Share

Bab 2

"Kamu Siska kan, Siska Ningtyas?" Ucapnya berkali-kali. Aku yang masih syok tak mampu menjawab pertanyaannya selain anggukan kepala.

Dengan cepat laki-laki itu turun dari kendaraannya untuk menghampiri ku. Aku tak menyangka bila dari semua orang di bumi ini, harus dia yang ku temui. Bahkan dalam keadaan yang tak enak di pandang. Pakaianku yang kotor karena terciprat genangan air, bahkan mungkin juga rambutku terlihat acak-acakan.

"Alhamdulillah, gak nyangka kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Kamu mau kemana hujan-hujanan begini?" Tanyanya.

"Dimana suamimu, Bima?" Tanyanya lagi sembari matanya berkeliaran mencari sosok mantan suamiku.

"Aku sendirian Rey, gak tau mau kemana. Gak nyangka juga kita bisa bertemu disini dalam keadaan aku yang sedang begini." Ucapku dengan lesu. Meski begitu tetap ku paksakan untuk tersenyum kepadanya.

Reyhan. Laki-laki berwajah tampan dengan lesung pipit menghiasi pipi kanannya. Berkulit putih serta beriris mata coklat. laki-laki blasteran Turki itu adalah mantan kekasihku di masa lalu. Tepatnya sebelum pertemuanku dengan mas Bima. Dia masihlah sama seperti dulu, tak banyak yang berubah selain bertambah gagah.

Mendengar jawabanku seketika Reyhan menatapku dengan mengernyitkan dahi. Mungkin saja dia merasa ambigu atas ucapanku.

"Aku dan mas Bima sudah bercerai, Rey. Mungkin sekitar 2 jam yang lalu mas Bima menalakku. Entah sekarang aku harus kemana? Mungkin aku akan mencari kos-kosan sementara." Kataku dengan menepuk-nepuk pant*t bayiku agar ia tenang dari tidurnya.

Sudah ku duga. Pastilah Reyhan syok dengan penjelasanku. Mungkin ia merasa aku begitu menyedihkan setelah berpisah darinya. Aku meringis dalam hati, merutuki nasib yang sedang ku jalani saat ini.

"Kenapa bisa begitu, Siska? Katakan! Kenapa bisa kalian bercerai?"

Aku terkejut dengan tindakan Reyhan yang begitu spontan menarik pundakku dengan kedua tangannya untuk menghadap ke arahnya.

"Dan bayi! Bahkan kamu pergi dengan bayimu di cuaca seperti ini? Brengs*k! Laki-laki macam apa dia?!" Pekiknya ketika menyadari apa yang tengah ku gendong.

Aku menunduk tak berani menjawab sepatah kata pun. Aku tau pastilah Reyden begitu marah saat ini. Tarikan pada tangan kananku membuatku spontan terkejut menatap pergelangan tangan dengan urat otot yang begitu kekar terlihat.

"Masuklah! Kamu tidak perlu mencari kos-kosan di cuaca yang hampir gelap ini. Aku ada Apartemen yang cukup untuk kamu dan anakmu tinggali." Ucap Reyden dengan begitu tegas. Setelah membukakan pintu mobil untukku, barulah ia masuk ke pintu di sebelahnya.

"Aku tidak ingin merepotkanmu, Rey. Aku bisa cari kos-" ucapanku terpotong dengan tatapan Reyden.

Laki-laki itu menatap tajam ke arahku membuatku menjadi diam tak bergeming. Aku tau betul bagaimana sifatnya. Sekalinya dia memberi perintah maka tak boleh ada yang membantahnya.

"Rey.." panggilku.

"Ada apa?"

Meski agak sedikit ragu, namun aku harus memberanikan diri untuk mengucapkan ini.

"Apa boleh aku menyusui anakku?" Tanyaku dengan hati-hati.

Reyden melihatku sekilas kemudian melihat bayiku yang sedang menggeliat dan mungkin akan merengek sebentar lagi. Tak ada jawaban darinya selain anggukan kepalanya saja kemudian kembali melihat ke depan. Dengan cepat, ku susui anakku sedikit menyamping agar tak membuat Reyden risih dengan sikapku.

Setelahnya selama perjalanan kami hanya saling berdiam diri. Bahkan, sepatah kata pun tak ada yang bersuara. Aku pun tak berani bertanya apa-apa padanya, jika Reyden tak memulainya terlebih dulu. Entah akan di bawa kemana diriku ini? Adzan Maghrib bahkan sudah selesai berkumandang beberapa menit yang lalu. Anakku pun bahkan sudah kembali tidur setelah kekenyangan meminum asiku.

****

"Bangun Ska.."

Terdengar suara seseorang yang memanggil namaku. Mengedipkan kedua mataku secara bergantian juga mengusapnya. Rupanya aku tak sadar sudah tidur terlalu lama.

"Maaf Rey, aku ketiduran." Ucapku merasa bersalah.

"Tidak apa. Aku tak enak untuk membangunkan mu, apalagi ku lihat kamu begitu sangat kelelahan." Jawabnya.

Aku mengangguk saja karena yang diucapkan Reyden memang benar adanya. Aku sudah begitu kelelahan, berjalan beratus meter sembari membawa anakku yang masih begitu kecil. Belum lagi rasa lapar yang mulai menyerang lambungku, merongrong ingin diberi makanan.

"Ayo turun, Ska!" Seru Reyden.

Belum sempat aku membuka pintu mobil, Reyden sudah sigap berada diluar membantuku membuka pintu. Bahkan tangannya begitu gesit menutupi pucuk kepalaku agar tidak terbentur atap mobil. Sesaat aku tercenung dengan tindakan yang Reyden lakukan. Rasanya agak sedikit tak nyaman, bagaimana pun juga belum ada surat tanda tangan perceraian dari pengadilan untukku juga mas Bima.

"T-terimakasih, Rey." Ucapku tergagap. Rasanya benar-benar akward sekali. Mungkin jika dulu aku tak memiliki hubungan dengannya, aku tak akan merasakan sikap seperti ini padanya.

Reyden tak menjawab ucapanku. Laki-laki hanya melihatku kemudian pergi mendahuluiku. Aku yang merasa asing di tempat ini, lebih baik mengikutinya. Ku lihat sekeliling begitu banyak bangunan mewah tinggi menjulang. Ya, Apartemen. Apa maksud Reyden menyuruhku untuk kesini? Bukan untuk tinggal bersama dengannya kan? Entah kenapa pikiran-pikiran burukku mulai menguasai pikiranku.

"Kenapa geleng-geleng kepala, Ska? Tenang saja. Aku tak akan bertindak macam-macam denganmu. Aku hanya berniat membantumu juga anakmu."

"Enggak kok, siapa yang berpikiran buruk?" Kataku menolak ucapannya. Ah sial, malu sekali rasanya terpergok olehnya.

"Aku sudah mengenalmu lama, Ska. Jadi, aku tau ketika kamu sedang berpikiran buruk atau tidak." Ucapnya lagi tanpa sekalipun menoleh kebelakang.

Jika sudah begitu, tak ada lagi kata yang bisa aku katakan. Reyden, benar-benar masih mengingatku bahkan sikapku. Lebih baik aku diam dan mengikutinya saja. Memasuki lobi juga lift menuju lantai 20.

Ting

Suara lift terbuka, mengikuti Reyden hingga sampailah di depan pintu kamar bernomorkan 50. Melihat Reyden mengeluarkan dompetnya untuk mengambil kartu untuk membuka pintu kamar. Diluar dugaan, ruangan ini lebih pantas disebut Penthouse daripada Apartemen.

"Sementara tinggallah disini dulu. Setidaknya tempat ini lebih nyaman daripada kos-kosan diluar sana. Ah! Ya, disini hanya ada satu kamar tidur, tempati saja. Karena, aku tidak akan tinggal bersama disini denganmu."

"Jangan membukakan pintu untuk siapapun kecuali aku. Juga, aku pergi dulu. Nanti aku kembali lagi."

Belum sempat aku menjawab semua rentetan ucapannya. Reyden sudah pergi dari hadapanku. Suara pintu tertutup menandakan laki-laki itu sudah pergi dari sini. Kini, hanya tinggal aku bersama anakku seorang. Menuju ke kamar tidur untuk membaringkan bayi perempuan cantikku.

Ku elus pipi mungilnya juga tangan kecilnya. Matanya yang masih terpejam, nampak begitu nyaman dengan tempat tidurnya. Andai, mas Bima tak berpikiran seperti itu. Mungkin saat ini kami sudah berbahagia di dalam kamar putri kecil kami. Bahkan kamar yang sudah penuh semangat aku dekorasi tak terjamah sedikit pun oleh anakku.

"Begitu teganya kamu mas denganku dan anak kita. Aku tak menyangka bahwa kamu benar-benar mengusir kami tanpa belas kasih." Ucapku dengan airmata yang mulai kembali membanjiri kedua pipiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status