Share

Bab 3

Terlalu lama menangis membuat mataku sedikit terlihat agak membengkak. Terasa pedih jika ku pakai untuk membuka mata. Entah bagaimana reaksi Reyden nantinya jika melihat kondisiku semenyedihkan begini.

Ku lihat jam di atas nakas. Sudah hampir 1 jam aku menangis tiada henti. Pantas saja, jika efeknya akan seperti ini. Entah kemana Reyden, hingga terlalu lama untuk kembali. Sembari menunggu kedatangannya, lekas aku ke kamar mandi untuk membasuh wajahku juga mengganti pakaianku yang kotor.

"Astaga! Kaget, Rey." Ucapku tatkala keluar dari kamar mandi sudah kedapatan Reyden sedang berdiri tak jauh dari pintu. Mungkin 2 meter lurus dari arah pintu.

"Sorry. Aku gak ada niatan untuk bikin kamu kaget, Ska. Cuma, aku mau ngasih ini aja." Ucap Reyden gugup. Seperti sama halnya denganku saat ini.

Diletakkannya 2 bungkus tas berukuran besar di atas meja ruang tamu. Ku lirik dengan tatapan heran mencoba menelaah apa isi di dalamnya.

"Itu apa Rey?" Tanyaku menghampiri dirinya.

"Beberapa makanan juga beberapa kebutuhan untuk bayi kamu. Aku gak tau itu cocok atau tidak menurutmu. Aku tadi juga lupa tidak menanyakan laki-laki atau perempuan." Jawabnya sembari menggaruk kepala belakangnya yang aku tau tidaklah gatal.

Aku hanya tersenyum melihat pola tingkahnya yang masih belumlah berubah. Selalu kabur saja tanpa mau bertanya dan berakhir apa yang dibeli tidaklah sesuai. Tapi, aku bersyukur. Setidaknya ada orang yang masih begitu perhatian denganku. Andai aku tak bertemu dengannya, entah apa jadinya aku dan bayiku? Terlebih aku tak membawa uang sepeserpun.

Berencana mencari kos-kosan saja aku harus berpikir ulang. Dengan uang 50 ribu di dalam saku, apa bisa aku mendapat sepetak kamar? Belum lagi, perutku yang terasa lapar ingin segera di isi. Sebagai ibu menyusui tentunya rasa lapar akan terus berlanjut karena ada bayiku yang sedang membutuhkan banyak gizi untuk tumbuh kembangnya.

"Gak apa-apa kok Rey. Justru aku yang harus banyak-banyak berterimakasih sama kamu. Andai aku tidak bertemu denganmu, entah bagaimana nasibku saat ini. Apalagi malam ini hujan turun lagi, bahkan semakin deras. Mungkin, aku dan bayiku akan kedinginan diluaran sana." Ucapku dengan airmata yang mulai menggenang di pelupuk mata, membuat mataku agak sedikit berkabut.

Tanpa di duga Reyden langsung membawaku dalam dekapannya. Dan airmataku pun lolos begitu saja tanpa bisa lagi ku cegah. Hingga suara tangisan bayiku membuatku tersadar dengan tindakanku saat ini. Tak seharusnya aku terbuai dengan pelukan Reyden.

"Ma-maaf, Ska. Aku tidak sengaja." Kata Reyden dengan mimik wajah yang seakan terlihat bersalah.

"Gak apa, Rey. Aku juga bersalah." Ucapku segera lalu pergi ke dalam kamar untuk menenangkan bayiku.

Oe oe oe oe

"Kamu kenapa sayang? Apa yang sakit nak?" Ucapku kebingungan. Debora tak berhenti menangis meski sudah ku susui bahkan ku ayun-ayun. Wajahnya pun tampak memerah

Ya, Debora Clarissa adalah nama yang sudah ku sediakan jauh-jauh hari. Aku sengaja menyimpan nama itu, andai jika yang terlahir nanti tak sesuai prediksi. Mas Bima begitu menginginkan bayi laki-laki. Tapi, aku tak menyangka bila sikapnya menjadi fatal seperti ini.

Aku pikir, sebagai orangtua baru memiliki anak yang sehat dan sempurna adalah suatu kebahagiaan tak peduli jika yang terlahir nanti tak sesuai harapan. Namun, berbeda dengan mas Bima yang begitu menolak mentah-mentah. Bahkan aku tak menyangka bila mas Bima sampai tak mau mengakui anak kami.

"Maaf aku lancang masuk. Aku dengar bayimu menangis terus. Ada apa, Ska?" Reyden tiba-tiba masuk ke dalam kamar berdiri di ambang pintu. Mungkin segan jika langsung menghampiriku.

"Aku gak tau, Rey. Debora nangis terus dari tadi. Biasanya aku susui pasti langsung diam. Tapi, ini enggak." Ucapku dengan panik. Tetap mengayun-ayunkan bayiku.

"Biar aku lihat." Reyden berkata sembari memeriksa tubuh Debora.

"Badannya panas Ska. Sepertinya bayi kamu mengalami demam. Kita harus segera bawa dia ke rumah sakit!"

Mendengar ucapan Reyden lantas segera ku periksa kening anakku. Panas sekali.

"Ayo, Ska!" Ucap Reyden sembari mengambil alih gendongan Debora.

"Kamu tenang, biar Debora aku yang bawa. Jangan panik! Kalau kamu panik, kasihan anak kamu nanti."

Aku hanya mengangguk saja tanpa menjawab ucapannya. Pikiranku saat ini sedang kalut karena memikirkan anakku yang baru saja beberapa hari lahir. Namun, kini harus mengalami demam tinggi. Aku merasa gagal menjadi seorang ibu. Aku tidak becus menjaganya.

Kini aku dan Reyden dengan cepat berlari keluar pintu ruangan lalu memasuki lift. Sembari lift turun ke lantai bawah, Debora masih saja terus menangis tiada henti membuatku semakin tidak tenang.

"Sabar ya nak. Kita ke Rumah Sakit, nanti di obati disana sama Om Dokter."

Entahlah rasanya aneh saja melihat Reyden berkata seperti itu pada anakku yang bukan darah dagingnya sendiri. Aku seperti melihat bayangan mas Bima pada dirinya. Andai Reyden adalah mas Bima mungkin saat ini hatiku sedikit lebih tenang. Tapi, nyatanya justru orang lain yang membawa anakku berobat. Apa mas Bima benar-benar tidak memikirkan kami sama sekali?

Tak sadar hingga lift sudah menyentuh lantai bawah. Dengan cepat, Reyden berlari mencari letak kendaraannya di tempat ia parkiran. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang. Setelah menemukan mobilnya barulah aku mengambil alih Debora dari Reyden. Kini, kami sedang sibuk masing-masing. Reyden yang fokus menyetir dan aku yang sibuk menenangkan Debora dipangkuanku.

"Hati-hati Rey!" Seruku. Reyden menyetir mobilnya dengan ugal-ugalan membuatku lebih erat mendekap Bora. Aku yang merasa takut, lebih memilih memejamkan kedua mataku sembari banyak-banyak berdoa agar sampai dengan selamat di tempat tujuan.

"Sudah sampai, ayo turun Ska!" Seruan Reyden membuatku cepat-cepat membuka mata.

Terpampang dengan begitu jelas, nama Rumah Sakit Cempaka di depan sana. Dengan hati-hati aku turun dari mobil. Kemudian berlari menuju gedung Rumah Sakit.

"Dok.. tolong anak saya! Dokter suster!" Teriakku panik karena sudah tak ku dengar lagi tangisan Bora.

"Tolong tenang dulu Bu. Akan kami periksa anak anda." Ucap bebepa suster juga dokter yang menghampiriku. Lalu mengambil alih Bora dibawanya ke dalam ruangan bertuliskan Unit Gawat Darurat.

"Maaf Bu. Hanya pasien yang boleh masuk, anda tolong tunggu diluar." Ucap suster menghentikan langkahku untuk ikut masuk ke dalam ruangan.

"Tolong sus, ijinkan saya masuk ke dalam. Saya mau lihat anak saya!" Seruku memohon. Namun, nihil suster tetap tak mengijinkanku ikut menemani anakku. Bahkan dengan cepat menutup pintu ruangannya.

Rasanya lututku lemas tak bisa lagi menopang tubuhku dan berakhir jatuh ke lantai yang begitu dingin. Aku menangis sejadi-jadinya memikirkan nasib anakku di dalam sana.

"Tenang Ska. Bora pasti baik-baik saja di dalam sana. Sudah ada dokter dan suster yang memeriksanya." Ujar Reyden berjongkok di sampingku.

"Aku khawatir Rey. A-aku ibu yang buruk bagi anakku. Bahkan ketika dia sedang sakit, aku justru tidak peka dengan keadaannya. Bodoh banget kan aku, Rey?" Jawabku dengan airmata yang terus mengalir tanpa henti.

"Ohhh.. jadi ini kelakuanmu Siska! Kamu pergi dari rumah hanya untuk bisa bersama dengan mantan pacarmu itu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status