Share

Bab 2

Raya membalikkan badan. Untuk sesaat ia menatap Dhani. Pria yang selalu mengumbar janji akan menikahinya selama setahun terakhir ini. Matanya menatap marah pada laki laki itu.

"Kembalikan jam tangan yang kau pakai itu, mas. Setengah tahun aku menabung demi memberimu hadiah itu. Sekarang, aku minta kembali jam tangan itu karena kita sudah tak ada hubungan lagi. Kita sudah mantan."

****

Wajah Dhani memerah. Malu dan marah dengan apa yang baru saja diucapkan Raya. Beberapa saat berlalu hingga akhirnya gadis kota yang berdiri disampingnya ikut bicara.

"Anda siapa ya? Kok lancang sekali!" ketus gadis itu sambil mendelik pada Raya.

"Lancang?"

"Ah, iya ... Kenalkan. Saya Raya, mantan calon istrinya, mbak," balas Raya ketus.

"Cepat lepas jam tangannya, mas. Atau aku akan melepasnya sendiri dari tanganmu," desak Raya.

Laki laki itu berdecak kesal, tangannya terangkat pelan, seakan enggan melepas jam tangan yang melingkar di tangannya itu. Hingga membuat gadis kota itu melotot tajam padanya.

"Cepat lepas, mas. Aku mau pulang." 

"Katanya hadiah kok diambil, Mbak. Apa nggak malu?" Sindir gadis kota itu.

"Suka suka aku. Belinya juga pakai uangku. Harusnya kau bertanya mengapa laki laki ini berbohong dan mengkhianatiku. Bilangnya mau melamar. Nggak tahunya ..."

"Ah, sudahlah." Raya mengibaskan tangan.

"Apa benar mas, yang wanita ini katakan?" Hardik gadis kota itu pada Dhani.

Pasangan kekasih itu terlihat bertengkar, untuk beberapa saat Raya mematung melihat drama menyebalkan itu, lalu mencebik kesal. Tak lama ia melepas sebuah cincin dijari manisnya.

"Kalian berdua, kalau mau main drama, jangan disini. Males lihatnya," ketus Raya.

"Nih mas, ambil kembali cincinmu ini, aku sudah tak butuh. Setidaknya jam tangan ini harganya lebih mahal dari cincinmu ini."  Raya menarik paksa jam tangan yang sudah terlepas itu dari tangan Dhani, lalu, balas meletakkan cincin di telapak tangan laki laki itu.

Setelah merasa hajatnya selesai, sambil menenteng keranjang kue milik emak. Raya melenggang santai meninggalkan mereka, menuju sepedanya. Tangan gadis itu masih terkepal. Karena kemarahannya yang masih belum hilang. 

"Ah, bodoh ... bodoh. Harusnya ku tampar saja laki laki pengkhianat itu tadi," sesalnya sambil menepuk kepalanya sendiri.

Raut wajah masam terus diperlihatkan gadis itu sepanjang tujuh ratus meter perjalanan pulang menuju kerumahnya, mulutnya terus saja mengumpat selama ia mengayuh sepedanya.

"Haaish ...!"

"Dia kira siapa dirinya. Mentang mentang sudah kerja di kota, merasa sukses, lalu seenaknya saja mempermainkan perasaanku. Apa karena gadis itu kaya?"

"Awas saja kau, mas." Gadis itu masih menggerutu.

****

"Huaaaa ...."

"Dasar laki laki buaya, pengkhianat, pecundang, Giant, Suneo, Patrick, Squidward, plankton," sungut Raya sambil menyebut anggota keluarga bikin*i bottom itu.

Shroott! 

Raya menggerutu panjang di hadapan Nita sambil membuang lendir dihidungnya karena terisak. Rasa kesal dan marah karena dikhianati Dhani masih menggerogoti hatinya. 

"Memang dia pikir siapa dia? Baru kerja setahun aja lagaknya sudah kayak orang terkenal. Pake bawa cewek lagi kesini. Mau pamer sudah jadi orang hebat atau mau ngajakin ribut!"

"Lalu, kenapa sampe nangis Bombay gitu?" Nita menggeleng melihat kelakuan sahabatnya.

"Lihat ini, Jam tangannya kan jadi mubazir Nit, hampir dua juta lho aku belinya, mana setengah tahun lebih ngumpulin duitnya. Sedih aku ..."

"Hiks ...!"

"Jadi kamu nangisin nih jam tangan. Ampun dah nih anak." 

"Lha iya, tentu saja. Ini belinya pake uang. Bukan pake perasaan. Apalagi dapet utangan. Aku menabung cukup lama untuk membeli jam tangan ini," curhat Raya.

Shroot!

Lagi, Raya membuang lendir yang memenuhi hidungnya. Membuat Nita akhirnya mencebik kesal padanya.

"jorok," ujar Nita spontan.

"Ya udah jual aja ke tukang loak aja. Lumayan kan!" Nita mencoba memberi solusi.

"What! Jual ke tukang loakan? Ini belinya muahaall! saranmu benar benar tak masuk akal."

"Terus maunya apa?" Nita mulai mendelik. Tak sabar.

"Bantu aku jualin ya atau kau beli saja nih Jam. Aku kasih murah deh." Ucap Raya sambil mengedipkan kedua matanya dan tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Asem!"

"Kau ternyata lebih menyebalkan daripada Tuan Crab yang pelit itu." Gerutu Nita sambil menjitak kepala sahabatnya itu.

"Sudahlah, bicara denganmu lama lama bikin aku kesal. Besok aku bantu jualin di grup jual beli barang bekas, atau di grup K*M, siapa tahu ada emak emak disana yang tertarik mau beli jam tanganmu itu."

Senyum Raya mengembang. Meski rasa kesal atas perbuatan Dhani padanya masih terasa, namun, tak membuat gadis itu sedih berkepanjangan. Baginya yang penting jam itu bisa bertukar menjadi uang.

"Apa rencanamu selanjutnya setelah ini?"

Tanya Nita, sambil bertopang dagu melihat Raya yang mengusap jam tangan itu.

"Cari duit yang banyaklah." Jawab Raya cepat.

"Entah mengapa aku bisa bertemu orang seperti kau didunia ini," rutuk Nita.

"Aku beneran mau cari duit yang banyak. Bila perlu cari pria kaya biar hidupku tidak susah lagi dan diremehkan orang." Jawab Raya antusias.

****

"Mak, aku mau ke tempatnya Bi Lastri di Jakarta," ucap Raya, seminggu setelah pertemuannya dengan Dhani.

Wanita berdaster coklat itu, langsung menatap penuh tanya pada putrinya begitu mendengarnya. Janda yang masih cantik di usianya yang sudah kepala empat itu lalu mulai bertanya.

"Mau ngapain kesana?"

"Mau cari kerja, Mak. Bosen tinggal di kecamatan terus. Pengen lihat ibukota," ucap Raya sambil mengaduk adonan tepung dan telur.

"Jangan mendadak kesana, nanti bibimu kaget. Kasih kabar dulu. Biar bisa minta jemput,  kamu kan belum pernah kekota, nak." Jelas Bu Hartati, emak Raya.

"Gak usah mak, aku tahu kok alamatnya Bi Lastri. Minggu depan aku berangkat ya Mak." Raya mulai merayu.

Bu Hartati terdiam, sebenarnya berat untuk mengabulkan keinginan Raya, ada rasa tidak rela untuk melepas putri sulungnya itu.

"Nanti siapa yang bantu emak dirumah, terus kalau tersesat, gimana? Jakarta itu luas," Tanya Bu Hartati cemas.

"Nggaklah Mak. Anaknya ya di doain baik baik, lagipula kan masih ada Rifki dirumah, yang bisa bantuin emak, " ucap Raya.

"Adikmu itu mana bisa dimintai tolong cuci piring dan ngulek cabe, Raya," jawab Bu Hartati cepat.

"Tapi, mak ...." 

Mata Raya menatap wajah ibunya dengan penuh harap, melihat sikap putrinya yang begitu kekeuh ingin pergi, akhirnya hati Bu Hartati pun luluh.

"Ya, sudah. Tapi, jangan merepotkan bibimu disana. Minta dia carikan pekerjaan untukmu. Bila perlu, kalian kerja di pabrik yang sama." Ucap Bu Hartati, menyerah.

"Yes. Emak memang yang terbaik." Ucap Raya sambil mencium tangan ibunya, lalu beranjak pergi meninggalkan adonan yang baru setengah jadi itu.

"Mau kemana?" Teriak Bu Hartati.

"Jual jam tangan." Pekik Raya dari arah teras depan rumah mereka.

"Jual jam tangan, apa maksudnya?" Gumam Bu Hartati bingung dengan ucapan putrinya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status