Bismillahirrahmanirrahim.
Tak lama kemudian, mobil memasuki area rumah sakit.Kini Abi Hisyam tengah ditangani dokter, Ela dan Umi Rosyida menunggu di ruang tunggu. Dua perempuan beda generasi itu tampak sedih dan khawatir.“Umi, Ela takut, takut Abi kenapa-kenapa. Tadi Abi jatuh dengan kepala membentur lantai. Benturannya sampai terdengar keras. Semoga tidak ada yang serius ya Umi.” Desah Ela meratap sedih.“Umi yang salah Nak, seharusnya Umi tahu kalau Abi gelisah mendengar tuduhan itu padamu. Umi berada di sisi Abi tak kalah kagetnya dengan Abi, hingga Umi tidak menyadari kondisi beliau yang sangat terpukul, tiba-tiba Abi jatuh pingsan begitu saja.”“Kita berdoa dan serahkan semuanya pada Allah ya, Nak.” hibur sang Umi seraya mengelus pucuk kepala sang putri.Umi Rosyida menatap Ela penuh iba, tak menyangka nasib putrinya setragis ini. Menikah dan bercerai dihari yang sama. Ela belum sempat merasakan menjadi seorang istri, kini dalam waktu tidak sampai sehari, statusnya berubah menjadi janda.Kenapa Erlangga tidak menunggu sampai tujuh hari, sepuluh hari, atau seratus hari kek. Jangan langsung putuskan pada hari setelah akad nikah selesai. Rutuk Umi Rosyida tak lepas memandang putrinya.Umi Rosyida tak sanggup membayangkan betapa perih luka hati putrinya.Kemana akan mereka sembunyikan rasa malu terhadap semua orang. Berita perceraian setelah akad itu pasti tersebar dengan cepat. Dalam waktu singkat keluarga mereka menjadi buah bibir.Tamu undangan yang datang ke resepsi acara hanya akan melihat pelaminan tanpa pengantin. Sungguh ironis bukan? Siapa yang sanggup menanggung malu seperti keluarga Abi Hisyam.Tak sedikit juga dana yang telah mereka keluarkan, sekarang menjadi mubazir dan sia-sia.“Umi? Kok diam. Umi sedang memikirkan apa?”Umi Rosyida memandang wajah anaknya penuh kasihan. Ela tidak boleh tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kalau Ela tahu berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan orang tuanya pasti akan bersedih. Sudah cukup deritanya ditalak setelah akad. Masalah biaya Ela tidak perlu tahu.“Tidak Nak, Umi sedang tidak memikirkan apa-apa. Umi hanya berdoa pada Allah untuk keselamatan Abi.”“Umi, rasanya Ela tak sanggup memikul beban ini. Ela malu Umi bertemu orang-orang. Semua orang pasti menghina dan memandang rendah Ela. Ela harus bagaimana Umi,” ucap Ela pilu dengan air mata tak berhenti mengalir.Umi Rosyida tersentak kaget. Benar saja kata Ela, apa yang dipikirkan orang tentang keluarganya. Apa masih ada lelaki yang mau menikahi Ela, setelah peristiwa pahit ini. Ya Allah kenapa tega sekali lelaki itu memfitnah Ela. Umi Rosyida merutuk marah atas perbuatan Soni.Spontan Umi Rosyida memeluk putrinya dengan erat. Air mata yang dari tadi ditahan-tahan olehnya, akhirnya mengalir juga.Umi Rosyida bertekad akan mendatangi keluarga besar Soni dan meminta pertanggung jawaban atas perbuatan anaknya terhadap Ela.Takdir macam apa yang melingkupi putrinya. Umi Rosyida tampak marah dan kesal bila ingat permintaan sahabatnya untuk menikahi Ela dengan Erlangga. Bila tahu begini akhirnya, pastilah ia tolak mentah-mentah. Sekarang apa yang bisa ia lakukan untuk menghibur luka sang putri.Umi Rosyida merenggangkan pelukan, lalu menatap wajah putrinya dengan penuh kasih sayang. Kedua tangan Umi Rosyida terulur menghapus air mata di pipi Ela.“Jangan menangis lagi Nak, Ela percaya dengan takdir Allah bukan? Semua yang sudah digariskan oleh Allah, tidak ada satu pun manusia yang mampu mengelaknya. Seperti yang terjadi pada Ela Hari ini, tiada satu pun dari kita menyangkanya, bukan? Jadi Ela tidak perlu malu, tapi terima dengan ikhlas. Biar hati kita tenang dan fokus untuk kesembuhan Abi.” Ujar umi Rosyida menguatkan dan memberi semangat untuk Ela.“Apa yang dikatakan orang, Ela cukup abaikan saja. Jangan terlalu dipikirkan. Biarkan saja orang berkata apa pun tentang Ela, Ela hanya cukup dengarkan saja. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Ela mengertikan perkataan umi.”“Iya Umi, Ela mengerti. Bantu Ela melewati kesedihan ini Umi.”“Pasti Nak, siapa lagi yang bisa Ela harapkan selain Umi.”“Terima kasih banyak Umi,” ucap Ela seraya memeluk wanita yang telah melahirkannya dengan taruhan nyawa.Sementara di tempat lain. Tepatnya di kediaman Bu Waida, Erlangga tengah diceramahi habis-habisan oleh sang Mama.“Kemana sih akal sehatmu, kenapa terlalu cepat memutuskan bercerai. Kamu lupa, umi Rosyida itu sahabat Mama.”“Kamu tidak memikirkan akhir dari perbuatanmu itu, kamu telah berhasil menghancurkan persahabatan mama dan Umi Ela.” Kecam Bu Waida tak terima dengan sikap gegabah anaknya.“Kamu lihat saja, setelah ini Umi Rosyida akan membenci mama yang tidak bisa mendidikmu dengan benar.”Kekesalan sedang memenuhi hati Bu Waida, hingga ia tidak berhenti bicara menyayangkan sikap Erlangga yang terlalu gegabah menurutnya.Bu Waida menarik napas pelan, kekesalan masih tampak jelas di raut wajahnya yang tertutup hijab. “Mama harusnya berterima kasih pada pemuda itu. Dia datang menyelamatkan kehormatan keluarga kita. Kenapa sekarang aku yang disudutkan.” Elak Erlangga tak habis pikir.“Kamu percaya begitu saja omongan lelaki itu tanpa menyelidiki lebih dulu. Apakah begini yang kamu pelajari selama sekian tahun menempuh pendidikan. Memutuskan sesuatu tanpa tabayyun lebih dulu itu sama saja perbuatan yang sia-sia. Hakim saja kalau mau memutuskan benar apa tidak, perlu waktu berhari-hari menyelidikinya. Sedangkan kamu, tanpa menyelidi lebih dulu kebenarannya, malah langsung memutuskan bercerai.”Bu Waida tak tahan lagi melihat sikap anaknya. Dengan kemarahan tinggi wanita itu pergi ke kamar.Tadi sahabatnya itu pasti butuh pertolongan, sebagai sahabat dia justru meninggalkan rumah itu. Maafkan aku Ros, desis Bu Waida teramat menyesal.Tak lama pak Handoko memasuki kamar menyusul Bu Waida.“Sudah toh Ma, jangan marah-marah terus, nanti darah tinggimu kumat. Papa lagi yang repot.” Oceh lelaki itu mengusap bahu sang istri.Bersambung...Lelaki itu akhirnya pergi juga meninggalkan kamar, meninggalkan Ela dengan degup jantung yang menderu. Bibir wanita itu kembali tersungging manis. Membayangkan tingkah agresifnya tadi sungguh membuatnya malu. Ia sungguh tak percaya, bisa melakukan hal yang sangat tabu untuknya. Wajahnya memerah, sontak ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Setelah mengatur debar di dada, Ela mulai siap-siap seperti permintaan suaminya. Ia beranjak ke lemari, meraih kado dari Farah yang dulu hampir saja ia buang. Tapi setelah ia tahu kegunaan pakaian tipis menerawang itu, ia menyimpannya kembali di lemari. Kini ia berniat memakainya untuk menyenangkan sang suami. Yah, kini hatinya telah mantap, siap sempurna tanpa ada keraguan sedikitpun.Hampir 20 menit ia bersiap-siap dan menunggu kedatangan sang suami di kamar tepatnya di tempat tidur. Beberapa kali ia menguap, tapi sayangnya orang yang ditunggu tak kunjung datang. Ela menarik selimut hampir menutupi seluruh badannya. Ia belum siap menu
“Mas, kok berhenti, gak jadi masuk?” tanya Ela bingung. Wanita itu memindai area ruang keluarga, dan tatapannya melongo kaget, menyaksikan pertikaian antara kakak ipar dan suaminya.Bukannya menjawab pertanyaan Ela, Faiq justru berbisik di telinga sang istri. “Lihat itu, mereka lagi berantem. Kita dengarkan dari sini.”“Menguping pembicaraan orang diam-diam itu tidak baik Mas, apalagi mereka tengah berantem. Ayo kita keluar saja,” ajak Ela cepat seraya berbisik. Tangannya tak lupa menarik tangan sang suami dan mengajaknya keluar. Tapi sayang, Faiq tak bergerak dari posisinya. Ela menatap suaminya dengan perasaan kalut, takut ketahuan oleh kakak ipar dan suaminya.“Ayo Mas, tunggu apa lagi. Sebaiknya kita pergi sekarang,” pinta Ela memelas.Faiq mendekatkan bibir ke telinga sang istri lalu berbisik, “Ini kedua kalinya mereka berantem, aku harus tahu apa yang mereka debatkan.”“Tapi....”“Syut... Diamlah. Nanti kita ketahuan, bahaya!” pinta Faiq menutup mulut sang istri. Akhirnya Ela men
“Bunda,” ucapnya terbata-bata. Wanita itu lantas membuka pintu dan memintanya mamanya masuk ke dalam. Perempuan yang dipanggil bunda itu pun lantas masuk ke apartemen sang putri. Lalu mendaratkan bokongnya di kursi tunggal yang ada di sana. Matanya memindai area ruang keluarga yang tertata dengan rapi dan juga bersih. Meskipun rapi dan bersih, tetap saja tinggal sendiri itu tidak menyenangkan.“Betah kamu tinggal menyendiri di sini?”“Maksud bunda?”“Kamu jangan pura-pura tidak tahu apa maksud perkataan bunda.”“Menikah!! Itu yang ingin bunda katakan bukan?”“Iya, apalagi.”“Kapan kamu bisa memenuhi permintaan bunda, Nak? Kamu itu bukan ABG labil lagi. Kamu itu sudah kelewat dewasa.”Widuri tersentak kaget, ia sangat paham dengan maksud perkataan sang bunda, memang dirinya sudah kelewat dewasa, bahkan sebentar lagi usianya mencapai 29 tahun. Tapi mau bagaimana, lelaki yang ia sukai dari dulu bahkan sampai sekarang tidak berubah, namun tidak direstui oleh sang bunda hanya karena lelak
“Baiklah! Saya mengerti. Sebenarnya apa yang hendak kamu bicarakan?” tanya Widuri menatap lekat sang mantan. Dadanya sampai sekarang masih bergetar hebat, saat menatap lelaki di depannya itu. Rasa cinta itu semakin menancap dalam hati, meskipun tidak terlihat rasa rindu itu di mata Faiq. Tak membuat rasa cintanya padam, tapi terus saja menyala terang. Apalagi setelah melihat keberhasilan dan kesuksesan yang pria itu sandang sekarang menambah rasa kagum dan keinginan untuk memiliki lelaki itu sepenuhnya semakin tertancap kuat dalam dadanya. Terlebih setelah mendengar perkataan Ela, kalau Faiq belum menikah dan tidak punya wanita spesial. Ia berharap, dialah wanita yang mendampingi Faiq melewati fase kehidupan berumah tangga. Ia merasa, Faiq masih mengharapkannya, belum bisa move on, buktinya sampai sekarang Faiq masih betah menyendiri. Bisa seyakin itu Widuri memahaminya, padahal andai ia tahu, jika Faiq sudah memiliki wanita spesial yang bergelar istri, entah bagaimana perasaan per
“Ela, Maaf! Tadi gak bangunin kamu, soalnya tidurmu pulas banget,” ucap Faiq menyesal seraya mendaratkan bokongnya di kursi tak jauh dari Ela. Lelaki itu menatap sang istri yang tak menoleh sedikit pun padanya.Sebenarnya tadi Faiq ragu untuk masuk ke dalam ruang keluarga, ulahnya semalam yang pura-pura pingsan membuatnya enggan bertemu dengan Ela. Ia khawatir Ela mengetahui kepura-puraannya dan bisa saja wanita itu menceritakan kepada orang tuanya. Tapi bila tetap diam dan menunggu di luar juga akan membuat kedua orang tuanya pasti bertanya-tanya. Makanya Faiq memberanikan diri masuk bergabung dengan istri dan kedua orang tuanya. Ia tak hiraukan, meskipun nanti pandangan buruk yang dilayangkan Ela.“Tidak apa-apa Mas.” Jawab Ela singkat, setelah terdiam cukup lama. Itu pun karena tak enak pada kedua mertuanya, bila Ela menampakkan kekesalan di depan sang mertua. “Oh iya Mas, nanti kita jadi pergi menemui Bu Widuri?” tanya Ela memastikan. “Kalau jadi, aku mau siap-siap sekalian mau ka
“Bukan begitu, sekarang sudah terlalu larut. Bagaimana kalau besok saja,” ucap Faiq bernegosiasi. Lelaki itu bicara tanpa beban, seolah sang istri tidak marah dituduh tidak virgin.Bukan tanpa alasan Faiq menunda sampai besok, malam ini karena sudah terlalu malam dan ia juga dari tadi menguap terus, maka tercetuslah ide menunda malam pertama itu sampai besok pagi.Lelaki itu berusaha membujuk Ela, tapi sayangnya Ela sudah terlalu kesal. Akhirnya ia bicara dengan ketus. Bahkan terkesan mengancam. Ela jelas tak bisa terima begitu saja, di mana harga dirinya. Kehormatannya dipertanyakan.“Sekarang! Atau tidak sama sekali,” ancam Ela tak terima dicurigai tidak perawan oleh lelaki yang baru beberapa hari ini sah menjadi suaminya.Sebagai wanita yang selalu menjaga kehormatannya, jelas kecewa dibuatnya.Sakit hatinya dituduh tidak perawan apalagi oleh suami sendiri. Rasanya Ela ingin menjambak rambut lelaki itu untuk melampiaskan kekesalan hati, tapi ia tak punya keberanian melakukannya. Si