menyesal.

Tak lama pak Handoko memasuki kamar menyusul Bu Waida.

“Sudah toh Ma, jangan marah-marah terus, nanti darah tinggimu kumat. Papa lagi yang repot.” Oceh lelaki itu mengusap bahu sang istri.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status