“Den,” panggil Nada ketika melihat Lingga sudah berpakaian rapi dan menggenggam kunci mobil. “Saya jangan ditinggal. Saya ikut pul—”
“Kamu di sini saja. Nggak usah kembali ke rumahku.” Kata Lingga.
Kedua mata Nada melebar mendengar kalimat itu. “Enggak, Den. Saya harus kembali. Saya—Den! Den Lingga!”
Kedua bahu Nada melemah melihat Lingga yang langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar. Mengejar sih masih bisa ya, tapi masalahnya Nada masih dalam posisi tak pakai baju. Rambutnya juga awut-awutan dan dia masih bau keringat.
**
“Eeggh….” Lengkuhan pelan keluar dari bibir Nada.
Efek hamil muda dan sepertinya karna lelah menangis. Nada tertidur tanpa sempat membersihkan diri. Bahkan dia belum memakai pakaiannya kembali.
Nada mulai menyipitkan kedua mata, menatap berkeliling. Mata terbuka lebar saat tau ruangan yang ia lihat bukanlah kamar yang biasa dipakai. Lalu menghela nafas saat mengingat ia ada di mana. Nada menatap ke arah tubuhnya yang polos dan tetap tertutup oleh selimut. Tatapan Nada selanjutnya terarah ke jam yang menempel di dinding depan kaca lemari yang menempel dengan tembok. Di sana jarum sudah menunjuk di angka empat, berarti ini sudah pagi.
Pelan-pelan ia mulai beringsut, turun dari kasur. Memunguti pakaian dan membawanya masuk ke kamar mandi. Usai membersihkan diri Nada berdecak kesal karna pakaiannya sudah tak lagi bisa dipakai. Dengan hanya melilitkan handuk di tubuh, Nada melangkah keluar. Sempat celingukan karna takut kalau ada Lingga di dalam kamar yang ia tempati. Merasa jika aman, Nada melanjutkan langkahnya. Langsung berdiri di depan lemari, membukanya dan mencari pakaian yang sekiranya bisa dipakai.
Pakai kemeja warna biru langit, karna di lemari ini ada beberapa kemeja. Nada mendudukkan diri di meja depan cermin. Mengambil hairdryer dan mulai mengeringkan rambut. Sekitar lima belas menit Nada keluar dari kamar. Celingukan di depan pintu kamar menatap keadaan yang amat sepi.
‘Seharusnya dia tidak di sini karna nanti dia akan ijab kobul.’ Batinnya dalam hati.
Nada membuka kulkas, ada beberapa biji telur mentah. Susu putih dan beberapa kaleng minuman yang pastinya biasa diminum Lingga. Nada mengusap perut, lapar dia. menoleh, menatap kompor dan apa saja yang ada di dapur. Ngambil dua butir telur dan memilih merebus telur itu.
Dia mengalami morning sickness, yang kemarin ia makan dimuntahkan semua. Sambil menunggu telur rebusnya matang, Nada melihat-lihat seisi apartemen. Membuka pintu kaca dan keluar, ke balkon.
Nada memejam, tersenyum tipis saat angin pagi menerpa wajahnya. Kedua tangan berpegangan di besi pembatas balkon, menikmati pemandangan kota jakarta dari lantai apartemen.
‘Ya Tuhan, aku harus melangkah di jalan yang mana? Pergi dari sini? Tapi aku harus kemana?’ gemuruhnya dalam hati.
‘Semalam aku udah nggak pulang. Kalau aku balik ke rumahnya nyonya Ajeng, aku harus bilang apa?’
Tangan Nada yang menggenggam besi itu mengencang. ‘Aku harus kembali. Ini masih pagi. Masuk diam-diam pasti nyonya nggak akan marah.’
Nada balik badan, mematikan kompor dan kembali masuk ke kamar untuk berganti dengan bajunya yang semalam.
Beruntung banget, meskipun Nada gadis yang besar di kampung, tapi sebulan tinggal di Jakarta cukup merubah pengetahuan dan keberaniannya. Dia berhasil keluar dari gedung apartemen. Sekarang dia celingukan menatap ke kiri kanan jalan raya yang masih sedikit pengendara.
Nanya ke pak satpam yang posnya ada di sebelah gerbang tentag ojek. Soalnya kalau mau naik bus, Nada nggak bawa uang. Kalau ojek kan bisa disuruh nunggu di depan gerbang.
**
“Stop, Pak.” Nada menepuk punggung pak ojek yang mengantarkannya. Dia melepaskan helm setelah turun dari boncengan. “Tunggu bentar, Pak. Saya ambil uang di dalam.”
“Iya, Dek.” Si bapak yang pakai jaket hijau hitam ini menerima helm yang diulurkan Nada.
Nada melirik bagian dalam rumah melalui celah gerbang yang tertutup rapat. Tangannya nyelonong masuk dan membunyikan besi yang menggantung di gerbang. Tak lama pak Saidi keluar dari pos. tau kalau yang di luar Nada, Pak Saidi membukakan pintu.
“Mbak,” sapa pak Saidi.
“Pak, boleh pinjam uang bentar nggak? Buat bayar pak ojek, takut bapaknya nunggu kelamaan. Nanti aku ganti.” Kata Nada.
“Oh, bisa, mbak. Berapa ongkosnya?”
Setelah urusan sama ojol dan pak Saidi selesai Nada kembali masuk ke dalam. Ganti baju dan segera melakukan pekerjaannya. Mencuci beberapa piring yang sampai numpuk di wastafle.
“Nada,” seru bu Ajeng yang muncul di pintu dapur. “Kapan kamu pulang?”
Nada menoleh sebentar, mencuci tangan lebih dulu untuk menghadap majikannya. “Maaf, nyonya. Saya semalam pergi nggak pamit sama nyonya.”
“Memang kamu semalam pergi ke mana? Siapa temanmu yang kerja di Jakarta?” tanya Bu Ajeng, menatap Nada serius.
Nada meneguk ludah, tangnya menekan jari tangan sendiri untuk menetralisir kegugupan. “Sedikit jauh dari sini, Nyah. Dia semalam minjam motor pak satpam di rumah tempat kerjanya. Minta saya untuk ngerikin karna dia sedang masuk angin.”
Kedua alis bu Ajeng maliuk mencerna penjelasan Nada. “Yasudah. Itu urusan kamu. Besok lagi kalau mau pergi, harus pamit langsung ke saya. Jangan seperti semalam. Kamu di sini kerja sama saya. Kalau kamu kenapa-napa, saya yang tanggung jawab. Jadi jangan seenaknya seperti itu!”
Nada mengangguk. “Iya, nyonya. Maafkan saya. Saya nggak akan mengulangi.”
“Ini nanti kita mau ke hotel. Jam tujuh udah berangkat. Kamu di rumah sama pak Saidi, jaga rumah. Jaga rumah yang baik jangan membawa lelaki masuk. Dan kamu jangan tinggalkan rumah.”
Nada kembali mengangguk patuh. “Iya, Nyonya. Saya nggak akan pergi. Saya akan di rumah.”
Seperti yang dikatakan bu Ajeng. Setelah jam tujuh kurang beberapa menit rumah sepi. Semua pergi tanpa terkecuali. Termasuk Lingga si mempelai pria yang nggak tau kalau Nada sudah kembali ke rumah.
“Ayo, Pak, jalan ke rumah itu.” suruh bu Marlin ketika melihat empat mobil keluarga pak Fandi keluar gerbang. Lalu gerbang kembali akan ditutup oleh pak satpam.
Sopir taxi yang mengemudi menurut, melaju menuju ke gerbang rumah tinggal calon besan mama Marlin. Cepat mama Marlin membuka pintu penumpang. Lalu turun dan nyamperin pak Saidi yang berdiri di ambang gerbang.
“Bu,” sapa pak Saidi sopan. “Rombongan Tuan Fandi baru saja pergi.”
Bu Marlin menganggukkan kepala. “Saya mau ambil tas saya yang ketinggalan di dalam beberapa hari lalu. Soalnya ada gelang yang mau saya pakai hari ini.”
Pak Saidi menyingkir, membiarkan bu Marlin melangkah masuk. Mematung, memerhatikan bu Marlin yang sudah dandan pakai kebaya, dan sedang jalan menuju teras.
Bu Marlin langsung masuk karna pintu depan kebetulan belum ditutup. Celingukan di ruang tengah, mencari keberadaan Nada. Ia melangkah ke dapur.
Ceklek!
Tatapan bu Marlin tertuju ke kamar mandi yang pintunya baru dibuka.
Nada yang akan keluar, melebarkan mata saat melihat ada bu Marlin, menatapnya. Gagu dan gugup Nada melangkah keluar. Membungkukkan sedikit badan untuk menghormati yang selevel majikannya.
“Aaww!” jerit Nada karna rambutnya langsung dijambak. “Bu, sakit, Bu….” Keluh Nada, mencekal tangan Bu Marlin untuk melepaskan diri.
“Berani kamu mengganggu menantu saya ya! Kamu ini Cuma pembantu! Sadar diri! Di kamar mandi ada kaca, kan?! Apa di kamarmu situ nggak ada kaca, hah?!” bu Marlin emosi.
Nada menggeleng, berusaha melepaskan tangan Bu Marlin karna kepalanya jadi sangat perih.
“Lingga itu suami anak saya! Saya nggak akan—aaww!” jerit Bu Marlin saat tangannya dicubit Nada.
Nada berlari, melangkah menjauh dari jangkauan bu Marlin.
Wajah bu Marlin yang memang berkesan galak itu semakin menakutkan. Telunjuknya menuding Nada. “Heh! Saya tidak segan-segan membunuhmu kalau sampai kamu tidak keluar dari rumah ini!”
Nada yang usianya masih 20 tahun ini tentu ketakutan. Jantungnya seperti akan berlompat dari dada. Ia menggelengkan kepala. “Saya nggak pernah gangguin Den Lingga.”
“Jangan bohong! Saya tau kamu hamil!”
Nada terbelalak mendengar apa yang diucapkan bu Marlin.
“Saya jamin hidupmu tidak akan tenang kalau kamu tidak pergi dari rumah ini!” bu Marlin melemparkan gulungan uang yang ditali. “Itu uang. Kamu pergi yang jauh! Pergi jangan sampai menantuku menemukanmu!”
Bu Marlin kembali menuding Nada. “Ingat. Pergi! PERGI DARI RUMAH INI!! PERGI YANG JAUH DARI SINI!”
Wanita yang usianya hanya berbeda hitungan bulan dari bu Ajeng itu melangkah keluar dari rumah setelah mengata-ngatai dan mengancam Nada.
Nada menggigit bibir, terisak tanpa suara. Dia mendudukkan pantat di sofa depan tv, menangis sendirian meluapkan sakit hati yang tak bisa dilihat oleh siapa pun.
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan