Terlalu lama menangis membuat mataku sedikit terlihat agak membengkak. Terasa pedih jika ku pakai untuk membuka mata. Entah bagaimana reaksi Reyden nantinya jika melihat kondisiku semenyedihkan begini.
Ku lihat jam di atas nakas. Sudah hampir 1 jam aku menangis tiada henti. Pantas saja, jika efeknya akan seperti ini. Entah kemana Reyden, hingga terlalu lama untuk kembali. Sembari menunggu kedatangannya, lekas aku ke kamar mandi untuk membasuh wajahku juga mengganti pakaianku yang kotor."Astaga! Kaget, Rey." Ucapku tatkala keluar dari kamar mandi sudah kedapatan Reyden sedang berdiri tak jauh dari pintu. Mungkin 2 meter lurus dari arah pintu."Sorry. Aku gak ada niatan untuk bikin kamu kaget, Ska. Cuma, aku mau ngasih ini aja." Ucap Reyden gugup. Seperti sama halnya denganku saat ini.Diletakkannya 2 bungkus tas berukuran besar di atas meja ruang tamu. Ku lirik dengan tatapan heran mencoba menelaah apa isi di dalamnya."Itu apa Rey?" Tanyaku menghampiri dirinya."Beberapa makanan juga beberapa kebutuhan untuk bayi kamu. Aku gak tau itu cocok atau tidak menurutmu. Aku tadi juga lupa tidak menanyakan laki-laki atau perempuan." Jawabnya sembari menggaruk kepala belakangnya yang aku tau tidaklah gatal.Aku hanya tersenyum melihat pola tingkahnya yang masih belumlah berubah. Selalu kabur saja tanpa mau bertanya dan berakhir apa yang dibeli tidaklah sesuai. Tapi, aku bersyukur. Setidaknya ada orang yang masih begitu perhatian denganku. Andai aku tak bertemu dengannya, entah apa jadinya aku dan bayiku? Terlebih aku tak membawa uang sepeserpun.Berencana mencari kos-kosan saja aku harus berpikir ulang. Dengan uang 50 ribu di dalam saku, apa bisa aku mendapat sepetak kamar? Belum lagi, perutku yang terasa lapar ingin segera di isi. Sebagai ibu menyusui tentunya rasa lapar akan terus berlanjut karena ada bayiku yang sedang membutuhkan banyak gizi untuk tumbuh kembangnya."Gak apa-apa kok Rey. Justru aku yang harus banyak-banyak berterimakasih sama kamu. Andai aku tidak bertemu denganmu, entah bagaimana nasibku saat ini. Apalagi malam ini hujan turun lagi, bahkan semakin deras. Mungkin, aku dan bayiku akan kedinginan diluaran sana." Ucapku dengan airmata yang mulai menggenang di pelupuk mata, membuat mataku agak sedikit berkabut.Tanpa di duga Reyden langsung membawaku dalam dekapannya. Dan airmataku pun lolos begitu saja tanpa bisa lagi ku cegah. Hingga suara tangisan bayiku membuatku tersadar dengan tindakanku saat ini. Tak seharusnya aku terbuai dengan pelukan Reyden."Ma-maaf, Ska. Aku tidak sengaja." Kata Reyden dengan mimik wajah yang seakan terlihat bersalah."Gak apa, Rey. Aku juga bersalah." Ucapku segera lalu pergi ke dalam kamar untuk menenangkan bayiku.Oe oe oe oe"Kamu kenapa sayang? Apa yang sakit nak?" Ucapku kebingungan. Debora tak berhenti menangis meski sudah ku susui bahkan ku ayun-ayun. Wajahnya pun tampak memerahYa, Debora Clarissa adalah nama yang sudah ku sediakan jauh-jauh hari. Aku sengaja menyimpan nama itu, andai jika yang terlahir nanti tak sesuai prediksi. Mas Bima begitu menginginkan bayi laki-laki. Tapi, aku tak menyangka bila sikapnya menjadi fatal seperti ini.Aku pikir, sebagai orangtua baru memiliki anak yang sehat dan sempurna adalah suatu kebahagiaan tak peduli jika yang terlahir nanti tak sesuai harapan. Namun, berbeda dengan mas Bima yang begitu menolak mentah-mentah. Bahkan aku tak menyangka bila mas Bima sampai tak mau mengakui anak kami."Maaf aku lancang masuk. Aku dengar bayimu menangis terus. Ada apa, Ska?" Reyden tiba-tiba masuk ke dalam kamar berdiri di ambang pintu. Mungkin segan jika langsung menghampiriku."Aku gak tau, Rey. Debora nangis terus dari tadi. Biasanya aku susui pasti langsung diam. Tapi, ini enggak." Ucapku dengan panik. Tetap mengayun-ayunkan bayiku."Biar aku lihat." Reyden berkata sembari memeriksa tubuh Debora."Badannya panas Ska. Sepertinya bayi kamu mengalami demam. Kita harus segera bawa dia ke rumah sakit!"Mendengar ucapan Reyden lantas segera ku periksa kening anakku. Panas sekali."Ayo, Ska!" Ucap Reyden sembari mengambil alih gendongan Debora."Kamu tenang, biar Debora aku yang bawa. Jangan panik! Kalau kamu panik, kasihan anak kamu nanti."Aku hanya mengangguk saja tanpa menjawab ucapannya. Pikiranku saat ini sedang kalut karena memikirkan anakku yang baru saja beberapa hari lahir. Namun, kini harus mengalami demam tinggi. Aku merasa gagal menjadi seorang ibu. Aku tidak becus menjaganya.Kini aku dan Reyden dengan cepat berlari keluar pintu ruangan lalu memasuki lift. Sembari lift turun ke lantai bawah, Debora masih saja terus menangis tiada henti membuatku semakin tidak tenang."Sabar ya nak. Kita ke Rumah Sakit, nanti di obati disana sama Om Dokter."Entahlah rasanya aneh saja melihat Reyden berkata seperti itu pada anakku yang bukan darah dagingnya sendiri. Aku seperti melihat bayangan mas Bima pada dirinya. Andai Reyden adalah mas Bima mungkin saat ini hatiku sedikit lebih tenang. Tapi, nyatanya justru orang lain yang membawa anakku berobat. Apa mas Bima benar-benar tidak memikirkan kami sama sekali?Tak sadar hingga lift sudah menyentuh lantai bawah. Dengan cepat, Reyden berlari mencari letak kendaraannya di tempat ia parkiran. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang. Setelah menemukan mobilnya barulah aku mengambil alih Debora dari Reyden. Kini, kami sedang sibuk masing-masing. Reyden yang fokus menyetir dan aku yang sibuk menenangkan Debora dipangkuanku."Hati-hati Rey!" Seruku. Reyden menyetir mobilnya dengan ugal-ugalan membuatku lebih erat mendekap Bora. Aku yang merasa takut, lebih memilih memejamkan kedua mataku sembari banyak-banyak berdoa agar sampai dengan selamat di tempat tujuan."Sudah sampai, ayo turun Ska!" Seruan Reyden membuatku cepat-cepat membuka mata.Terpampang dengan begitu jelas, nama Rumah Sakit Cempaka di depan sana. Dengan hati-hati aku turun dari mobil. Kemudian berlari menuju gedung Rumah Sakit."Dok.. tolong anak saya! Dokter suster!" Teriakku panik karena sudah tak ku dengar lagi tangisan Bora."Tolong tenang dulu Bu. Akan kami periksa anak anda." Ucap bebepa suster juga dokter yang menghampiriku. Lalu mengambil alih Bora dibawanya ke dalam ruangan bertuliskan Unit Gawat Darurat."Maaf Bu. Hanya pasien yang boleh masuk, anda tolong tunggu diluar." Ucap suster menghentikan langkahku untuk ikut masuk ke dalam ruangan."Tolong sus, ijinkan saya masuk ke dalam. Saya mau lihat anak saya!" Seruku memohon. Namun, nihil suster tetap tak mengijinkanku ikut menemani anakku. Bahkan dengan cepat menutup pintu ruangannya.Rasanya lututku lemas tak bisa lagi menopang tubuhku dan berakhir jatuh ke lantai yang begitu dingin. Aku menangis sejadi-jadinya memikirkan nasib anakku di dalam sana."Tenang Ska. Bora pasti baik-baik saja di dalam sana. Sudah ada dokter dan suster yang memeriksanya." Ujar Reyden berjongkok di sampingku."Aku khawatir Rey. A-aku ibu yang buruk bagi anakku. Bahkan ketika dia sedang sakit, aku justru tidak peka dengan keadaannya. Bodoh banget kan aku, Rey?" Jawabku dengan airmata yang terus mengalir tanpa henti."Ohhh.. jadi ini kelakuanmu Siska! Kamu pergi dari rumah hanya untuk bisa bersama dengan mantan pacarmu itu!"Aku begitu terkejut dengan kedatangan mas Bima yang secara tiba-tiba. Dia begitu terlihat marah, berdiri dengan berkacak pinggang di belakang tak jauh dariku dan Reyden."Ma-mas Bima!" Seruku. "Ya ini aku. Kenapa? Kamu terkejut Siska? Jadi, ini yang kamu lakukan di belakangku? Apa tidak ada tempat lain untuk kalian berkencan selain di rumah sakit!" Ucapnya lantang. Beruntung lorong ini sepi jadi tak mungkin akan ada yang terganggu dengan keributan yang kami ciptakan. Aku menggeleng dengan keras mencoba membantah tuduhan yang mas Bima layangkan. Aku juga masih begitu sadar diri tak mungkin berpikiran semacam itu. Meski mas Bima baru beberapa jam menalakku bukan berarti aku langsung berpihak pada hati yang lain. "Aku bisa jelaskan mas, Ini gak seperti yang kamu lihat. Aku dan Reyden tidak ada hubungan apa-apa. Justru, Reyden yang membantuku membawa anak kita kesini. Anak kita sakit mas!" Ucapku menjelaskan apa yang terjadi. "Benar begitu?" Mas Bima tampak tak yakin dengan perkataank
Aku terbangun di sebuah ruangan yang berwarna serba putih. Ku paksa untuk mengerjapkan kedua mataku. Meski rasa pusing menghantam seluruh isi kepala. Terasa berdenyut-denyut membuatku harus melenguh kesakitan. Terlebih bau obat-obatan begitu menyengat menyentuh rongga hidungku. Seketika, aku ingat bahwa ada Debora yang sedang membutuhkanku. Ku edarkan seluruh penglihatanku mencari keberadaan mas Bima. Aku tak yakin dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa aku justru terbaring disini meninggalkan anakku sendirian."Sudah bangun?" Ucap mas Bima ketika masuk membuka pintu. "Mas bagaimana keadaan Bora?" Tanyaku pada mas Bima. Saat ini yang ku butuhkan adalah jawaban bahwa anakku baik-baik saja. Aku tidak peduli dengan keadaanku saat ini. Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku, aku pun akan siap menyerahkannya agar anakku baik-baik saja. Mas Bima tak menjawab pertanyaanku dan justru duduk di sofa menyetel televisi dengan volume suara kencang."Mas jangan keras-keras, gak e
"Kamu mengancamku mas?" Tanyaku sembari menatap mas Bima dengan tatapan tak percaya. "Aku tidak mengancam, hanya memberi saran saja. Tapi, kamu justru menolak. Siska, aku tau kita saling mencintai. Kenapa harus ribut gara-gara anak itu. Kita hanya menukarnya saja, kamu masih bisa menjenguknya kapan pun kamu mau. Tak ada yang dipisahkan." Ku hirup udara dengan kasar, meski bukan udara segar yang ku dapat melainkan udara dari bau-bau rumah sakit. Rasa pusingku bahkan belum menghilang dan kini harus mendapatkan rasa sesak di hati. Ucapan yang mas Bima katakan benar-benar membuatku semakin muak. Laki-laki yang beberapa jam lalu menalakku itu sepertinya sudah hilang kewarasan. Bisa-bisanya dia terfikirkan hal sekejam itu melebihi binatang. "Fikirkan saja dulu, kasih aku jawaban besok pagi sebelum semua teman kantorku datang ke rumah. Hari sudah malam, jangan duduk disini terus-terusan. Anak itu sudah ada yang menjaganya, sayang." Cuih! Ingin sekali aku meludah di depannya. Andai aku ta
"Jangan membuatku semakin marah, Siska!" Aku meringis menahan nyeri ketika jari-jari tangan mas Bima memegang tanganku begitu kuat. Aku yakin, pergelangan tanganku akan membekas kemerahan esok. Mungkin melihat ekspresi wajahku yang tengah kesakitan membuat mas Bima segera melepas cengkraman tangannya dariku. "Ma-af sayang, aku gak sengaja. Apa tanganmu sakit? Maafkan aku.." Mas Bima berucap dengan ekspresi seakan merasa bersalah. Di pegangnya pergelangan tanganku mengelusnya berkali-kali seolah-olah benar-benar sudah menyesal melakukannya. "Siska, maafkan aku.." Ku lepas pegangan tangannya dariku dengan kasar. Tak lupa ku usap pula pergelanganku sama halnya. Ku buang muka tanpa melihatnya lagi. Rasa kecewaku sudah tak bisa ku bendung lagi. Selain menyakiti perasaanku, kini mas Bima juga mulai menyakiti fisikku. "Pergilah mas! Aku tak ingin melihat wajah mas Bima lagi. Biarkan aku dan Bora hidup bahagia." Ucapku dengan suara parau karena menahan tangisanku yang ingin pecah saat it
"Saya hanya bisa kasih 10 juta, bagaimana?" Aku termenung sesaat setelah mendengar angka yang penjual toko emas katakan. Hari ini anakku diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Seperti dugaanku, mas Bima tak akan mau mengeluarkan uangnya untuk Bora. Jadi, ku putuskan untuk menjual cincin pernikahanku dengan mas Bima. Sejujurnya aku begitu menyukai cincin ini. Sulit sekali untuk melepaskannya pergi apalagi menjualnya. Terlebih penjual perhiasan tak memberikan harga yang tinggi. Dengan alasan tak ada surat-suratnya. Ya, bagaimana lagi? Semua surat penting ada di rumah mas Bima. Aku keluar hanya membawa pakaian-pakaianku saja. "Apa gak bisa ditinggikan lagi harganya pak?" Ucapku mencoba menegosiasi. Aku begitu berharap bahwa uang yang aku dapatkan dari menjual cincin ini akan banyak. "Maaf gak bisa Bu." Jawab si pemilik toko dengan menangkupkan kedua tangannya seolah sedang meminta maaf. Meski berat hati, terpaksa aku menerima uang pemberian dari penjual toko perhiasan tersebut
"Saya suka dengan kontrakannya Bu. Biar saya bayar sampai 3 bulan ke depan." ucapku pada ibu kontrakan. "Terimakasih mbak Siska. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi ibu ya." "Baik Bu." "Kalau begitu, ibu pamit dulu ya." ucap ibu kontrakan. Aku menganggukkan kepala sembari mengantarkan kepergiannya. Setelah menceritakan semua keluh kesah ku. Tak menyangka, ibu kontrakan begitu baik hingga memberiku diskon harga. Ia bilang, merasa cukup prihatin dengan keadaan ku. Karena, ia juga memiliki anak perempuan yang sudah menikah, ia bilang tak bisa membayangkan jika aku adalah anaknya. Meski begitu, aku merasa tak enak hati mendapatkan diskon sewa kontrakan yang berbeda dengan yang lainnya. Kontrakan yang aku tempati adalah sebuah rumah berukuran sedang, cukup jika ditinggali berdua dengan Bora. Ada tanah di belakang yang berukuran kecil, mungkin hanya dua meter saja. Niatnya, akan aku jadikan kebun sayuran, jadi aku bisa lebih berhemat. Sedangkan di rumah terdapat dua ruang kamar
Di meja makan yang berukuran sedang, terpampang begitu banyak makanan. Tak hanya lauk, namun ada camilan berisi roti dari Toko yang cukup terkenal. Toko yang hampir seringkali mas Bima bawakan saat pulang ke rumah, jika aku sedang menginginkannya. Sejenak, aku terpaku melihatnya. Kenangan bersama mas Bima tiba-tiba terbersit begitu saja. Mas Bima yang ku kenal adalah laki-laki yang baik hati, kini sudah berubah tak sebaik dulu hanya karena anak pertama kami lahir dengan jenis gender tak sesuai harapannya. Rasa sedih dan kecewa itu pun lagi-lagi muncul begitu saja. Sesak rasanya mengingat sikap mas Bima padaku juga perkataannya pada putri kecil kami yang belum mengerti apa-apa.Ku lihat lagi, ada lauk lodeh juga rendang berikut dengan lontong sebagai bahan pelengkap. Rendang itu nantinya akan simpan untuk besok, biar aku nanti cukup membeli beras saja. Sedang lodeh dan lontong akan aku nikmati di sore hari yang sejuk ini. Menghilangkan rasa lapar, juga memberi tenaga pada tubuhku agar
"Mbak Siska jangan lupa pesanan ku. Tempe gorengnya 5 sama sekalian gimbal jagungnya 7." "Mbak, tahu isinya 10 ya. Nanti aku ambil kesini." "Aku juga mbak Siska, tahu isi 5 sama tempe gorengnya 5." Semenjak Sonia memborong gorengan ku. Ia pun turut membantuku dengan memberikan hasil setengah boronganya untuk dibagikan pada para tetangga yang lewat. Juga tak luput, dengan kata-kata manis agar para tetangga tergiur untuk ikut membeli gorengan ku keesokkan harinya. Tentu, semua itu bukanlah omong kosong. Saat ini, aku dibuat kewalahan karena banyaknya pembeli yang datang dengan membeli jumlah yang tidak sedikit. "Maaf Bu Ayu, sepertinya gorengannya sudah habis." Ucapku merasa bersalah pada tetangga yang ada di depan rumah kontrakan ku. Ia sendiri datang agak siang hingga tak kebagian gorengan jualanku. "Wah sayang sekali, mbak Siska. Besok-besok tambah dong adonannya. Padahal pengen ngerasain lagi gorengan buatan mbak Siska. Di makan pagi-pagi pakai nasi hangat begini kan cocok."