Bismillahirrahmanirrahim.
“Ayuk Ma, kita pergi sekarang.” Ajak Erlangga seraya menarik tangan sang ibu.Mata Bu Waida berkaca-kaca, tak lama kemudian jatuh berderai. Ia duduk sebentar di ruang tunggu, terisak perih. Kini sahabatnya begitu membenci dirinya. Bu Waida tak bisa membayangkan, bila tak lagi bisa kumpul dan bercengkerama dengan umi Rosyida.Ini terjadi karena ulah putranya sendiri. Sekarang dia menyesal meminta Ela menjadi istri anaknya. Andai tahu begini akhirnya, takkan pernah ia berniat meminta Umi Rosyida menjadi besannya. Putusnya persahabatan itu membuat Bu Waida sangat bersedih hati.Erlangga melihat kesedihan di mata sang Mama ikut larut dalam penyesalan. Andai ia tidak gegabah dan mudah percaya dengan perkataan Soni, tentu sekarang kedua keluarga bahagia. Abi Hisyam tidak perlu masuk rumah sakit, umi Rosyida tidak membenci ibunya, entah apa penilaian Ela padanya. Terakhir tak penting, Erlangga lebih tak siap melihat duka di mata ibunya.Kini hanya tinggal penyesalan di hati Erlangga. Nasi sudah menjadi bubur tak mungkin bisa dirubah kembali.“Ayo Ma, kita pergi dari sini. Lihat! Semua mata memandang ke arah Mama. Mama tidak mau kan jadi tontonan gratis,” ucap Erlangga mencoba mengingatkan.Bu Waida sontak bangun lalu memindai area. Benar saja sebagian pengunjung memandang heran padanya.Bu Waida sadar, tak seharusnya ia menangis si tengah keramaian. Segera saja perempuan tua itu melap air matanya dan bangkit berdiri. Mengajak Erlangga pergi dari sana.***Hari demi hari terus berganti, keadaan Abi Hisyam tidak juga membaik. Lelaki itu seakan enggan bangun, lebih memilih tidur untuk selamanya. Mungkin Abi Hisyam tidak kuat menghadapi kenyataan mengenai masa depan putri satu-satunya.Tiga bulan telah berlalu. Kini Ela kembali ke rutinitas sebelumnya. Melanjutkan kuliah yang sempat terhenti. Ela bukanlah anak yang berasal dari keluarga berada. Apa lagi semenjak Abi koma, otomatis semakin banyak biaya yang harus dia dan uminya keluarkan. Sehingga Ela butuh istirahat dari kuliah.Untuk mencukupi itu semua, bakat yang sempat terpendam kini Ela asah kembali. Sebenarnya setahun belakangan ini Ela sering menulis cerita di platform berbayar. Suatu aplikasi yang mewadahi seorang penulis untuk mem posting ceritanya untuk dibaca olah khalayak ramai.Dari cerita itu, sedikit demi sedikit Ela berhasil mengumpulkan uang, meskipun belum sebanyak penghasilan penulis beken. Seperti salah satu senior yang disukainya, yang telah lama berkecimpung di sana. Bayangin aja ada satu senior yang paling disukainya, yang penghasilannya mencapai ratusan juta sebulan dari hasil karyanya. Ela berharap suatu hari nanti ia punya penghasilan sebanyak senior itu dari novel yang ia tulis.Siang ini Ela tengah sibuk melanjutkan cerita yang telah ia posting sampai beberapa part. Sesekali Ela melirik sang Abi yang tengah berada di tempat tidur. Beberapa slang masih terpasang ditubuh tua lelaki itu.“Assalamualaikum,” salam seseorang dari luar.“Waalaikumsalam,” sahut Ela lalu menoleh ke pintu.Seorang dokter muda berpakaian sneli masuk ke dalam.Ela terperanjat kaget saat melihat siapa yang mengucapkan salam. Ela tidak menyangka, tiga bulan ia berada di rumah sakit, belum pernah bertemu dengan dokter muda ini. Apa ia kerja di sini, pikir Ela dalam hati.“Mas, ngapain ke sini. Kenapa tidak Dokter yang sebelumnya.” Sapanya tetap ramah, meskipun lelaki ini pernah menyakiti hatinya.“Maaf Ela, mulai hari ini dan seterusnya Abi Hisyam berada di bawah pengawasan saya. Dokter sebelumnya dipindahkan ke rumah sakit besar di Surabaya.”Ela sebenarnya enggan bertemu dengan lelaki ini, lelaki yang telah mengoyak relung hati. Lelaki yang telah menalak dirinya dihari setelah akad nikah.Sang pria itu mendekat tanpa memedulikan keresahan Ela. Lalu memeriksa kondisi Abi Hisyam. Ia pun mengganti bunga yang mulai layu dengan yang bagus. Meskipun Ela melarangnya, tetap saja dokter muda itu melakukannya.Katanya bunga itu bagus untuk kesehatan kamar, siapa tahu pasien bisa sembuh dengan cepat.Ela tak bisa berkutik lagi, terpaksa mengikuti kemauan dokter itu yang menggantikan bunga dengan biayanya sendiri. Katanya itu bentuk tanggung jawabnya untuk kesembuhan Abi.Ela lalu mundur ke belakang. Gemuruh di dadanya tak membuat ia sanggup berada lebih lama di sisi lelaki itu. Gemuruh dendam dan benci. Ia takut rasa benci dan dendam itu akan membuatnya semakin terluka dan esmosi. Melihat lelaki itu saja, ingatan perkataannya sebagai Pela**r kembali terkenang. Padahal itu telah berlangsung tiga bulan lalu.Ela masih ingat kejadian dua bulan setelah Abi Hisyam terbaring koma. Saat itu Ela tampak heran, kenapa di meja nakas di sisi Abi selalu ada bunga hidup yang diletakkan seseorang. Itu berlangsung selama seminggu berturut-turut. Ela jadi penasaran, siapa gerangan yang telah meletakkan bunga disitu. Saat Ela berada di kantin rumah sakit, tak sengaja matanya melihat seorang pria sedang duduk sambil menyesap lemon tea. Tak jauh dari meja itu, Ela juga melihat sekantong bunga segar. Jangan-jangan pria berpakaian kemeja biru laut itu yang meletakkan bunga hidup di ruangan Abinya. Pria itu tengah membelakang, Ela hanya melihat punggungnya. Jadi tidak mengetahui siapa pria itu.Pria itu melirik pergelangan tangan. Pukul 12.00 tepat. Kemudian ia bangkit berdiri, tak lupa membawa kantong godibag bersamanya. Ela pun mengikuti kemana pria itu pergi seraya menjaga jarak. Jangan sampai pria itu mengetaui tengah diikuti.Tampak pria itu melangkah memasuki koridor rumah sakit. Ela terhenyak saat mengetahui lelaki itu mengarah ke ruangan sang Abi.Benar dugaan Ela lelaki misterius itu masuk lalu mengganti bunga lama yang mulai layu, dengan bunga yang baru. Setelah itu ia menoleh ke samping, memperhatikan pria yang tengah terbaring di depannya. Entah apa yang dipikirkan pria itu. Tak lama kemudian, pria itu membereskan sisa-sisa bunga dan memasukkan ke dalam godibag. Ela berniat menangkap basah, agar rasa penasarannya selama beberapa Minggu ini terjawab.“Siapa kamu,” tanya Ela curiga.Hari ini memang Ela sengaja datang lebih awal, karena penasaran siapa yang meletakkan bunga dan menggantinya tiap hari. Beberapa perawat yang ditanya Ela, juga tidak ada yang tahu. Pernah Ela ingin menangkap basah pelaku di pagi hari. Namun, setelah tiga hari Ela tidak menemukan hasil. Begitu pun di sore hari, bahkan sampai malam. Tak menyangka, ternyata lelaki misterius itu menggantinya siang hari tepat pukul 12.00 ketika ia sibuk kuliah dan makan siang. Ia akan datang menjelang sore hari atau pukul 10 pagi jika jam kuliahnya kosong.Pria itu tersentak kaget, tak menyangka mungkin aksinya kali ini akan ketahuan. Lama pria itu tidak berbalik. Mungkin saja tengah berpikir, bagaimana kabur dari sana, tanpa diketahui wajahnya.“Anda siapa? Kenapa datang ke ruang Abi saya.” Tanya Ela lagi karena pria itu tak kunjung berbalik badan.Bersambung...Kira-kira siapakah pemuda itu, ada yang bisa menebaknya...Bismillahirrahmanirrahim.“Anda siapa? Kenapa datang ke ruang Abi saya.” Tanya Ela lagi karena pria itu tak kunjung berbalik badan. Punggungnya tampak bergetar, kemungkinan karena kaget ketangkap basah oleh keluarga pasien.Tak mungkin menghindar lagi, pria itu akhirnya berbalik posisi menghadap Ela. Betapa terkejutnya Ela, setelah mengetahui siapa pria yang ada di depannya.“Mas Erlangga,” desis Ela pelan. Ia tak menyangka, ternyata Mas Erlangga lah orang yang selalu datang menggantikan bunga itu. Terpikirkan pun tidak dalam benaknya, mana berani ia datang secara terang-terangan. Tapi setelah melihat kenyataan di depan mata, barulah ia percaya. Tapi apa tujuannya datang dan mengganti bunga itu. Ela jadi penasaran.“Jadi Mas orang yang selalu datang diam-diam ke sini. Kenapa? Merasa bersalah karena telah menyebabkan Abi sampai begini,” tanya Ela sarkas. Tanpa senyum ataupun binar mata teduh. Seperti yang selalu ia tampakkan pada lawan bicaranya.Lelaki itu hanya diam terpaku, tak men
Bismillahirrahmanirrahim.“Syukurlah, kalau begitu. Ada apa nih ingin menemuiku, ada yang pentingkah.” Tanya Erlangga kepo menatap sang sahabat lekat-lekat. Lelaki yang ditanya justru diam menatapnya dengan seksama. Seperti mencari kebenaran yang sempat membuatnya dihinggapi keraguan.“Iya penting sekali," sahutnya singkat, lalu kembali diam."Tentang apa?""Maaf jika pertanyaan ku membuatmu tersinggung.""Kamu jangan berbelit-belit, katakan saja ada apa?""Aku dengar desas desus, katanya kamu menalak istrimu setelah akad. Benar itu,” tanya Daniel menatap tajam sahabatnya dengan pancaran ketidakpercayaan.“Tahu dari mana?”“Tidak penting aku tahu dari mana, kamu jawab saja.”“Iya.”“Kenapa? kenapa kamu secepat itu menalaknya."“Dia tidak pantas untukku. Hati siapa yang tidak terbakar emosi, seorang pria datang mengaku telah melewati malam yang panjang dengan Ela.”"Kamu langsung percaya?"“Tentu saja, yang jelas aku langsung menalaknya. Jika kamu ada diposisiku mungkin kamu akan melak
Bismillahirrahmanirrahim.“Eh Ela, itu Soni bukan sih. Kemana saja tuh anak, setelah kejadian waktu itu dia menghilang begitu saja. Kenapa baru sekarang dia muncul.”“Mana?” tanya Ela celingak celinguk. Matanya tajam memindai keberadaan Soni. “Lelaki itu harus tanggung jawab atas perbuatannya menghancurkan rumah tanggaku dan Erlangga.” Lirih ela berucap.“Kamu nggak salah lihat Farah. Coba tunjuk sebelah mananya.”“Itu, dibalik rak arah jarum jam angka 9.”Ela mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Farah, memindai dan menajamkan pandangan, tapi orang yang dicari tidak kelihatan.“Mana sih Far! Kok aku gak melihatnya,” tanya Ela ragu. Farah melihat jauh ke sana, ia bingung sendiri. Perasaan tadi ia benar-benar melihat Soni. "Oh iya, gak ada ya. Kemana tuh cowok," tanya Farah mengernyit bingung.“Mungkin sudah pergi,” sahut Farah kembali dengan raut wajah menyesal seraya memandang Ela tak enak hati. Yang dipandang mengerucutkan bibir.“Tadi benaran aku melihatnya Ela,” sambung Far
Bismillahirrahmanirrahim.“Siapa itu?” gumam Ela dalam hati. Ela lebih menajamkan pendengaran, siapa pria di dalam sana. Kenapa dia ada di ruang rawat Abi Hisyam.Belakangan ini ada dua pria yang memberikan perhatian untuk Abi, Erlangga dan lelaki misterius ini. Apa motif mereka sebenarnya. Kalau Erlangga pasti karena menyesal menyebabkan Abi masuk rumah sakit dan koma. Untuk menunjukkan rasa penyesalannya maka ia mati-matian merawat Abi. Lalu lelaki misterius ini apa pula motifnya. Ela mendesah berat seraya menggeleng, tanda tak mengerti.Suara pria mengaji itu semakin terdengar syahdu, Ela saja sampai merinding saking bagusnya suara pria di dalam sana. Semoga saja Abi menjadi lebih tenang dan segera siuman dari komanya. Ela pernah baca di sosial media, ayat suci yang diperdengarkan di telinga pasien bisa memancing urat syarat dan membuat pasien lebih cepat sadar.Ela tidak mau mengganggu kegiatan mengaji pria misterius di dalam sana. Ia memutuskan untuk pergi ke kantin sebentar. Se
Bismillahirrahmanirrahim.Dering ponsel Ela berbunyi tak lama kemudian. Gadis berlesung pipit itu segera mengangkatnya.“Iya, benar ini saya.Maaf ada apa ya.”Ela menyimak dengan seksama apa yang dikatakan lawan bicaranya lewat sambungan telpon. Sesekali wanita itu mengangguk tanda mengerti. Tak lama rasa kaget menghiasi ruang rawat Abi Hisyam.“Apa? Benarkah!” seru Ela tak percaya.Erlangga yang sedang memeriksa Abi Hisyam terperanjat kaget.Spontan dia menoleh ke arah Ela. Begitu juga dengan Umi Rosyida. Melihat rautbahagia terpancar dari wajah anak gadisnya, membuatnya juga ikut merasakankebahagiaan.Erlangga dan Umi Rosyida seakan menunggu penjelasan dari Ela. Keduanya memperhatikan interaksi Ela melalui sambungan telepon.“Anda sedang tidak bercanda-kan? Ini serius?”Ela diam sejenak, mendengarkan penuturan dari si penelpon.“Baiklah! Saya bisa datang ke sana. Kirimkan alamatlengkapnya.” Pinta Ela dengan raut senang dan bahagia. Ela mengusap wajahnyadengan kedua telapak tangan se
Bismillahirrahmanirrahim.“Sekarang kamu meminta Mama bicara dengan umi Rosyida, apa kamu lupa atau mendadak lupa. Persahabatan Mama dengan umi Rosyida sedang tidak baik-baik saja. Sampai hari ini Umi Rosyida itu masih membenci mama. Bagaimana cara mama memintanya membujuk Ela. Sudahlah! Lupakan Ela dan carilah wanita lain.” Jawab Bu Waida pasrah. Pasrah akan nasib anaknya yang tidak berpikir panjang sebelum memutuskan sesuatu.“Tidak bisa Ma, pikiranku tidak bisa lepas dari Ela. Dalam kepalaku hanya ada bayangannya. Aku juga tidak mengerti, kenapa aku jadi begini.”“Sekarang kamu baru tahu rasa, apa akibatnya. Makanya lain kali harus berhati-hati dengan tindakan. Ambil pelajaran, jangan diulangi.”“Mama sudah ingatkan kamu untuk menarik ucapan itu, tapi apa yang kamu lakukan. Menarik paksa tangan Mama untuk segera pulang ke rumah.” “Ini yang Mama takutkan, kamu itu gegabah, lihat sekarang kamu menyesalinya bukan.” Sambung wanita paruh baya itu seraya mengusap wajah dengan kedua tela
Bismillahirrahmanirrahim.Sesampainya di luar, Erlangga bergegas menutup pintu dan dengan setengah berlari, pria itu menuju parkiran. Ia sangat berharap, masih sempat menyelidiki siapa penulis itu. Namun naas karena terburu-buru, ia bertabrakan dengan seseorang di area parkir.“Kamu? Ngapain kamu ke sini?” tanya Erlangga geram setelah mengetahui siapa pria yang ditabraknya.“Kenapa? Tidak boleh!” seru pria itu sengit.Erlangga diam sejenak, jika ia ladeni pria ini, maka mungkin saja ia kehilangan kesempatan untuk menyelidi penulis novel itu. Maka akhirnya ia memutuskan pergi.“Ya tentu saja boleh, silakan saja.” Balas dokter Erlangga mengibaskan tangan. Tak ada waktu meladeni pria yang telah membuatnya salah melangkah dan sekarang menyisakan penyesalan.Lelaki yang ditabrak Erlangga adalah Soni, orang yang telah menyebabkan rumah tangga yang baru saja terjalin itu putus dan kandas hanya dalam hitungan jam. Sungguh miris bukan.Sebenarnya, Erlangga ingin sekali melampiaskan amarah dan
Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu!” seru Ela berteriak kencang.Semua orang yang tengah asyik mengisi lambungnya, terperanjat kaget dan spontan menoleh ke asal suara.Heran, tentu saja.Kegiatan mengisi perutnya tertunda, mereka lebih tertarik menyaksikan tontonan gratis daripada menikmati suguhan yang menggiurkan di depan mata.Ternyata benar lelaki itu Soni, orang yang Ela cari belakangan ini. Untung ketemu di sini. Mau ia labrak sekalian. Semenjak kejadian itu, Soni seakan menghindar darinya. Apalagi waktunya, kini, habis untuk menjaga dan merawat Abinya. Tidak ada waktu untuk mempertanyakan atau membalaskan sakit hati karena perbuatan Soni. Mumpung ketemu di sini, ia tidak boleh hilang kesempatan lagi.Entah apa yang terbersit dalam pikiran semua orang, yang menyaksikan bentakan dan teriakan Ela pada Soni, kali ini Ela tidak perduli. Biarlah orang berpikir buruk tentangnya, yang penting Ela tidak kehilangan jejak Soni. Ela lebih mementingkan pertanyaan yang memenuhi benaknya, kenap