Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.
“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.
Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.
Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.
Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.
Pak min kembali terloncat saat ponselnya bordering. Neng Nilam, nama yang muncul membuatnya cepat-cepat menekan tombol merah, lalu geletakkan sembarang ponsel batangan itu ke lantai.
Ia belum siap menerima panggilan Nilam, rasa takut masih menguasai.
Di dalam kamar Nilam terus mencoba kembali menghubungi Pak Min. Hendak menanyakan kapan pipanya diperbaiki, sekalian minta maaf sudah membuat Pak Min terbirit-birit tadi.
Nilam merasa terganggu dengan bau menyengat got yang merebak penciumannya. Sangat busuk, amis dan seperti bau … bangkai!
Sampai malam ia merasa bau amat mengganggu itu. Pintu kamar ditutup dengan kipas angin menyala Full untuk meredanya. Cukup ampuh. Nilam masih bersantai di Kasur, menikmati tayangan TV sambil menunggu kedatangan tiga penghuni kos lain yang belum pulang kerja.
Selepas Magrib, tiga perempuan muda berduyun masuk ke tempat Nilam, bermaksud akan berkumpul seperti biasa. Tempat gadis paling muda di antara yang lain ini sering dijadikan area berkumpul sebelum tidur, mengisi waktu dengan obrolan seru hingga larut malam.
“Hai yang baru pulkam, bawa oleh-oleh apa? Eh, kok rasa ada bau-bau aneh, Ni. Bau apa, Ni?” tanya Dian, penghuni pintu ujung begitu pertama masuk. Yang lain juga menutup hidung, segera masuk ke kamar, menghadap kipas angin.
“Tutup pintunya,” kata Dara pada Tri yang masuk belakangan. Gadis manis itu cepat merapatkan pintu kamar.
“Iya, tuh. Pipa saluran pembuangan copot, Pak Min takut perbaiki. Apa gak kerasa dari kamar kalian?” tanya Nilam sambil merangkak ke tempat tidur, duduk menyandari tembok.
“Enggak kerasa.” Tri yang sebelahan kamar dengannya menggeleng.
“Iya, dari tempatku juga enggak ada bau. Eh, emang Pak Min takut kenapa?” Dara bertanya sambil mengernyit dahi.
Tangan Dara menangkap lemparan satu bungkus besar kripik singkong dari Dian. Ia membuka bungkusnya untuk dimakan berbagi sama Nilam. Satu bungkus lagi untuk Tri dan Dian kongsi.
Nilam mencomot seiris sambil mulai ceritakan kejadian tadi sore. Sampai bagian yang ia tahu dari Nyak kalau Pak Min sampai ngompol.
Tiga perempuan itu sontak terbahak-bahak mendengar penuturan Nilam, padahal gadis itu belum juga menyelesaikan ceritanya.
Mereka lalu ngobrol ditemani tayangan sinetron remaja di TV, tapi tak satu pun yang fokus menonton. Obrolan terus berlanjut dengan saling timpal ucapan masing-masing. Mereka seolah-olah reuni setelah lama tak bersua.
“Gimana Juju selama di kampung, Ni? Gak iseng, kan tiba-tiba ngelamar elo?” Dian, perempuan lajang usia dua puluh tujuh tahun ini sangat suka mencomblangi Nilam dan Juju.
“Enggaklah, Di, biasa aja.” Nilam meraup setangkup kripik masukan ke mulut yang menganga penuh. Membuat yang lain serentak memandanginya.
Heran melihat bibirnya yang terkesan mungil itu bisa melar super lebar, seakan-akan bisa masuk sekepalan tangan. Cara Nilam ngunyah juga amat cepat. Tak sampai lima detik isi mulutnya kosong.
Tiga temannya saling bertukar tatap. Ada yang aneh, pikir mereka kompak.
“Eh, makasih ya, Di, nasi padangnya.” Nilam seperti tak menyadari tatapan aneh mereka. Turun dari kasur, menarik plastik yang tadi Dina simpan di meja. Segera membuka dan melahapnya rakus. Nilam terlihat seperti orang kelaparan.
“Hu-uh, sama-sama, tapi … elo kok jadi serakus itu, Ni?” Dian masih bengong.
“Rakus gimana? Biasa aja,” sahut Nilam menjilat sisa bumbu di jemari. Segera menerima lemparan tisu dari Dara, menyuruhnya bersihkan tangan pakai tisu basah itu.
“Iya, Ni. Lo makan cepet banget. Kayak kilat,” celetuk Tri, perempuan asal Kalimantan itu disambut gelak yang lain.
“Kelaparan kali,” sahut Dara cuek masih mengunyah sisa kripik dalam wadah.
“Emh, gue sempat curiga elo jadian sama Juju selama di jalan.” Dian mengalihkan pembicaraan, kembali mengungkit bahas lagi si pemuda tinggi itu. Ia memang paling penasaran hubungan Nilam dan Juju yang dianggapnya pasangan serasi.
“Enggak, Di. Gak ada apa-apa, biasa aja.” Nilam menyambar bungkus kripik dari tangannya. Dituang ke telapak, kembali masuk penuh ke mulut, sekejap lenyap dalam tiga kali kunyah.
“Beneran ini, lo perasaan kamu, kok, jadi rakus banget. Liat, tuh. Segini habis sekejap,” kata Dara memprotes, menunjuk isi bungkusan yang baru ia sadari sudah melompong.
Dian juga ikut protes. “Gelo, lo. Biasanya elo yang paling menikmati makan pelan-pelan biar nggak cepet abis, ini kok jadi sadis amat!”
“Oh, kenapa, sih? Kalau nggak mau bagi ya jangan bawa ke sini tadi,” protes Nilam cuek, sambil menjilat sisa bubuk bumbu kripik.
Nilam terlihat makin menjadi, bungkus keripik yang sudah habis dirobek, dan dijilat dalam kemasannya sampai keluarkan suara berdecap aneh di telinga mereka. Tiga pasang mata itu memandangnya tanpa kedip.
“Ya, Allah. Kenapa ini anak?” Dian merampas sampah itu dari tangan Nilam. Membuatnya kaget sontak melihat ketiga temannya.
“Napa, sih?” tanyanya polos.
“Kamu, kok, sehabis pulang jadi gitu, Ni?” Tri si gadis asal Kalimantan menyentuh dahinya. "Perasaan gak lagi demam."
“Kelaparan dia tuh.” Dara menyahut asal.
“Ah, lapar gimana? Perut apa balon? Barusan makan nasi padang yang isinya sampai munjung gini.” Dian melengkungkan punggung tangan, menerbitkan tawa Tri dan Dara bersahutan. Sementara Nilam tersipu, menganggap itu hanya banyolan teman-temannya saja. Tanpa memahami sepenuhnya apa yang mereka maksud.
Seluruh penghuni kos ini sudah seperti saudara yang tak terpisahkan. Lebih dari empat tahun Nilam akrab dengan mereka. Semua saling kenal sifat buruk masing-masing. Ribut sedikit itu biasa, setelahnya mereka akan kembali tertawa lagi.
Entah kenapa Nilam merasa selera makannya sangat meningkat. Apa saja yang menempel di lidah amat enak dan selalu terasa kurang banyak. Ia menahan sendiri kecurigaan aneh dengan diri sendiri, ikut larut menertawakan ulah Dara yang meniru omelan bosnya di kantor tadi.
Mereka kembali ngobrol, diiringi gelak, lalu bubar saat kantuk menghampiri.
***
Detik dari jam dinding bergambar Hello Kitty terasa mengiringi embusan angin dingin yang masuk ke celah ventilasi, kamar Nilam. Bayangan hitam tampak mengitari tubuhnya. Gadis yang sudah terlelap itu mulai bergerak gelisah.
Merasa tubuhnya mulai dingin, semakin lama menggigil sampai Nilam gemetar hebat. Masih terpejam ia menarik selimut hingga ke batas leher. Saat akan kembali tertidur selimutnya bergerak, turun sendiri hingga tubuhnya kembali terbuka.
Nilam menggapai-gapai mencari kain tebal itu. Sadar tak ada, ia memaksa buka mata yang terasa lengket. Ini masih tengah malam dan baru tidur sejam lalu.
Dalam posisi duduk, gadis putih itu memindai di mana benda yang dicari. Terlihat kain pink itu jatuh di lantai ujung kakinya. Sedikit membungkuk Nilam akan mengambil, tapi tangannya terhenti saat merasakan embusan angin di tengkuk. Dingin. Lalu muncul suara seperti napas seseorang yang cepat, ada di balik punggungnya.
Melotot dan menegang seketika di tempat Nilam tidak bisa bergerak. Embusan napas dingin itu terasa perlahan bergeser. Kini menempel di pipinya, masuk antara celah rambut Nilam yang sebagian tergerai menutupi wajah.
Jantung Nilam berpacu kencang, dingin sekejap berubah jadi panas. Keringat sebesar bulir jagung mulai menetes dari dahi. Ketakutan amat sangat dirasakannya, jika bisa memilih ia mau pingsan saja sekarang, tapi tubuhnya masih saja kaku bagai patung.
Hanya mata Nilam yang membulat bergerak-gerak. Tak ada siapa pun yang tertangkap oleh netranya.
Embusan dingin itu kini ada di bawah hidung, saling beradu dengan napasnya sendiri. Nilam menutup mata sambil menahan napas. Rasa takut membuatnya merasa akan terhenti bernapas sekarang.
Tetes demi tetes darah mengalir dari hidung Nilam membasahi sprei. Bau amis menyengat merebak memenuhi kamar. Tubuh yang belum bisa bergerak membuat Nilam pasrahmemejamkan mata kuat. Merasakan pemilik napas dingin yang tak terlihat itu seakan menghisap darah dari tubuhnya. Semakin banyak keluar Nilam merasa lemah. Sampai kemudian tubuhnya terasa melayang, saat mencoba buka mata pandangannya menggelap. Detik kemudian, wajah Nilam tertelungkup di tempat, basah terkena genangan darah di kasurnya. *** Di Dusun Gelap, seorang lelaki tua duduk tampak duduk bersila, dalam kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak mundur. Seketika itu juga mulutnya meringis dengan tangan mengusap dada. “Sial! Apa yang dimiliki anak itu sampai sulit kudapatkan?!” Penuh amarah ia mengamuk, memukul tanah dan menendang rerumputan.
Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet. Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka. Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai. Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tenga
Lelaki tua itu terpental sambil memekik kesakitan. Punggungnya menubruk pohon besar, lalu tersungkur di atas akarnya. Erangan kesakitannya terdengar oleh Nilam, tapi ia tak bisa melihat kondisi orang itu.Detik selanjutnya tubuh Nilam kembali melayang, melesat cepat menampati pada raga kaku di atas kasur. Tubuhnya sempat bergerak lemah, lalu kembali tenang dalam lelap.Di tempat lain, seorang lelaki muda duduk di atas hamparan sajadah. Jari kanannya bergerak pelan bertasbih dengan suara kecil, hanya terdengar di telinganya sendiri. Setelah selesai ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati.Sepulang dari kampung Nilam, Juju rutin terbangun tengah malam, mengambil wudu dan salat sunah. Peristiwa yang dialami Nilam amat lekat dalam benak. Kekhawatiran yang menguatkan imannya. Menyadari tidak ada tempat meminta pertolongan selain pada Sang Pemilik Kehidupan itu sendiri.
“Kalau kita nikah gue akan jaga loe.” Baru kali ini Nilam melihat Juju sangat serius, ia sampai menahan diri untuk tak tertawa. “Besok aja kita omongin. Ini jam berapa?” Nilam menarik pergelangan Juju melihat jam tangan. “Ya ampun jam sebelas, Ju, Babe—“ “Ni, serius. Kita harus nikah secepatnya.” Hening tercipta, Juju menahan dua bahu Nilam untuk saling bertatapan dalam jarak dekat, terhenti saat gadis itu membuang pandang ke sekitar, dua orang dewasa sampai berhenti melihat arah mereka. Cepat Nilam melepaskan tangan Juju. “Diliatin orang, tuh,” katanya kikuk. Merasa tak nyaman jadi tontonan Juju mengajaknya pulang, naik taksi tanpa argo yang mangkal depan gedung rumah sakit. Selama perjalanan keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Juju yang berusaha meredam perasaannya bercampur ke
Kenapa dengan gadis itu?Ada apa dengan Nilam?Benak Hwa terus bertanya sambil sesekali melihat spion belakang da suasana depan padat belum bisa membuat mobilnya bergerak.Juju yang tadi melaju lebih dulu di depan sana terlihat kembali berlari ke sini, menyelip di antara padatnya roda dua dan empat yang berhenti.“Di depan ada kecelakaan. Biar Nilam ikut motor aja,” saran Juju pada Hwa setelah kaca mobil diturunkan.“Tidak bisa, Ju, lihat dia menggigil,” jawab Bon Hwa. Rahangnya menegang, menekan klakson berkali-kali. Usahanya sia-sia.“Darah lagi?!” Leli kaget menyadari cairan merah yang tadi cuma menetes kini mengucur keluar dari hidung Nilam.Buru-buru ia lagi menyambar tisu, mengus
Hari hampir siang, setengan sebelas Juju sudah berangkat dari rumah. Sebelum bekerja ia akan ke kos Nilam dulu, gadis itu memang sudah mendapat izin tak masuk hari ini, oleh Hwa. Juju hanya ingin memastikan kondisinya saja.Ponsel Nilam dihubungi tidak aktif sedari pagi, itu membuatnya khawatir.Tanpa mampir ke rumah Babe, pemuda itu gegas mengayunkan langkah ke kos belakang. Nilam pasti sendiri, teman kos lain sudah berangkat kerja, Juju hanya merasa atas kejadian mengerikan tadi malam tak seharusnya Nilam ditinggal sendiri.Melihat pintu tertutup rapat degup jantung Juju berdetak cepat, ada perasaan tak enak menghinggapi melihat ruang yang ditempati Nilam itu. Terasa suram.“Nilam!” panggilnya sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Diulang lagi. Tetap hening.Jangan-jangan … gadis itu kambuh lagi? pikirnya segera ke samping, menggedor jendela kaca bagian kamar.Juju terpaksa menginjak tanaman di b
Brukk! Pintu terdorong keras, Juju langsung melangkah ke kamar Nilam. Terdorong perasaan tidak enak ia tadi kembali ke sini. Segera terlihat olehnya Suci duduk di samping Nilam, menepuk pelan pipi gadis itu. Juju mendekat melihat Nilam tegak di tempatnya dengan mata membulat, lalu memegang perut terbungkuk seperti menahan mual. “Loe kenapa, Ni?” Juju mendorong Suci yang tergeragap bingung melihat keadaan Nilam, agar menjauh. “Hoekk!” Nilam terbungkuk menekan perut yang terasa bergelombang, ada sesuatu bergerak naik ke dada. Juju membuka plastik yang diambil dari meja dipasang ke pangkuan Nilam. Dengan sabar menepuk-nepuk punggung, sembari memijit ringan bahunya berharap mual Nilam berkurang. “Kalau ada apa-apa sama Nilam elo harus tanggungjawab!” ancam Juju pada Suci, yang ia tahu ada di belakangnya. Suci memang berdiri di sudut, merapat pada dinding. Pisau kecil yang sempat disembunyikan di dalam baju tadi kembali diambil, tub
“Senang lihat Abang pulang,” kata Juju pada Hanif saat ngobrol sebentar sebelum naik ke motornya. “Nilam butuh Abang di sini, Juki curiga temannya itu punya niat jahat, Bang.” Lelaki berahang tegas itu mendengarkan Juju saksama. “Banyak doa aja, kita gak bisa juga suudzon, semoga aja temanmu itu bisa mawas diri, yang penting dari dirinya dulu, keyakinan hatinya, baru kita bantu semampu yang kita bisa.” “Iye, Bang. Juki agak tenang nih, titip die ya,” ujar Juju. “Wah, kayaknya istimewa tuh. Kita cuma bermohon pada Allah yang bisa menjaga sebaik-baiknya penjaga.” “Iye, Bang. Juki percaya itu. Yuk, Bang Hanif, berangkat dulu.” “Iye hati-hati, jangan lupa doa sebelum jalan.” Juju berkomat-kamit sebelum menutup kaca helm. “Dari awal gue curiga Juki itu demen sama si Nilam.” Babe sama Maemunah rupanya tadi diam-diam mendengar pembicaraan Juju sama putranya. Hanif menoleh dengan senyum manis. “Suka itu normal, Be.” “Ka