Bismillahirrahmanirrahim.
“Ayo! Kita ke rumah sakit. Jenguk Abi Hisyam,” ajak Bu Waida pada putranya.“Tidak mau Ma, Mama saja yang ke sana. Aku tidak mau bertemu dengan perempuan murahan itu.” Tolak Erlangga cepat.Wajah Bu Waida sontak terperanjat kaget, tak menyangka anaknya semakin pedas saja mulutnya. Apa ini efek gagal kawin. Belum sempat menikmati malam pertama sudah menjadi duren, alias duda keren.Salah sendiri sih, kenapa buru-buru menjatuhkan talak. Tunggu selesai malam pertama atau tunggu selama satu Minggu. Ini tidak, menyesal sendiri kan jadinya.Lelaki yang dipandang menjadi jengah sendiri. “Kenapa sih Ma, melihatku terus.”“Iya Mama bingung sama sikapmu. Kenapa sekarang enteng sekali mulutmu mengeluarkan kata umpatan. Di pernikahan kemaren, kamu sempat-sempatnya bilang Ela itu pel**ur, sekarang gantian gadis murahan. Apa kamu tidak takut kualat. Ntar cinta benaran baru tahu rasa kamu. Tapi si Ela sudah terlanjur sakit hati dikatai yang tidak-tidak.”“Rem mulutmu blong ya, sehingga mudahnya kamu berkata tanpa bukti. Hanya baru mendengar sepihak. Belum dengar pembelaan dari pihak Elanya.”“Apa sih Ma, sekarang mama gantian mengataiku. Udah ah, aku mau tidur,” ujar Erlangga berlalu pergi dari hadapan Mamanya.“Eit! Mau kemana kamu, main nyelonong saja. Kamu harus tanggung jawab.”“Tanggung jawab apa Ma, belum juga aku apa-apain tuh si Ela, sekarang Mama minta tanggung jawabku. Noh! Minta aja sama si Soni, dia yang makan, kenapa aku yang bayar.”“Erlangga, jangan bercanda terus. Ayo buruan siap-siap. Kita ke rumah sakit sekarang. Abi Hisyam sampai koma loh, karena kamu talak anaknya. Jadi kamu harus tanggung jawab.”Erlangga tepuk jidat setelah menyadari tanggung jawab apa yang diminta Mamanya.“Kok bengong? Buruan!” seru Bu Waida tak sabaran.“Iya Ma, aku ganti baju dulu ya, masak ke rumah sakit kayak gini.”“Jangan lama-lama, Mama tunggu di mobil.”Satu jam kemudian, Bu Waida dan Erlangga sampai di rumah sakit. Setelah lumayan lama berada di parkiran, Erlangga tak kunjung turun. Hal itu membuat Bu Waida bertanya-tanya.“Tunggu siapa?”“Mama saja yang masuk ya, aku enggan bertemu Ela. Aku tunggu mama di sini.”Bu Waida memandang putranya sejenak. Kekesalan makin tampak jelas diraut wajahnya. Tak menyangka anaknya bersikap picik sekali. Apa salahnya membezuk mertua, meskipun mertua tak jadi.“Kenapa Ma?”“Mama heran sama kamu, apa yang membuatmu enggan bertemu Ela dan papanya. Kamu takut ya? Lagian papa Ela itu koma, dia tidak bakal memarahimu.”“Bukan begitu Ma, sekarang Ela itu mantan istriku. Ibarat pacar, kalau sudah jadi mantan, kan jadi malas melihat mukanya lagi.”“Di mana rasa kemanusiaanmu, Papa Ela itu koma karena ulahmu, kamu talak anaknya. Sebagai sesama manusia, apa salah kamu menunjukkan rasa penyesalan dan datang membesuknya.”Erlangga tak dapat berkata-kata. Emang benar kata mamanya. Tak ada gunanya berdebat dengan sang Mama. Beliau benar, tak seharusnya dia menghindari tanggung jawab.“Baiklah Ma, aku ikut masuk ke dalam.”“Nah begitu dong, tunjukkan kalau kamu itu bukan lelaki pengecut.”Erlangga hanya tersenyum sekilas, lalu membuka pintu mobil dan kemudian turun. Mereka berjalan beriringan menuju ruang rawat Abi Hisyam.Tak lama mereka telah sampai di depan pintu ruang rawat Abi Hisyam kamar melati 225.Suasana tampak lengang. Hanya ada beberapa pengunjung dan perawat yang hilir mudik. Pengunjung itu mungkin dari keluarga pasien.Bu Waida mengetuk pintu, hening tanpa suara. Pintu ruang rawat terbuka sedikit. Bu Waida mendorong pintu dan melongok ke dalam. Tampaklah di sana, seorang gadis tidur menelungkup di ranjang pasien. Itu pasti Ela pikir Bu Waida.Bu Waida segera masuk, tak lupa menggandeng putranya.Sesampainya di dalam, Bu Waida melihat Ela tidur sangat pulas. Ia melirik pada Erlangga lalu berbisik.“Lihat itu! Ela pasti lelah menjaga papanya berhari-hari. Lihat sekarang hasil perbuatanmu. Tak seharusnya kamu langsung menjatuhkan talak, harusnya kamu tunggu beberapa hari. Andai mama ada di posisi Ela, mama mungkin akan mengalami nasib yang sama. Atau bisa jadi lebih tragis dari ini meninggal mungkin.”“Untung papa Ela hanya koma, masih ada harapan sembuh.”“Maaf Ma, aku spontan saja waktu itu,” balas Erlangga pelan.Erlangga memperhatikan wajah Ela yang kebetulan tidurnya mengarah ke kaki Abi Hisyam. Wajah itu wajah penuh kesedihan, jejak air mata masih tampak jelas di sana. Rasanya Erlangga ingin menghapusnya, tapi ia tidak punya keberanian. Entah kenapa memandang wajah Ela yang tengah tertidur itu, seakan memandang wajah bayi berumur 10 bulan. Dada Erlangga berdesir hebat, wajah polos tanpa make-up itu begitu halus, bersih dan teduh.“Ela, bangun sayang.” Tiba-tiba Bu Waida mengusap bahu Ela libur.Ela menggeliat, lalu tidur lagi. Sekarang wajahnya menghadap ke arah yang berlawanan.Bu Waida tak tega membangunkan, sepertinya Ela sangat mengantuk dan pasti kurang tidur.Bu Waida dan Erlangga menunggu saja seraya memperhatikan kondisi Abi Hisyam.“Mas Hisyam, kami datang membesukmu, tolong maafkan Erlangga. Kami tahu, kami tak pantas datang ke sini. Kesalahan kami pasti tidak termaafkan.” Lirih Bu Waida berbisik dekat telinga Abi Hisyam.“Siapa ya,” tiba-tiba suara seorang perempuan mengagetkan Bu Waida. Bu Waida segera menoleh dan melihat sahabatnya dengan rantang makanan di tangan.“Ros.”“Waida.”Bu Waida segera berdiri dan melangkah mendekati Umi Rosyida. Umi Rosyida mundur ke belakang saat menyadari siapa yang berada di sisi suaminya.“Maafkan keluarga kami Ros, kami tak menyangka bakal terjadi begini.”“Untuk apa kalian datang? Kalian tidak perlu repot-repot mengunjungi suamiku.”“Keluar? Kami tidak ingin bertemu dengan kalian.”Ela yang tengah tidur mendengar suara berisik terbangun. Ia memandang banyak orang di kamar Abinya. Saat melihat siapa yang ada di depannya, Ela terperanjat kaget. Ia tak menduga yang datang ternyata Tante Waida dan mantan suaminya.Ela juga melihat Uminya yang tengah emosi besar. Lalu gadis perawan itu mendekati sang Umi.“Kenapa masih di sini? Kami tak butuh kalian?” bentak Umi Rosyida murka.“Ros, tenangkan dirimu. Kami datang ingin menyampaikan permintaan maaf. Tolong maafkan kami, jangan rusak persahabatan kita karena masalah ini.”“Apa kamu bilang, anakmu itu yang telah merusak persahabatan kita.”“Umi! Tenanglah. Jangan begini, kasihan Abi.” Lirih suara Ela.“Maaf Tante, Mas Erlangga, sebaiknya kalian pergi dulu dari sini. Umi sepertinya belum siap bertemu.” Usir Ela halus.“Baiklah Ela, tolong maafkan saya.” Sahut Erlangga tak berani menatap wajah teduh Ela. Kemana perginya binar mata gadis itu, sekarang wajahnya tampak kuyu dan semakin tirus. Erlangga semakin merasa bersalah.“Ayuk Ma, kita pergi sekarang.” Ajak Erlangga seraya menarik tangan sang ibu.bersambung...Lelaki itu akhirnya pergi juga meninggalkan kamar, meninggalkan Ela dengan degup jantung yang menderu. Bibir wanita itu kembali tersungging manis. Membayangkan tingkah agresifnya tadi sungguh membuatnya malu. Ia sungguh tak percaya, bisa melakukan hal yang sangat tabu untuknya. Wajahnya memerah, sontak ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Setelah mengatur debar di dada, Ela mulai siap-siap seperti permintaan suaminya. Ia beranjak ke lemari, meraih kado dari Farah yang dulu hampir saja ia buang. Tapi setelah ia tahu kegunaan pakaian tipis menerawang itu, ia menyimpannya kembali di lemari. Kini ia berniat memakainya untuk menyenangkan sang suami. Yah, kini hatinya telah mantap, siap sempurna tanpa ada keraguan sedikitpun.Hampir 20 menit ia bersiap-siap dan menunggu kedatangan sang suami di kamar tepatnya di tempat tidur. Beberapa kali ia menguap, tapi sayangnya orang yang ditunggu tak kunjung datang. Ela menarik selimut hampir menutupi seluruh badannya. Ia belum siap menu
“Mas, kok berhenti, gak jadi masuk?” tanya Ela bingung. Wanita itu memindai area ruang keluarga, dan tatapannya melongo kaget, menyaksikan pertikaian antara kakak ipar dan suaminya.Bukannya menjawab pertanyaan Ela, Faiq justru berbisik di telinga sang istri. “Lihat itu, mereka lagi berantem. Kita dengarkan dari sini.”“Menguping pembicaraan orang diam-diam itu tidak baik Mas, apalagi mereka tengah berantem. Ayo kita keluar saja,” ajak Ela cepat seraya berbisik. Tangannya tak lupa menarik tangan sang suami dan mengajaknya keluar. Tapi sayang, Faiq tak bergerak dari posisinya. Ela menatap suaminya dengan perasaan kalut, takut ketahuan oleh kakak ipar dan suaminya.“Ayo Mas, tunggu apa lagi. Sebaiknya kita pergi sekarang,” pinta Ela memelas.Faiq mendekatkan bibir ke telinga sang istri lalu berbisik, “Ini kedua kalinya mereka berantem, aku harus tahu apa yang mereka debatkan.”“Tapi....”“Syut... Diamlah. Nanti kita ketahuan, bahaya!” pinta Faiq menutup mulut sang istri. Akhirnya Ela men
“Bunda,” ucapnya terbata-bata. Wanita itu lantas membuka pintu dan memintanya mamanya masuk ke dalam. Perempuan yang dipanggil bunda itu pun lantas masuk ke apartemen sang putri. Lalu mendaratkan bokongnya di kursi tunggal yang ada di sana. Matanya memindai area ruang keluarga yang tertata dengan rapi dan juga bersih. Meskipun rapi dan bersih, tetap saja tinggal sendiri itu tidak menyenangkan.“Betah kamu tinggal menyendiri di sini?”“Maksud bunda?”“Kamu jangan pura-pura tidak tahu apa maksud perkataan bunda.”“Menikah!! Itu yang ingin bunda katakan bukan?”“Iya, apalagi.”“Kapan kamu bisa memenuhi permintaan bunda, Nak? Kamu itu bukan ABG labil lagi. Kamu itu sudah kelewat dewasa.”Widuri tersentak kaget, ia sangat paham dengan maksud perkataan sang bunda, memang dirinya sudah kelewat dewasa, bahkan sebentar lagi usianya mencapai 29 tahun. Tapi mau bagaimana, lelaki yang ia sukai dari dulu bahkan sampai sekarang tidak berubah, namun tidak direstui oleh sang bunda hanya karena lelak
“Baiklah! Saya mengerti. Sebenarnya apa yang hendak kamu bicarakan?” tanya Widuri menatap lekat sang mantan. Dadanya sampai sekarang masih bergetar hebat, saat menatap lelaki di depannya itu. Rasa cinta itu semakin menancap dalam hati, meskipun tidak terlihat rasa rindu itu di mata Faiq. Tak membuat rasa cintanya padam, tapi terus saja menyala terang. Apalagi setelah melihat keberhasilan dan kesuksesan yang pria itu sandang sekarang menambah rasa kagum dan keinginan untuk memiliki lelaki itu sepenuhnya semakin tertancap kuat dalam dadanya. Terlebih setelah mendengar perkataan Ela, kalau Faiq belum menikah dan tidak punya wanita spesial. Ia berharap, dialah wanita yang mendampingi Faiq melewati fase kehidupan berumah tangga. Ia merasa, Faiq masih mengharapkannya, belum bisa move on, buktinya sampai sekarang Faiq masih betah menyendiri. Bisa seyakin itu Widuri memahaminya, padahal andai ia tahu, jika Faiq sudah memiliki wanita spesial yang bergelar istri, entah bagaimana perasaan per
“Ela, Maaf! Tadi gak bangunin kamu, soalnya tidurmu pulas banget,” ucap Faiq menyesal seraya mendaratkan bokongnya di kursi tak jauh dari Ela. Lelaki itu menatap sang istri yang tak menoleh sedikit pun padanya.Sebenarnya tadi Faiq ragu untuk masuk ke dalam ruang keluarga, ulahnya semalam yang pura-pura pingsan membuatnya enggan bertemu dengan Ela. Ia khawatir Ela mengetahui kepura-puraannya dan bisa saja wanita itu menceritakan kepada orang tuanya. Tapi bila tetap diam dan menunggu di luar juga akan membuat kedua orang tuanya pasti bertanya-tanya. Makanya Faiq memberanikan diri masuk bergabung dengan istri dan kedua orang tuanya. Ia tak hiraukan, meskipun nanti pandangan buruk yang dilayangkan Ela.“Tidak apa-apa Mas.” Jawab Ela singkat, setelah terdiam cukup lama. Itu pun karena tak enak pada kedua mertuanya, bila Ela menampakkan kekesalan di depan sang mertua. “Oh iya Mas, nanti kita jadi pergi menemui Bu Widuri?” tanya Ela memastikan. “Kalau jadi, aku mau siap-siap sekalian mau ka
“Bukan begitu, sekarang sudah terlalu larut. Bagaimana kalau besok saja,” ucap Faiq bernegosiasi. Lelaki itu bicara tanpa beban, seolah sang istri tidak marah dituduh tidak virgin.Bukan tanpa alasan Faiq menunda sampai besok, malam ini karena sudah terlalu malam dan ia juga dari tadi menguap terus, maka tercetuslah ide menunda malam pertama itu sampai besok pagi.Lelaki itu berusaha membujuk Ela, tapi sayangnya Ela sudah terlalu kesal. Akhirnya ia bicara dengan ketus. Bahkan terkesan mengancam. Ela jelas tak bisa terima begitu saja, di mana harga dirinya. Kehormatannya dipertanyakan.“Sekarang! Atau tidak sama sekali,” ancam Ela tak terima dicurigai tidak perawan oleh lelaki yang baru beberapa hari ini sah menjadi suaminya.Sebagai wanita yang selalu menjaga kehormatannya, jelas kecewa dibuatnya.Sakit hatinya dituduh tidak perawan apalagi oleh suami sendiri. Rasanya Ela ingin menjambak rambut lelaki itu untuk melampiaskan kekesalan hati, tapi ia tak punya keberanian melakukannya. Si