"Kenalin, La! Ini Farah calonnya Adam!" Laila yang baru saja menginjakkan kaki di ambang pintu, langsung terhenyak mendengar Bu Ratmi--Ibu mertuanya berkata demikian.
Entah apa maksud dari ucapan mertuanya yang tiba-tiba mengenalkan perempuan lain, dan mengatakan kalau itu calonnya Adam--- suaminya.Padahal, ia baru saja pulang dari rumah sakit pasca melahirkan, dan langsung dihadiahi dengan hal yang sama sekali tak terbayangkan olehnya. Bercandakah?"Ma--ksud Mama?" tanya Laila gugup, ia berharap apa yang baru saja didengarnya hanyalah candaan saja, walau kedengarannya begitu menyakitkan.Bu Ratmi menghela napas, kekesalan di wajahnya begitu kentara mendengar pertanyaan menantunya yang terlihat pura-pura tak mengerti. "Kamu tahu, 'kan dikeluarga ini Adam satu-satunya anak laki-laki, kedua kakaknya perempuan dan anaknya juga perempuan. Keluarga ini butuh generasi penerus, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi, kamu tidak bisa melahirkan anak laki-laki, bahkan anak pertama kalian yang kemarin keguguran juga perempuan.Aku sudah berbaik hati memberimu kesempatan. Tapi, nyatanya kamu masih tidak bisa melahirkan anak laki-laki." Bu Ratmi berkata panjang lebar, dengan nada ketus.Laila yang mendengar ucapan Bu Ratmi demikian, dibuat tak percaya. Laila tahu kalau mertuanya sangat mengingkan cucu laki-laki. Tetapi, Laila tak menyangka jika mereka akan melakukan ini, pantas saja dua hari di rumah sakit, Laila tidak melihat keluarga suaminya datang menjenguk, bahkan Adampun terlihat enggan mengazani Puteri mereka jika tidak dipaksa oleh dokter yang menanganinya.Seketika tungkai kaki Laila terasa lemas. Sementara, Adam yang sejak tadi berdiri disampingnya hanya tertunduk, tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir pria yang bergelar suami tersebut. Sikapnya seolah menunjukkan kalau dia setuju dengan pendapat sang Mama.Sekuat hati Laila bertumpu pada kakinya yang mulai gemetar, bagaimana mungkin wanita yang mengaku dirinya juga seorang ibu tersebut dengan teganya berkata demikian, bahkan jalan lahir Laila masih basah, dan perih usai berjuang antara hidup dan mati, pulang-pulang dihadiahi dengan kejutan yang membuat dunianya seakan berhenti."Ma, Laila gak punya kuasa untuk takdir yang telah Tuhan gariskan," sekuat hati Laila berusaha tak menangis, tetapi nyatanya benda bening itu keluar begitu saja. Laila, tak sekuat itu meski ia tidak ingin menangis, ia hanyalah manusia biasa."Katakan sesuatu, Mas ini tidak benar, 'kan?" desak Laila berharap lelaki yang pernah berjanji akan menjaganya di depan para saksi itu membelanya."Sudah, sudah jangan diperpanjang, kamu tinggal pilih biarkan Adam menikah lagi, atau kamu mundur!"Ya Allah Dunia Laila nyaris runtuh mendengar ucapan yang keluar dari bibir mertuanya tersebut, Laila masih tak percaya, dan berharap semua hanya mimpi, bahkan lelaki yang menyebut dirinya sebagai kepala keluarga di rumah itu, hanya bungkam dan setuju dengan pendapat sang istri."Apa yang dikatakan Mama benar, La. Sekarang kamu hanya perlu memilih," ucap Adam yang turut membuat luka di hati Laila semakin menganga. Ucapan Adam laksana sebilah pisau yang menacap tepat di ulu hatinya.Andai luka karena lidah bisa terlihat, tentulah saat ini tubuh Laila akan penuh dengan sayatan akibat ucapan mertua dan suaminya yang mengalahkan ketajaman seribu pedang tersebut."Tapi, Mama harap kamu bisa mengambil keputusan yang tepat!"Laila sejenak bergeming, memikirkan, dan mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut mertua, dan suaminya. Sekarang dia mengerti apa arti kehadirannya selama ini. Perlahan Laila mengusap jejak air mata di kedua pipinya, sembari mengumpulkan sisa tenaga yang nyaris tak bersisa tersebut."Baiklah, Mas kalau itu maumu. Sekarang aku mengerti apa aku bagimu, aku milih mundur!" Bibir Laila bergetar, sembari menatap ke arah sang suami yang tak berani melihat ke arahnya. Sekarang Laila tahu laki-laki yang pernah membuatnya jatuh hati itu hanyalah lelaki pengecut, yang berlindung di bawah ketiak orang tuanya. Adam takut jatuh miskin, jika memilih mempertahankan dirinya. "Bagus, rupanya kamu cukup tahu diri!" ucap Ibu mertuanya dengan jemawa. Tangannya terlipat di dada."Baiklah Laila kalau itu yang menjadi pilihanmu. Jadi, mulai sekarang kamu bukan lagi istriku!" Meski ia sudah tahu, tetapi dada Laila terasa sesak mendengar kalimat lantang yang diucapkan Adam, bahkan tanpa ada keraguan. Adam begitu fasih mengucapkan kata tersebut.Sekuat hati Laila menahan segala beban yang menghantam hidupnya secara betubi-tubi, kehidupan terasa begitu kejam padanya. Ia dibuang hanya karena tidak bisa melahirkan seorang anak laki-laki, alasan yang terdengar konyol dan bahkan gi*a.Ya keluarga suaminya mungkin telah gi*a, karena harta, dan jabatan, bahkan mereka tak mau menerima takdir."Kamu dengar Laila mulai sekarang kamu bukan lagi istrinya, Adam, dan kamu boleh pergi dari sini!"Laila menyeka sudut matanya, yang tak mau berhenti menangis, jika seorang istri yang habis melahirkan harusnya mendapatkan dukungan penuh dari keluarga. Namun, sebaliknya dengan dirinya. Laila pun melangkah ke arah kamar untuk mengemasi barang-barangnya yang memang tidak seberapa."Mbok, bantu dia berkemas, dan pastikan tidak ada barang-barang berharga yang dibawanya!" titah Bu Ratmi bagaikan seorang raja.Hati Laila berdenyut mendengar ucapan ibu mertuanya, ah tidak tepatnya mantan ibu mertua. Mereka tidak mau menerima cucu yang bahkan Wajahnya saja belum mereka lihat.Mbok Jum yang sejak tadi diam-diam mendengar ucapan majikannya yang begitu menyakitkan tersebut, perlahan menyusut hidung, dan menyeka sudut matanya, hatinya perih melihat Laila diperlakukan tak adil."Ayo, Non Mbok antar!" ucap Mbok Jum dengan suara serak, matanya telah sembab karena menangis. Laila hanya mengangguk, air matanya terus membasahi kedua pipinya. "Ya Allah Non, tega sekali mereka," Mbok Jum terisak."Aku gak apa-apa, Mbok. Mungkin inilah jalan takdir yang harus aku jalani," ucap Laila berusaha untuk kuat, demi buah hati yang tengah tertidur dalam pelukannya. Wajah tak berdosa itu seolah mentarnsfer kekuatan untuknya.Mendengar itu air mata Mbok Jum kembali tumpah, dengan susah payah ia menyekanya dengan ujung baju."Mbok jangan nangis! Setelah aku pergi Mbok baik-baik ya!" ucap Laila, padahal dirinyalah yang saat ini harus dimotivasi.Mbok Jum menggeleng kuat. "Mbok mau ikut, Non saja," ucap Mbok Jum yang tak tega melihat Laila harus keluar dari rumah ini seorang diri."Jangan Mbok! Aku gak punya uang buat gaji, Mbok," ucap Laila."Gak apa-apa, Non. Mbok ada tabungan, Mbok juga gak punya keluarga lagi. Mbok mau ikut kemana Non pergi."Laila terdiam, ia bingung harus menanggapinya."Mbok mohon, Non! izinkan Mbok ikut!" Mbok Jum memelas, sebenarnya ia sudah tak betah kerja disini karena sikap majikannya yang suka semena-mena, selama ini ia bertahan, karena ada Laila."Non tunggu sebentar! Mbok mau ngambil barang-barang, Mbok dulu!" Tanpa mendengar jawaban Laila terlebih dulu, Mbok Jum langsung keluar.Setelah beberapa saat ia kembali, sembari membawa tas besar yang sudah terisi dengan pakaian."Ayo, Non!" Laila akhirnya mengangguk."Lho-lho, itu kenapa barang-barangnya banyak sekali?" ucap Bu Ratmi heran begitu melihat Laila, dan Mbok Jum muncul."Maaf Nyonya, Tuan saya mau mengundurkan diri, dan ikut Non Laila!" ucap Mbok Jum takut-takut."Apa?"Bersambung ....15 tahun Kemudian.Laila dan Fahmi begitu merasa bahagia, dikarunia dua orang puteri, dan satu orang putera bernama Aidan yang kini berumur 7 tahun.Aleia Rihanna, sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, dan cerdas. Aghnia pun sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, dan tak kalah cerdas.Selain menjadi seorang mahasiswa Aleia juga sudah dipercaya memegang perusahaan yang sempat dititipkan Hamzah pada Laila beberapa tahun lalu. Begitu banyak prestasi yang ia dapat, dan saat ini ia juga tengah menyibukkan diri untuk menjadi seorang hafidzoh. Orang tua mana yang tak bangga memiliki anak yang nantinya akan memberikan mahkotah dari surga.Namun sebaliknya, berbeda dengan Zafran. Anak laki-laki yang dipundaknya ditaruh harapan besar oleh keluarga Ratmi untuk menjadi penerus keluarga mereka."Zafa!" seru Adam begitu mendapati pintu utama terbuka."Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Adam sembari melirik jam yang melingkar di tangannya, dan tengah menunjukkan pukul 01.
"Laila!" batin Adam.Betapa bahagianya Laila bersama keluarga barunya, bahkan Fahmi terlihat begitu perhatian."Hei! Pelan-pelan, Sayang!" ucap Fahmi yang langsung dengan sigap membantu Liala turun dari mobil sembari menggendong babynya.Laila tersenyum, ia merasa begitu beruntung dipertemukan, dan dipersatukan dengan laki-laki seperti Fahmi. Laki-laki bertanggung jawab, dan penuh kasih sayang.Sementara Adam masih berdiri di tempatnya, tanpa terasa tangannya meremas roti yang tadi dipegangnya begitu kuat. Ia marah, bukan pada orang lain, melainkan pada dirinya sendiri.Andai dulu ia tak menjadi laki-laki pengecut, mungkin laki-laki yang saat ini berdiri di samping Laila adalah dirinya."Mas Adam!" seru Laila terkejut begitu melihat Adam yang masih berdiri menghalangi pintu masuk."Eh, eum ... Maaf!" Adam gegas menggeser tubuhnya. "Gimana kabar Leia?" tanya Adam yang kemudian mengalihkan pembicaraan. Akhir-akhir ini ia memang sudah jarang menemui Aleia."Dia baik," jawab Laila singkat
'Izinkan aku untuk mengucap kata maaf untuk terakhir kalinya, maaf jika selama bersama aku tak bisa membuat kamu dan anak-anak bahagia, sekali lagi maaf untuk semua kesalahan yang sudah kulakukan terhadap kalian'~Hamzah~Mata Ratmi memanas. Marah, kesal, dan kecewa seketika melebur jadi satu."Dasar lelaki tidak tahu diri, apa kurangku?" umpat Ratmi dengan amarah yang tak bisa ia lampiaskan pada seseorang yang pernah membersaminya tersebut, dan juga seseorang yang telah membuat luka di hidupnya, dan juga anak-anak.Nyatanya pesan tersebut bukan membuat hatinya membaik, malah membuat luka itu kembali menganga. Andai dekat ingin sekali ia melampiaskan kemarahan, dan kekecewaannya pada lelaki tersebut. Ratmi benar-benar kecewa dengan keputusan Hamzah yang memilih pergi dengan perempuan muda itu, bahkan tanpa membawa harta sepeserpun ia rela. Hati istri mana yang tak sakit, dan sanggup menerima diperlakukan seperti itu? Ratmi sangat marah, dan berniat membuat Hamzah pisah dengan perem
Bi Narti mengangguk, dan pamit. Laila pun menemui tamu tersebut. Namun, betapa terkejutnya ia begitu melihat siapa yang datang.Mata Laila tak berkedip memandangi lelaki yang tengah berdiri di hadapannya, benarkah apa yang dilihatnya, dan untuk apa Hamzah--mantan mertuanya datang kemari?***"Mungkin kamu tidak menyangka saya datang kemari," ucap Hamzah setelah Laila mempersilahkan Hamzah duduk--mereka duduk di kursi teras."Permisi, silahkan," ucap Bi Narti yang datang membawa minum, dan menjeda obrolan mereka."Terima kasih, Bi!" Bi Narti mengangguk, dan pamit ke belakang. Setelahnya Liala pun mempersilahkan Hamzah untuk meminum tehnya."Terima kasih!" ucap Hamzah. "Saya sengaja menemuimu, karena ada hal penting yang ingin saya sampaikan!" Lanjut Hamzah. Lalu, ia mengeluarkan sebuah map dari dalam tasnya, dan meletakkannya di atas meja kayu di hadapan mereka."Ini adalah surat kepemilikan salah satu perusahaan yang baru saya bangun, tanpa sepengetahuan keluaraga." Alis Laila terang
"Apa jual? Gak, gak. Aku gak mau hidup miskin!""Aku akan bekerja di tempat lain," ucap Hamzah menenangkan, ia pun tak menyangka di usianya yang tak lagi muda akan memilih jalan seperti ini.Sava membuang muka, bekerja di tempat lain, dan miliki perusahaan sendiri tentu saja penghasilannya berbeda, kalau sudah begini apa gunanya ia menikah dengan pria kaya, dan ruginya sudah tua."Mas akan segera mendaftarkan pernikahan kita!" ucap Hamzah menenangkan Sava yang kemarin-kemarin protes dengan status pernikahan mereka.Sava bergeming, ucapan Hamzah sama sekali tak menarik untuk ia dengarkan. Lelaki itu terlalu b0doh pergi tanpa membawa apapun, dan Sava tak bisa terima itu begitu saja.***Satu Minggu berlalu, Hamzah tengah mencoba untuk mencari pekerjaan, entah demi apa ia rela meninggalkan keluarganya demi hidup bersama Sava."Sayang aku butuh uang nih, 50 juta!" ucap Dion yang pagi itu sengaja datang ke rumah Sava dan Hamzah, ia tahu kalau pagi-pagi begini Hamzah tidak ada di rumah."A
Usai dari toilet, Bu Ratmi pun keluar dan hendak kembali ke meja makan. Namun, belum sampai ke meja, ia tak sengaja melihat sesuatu yang membuat matanya seketika terasa panas.Tangannya terkepal kuat, hingga menimbulkan buku-buku putih. Benarkah yang dilihatnya saat ini? Seorang perempuan muda tengah bergelayut manja di tangan Hamzah--suaminya. Siapa perempuan itu?Tanpa menunggu, Ratmi langsung melangkah ke arah dua insan beda usia tersebut, dan ..."Aww ... Apa-apaan ini?" teriak Sava terkejut karena tangannya ditarik, mendengar teriakan Sava membuat Hamzah reflek menoleh, dan langsung terkesiap melihat Ratmi ada disini."Ma---ma?" Mata Hamzah membulat sempurna, jantungnya berpacu lebih cepat, dengan tubuh gemetar."Punya hubungan apa kamu dengan suami saya?" tanya Ratmi dengan tatapan tajam ke arah Sava."Oh Anda rupanya," ucap Sava santai. Seolah tanpa beban, kedua tangannya ia lipatkan di dada. "Kalau Anda mau tau, tanya saja sama, Mas Hamzah," lanjut Sava dengan nada sombong."M