Share

Eps 7. Di datangi

“Den,” panggil Nada ketika melihat Lingga sudah berpakaian rapi dan menggenggam kunci mobil. “Saya jangan ditinggal. Saya ikut pul—”

“Kamu di sini saja. Nggak usah kembali ke rumahku.” Kata Lingga.

Kedua mata Nada melebar mendengar kalimat itu. “Enggak, Den. Saya harus kembali. Saya—Den! Den Lingga!”

Kedua bahu Nada melemah melihat Lingga yang langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar. Mengejar sih masih bisa ya, tapi masalahnya Nada masih dalam posisi tak pakai baju. Rambutnya juga awut-awutan dan dia masih bau keringat.

**

“Eeggh….” Lengkuhan pelan keluar dari bibir Nada.

Efek hamil muda dan sepertinya karna lelah menangis. Nada tertidur tanpa sempat membersihkan diri. Bahkan dia belum memakai pakaiannya kembali.

Nada mulai menyipitkan kedua mata, menatap berkeliling. Mata terbuka lebar saat tau ruangan yang ia lihat bukanlah kamar yang biasa dipakai. Lalu menghela nafas saat mengingat ia ada di mana. Nada menatap ke arah tubuhnya yang polos dan tetap tertutup oleh selimut. Tatapan Nada selanjutnya terarah ke jam yang menempel di dinding depan kaca lemari yang menempel dengan tembok. Di sana jarum sudah menunjuk di angka empat, berarti ini sudah pagi.

Pelan-pelan ia mulai beringsut, turun dari kasur. Memunguti pakaian dan membawanya masuk ke kamar mandi. Usai membersihkan diri Nada berdecak kesal karna pakaiannya sudah tak lagi bisa dipakai. Dengan hanya melilitkan handuk di tubuh, Nada melangkah keluar. Sempat celingukan karna takut kalau ada Lingga di dalam kamar yang ia tempati. Merasa jika aman, Nada melanjutkan langkahnya. Langsung berdiri di depan lemari, membukanya dan mencari pakaian yang sekiranya bisa dipakai.

Pakai kemeja warna biru langit, karna di lemari ini ada beberapa kemeja. Nada mendudukkan diri di meja depan cermin. Mengambil hairdryer dan mulai mengeringkan rambut. Sekitar lima belas menit Nada keluar dari kamar. Celingukan di depan pintu kamar menatap keadaan yang amat sepi.

‘Seharusnya dia tidak di sini karna nanti dia akan ijab kobul.’ Batinnya dalam hati.

Nada membuka kulkas, ada beberapa biji telur mentah. Susu putih dan beberapa kaleng minuman yang pastinya biasa diminum Lingga. Nada mengusap perut, lapar dia. menoleh, menatap kompor dan apa saja yang ada di dapur. Ngambil dua butir telur dan memilih merebus telur itu.

Dia mengalami morning sickness, yang kemarin ia makan dimuntahkan semua. Sambil menunggu telur rebusnya matang, Nada melihat-lihat seisi apartemen. Membuka pintu kaca dan keluar, ke balkon.

Nada memejam, tersenyum tipis saat angin pagi menerpa wajahnya. Kedua tangan berpegangan di besi pembatas balkon, menikmati pemandangan kota jakarta dari lantai apartemen.

‘Ya Tuhan, aku harus melangkah di jalan yang mana? Pergi dari sini? Tapi aku harus kemana?’ gemuruhnya dalam hati.

‘Semalam aku udah nggak pulang. Kalau aku balik ke rumahnya nyonya Ajeng, aku harus bilang apa?’

Tangan Nada yang menggenggam besi itu mengencang. ‘Aku harus kembali. Ini masih pagi. Masuk diam-diam pasti nyonya nggak akan marah.’

Nada balik badan, mematikan kompor dan kembali masuk ke kamar untuk berganti dengan bajunya yang semalam.

Beruntung banget, meskipun Nada gadis yang besar di kampung, tapi sebulan tinggal di Jakarta cukup merubah pengetahuan dan keberaniannya. Dia berhasil keluar dari gedung apartemen. Sekarang dia celingukan menatap ke kiri kanan jalan raya yang masih sedikit pengendara.

Nanya ke pak satpam yang posnya ada di sebelah gerbang tentag ojek. Soalnya kalau mau naik bus, Nada nggak bawa uang. Kalau ojek kan bisa disuruh nunggu di depan gerbang.

**

“Stop, Pak.” Nada menepuk punggung pak ojek yang mengantarkannya. Dia melepaskan helm setelah turun dari boncengan. “Tunggu bentar, Pak. Saya ambil uang di dalam.”

“Iya, Dek.” Si bapak yang pakai jaket hijau hitam ini menerima helm yang diulurkan Nada.

Nada melirik bagian dalam rumah melalui celah gerbang yang tertutup rapat. Tangannya nyelonong masuk dan membunyikan besi yang menggantung di gerbang. Tak lama pak Saidi keluar dari pos. tau kalau yang di luar Nada, Pak Saidi membukakan pintu.

“Mbak,” sapa pak Saidi.

“Pak, boleh pinjam uang bentar nggak? Buat bayar pak ojek, takut bapaknya nunggu kelamaan. Nanti aku ganti.” Kata Nada.

“Oh, bisa, mbak. Berapa ongkosnya?”

Setelah urusan sama ojol dan pak Saidi selesai Nada kembali masuk ke dalam. Ganti baju dan segera melakukan pekerjaannya. Mencuci beberapa piring yang sampai numpuk di wastafle.

“Nada,” seru bu Ajeng yang muncul di pintu dapur. “Kapan kamu pulang?”

Nada menoleh sebentar, mencuci tangan lebih dulu untuk menghadap majikannya. “Maaf, nyonya. Saya semalam pergi nggak pamit sama nyonya.”

“Memang kamu semalam pergi ke mana? Siapa temanmu yang kerja di Jakarta?” tanya Bu Ajeng, menatap Nada serius.

Nada meneguk ludah, tangnya menekan jari tangan sendiri untuk menetralisir kegugupan. “Sedikit jauh dari sini, Nyah. Dia semalam minjam motor pak satpam di rumah tempat kerjanya. Minta saya untuk ngerikin karna dia sedang masuk angin.”

Kedua alis bu Ajeng maliuk mencerna penjelasan Nada. “Yasudah. Itu urusan kamu. Besok lagi kalau mau pergi, harus pamit langsung ke saya. Jangan seperti semalam. Kamu di sini kerja sama saya. Kalau kamu kenapa-napa, saya yang tanggung jawab. Jadi jangan seenaknya seperti itu!”

Nada mengangguk. “Iya, nyonya. Maafkan saya. Saya nggak akan mengulangi.”

“Ini nanti kita mau ke hotel. Jam tujuh udah berangkat. Kamu di rumah sama pak Saidi, jaga rumah. Jaga rumah yang baik jangan membawa lelaki masuk. Dan kamu jangan tinggalkan rumah.”

Nada kembali mengangguk patuh. “Iya, Nyonya. Saya nggak akan pergi. Saya akan di rumah.”

Seperti yang dikatakan bu Ajeng. Setelah jam tujuh kurang beberapa menit rumah sepi. Semua pergi tanpa terkecuali. Termasuk Lingga si mempelai pria yang nggak tau kalau Nada sudah kembali ke rumah.

“Ayo, Pak, jalan ke rumah itu.” suruh bu Marlin ketika melihat empat mobil keluarga pak Fandi keluar gerbang. Lalu gerbang kembali akan ditutup oleh pak satpam.

Sopir taxi yang mengemudi menurut, melaju menuju ke gerbang rumah tinggal calon besan mama Marlin. Cepat mama Marlin membuka pintu penumpang. Lalu turun dan nyamperin pak Saidi yang berdiri di ambang gerbang.

“Bu,” sapa pak Saidi sopan. “Rombongan Tuan Fandi baru saja pergi.”

Bu Marlin menganggukkan kepala. “Saya mau ambil tas saya yang ketinggalan di dalam beberapa hari lalu. Soalnya ada gelang yang mau saya pakai hari ini.”

Pak Saidi menyingkir, membiarkan bu Marlin melangkah masuk. Mematung, memerhatikan bu Marlin yang sudah dandan pakai kebaya, dan sedang jalan menuju teras.

Bu Marlin langsung masuk karna pintu depan kebetulan belum ditutup. Celingukan di ruang tengah, mencari keberadaan Nada. Ia melangkah ke dapur.

Ceklek!

Tatapan bu Marlin tertuju ke kamar mandi yang pintunya baru dibuka.

Nada yang akan keluar, melebarkan mata saat melihat ada bu Marlin, menatapnya. Gagu dan gugup Nada melangkah keluar. Membungkukkan sedikit badan untuk menghormati yang selevel majikannya.

“Aaww!” jerit Nada karna rambutnya langsung dijambak. “Bu, sakit, Bu….” Keluh Nada, mencekal tangan Bu Marlin untuk melepaskan diri.

“Berani kamu mengganggu menantu saya ya! Kamu ini Cuma pembantu! Sadar diri! Di kamar mandi ada kaca, kan?! Apa di kamarmu situ nggak ada kaca, hah?!” bu Marlin emosi.

Nada menggeleng, berusaha melepaskan tangan Bu Marlin karna kepalanya jadi sangat perih.

“Lingga itu suami anak saya! Saya nggak akan—aaww!” jerit Bu Marlin saat tangannya dicubit Nada.

Nada berlari, melangkah menjauh dari jangkauan bu Marlin.

Wajah bu Marlin yang memang berkesan galak itu semakin menakutkan. Telunjuknya menuding Nada. “Heh! Saya tidak segan-segan membunuhmu kalau sampai kamu tidak keluar dari rumah ini!”

Nada yang usianya masih 20 tahun ini tentu ketakutan. Jantungnya seperti akan berlompat dari dada. Ia menggelengkan kepala. “Saya nggak pernah gangguin Den Lingga.”

“Jangan bohong! Saya tau kamu hamil!”

Nada terbelalak mendengar apa yang diucapkan bu Marlin.

“Saya jamin hidupmu tidak akan tenang kalau kamu tidak pergi dari rumah ini!” bu Marlin melemparkan gulungan uang yang ditali. “Itu uang. Kamu pergi yang jauh! Pergi jangan sampai menantuku menemukanmu!”

Bu Marlin kembali menuding Nada. “Ingat. Pergi! PERGI DARI RUMAH INI!! PERGI YANG JAUH DARI SINI!”

Wanita yang usianya hanya berbeda hitungan bulan dari bu Ajeng itu melangkah keluar dari rumah setelah mengata-ngatai dan mengancam Nada.

Nada menggigit bibir, terisak tanpa suara. Dia mendudukkan pantat di sofa depan tv, menangis sendirian meluapkan sakit hati yang tak bisa dilihat oleh siapa pun.

Comments (14)
goodnovel comment avatar
raya yuliana
pantes adis bgtu, mma ny jg gitu kok
goodnovel comment avatar
Pica-Mica
ah, Nada ngeyel sih
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
udah gue bilangin juga. Lo sih Nad ngeyel. mending tetep di apartemen Lingga jangan balik, eh malah balik. sakit hati kan Lo! nangis kan Lo!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status