Share

9. Nilam yang Berbeda

Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.

“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.

Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.

Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.

Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.

Pak min kembali terloncat saat ponselnya bordering. Neng Nilam, nama yang muncul membuatnya cepat-cepat menekan tombol merah, lalu geletakkan sembarang ponsel batangan itu ke lantai.

Ia belum siap menerima panggilan Nilam, rasa takut masih menguasai.

Di dalam kamar Nilam terus mencoba kembali menghubungi Pak Min. Hendak menanyakan kapan pipanya diperbaiki, sekalian minta maaf sudah membuat Pak Min terbirit-birit tadi.

Nilam merasa terganggu dengan bau menyengat got yang merebak penciumannya. Sangat busuk, amis dan seperti bau … bangkai!

Sampai malam ia merasa bau amat mengganggu itu. Pintu kamar ditutup dengan kipas angin menyala Full untuk meredanya. Cukup ampuh. Nilam masih bersantai di Kasur, menikmati tayangan TV sambil menunggu kedatangan tiga penghuni kos lain yang belum pulang kerja.

Selepas Magrib, tiga perempuan muda berduyun masuk ke tempat Nilam, bermaksud akan berkumpul seperti biasa. Tempat gadis paling muda di antara yang lain ini sering dijadikan area berkumpul sebelum tidur, mengisi waktu dengan obrolan seru hingga larut malam.

“Hai yang baru pulkam, bawa oleh-oleh apa? Eh, kok rasa ada bau-bau aneh, Ni. Bau apa, Ni?” tanya Dian, penghuni pintu ujung begitu pertama masuk. Yang lain juga menutup hidung, segera masuk ke kamar, menghadap kipas angin.

“Tutup pintunya,” kata Dara pada Tri yang masuk belakangan. Gadis manis itu cepat merapatkan pintu kamar.

“Iya, tuh. Pipa saluran pembuangan copot, Pak Min takut perbaiki. Apa gak kerasa dari kamar kalian?” tanya Nilam sambil merangkak ke tempat tidur, duduk menyandari tembok.

“Enggak kerasa.” Tri yang sebelahan kamar dengannya menggeleng.

“Iya, dari tempatku juga enggak ada bau. Eh, emang Pak Min takut kenapa?” Dara bertanya sambil mengernyit dahi.

Tangan Dara menangkap lemparan satu bungkus besar kripik singkong dari Dian. Ia membuka bungkusnya untuk dimakan berbagi sama Nilam. Satu bungkus lagi untuk Tri dan Dian kongsi.

Nilam mencomot seiris sambil mulai ceritakan kejadian tadi sore. Sampai bagian yang ia tahu dari Nyak kalau Pak Min sampai ngompol.

Tiga perempuan itu sontak terbahak-bahak mendengar penuturan Nilam, padahal gadis itu belum juga menyelesaikan ceritanya.

Mereka lalu ngobrol ditemani tayangan sinetron remaja di TV, tapi tak satu pun yang fokus menonton. Obrolan terus berlanjut dengan saling timpal ucapan masing-masing. Mereka seolah-olah reuni setelah lama tak bersua.

“Gimana Juju selama di kampung, Ni? Gak iseng, kan tiba-tiba ngelamar elo?” Dian, perempuan lajang usia dua puluh tujuh tahun ini sangat suka mencomblangi Nilam dan Juju.

“Enggaklah, Di, biasa aja.” Nilam meraup setangkup kripik masukan ke mulut yang menganga penuh. Membuat yang lain serentak memandanginya.

Heran melihat bibirnya yang terkesan mungil itu bisa melar super lebar, seakan-akan bisa masuk sekepalan tangan. Cara Nilam ngunyah juga amat cepat. Tak sampai lima detik isi mulutnya kosong.

Tiga temannya saling bertukar tatap. Ada yang aneh, pikir mereka kompak.

“Eh, makasih ya, Di, nasi padangnya.” Nilam seperti tak menyadari tatapan aneh mereka. Turun dari kasur, menarik plastik yang tadi Dina simpan di meja. Segera membuka dan melahapnya rakus. Nilam terlihat seperti orang kelaparan.

“Hu-uh, sama-sama, tapi … elo kok jadi serakus itu, Ni?” Dian masih bengong.

“Rakus gimana? Biasa aja,” sahut Nilam menjilat sisa bumbu di jemari. Segera menerima lemparan tisu dari Dara, menyuruhnya bersihkan tangan pakai tisu basah itu.

“Iya, Ni. Lo makan cepet banget. Kayak kilat,” celetuk Tri, perempuan asal Kalimantan itu disambut gelak yang lain.

“Kelaparan kali,” sahut Dara cuek masih mengunyah sisa kripik dalam wadah.

“Emh, gue sempat curiga elo jadian sama Juju selama di jalan.” Dian mengalihkan pembicaraan, kembali mengungkit bahas lagi si pemuda tinggi itu. Ia memang paling penasaran hubungan Nilam dan Juju yang dianggapnya pasangan serasi.

“Enggak, Di. Gak ada apa-apa, biasa aja.” Nilam menyambar bungkus kripik dari tangannya. Dituang ke telapak, kembali masuk penuh ke mulut, sekejap lenyap dalam tiga kali kunyah.

“Beneran ini, lo perasaan kamu, kok, jadi rakus banget. Liat, tuh. Segini habis sekejap,” kata Dara memprotes, menunjuk isi bungkusan yang baru ia sadari sudah melompong.

Dian juga ikut protes. “Gelo, lo. Biasanya elo yang paling menikmati makan pelan-pelan biar nggak cepet abis, ini kok jadi sadis amat!”

“Oh, kenapa, sih? Kalau nggak mau bagi ya jangan bawa ke sini tadi,” protes Nilam cuek, sambil menjilat sisa bubuk bumbu kripik.

Nilam terlihat makin menjadi, bungkus keripik yang sudah habis dirobek, dan dijilat dalam kemasannya sampai keluarkan suara berdecap aneh di telinga mereka. Tiga pasang mata itu memandangnya tanpa kedip.

“Ya, Allah. Kenapa ini anak?” Dian merampas sampah itu dari tangan Nilam. Membuatnya kaget sontak melihat ketiga temannya.

“Napa, sih?” tanyanya polos.

“Kamu, kok, sehabis pulang jadi gitu, Ni?” Tri si gadis asal Kalimantan menyentuh dahinya. "Perasaan gak lagi demam."

“Kelaparan dia tuh.” Dara menyahut asal.

“Ah, lapar gimana? Perut apa balon? Barusan makan nasi padang yang isinya sampai munjung gini.” Dian melengkungkan punggung tangan, menerbitkan tawa Tri dan Dara bersahutan. Sementara Nilam tersipu, menganggap itu hanya banyolan teman-temannya saja. Tanpa memahami sepenuhnya apa yang mereka maksud.

Seluruh penghuni kos ini sudah seperti saudara yang tak terpisahkan. Lebih dari empat tahun Nilam akrab dengan mereka. Semua saling kenal sifat buruk masing-masing. Ribut sedikit itu biasa, setelahnya mereka akan kembali tertawa lagi.

Entah kenapa Nilam merasa selera makannya sangat meningkat. Apa saja yang menempel di lidah amat enak dan selalu terasa kurang banyak. Ia menahan sendiri kecurigaan aneh dengan diri sendiri, ikut larut menertawakan ulah Dara yang meniru omelan bosnya di kantor tadi.

Mereka kembali ngobrol, diiringi gelak, lalu bubar saat kantuk menghampiri.

***

Detik dari jam dinding bergambar Hello Kitty terasa mengiringi embusan angin dingin yang masuk ke celah ventilasi, kamar Nilam. Bayangan hitam tampak mengitari tubuhnya. Gadis yang sudah terlelap itu mulai bergerak gelisah.

Merasa tubuhnya mulai dingin, semakin lama menggigil sampai Nilam gemetar hebat. Masih terpejam ia menarik selimut hingga ke batas leher. Saat akan kembali tertidur selimutnya bergerak, turun sendiri hingga tubuhnya kembali terbuka.

Nilam menggapai-gapai mencari kain tebal itu. Sadar tak ada, ia memaksa buka mata yang terasa lengket. Ini masih tengah malam dan baru tidur sejam lalu.

Dalam posisi duduk, gadis putih itu memindai di mana benda yang dicari. Terlihat kain pink itu jatuh di lantai ujung kakinya. Sedikit membungkuk Nilam akan mengambil, tapi tangannya terhenti saat merasakan embusan angin di tengkuk. Dingin. Lalu muncul suara seperti napas seseorang yang cepat, ada di balik punggungnya.

Melotot dan menegang seketika di tempat Nilam tidak bisa bergerak. Embusan napas dingin itu terasa perlahan bergeser. Kini menempel di pipinya, masuk antara celah rambut Nilam yang sebagian tergerai menutupi wajah.

Jantung Nilam berpacu kencang, dingin sekejap berubah jadi panas. Keringat sebesar bulir jagung mulai menetes dari dahi. Ketakutan amat sangat dirasakannya, jika bisa memilih ia mau pingsan saja sekarang, tapi tubuhnya masih saja kaku bagai patung.

Hanya mata Nilam yang membulat bergerak-gerak. Tak ada siapa pun yang tertangkap oleh netranya.

Embusan dingin itu kini ada di bawah hidung, saling beradu dengan napasnya sendiri. Nilam menutup mata sambil menahan napas. Rasa takut membuatnya merasa akan terhenti bernapas sekarang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status