Share

Ditalak Usai Melahirkan
Ditalak Usai Melahirkan
Penulis: Ina R

Lebih Tajam dari Pis4u

"Kenalin, La! Ini Farah calonnya Adam!" Laila yang baru saja menginjakkan kaki di ambang pintu, langsung terhenyak mendengar Bu Ratmi--Ibu mertuanya berkata demikian.

Entah apa maksud dari ucapan mertuanya yang tiba-tiba mengenalkan perempuan lain, dan mengatakan kalau itu calonnya Adam--- suaminya.

Padahal, ia baru saja pulang dari rumah sakit pasca melahirkan, dan langsung dihadiahi dengan hal yang sama sekali tak terbayangkan olehnya. Bercandakah?

"Ma--ksud Mama?" tanya Laila gugup, ia berharap apa yang baru saja didengarnya hanyalah candaan saja, walau kedengarannya begitu menyakitkan.

Bu Ratmi menghela napas, kekesalan di wajahnya begitu kentara mendengar pertanyaan menantunya yang terlihat pura-pura tak mengerti. 

"Kamu tahu, 'kan dikeluarga ini Adam satu-satunya anak laki-laki, kedua kakaknya perempuan dan anaknya juga perempuan. Keluarga ini butuh generasi penerus, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi, kamu tidak bisa melahirkan anak laki-laki, bahkan anak pertama kalian yang kemarin keguguran juga perempuan.

Aku sudah berbaik hati memberimu kesempatan. Tapi, nyatanya kamu masih tidak bisa melahirkan anak laki-laki." Bu Ratmi berkata panjang lebar, dengan nada ketus.

Laila yang mendengar ucapan Bu Ratmi demikian, dibuat tak percaya. Laila tahu kalau mertuanya sangat mengingkan cucu laki-laki. Tetapi, Laila tak menyangka jika mereka akan melakukan ini, pantas saja dua hari di rumah sakit, Laila tidak melihat keluarga suaminya datang menjenguk, bahkan Adampun terlihat enggan mengazani Puteri mereka jika tidak dipaksa oleh dokter yang menanganinya.

Seketika tungkai kaki Laila terasa lemas. Sementara, Adam yang sejak tadi berdiri disampingnya hanya tertunduk, tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir pria yang bergelar suami tersebut. Sikapnya seolah menunjukkan kalau dia setuju dengan pendapat sang Mama.

Sekuat hati Laila bertumpu pada kakinya yang mulai gemetar, bagaimana mungkin wanita yang mengaku dirinya juga seorang ibu tersebut dengan teganya berkata demikian, bahkan jalan lahir Laila masih basah, dan perih usai berjuang antara hidup dan mati, pulang-pulang dihadiahi dengan kejutan yang membuat dunianya seakan berhenti.

"Ma, Laila gak punya kuasa untuk takdir yang telah Tuhan gariskan," sekuat hati Laila berusaha tak menangis, tetapi nyatanya benda bening itu keluar begitu saja. Laila, tak sekuat itu meski ia tidak ingin menangis, ia hanyalah manusia biasa.

"Katakan sesuatu, Mas ini tidak benar, 'kan?" desak Laila berharap lelaki yang pernah berjanji akan menjaganya di depan para saksi itu membelanya.

"Sudah, sudah jangan diperpanjang, kamu tinggal pilih biarkan Adam menikah lagi, atau kamu mundur!"

Ya Allah

 

Dunia Laila nyaris runtuh mendengar ucapan yang keluar dari bibir mertuanya tersebut, Laila masih tak percaya, dan berharap semua hanya mimpi, bahkan lelaki yang menyebut dirinya sebagai kepala keluarga di rumah itu, hanya bungkam dan setuju dengan pendapat sang istri.

"Apa yang dikatakan Mama benar, La. Sekarang kamu hanya perlu memilih," ucap Adam yang turut membuat luka di hati Laila semakin menganga. Ucapan Adam laksana sebilah pisau yang menacap tepat di ulu hatinya.

Andai luka karena lidah bisa terlihat, tentulah saat ini tubuh Laila akan penuh dengan sayatan akibat ucapan mertua dan suaminya yang mengalahkan ketajaman seribu pedang tersebut.

"Tapi, Mama harap kamu bisa mengambil keputusan yang tepat!"

Laila sejenak bergeming, memikirkan, dan mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut mertua, dan suaminya. Sekarang dia mengerti apa arti kehadirannya selama ini. 

Perlahan Laila mengusap jejak air mata di kedua pipinya, sembari mengumpulkan sisa tenaga yang nyaris tak bersisa tersebut.

"Baiklah, Mas kalau itu maumu. Sekarang aku mengerti apa aku bagimu, aku  milih mundur!" Bibir Laila bergetar, sembari menatap ke arah sang suami yang tak berani melihat ke arahnya. 

Sekarang Laila tahu laki-laki yang pernah membuatnya jatuh hati itu hanyalah lelaki pengecut, yang berlindung di bawah ketiak orang tuanya. Adam takut jatuh miskin, jika memilih mempertahankan dirinya. 

"Bagus, rupanya kamu cukup tahu diri!" ucap Ibu mertuanya dengan jemawa. Tangannya terlipat di dada.

"Baiklah Laila kalau itu yang menjadi pilihanmu. Jadi, mulai sekarang kamu bukan lagi istriku!"  

Meski ia sudah tahu, tetapi dada Laila terasa sesak mendengar kalimat lantang yang diucapkan Adam, bahkan tanpa ada keraguan. Adam begitu fasih mengucapkan kata tersebut.

Sekuat hati Laila menahan segala beban yang menghantam hidupnya secara betubi-tubi, kehidupan terasa begitu kejam padanya. Ia dibuang hanya karena tidak bisa melahirkan seorang anak laki-laki, alasan yang terdengar konyol dan bahkan gi*a.

Ya keluarga suaminya mungkin telah gi*a, karena harta, dan jabatan, bahkan mereka tak mau menerima takdir.

"Kamu dengar Laila mulai sekarang kamu bukan lagi istrinya, Adam, dan kamu boleh pergi dari sini!"

Laila menyeka sudut matanya, yang tak mau berhenti menangis, jika seorang istri yang habis melahirkan harusnya mendapatkan dukungan penuh dari keluarga. Namun, sebaliknya dengan dirinya. 

Laila pun melangkah ke arah kamar untuk mengemasi barang-barangnya yang memang tidak seberapa.

"Mbok, bantu dia berkemas, dan pastikan tidak ada barang-barang berharga yang dibawanya!" titah Bu Ratmi bagaikan seorang raja.

Hati Laila berdenyut mendengar ucapan ibu mertuanya, ah tidak tepatnya mantan ibu mertua. Mereka tidak mau menerima cucu yang bahkan Wajahnya saja belum mereka lihat.

Mbok Jum yang sejak tadi diam-diam mendengar ucapan majikannya yang begitu menyakitkan tersebut, perlahan menyusut hidung, dan menyeka sudut matanya, hatinya perih melihat Laila diperlakukan tak adil.

"Ayo, Non Mbok antar!" ucap Mbok Jum dengan suara serak, matanya telah sembab karena menangis. Laila hanya mengangguk,  air matanya terus membasahi kedua pipinya. 

"Ya Allah Non, tega sekali mereka," Mbok Jum terisak.

"Aku gak apa-apa, Mbok. Mungkin inilah jalan takdir yang harus aku jalani," ucap Laila berusaha untuk kuat, demi buah hati yang tengah tertidur dalam pelukannya. Wajah tak berdosa itu seolah mentarnsfer kekuatan untuknya.

Mendengar itu air mata Mbok Jum kembali tumpah, dengan susah payah ia menyekanya dengan ujung baju.

"Mbok jangan nangis! Setelah aku pergi Mbok baik-baik ya!" ucap Laila, padahal dirinyalah yang saat ini harus dimotivasi.

Mbok Jum menggeleng kuat. "Mbok mau ikut, Non saja," ucap Mbok Jum yang tak tega melihat Laila harus keluar dari rumah ini seorang diri.

"Jangan Mbok! Aku gak punya uang buat gaji, Mbok," ucap Laila.

"Gak apa-apa, Non. Mbok ada tabungan, Mbok juga gak punya keluarga lagi. Mbok mau ikut kemana Non pergi."

Laila terdiam, ia bingung harus menanggapinya.

"Mbok mohon, Non! izinkan Mbok ikut!" Mbok Jum memelas, sebenarnya ia sudah tak betah kerja disini karena sikap majikannya yang suka semena-mena, selama ini ia bertahan, karena ada Laila.

"Non tunggu sebentar! Mbok mau ngambil barang-barang, Mbok dulu!" Tanpa mendengar jawaban Laila terlebih dulu, Mbok Jum langsung keluar.

Setelah beberapa saat ia kembali, sembari membawa tas besar yang sudah terisi dengan pakaian.

"Ayo, Non!" Laila akhirnya mengangguk.

"Lho-lho, itu kenapa barang-barangnya banyak sekali?" ucap Bu Ratmi heran begitu melihat Laila, dan Mbok Jum muncul.

"Maaf Nyonya, Tuan saya mau mengundurkan diri, dan ikut Non Laila!" ucap Mbok Jum takut-takut.

"Apa?"

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status