Share

Part 06

Bismillahirrahmanirrahim.

“Ayo! Kita ke rumah sakit. Jenguk Abi Hisyam,” ajak Bu Waida pada putranya.

“Tidak mau Ma, Mama saja yang ke sana. Aku tidak mau bertemu dengan perempuan murahan itu.” Tolak Erlangga cepat.

Wajah Bu Waida sontak terperanjat kaget, tak menyangka anaknya semakin pedas saja mulutnya. Apa ini efek gagal kawin. Belum sempat menikmati malam pertama sudah menjadi duren, alias duda keren.

Salah sendiri sih, kenapa buru-buru menjatuhkan talak. Tunggu selesai malam pertama atau tunggu selama satu Minggu. Ini tidak, menyesal sendiri kan jadinya.

Lelaki yang dipandang menjadi jengah sendiri. “Kenapa sih Ma, melihatku terus.”

“Iya Mama bingung sama sikapmu. Kenapa sekarang enteng sekali mulutmu mengeluarkan kata umpatan. Di pernikahan kemaren, kamu sempat-sempatnya bilang Ela itu pel**ur, sekarang gantian gadis murahan. Apa kamu tidak takut kualat. Ntar cinta benaran baru tahu rasa kamu. Tapi si Ela sudah terlanjur sakit hati dikatai yang tidak-tidak.”

“Rem mulutmu blong ya, sehingga mudahnya kamu berkata tanpa bukti. Hanya baru mendengar sepihak. Belum dengar pembelaan dari pihak Elanya.”

“Apa sih Ma, sekarang mama gantian mengataiku. Udah ah, aku mau tidur,” ujar Erlangga berlalu pergi dari hadapan Mamanya.

“Eit! Mau kemana kamu, main nyelonong saja. Kamu harus tanggung jawab.”

“Tanggung jawab apa Ma, belum juga aku apa-apain tuh si Ela, sekarang Mama minta tanggung jawabku. Noh! Minta aja sama si Soni, dia yang makan, kenapa aku yang bayar.”

“Erlangga, jangan bercanda terus. Ayo buruan siap-siap. Kita ke rumah sakit sekarang. Abi Hisyam sampai koma loh, karena kamu talak anaknya. Jadi kamu harus tanggung jawab.”

Erlangga tepuk jidat setelah menyadari tanggung jawab apa yang diminta Mamanya.

“Kok bengong? Buruan!” seru Bu Waida tak sabaran.

“Iya Ma, aku ganti baju dulu ya, masak ke rumah sakit kayak gini.”

“Jangan lama-lama, Mama tunggu di mobil.”

Satu jam kemudian, Bu Waida dan Erlangga sampai di rumah sakit. Setelah lumayan lama berada di parkiran, Erlangga tak kunjung turun. Hal itu membuat Bu Waida bertanya-tanya.

“Tunggu siapa?”

“Mama saja yang masuk ya, aku enggan bertemu Ela. Aku tunggu mama di sini.”

Bu Waida memandang putranya sejenak. Kekesalan makin tampak jelas diraut wajahnya. Tak menyangka anaknya bersikap picik sekali. Apa salahnya membezuk mertua, meskipun mertua tak jadi.

“Kenapa Ma?”

“Mama heran sama kamu, apa yang membuatmu enggan bertemu Ela dan papanya. Kamu takut ya? Lagian papa Ela itu koma, dia tidak bakal memarahimu.”

“Bukan begitu Ma, sekarang Ela itu mantan istriku. Ibarat pacar, kalau sudah jadi mantan, kan jadi malas melihat mukanya lagi.”

“Di mana rasa kemanusiaanmu, Papa Ela itu koma karena ulahmu, kamu talak anaknya. Sebagai sesama manusia, apa salah kamu menunjukkan rasa penyesalan dan datang membesuknya.”

Erlangga tak dapat berkata-kata. Emang benar kata mamanya. Tak ada gunanya berdebat dengan sang Mama. Beliau benar, tak seharusnya dia menghindari tanggung jawab.

“Baiklah Ma, aku ikut masuk ke dalam.”

“Nah begitu dong, tunjukkan kalau kamu itu bukan lelaki pengecut.”

Erlangga hanya tersenyum sekilas, lalu membuka pintu mobil dan kemudian turun. Mereka berjalan beriringan menuju ruang rawat Abi Hisyam.

Tak lama mereka telah sampai di depan pintu ruang rawat Abi Hisyam kamar melati 225.

Suasana tampak lengang. Hanya ada beberapa pengunjung dan perawat yang hilir mudik. Pengunjung itu mungkin dari keluarga pasien.

Bu Waida mengetuk pintu, hening tanpa suara. Pintu ruang rawat terbuka sedikit. Bu Waida mendorong pintu dan melongok ke dalam. Tampaklah di sana, seorang gadis tidur menelungkup di ranjang pasien. Itu pasti Ela pikir Bu Waida.

Bu Waida segera masuk, tak lupa menggandeng putranya.

Sesampainya di dalam, Bu Waida melihat Ela tidur sangat pulas. Ia melirik pada Erlangga lalu berbisik.

“Lihat itu! Ela pasti lelah menjaga papanya berhari-hari. Lihat sekarang hasil perbuatanmu. Tak seharusnya kamu langsung menjatuhkan talak, harusnya kamu tunggu beberapa hari. Andai mama ada di posisi Ela, mama mungkin akan mengalami nasib yang sama. Atau bisa jadi lebih tragis dari ini meninggal mungkin.”

“Untung papa Ela hanya koma, masih ada harapan sembuh.”

“Maaf Ma, aku spontan saja waktu itu,” balas Erlangga pelan.

Erlangga memperhatikan wajah Ela yang kebetulan tidurnya mengarah ke kaki Abi Hisyam. Wajah itu wajah penuh kesedihan, jejak air mata masih tampak jelas di sana. Rasanya Erlangga ingin menghapusnya, tapi ia tidak punya keberanian. Entah kenapa memandang wajah Ela yang tengah tertidur itu, seakan memandang wajah bayi berumur 10 bulan. Dada Erlangga berdesir hebat, wajah polos tanpa make-up itu begitu halus, bersih dan teduh.

“Ela, bangun sayang.” Tiba-tiba Bu Waida mengusap bahu Ela libur.

Ela menggeliat, lalu tidur lagi. Sekarang wajahnya menghadap ke arah yang berlawanan.

Bu Waida tak tega membangunkan, sepertinya Ela sangat mengantuk dan pasti kurang tidur.

Bu Waida dan Erlangga menunggu saja seraya memperhatikan kondisi Abi Hisyam.

“Mas Hisyam, kami datang membesukmu, tolong maafkan Erlangga. Kami tahu, kami tak pantas datang ke sini. Kesalahan kami pasti tidak termaafkan.” Lirih Bu Waida berbisik dekat telinga Abi Hisyam.

“Siapa ya,” tiba-tiba suara seorang perempuan mengagetkan Bu Waida. Bu Waida segera menoleh dan melihat sahabatnya dengan rantang makanan di tangan.

“Ros.”

“Waida.”

Bu Waida segera berdiri dan melangkah mendekati Umi Rosyida. Umi Rosyida mundur ke belakang saat menyadari siapa yang berada di sisi suaminya.

“Maafkan keluarga kami Ros, kami tak menyangka bakal terjadi begini.”

“Untuk apa kalian datang? Kalian tidak perlu repot-repot mengunjungi suamiku.”

“Keluar? Kami tidak ingin bertemu dengan kalian.”

Ela yang tengah tidur mendengar suara berisik terbangun. Ia memandang banyak orang di kamar Abinya. Saat melihat siapa yang ada di depannya, Ela terperanjat kaget. Ia tak menduga yang datang ternyata Tante Waida dan mantan suaminya.

Ela juga melihat Uminya yang tengah emosi besar. Lalu gadis perawan itu mendekati sang Umi.

“Kenapa masih di sini? Kami tak butuh kalian?” bentak Umi Rosyida murka.

“Ros, tenangkan dirimu. Kami datang ingin menyampaikan permintaan maaf. Tolong maafkan kami, jangan rusak persahabatan kita karena masalah ini.”

“Apa kamu bilang, anakmu itu yang telah merusak persahabatan kita.”

“Umi! Tenanglah. Jangan begini, kasihan Abi.” Lirih suara Ela.

“Maaf Tante, Mas Erlangga, sebaiknya kalian pergi dulu dari sini. Umi sepertinya belum siap bertemu.” Usir Ela halus.

“Baiklah Ela, tolong maafkan saya.” Sahut Erlangga tak berani menatap wajah teduh Ela. Kemana perginya binar mata gadis itu, sekarang wajahnya tampak kuyu dan semakin tirus. Erlangga semakin merasa bersalah.

“Ayuk Ma, kita pergi sekarang.” Ajak Erlangga seraya menarik tangan sang ibu.

bersambung...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
biar kn klga Erlangga penuh penyesalan karena telah menghancurkan klga Ella sampei ayah nya jatuh sakit sampai koma ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status