Share

Eps 6. Apartemen

Begitu sampai di rumah, Lingga langsung masuk. Menjabat tangan tamu papa Fandi yang sedang ngobrol di ruang tamu. Dia pamit masuk ke dalam dengan alasan ingin ke kamar mandi. Lingga menghela nafas saat ada beberapa orang di ruang tengah. Pengen nyari Nada, pengen ngomongin tentang testpack dan masih ada yang mau ia bahas lagi. Tapi kalau ada banyak orang begini, Lingga takut semua mencurigainya.

Santai kaya’ nggak ada masalah apa pun, Lingga melangkah ke kulkas. Mengambil botol air minum dingin dan menuangnya ke gelas. Melirik ke arah dapur untuk mencari keberadaan Nada. Dan sialnya di dapur Cuma ada Bu Sari sama ibu tetangga sebelah yang membantu mama Ajeng masak.

Memberanikan diri masuk ke dapur.

“Eh, Mas Lingga. Mau cari apa, Mas?” tanya bu Sari.

“Uumm,” gumam Lingga, menggaruk sisi kepala. “Nada di mana? Mau nanyain kemeja yang kemarin dia setrika.”

“Oh, si Nada tadi disuruh ibu beliin isi staples,” jawab Bu Sari.

Lingga menganggukkan kepala. Balik badan dan keluar dari dapur. Kesempatan bisa ngajakin Nada untuk bicara berdua. Lingga melangkah lebar, keluar dari rumah dan kembali masuk ke mobil. Mobilnya melaju pelan keluar gerbang dan berhenti di pinggir jalan gang yang menjadi jalan satu-satunya menuju ke rumahnya.

Lingga melangkah keluar saat melihat Nada yang muncul dari belokan jalan.

Kedua mata Nada melebar melihat Lingga yang mendekat. “Den,” jeritnya tertahan ketika tangannya langsung dicekal dan dia ditarik. “Den, lepaskan, Den!”

“Masuk,” suruh Lingga setelah membuka pintu.

Nada menggeleng, wajahnya terlihat takut. “Nyonya nunggu saya.”

Lingga menatap tajam tepat di kedua manik mata Nada. “Masuk. Ada banyak yang ingin aku bicarakan sama kamu.”

Dengan terpaksa dan takut Nada masuk ke mobil. Dia menoleh ketika Lingga menengadahkan tangan.

“Mana isi staplesnya?” pinta Lingga.

Nada menyerahkan plastik bening yang berisi beberapa isi staples. Dia menunduk, meremas tangan sendiri yang ada di pangkuan.

“Pak, keluar bentar,” suruh Lingga pada seseorang yang ditelpon. Cuma ngomong gitu dan langsung menarik hp dari telinga. Lingga membuka kaca mobil dan menyerahkan palstik itu ke pak Saidi. “Kasih ke mama. Bilang aja Nada ijin jenguk teman sakit yang kerja di daerah sini.” Kata Lingga.

Pak Saidi tersenyum melihat beberapa lembar uang untuk tutup mulut. “Siap, Den!”

Tak menunggu lagi, mobil hitam Lingga bergerak, menjauh dari area rumah tinggalnya. Tak ada obrolan, Lingga diam, begitu juga dengan Nada yang diam menunduk dan sesekali melirik ke kaca samping.

Mungkin sepuluh menit, Lingga masuk ke halaman gedung apartemen. Langsung ke basemen untuk parkir.

“Ayok, turun,” ajaknya, melirik ke Nada yang menatap ke kiri kanan.

Nada menurut, membuka pintu mobil dan turun. Mengikuti langkah Lingga yang menuju ke lorong untuk masuk ke gedung apartemen. Ikut masuk ke dalam lift. Aman di lift karna dia nggak Cuma sama Lingga saja. Di lantai 12 Lingga dan Nada keluar.

Lingga menoleh, menatap Nada yang terlihat takut. “Ayok, masuk.”

Bibir Nada gemetar. “Den, saya… saya—” tak melanjutkan kalimat karna tangannya ditarik untuk masuk ke dalam unit apartemen milik Lingga yang tidak diketahui mama atau siapa pun. Mesannya nggak pakai namanya, tapi pakai nama pak satpam di kantor, jadi nggak tercatat dan nggak bisa dilacak.

Nada dipepet di dinding sebelah pintu. Dadanya terlihat nyata jika berdebar menyepat. Kedua mata berair karna takut. Lalu menggelengkan kepala. “Saya nggak akan ngasih tau ke siapa pun kalau saya hamil, Den. Saya… saya akan berusaha membuat dia tak bertahan,” kata Nada dengan suara tertahan.

Kedua mata Lingga menajam. “Kamu berani menggugurkan anakku?”

Jantung Nada makin berdebar menyepat mendengar pertanyaan yang seperti menantang itu. Perlahan ia mengangkat wajah sampai mendongak karna kemungilannya tak sejajar dengan Lingga yang teramat tinggi. Tangannya mengepal karna banyakan bejatnya Lingga ketika merebut paksa kegadisannya terlintas. Rasanya marah, sakit hati dan… dan benci.

Nada meneguk ludahnya. “Saya nggak mau hamil. Saya masih ingin bekerja. Tujuan saya merantau ke Jakarta untuk mencari uang. Untuk biaya sekolah adik-adik saya dan berobat ibuk. Dan anda yang telah membuat tujuan saya itu jadi buyar. Makanya, saya akan berusaha sekeras mungkin untuk membuangnya—eeggh!”

Tak suka dengan kalimat panjang Nada, Lingga menakup wajah kecil Nada sampai bibir Nada mengerucut. Lalu mengecup bibir berwarna merah muda itu.

Tangan Nada bergerak memukuli bawah dada Lingga. Mencekal tangan Lingga, berusaha menarik tangan itu untuk membebaskan diri.

“Enggak, Den. Saya nggak mau! Enggak mau!” jerit Nada, menolak ketika dia ditarik untuk mengikuti Lingga yang masuk ke ruang tengah. “Aaa! Jangan, Den! Tolong, jangan! Hiks….”

Nada kembali pasrah saat rok dan kaosnya telah terlempar ke lantai. Dia memejam, menahan rasa aneh yang selalu muncul saat Lingga mulai mengerayahi tubuhnya.

“Aahh, Deh… jangan, Den….”

Sebenarnya nggak pengen mendesah, tapi permainan Lingga dan penyatuannya benar-benar membuat bibir Nada tak bisa dikontrol. Tangan Nada mencekal kedua lengan Lingga yang mengungkung tubuhnya. Bibirnya tak berhenti mendesah saat Lingga bergerak cepat. Bahkan ia menegang saat mencapai di titik puncaknya.

Untuk pertama kalinya lingga tersenyum melihat wajah polos Nada yang kesakitan dan penuh keringat. Dirasa dia sangat candu dengan Nada.

“Jangan pernah berfikir membunuh anakku, Nad,” bisik Lingga, tepat di atas wajah Nada yang masih mengatur nafas.

Ini Nada baru saja pelepasan dan lemesnya ibu hamil muda membuatnya amat lelah. Bulir mengalir melalui ujung mata. “Den,” lirih Nada dengan suara serak. “Saya… saya….”

“Aku akan tanggung jawab.” Putus Lingga.

Lingga menarik diri, menjatuhkan tubuh polosnya di sebelah Nada. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan tubuh Nada. Tangan kekarnya melingkar ke dada Nada, mendekapnya.

“Maksudnya tanggung jawab bagaimana?” tanya Nada, melirik Lingga. Dia berusaha menyingkirkan lengan tangan Lingga dan menggeser tubuh untuk menjaga jarak.

“Tetap lahirkan anakku. Aku akan membiayainya. Aku akan menganggap dia anakku.”

Nada memejam dalam mendengar jawaban itu. “Bagaimana kalau nyonya dan tuan bertanya. Saya harus jawab bagaiman soal kehamilan saya?”

“Tidak usah kembali ke rumah. Tinggallah di sini saja.”

Nada terbelalak mendengar ide Lingga. “Den—”

“Jangan membantahku, Nad. Kamu butuhnya uang, kan? Aku akan kirim uang ke orang tuamu setiap bulan. Jadi kamu tidak perlu berkerja. Cukup jaga anakku sampai lahir dan selamat.” Santai Lingga beranjak dari ranjang. Memunguti baju dan celana lalu membawanya masuk ke kamar mandi.

Nada mencengkeram pinggiran selimut yang menutupi tubuh polosnya. Ia menunduk, kembali menangis saat melihat tanda merah di salah satu gundukan dada.

“Ibu… maafkan aku….” Rintih Nada dengan hati hancur.

Jujur saja Nada bingung harus bagaimana. Kembali pulang ke kampung, itu teramat tak mungkin. Satu-satunya cara yang terlintas di kepala hanya menggugurkan kandungannya sebelum perut membesar. Dan ia bisa kembali bekerja tanpa rasa khawatir.

Komen (14)
goodnovel comment avatar
raya yuliana
coba pas blm ketauan adis.. pasti aman² aja.. tp syang adis udh tau, dan mngkin nada gk segampang pikiran lingga utk jaga janin ny
goodnovel comment avatar
Pica-Mica
coba bunuh diri boleh gak ............ knpa nasihmu harus SE sadis itu sih .........
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
nyesek kenapa??? di timpa Lingga kamu???
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status