"Aku talak kamu hari ini juga, Siska Ningtyas!"
Ucapan yang baru saja mas Bima lontarkan itu, seketika membuat hatiku hancur. Belum usai rasa sakit yang aku terima setelah melahirkan. Kini harus dihadapkan dengan perceraian di depan mata hanya masalah jenis kelamin anak pertama kami. "Tapi, mas. Apa salahnya anak perempuan lahir terlebih dulu? Ini juga bukan kehendakku." Ucapku sembari mengusap air mata yang membanjiri kedua pipiku. Tak lupa bayi kecil yang masih begitu merah berada di pangkuanku."Aku tidak mau menerima semua penjelasanmu. Sudah ku bilang bukan? Di keluargaku semuanya anak pertama adalah laki-laki bukan perempuan. Anak perempuan itu tidak berguna!" PlakDengan cepat ku layangkan tamparan keras pada mas Bima agar ia tersadar dengan apa yang ia ucapkan. Tak pantas rasanya seorang ayah mengatakan hal buruk seperti itu pada darah dagingnya sendiri. Meski rasa panas menjalar di seluruh telapak tangan kananku, aku tidak peduli. "Sadar kamu mas! Ini anakmu. Anak dari darah dagingmu. Sampai hati kamu menghinanya seperti itu?!" Teriakku histeris. "Laki-laki atau perempuan itu sama saja. Bukankah yang penting ia lahir dengan sehat dan sempurna? Kenapa harus dibeda-bedakan? Kamu bukan Tuhan yang bisa menentukan anak kita lahir dengan gender apa, mas!" Sambungku dengan tangisan yang memecah keheningan. Aku tak percaya bila hari kebahagiaanku justru menjadi duka bagi suamiku. Anak pertama yang kami tunggu-tunggu justru tak diakui oleh ayahnya sendiri. Ibu mana yang tak sakit hati? Namun, nampaknya mas Bima tak terkecoh sama sekali dengan ucapanku. Bahkan wajahnya ia palingkan ke arah lain. Sakit? Tentu saja. Lebih sakit daripada harus bertaruh nyawa ketika melahirkan bayi mungil yang tak berdosa di dalam dekapanku. Aku masih tak menyangka bila harus diceraikan dengan tanpa hormat seperti ini oleh suami yang aku cintai hanya karena jenis kelamin tak sesuai harapannya. Terlebih kami menunggu kehadirannya hingga 5 tahun lamanya. Namun, hanya karena kefanatikan mas Bima terhadap lahirnya anak pertama haruslah laki-laki membuat hubungan rumah tangga kami akhirnya kandas. "Aku tidak peduli! Andai bayi itu laki-laki dan bukan perempuan. Tentu, aku dengan senang hati menerimanya." Seru mas Bima. Kedua tangannya sibuk bergantian menggulung lengan kemeja berwarna putih yang ia kenakan. "Aku sudah senang waktu USG anak itu adalah laki-laki, tapi kenapa sekarang jadi perempuan. Apa jangan-jangan dia bukan anakku? Anak kita tertukar disana." Ucap mas Bima dengan sorot mata terkejut. "Jangan ngawur kamu mas! Sudah jelas ini adalah anakmu, anak kita. Entah pemikiran dari mana itu? Sadar kamu mas! Apa kamu lupa kalau kamu yang terang-terangan menungguku sewaktu lahiran. Mana mungkin anak kita tertukar!" Jawabku mencoba menyadarkan mas Bima. Nihil! "Ah sudahlah! Lebih baik kita sudahi hubungan kita sampai disini. Kita hidup masing-masing mulai sekarang!" Ku layangkan tatapan tajam pada mas Bima. Ku ambil koper berukuran besar yang sudah tersedia di hadapanku. Rupanya mas Bima benar-benar tak mempertimbangkan keputusannya untuk menceraikan ku. Bahkan dengan begitu antusiasnya dia mengumpulkan semua pakaianku menjadi satu dalam tas koper ini. "Baik! Aku terima keputusanmu ini mas. Tapi ingat satu hal, jangan menyesal di kemudian hari. Jangan pernah memintaku untuk bertemu dengan anakku. Aku tak akan sudi!" Ku katakan itu semua dengan penekanan di setiap kalimatnya. Berharap semua ucapanku menancap ke dalam otak mas Bima. Aku tak main-main dengan ucapanku kali ini. Rasa sedih dan kecewa melebur menjadi satu. Ku langkahkan kakiku keluar dari rumah megah yang menjadi tumpuan hidupku selama 6 tahun ini. Berharap memiliki hubungan rumah tangga yang harmonis, musnah sudah hanya satu hal saja. Tanpa menoleh lagi kebelakang, tak peduli dengan suami yang akan berstatus sebagai mantan suamiku. Aku tak menyangka bila mas Bima setega ini padaku juga anaknya sendiri. Ku yakinkan pada diriku, bahwa aku tak akan menginjakkan kakiku lagi ke rumah ini. ****Cuaca yang agak gelap membuatku resah dan gelisah. Berharap cuaca di sore hari ini hanya mendung saja. Aku tak mengkhawatirkan keadaanku, melainkan bayi mungil yang berada di dekapanku. Terlebih, aku belum memiliki tempat tujuan untuk bersinggah. Karena di usir secara tiba-tiba, membuatku tidak siap dengan keadaan ini. Apalagi di kota yang sebesar ini, aku hanya seorang diri tanpa sanak dan keluarga. Lahir menjadi anak yatim piatu menjadikanku bergantung pada mas Bima. Laki-laki tampan yang meminangku ketika pertemuan tak sengaja kami sewaktu di desa. Masih ku ingat dengan jelas, sewaktu mas Bima memperlakukanku dulu bak ratu. Memanjakanku seolah hanya akulah perempuan satu-satunya yang ia cintai. "Siska, maukah kamu menikah denganku? Aku berjanji akan menemanimu dalam suka dan duka." "Menerimamu apa adanya dan hidup bersama dengan anak-anak kita hingga maut yang memisahkan." Begitulah yang mas Bima katakan. Terdengar manis dan juga romantis. Perempuan mana yang tak tersentuh hatinya diberi janji seperti itu? Menikah dengan laki-laki tampan juga mapan dan hidup bahagia bersama adalah impian semua kaum perempuan. Begitu jelasnya kedua netra mata mas Bima tulus mengatakannya. Tak ada kata yang bisa aku berikan selain jawaban anggukan sebagai tanda persetujuan. Namun, kini semuanya musnah hanya dalam jangka waktu 6 tahun saja. Semua ucapan manis yang mas Bima lontarkan waktu itu bagai angin lalu yang berhembus di telingaku. Omong kosong!Tes Tes Setitik demi setitik air hujan mulai membasahi tanah yang sedang aku pijak. Bahkan pakaian yang aku kenakan tak luput dari jangkauan. Ku dekap erat anakku agar tidak kehujanan sembari berlari ke arah rumah yang nampak tak berpenghuni tak jauh dari tempatku berada. Berjalan beratus-ratus meter membuat kakiku kebas dan ngilu secara bersamaan.Bahkan aku tak sempat membawa dompetku yang ku letakkan di atas nakas di kamar tidur. Hanya ada selembar uang bernilai 50 ribu saja dalam saku celanaku. Itu pun karena kembalian dari membeli peralatan untuk bayiku minggu lalu. Tak mungkin akan aku keluarkan hanya untuk sekedar biaya transportasi umum. Hujan yang semakin deras disertai rasa lapar juga udara yang begitu dingin membuatku semakin erat memeluk anakku yang mulai goyah dari tidurnya. Mungkin anakku juga merasa kedinginan. Membuatku tak tahan menahan air mata yang sedari tadi ingin aku keluarkan. Di iringi suara derasnya air hujan, ku luapkan semua emosi serta rasa kecewaku pada mas Bima. Sampai hati ia memperlakukanku seperti ini? Bahkan tak ku lihat batang hidungnya untuk mencari keberadaan kami. "Kenapa mas? Kenapa kamu begitu tega padaku juga anak kita. Membiarkan kami melawan rasa dingin diluar bersama hujan yang begitu deras. Bayi kita tidak bersalah. Bukan salahnya jika ia terlahir sebagai perempuan." Batinku di sela-sela tangisanku. "Maafkan mama nak, maafkan mama.." ucapku dengan airmata yang berlinangan. Menatap sosok bayi mungilku yang masih tertidur dengan pulasnya. Seolah sudah menemukan rasa nyaman dalam tidurnya hingga tak terganggu dengan suara hujan yang begitu deras. Entah berapa lama aku menunggu sampai hujan mulai sedikit reda. Perkiraanku saat ini jam menunjukkan pukul 5 sore. Meski gerimis masih menginjak bumi. Aku pun tak peduli, bila nanti baju yang ku kenakan akan sedikit basah. Aku harus cepat mencari tempat menginap sehari meski dengan harga yang murah. Setidaknya, anakku bisa beristirahat dengan tenang. Begitu banyak kendaraan berlalu lalang membuat pakaianku tak sedikit yang terkena cipratan dari genangan air. Aku menghela nafas mencoba untuk tetap bersabar. Tetap ku dekap anakku dengan erat agar ia tak ikut terkena cipratan dari air yang tercampur dengan tanah. Karena terlalu tergesa-gesa melangkah hingga tak sadar hampir saja aku tertabrak kendaraan beroda empat. TinTin"Mbak hati-hati dong jalannya! Kalau tertabrak bagaimana?!" Teriak pengendara kendaraan tersebut di hadapanku. Segera aku menghindar ke samping agar tak menghalangi kendaraan tersebut. Tak lupa ku ucapkan kalimat permintaan maaf berkali-kali. Bagaimana pun juga ini memang salahku yang tak fokus. "Siska!" Seru seseorang membuatku mengalihkan pandangan ke asal suara. Suara seseorang yang begitu amat ku kenali. "Kamu!" Seruku.Tak menyangka bila harus bertemu dalam keadaan begini.3 bulan kemudianPernikahan antara Reyden dan Siska telah digelar dengan sangat mewah. Gedung yang sudah dihias dengan pernak-pernik pernikahan membuat siapapun mata yang memandang akan terpesona. Siska yang masih menunggu di dalam ruangan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Meski sudah pernah melakukan acara sakral ini. Tetap saja, perasaan itu kembali hadir. Tangannya terus bergemetar membuat Helena, calon ibu mertuanya tersenyum simpul. "Tenang saja, sayang. Acaranya hanya berjalan beberapa jam saja kok. Apa mau mama ambilkan minum?" "Enggak usah, Ma. Terimakasih. Barangkali mama capek, biar Siska aja yang gendong Bora." "Gendong anak selucu ini, gimana bisa mama merasa capek? Sudah kamu duduk saja yang tenang. Biar mama yang urus Bora, cucu Oma." Senyuman tak pernah lepas dari bibir Siska. Bagaimana tidak? Di hidupnya yang berantakan. Ia justru dipertemukan kembali dengan sosok laki-laki di masalalunya dan dipersatukan kembali. Tak hanya itu, sosok calon ibu mertuan
Mendengar kalimat tak terduga yang keluar dari mulut Siska yang dianggap masih menantunya. Bu Sarah membelalakkan kedua matanya memandang Siska dengan terkejut. Ia pun bergantian memandang cucunya dengan rasa tak percaya. "Jangan ngeprank Mama, Siska. Bima sendiri yang bilang kalau kamu melahirkan bayi laki-laki." Siska tetap menyakinkan Bu Sarah bahwa apa yang dikatakan Bima adalah kebohongan karena tak ingin membuatnya kecewa. "Aku tidak mau membohongi mama. Karena, bangkai kalau terus disimpan, pasti akan ketahuan juga. Lebih baik, aku bilang sama Mama daripada mama tau sendiri dan kecewa nantinya." ucap Siska berterus terang tentang perasaannya. "Lagipula, aku dan mas Bima sudah bercerai Ma. Mas Bima tidak mau mengakui anak itu karena ia ingin anak laki-laki sebagai anak pertamanya. Tapi, aku bisa apa? bukan aku yang menentukan jenis kelamin seorang anak yang akan dilahirkan. Semua itu kehendak Tuhan. Tapi, mas Bima tidak mau mengerti hal itu. Mas Bima bahkan menyuruhku untuk
"Kenapa mas? Kenapa berhenti? lanjutkan saja kegiatan kalian. Aku kesini hanya ingin mengambil dokumen pribadiku." ucapku tanpa memedulikan suamiku yang tengah sibuk memakai celana pendeknya. Sedangkan, perempuan itu hanya menundukkan wajahnya dengan selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Entah takut atau malu karena terpergok orang lain. Aku tidak peduli! "LANCANG SEKALI KAMU, SISKA! BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAH INI LAGI?!" bentakan mas Bima membuat Bora yang tengah tertidur pulas di dekapanku akhirnya menangis dengan kencang. "Berani juga membawa anak pembawa sial itu kemari. Apa kamu menginginkanku untuk mengakuinya dengan alibi mencari dokumen pribadimu. Iya kan? Haha.. jangan harap! Aku tidak akan sudi meski kamu memaksaku dan memohon berlutut di depan kakiku." "Bagaimana? Senang hidup di luaran sana tanpa aku? berjualan gorengan dengan untung tak seberapa itu? ingat Siska! selama ini kamu hidup enak karena siapa? kalau kamu mau rujuk kembali padaku, akan aku
Seperti yang dikatakan Reyden siang tadi. Benar saja, sore ini ada mobil yang sudah terparkir di depan rumah kontrakanku datang hanya untuk menjemput ku. Entahlah, rasanya aku begitu malu jika diperlakukan bak ratu seperti ini. Karena, mengingatkanku pada mas Bima. Laki-laki yang menjadi mantan suamiku itu, dulunya juga sama saja memperlakukanku seperti ini. Aku hanya berharap, bahwa hubunganku dengan Reyden nantinya akan kokoh selamanya. Debora sengaja aku ajak, karena aku tidak akan tenang jika menitipkannya pada orang lain meski aku mengenalnya. Naluri seorang ibu, pastilah tak ingin berjauhan dengan buah hatinya. Setelah mengunci pintu rumah, lalu masuk ke dalam mobil. Menikmati perjalanan menuju arah butik Angola. Butik terkenal di pusat kota, dimana semua pelanggannya adalah hampir semua rata-rata orang kaya, artis juga selebgram terkenal. Tak bisa aku bayangkan, berapa uang yang akan Reyden keluarkan hanya untuk sekedar gaun yang hanya dipakai selama satu hari saja. Puluhan ju
Sudah 2 bulan lamanya, Reyden kerap kali datang seminggu sekali untuk menemuiku dan bermain dengan Debora. Tak ayal, laki-laki itu membantuku membereskan semua daganganku. Meski aku sudah menolaknya karena tidak enak hati. Tapi, Reyden tetaplah Reyden, laki-laki itu tak akan mendengarkanku jika bukan kemauannya sendiri. Sudah berkali-kali pula, aku menyuruhnya untuk tak sering datang kesini karena statusku yang masih dalam tahap masa Iddah. Reyden yang awalnya hampir setiap hari kesini, kini berubah menjadi 1 Minggu sekali datang menjengukku.Tentunya, tak hanya dia seorang. Dirinya akan mengajak rekan kerjanya dua orang. Sella dan Ridho, dengan tujuan agar namaku tidak menjadi bahan gunjingan para tetangga. Jujur saja, mendengar maksud tujuannya membuatku hatiku terenyuh. Reyden benar-benar menjaga perasaanku. Ya, meski akan ada saja mulut-mulut jahat yang mengataiku di belakangku. Dan tentu saja, aku tidak bisa membungkam mereka semua. Ternyata benar, memiliki status janda terkada
"Reyden!" Aku terkesiap melihat sosok laki-laki yang tidak ingin ku temui, sudah berdiri di depanku. "Bisa bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu." "Ini penting." Meski aku merasa tak ingin berbicara dengannya. Tapi, laki-laki itu lah yang membantuku selama aku mengalami kesusahan. Tidak pantas rasanya, jika aku mengabaikannya. Apalagi, dirinya menurunkan gengsinya untuk membeli gorenganku. Makanan murah yang tentunya tak pernah ia sentuh sejak kecil. Setelah membereskan dagangan, ku hampiri Reyden yang sudah menungguku lumayan lama. Laki-laki itu duduk di teras rumah kontrakanku membuatku tak enak hati. "Maaf sudah menunggu lama." ucapku sembari duduk di sampingnya dengan jarak yang terpaut satu meter. Sebagai seorang perempuan tanpa suami, aku harus menjaga diri agar tidak menimbulkan gosip yang tidak-tidak. Terlebih, aku masih baru disini. "Gak apa-apa, Ska." "Ada hal penting apa yang mau kamu katakan padaku?" kataku melihat Reyden yang sedari tadi si