Share

Bab 4 Semua untuk Shifra

"Non ... Non Shifra! Bangun Non!" panggilan salah seorang pelayan di rumah kediaman Haribawa menyadarkan Shifra yang masih dalam posisi bersujud di samping ranjang kamarnya.

"Apa Mas El sudah pulang, Mbok?" tanya Shifra sambil meluruskan tubuhnya. Menggeliat dan mengucek matanya yang tampak bengkak dan sembab.

"Apa yang kamu katakan, Shifra? Kamu sudah gila? Elzien sudah meninggal seminggu lalu! Kenapa kamu masih saja meratapinya? Bukankah meratapi seseorang yang sudah meninggal itu haram hukumnya, hah?" sahut Haribawa tiba-tiba masuk ke kamar putra pertamanya.

Shifra tertunduk lesu dan terisak lagi. Dia mengangguk membenarkan kalimat sang ayah mertua.

"Maaf, Pa ... Shifra masih merasakan bahwa Mas El masih hidup. Dia baik-baik saja dan masih berusaha untuk pulang dengan jalannya sendiri suatu saat nanti. Jadi-"

"Baiklah kalau itu maumu! Sekarang, keluar dari kamar ini dan pindahlah ke pavilium belakang bersama para pelayan rumah ini! Kamu tak selayaknya tinggal di kamar ini lagi!" sentaknya memotong ucapan wanita yang terlonjak kaget memegang dadanya.

"Pa-pa ...," lirihnya terbata.

"Dan lagi! Jangan panggil Papa mulai sekarang, kamu bukan lagi menantuku! Kemasi barang-barangmu sekarang juga!!!" teriak Haribawa memutar tubuhnya keluar dari kamar paling mewah dan paling besar di rumah itu.

"Apa ini, Mbok? Kenapa sikap Papa berubah kasar pada Shifra? Apa hanya Mas El yang benar-benar menerima Shifra di rumah ini sejak dulu, Mbok?" isaknya menggeleng lalu dipeluk oleh wanita sepuh bernama Aminah itu.

Satu minggu setelah diumumkannya status meninggal Elzien, Shifra hanya mengurung diri di kamar. Terus mengerjakan shalat sunnah di sela shalat wajibnya. Siang dan malam membaca Alquran dan berdoa meminta keajaiban pada Tuhannya. Sesekali makan dengan harus dipaksa dan tak jarang disuapi Mbok Aminah di kamarnya.

"Mbok? Mbok boleh keluar, Gue mau bicara sama Shifra!" Javaz tiba-tiba menyelonong masuk tanpa ijin ke kamar Shifra.

"Maaf, Den." Mbok Aminah menggeleng kuat, "Non Shifra dan Aden bukan mahram, jadi--"

"Nggak usah ngajarin Gue, Mbok! Keluar Gue bilang!!!" potongnya mengucapkan nada tinggi wanita tua itu.

"Javaz!!! Kamu jangan kasar sama Mbok Minah! Biarkan dia di sini! Aku juga nggak sudi ngomong sama kamu kalo cuma berdua di sini! Katakan apa maumu?" sentak Shifra mengusap dua pipi basahnya kasar lalu berdiri di hadapan pria yang menatapnya sendu.

"Gue nggak sanggup liat Lo kayak gini, Shif! Lo harus move on. Satu-satunya cara adalah pergi sejauh mungkin dari yang berhubungan dengan Elzien!" ucap Javaz menahan dua bahu Shifra yang langsung menepisnya.

"Jangan sentuh aku sembarangan, Jav! Haram bagiku untuk semua laki-laki di dunia ini! Aku sebatang kara sekarang!" sentaknya mundur selangkah dengan terisak lagi.

"Shiiiif, jangan seperti ini! Lihat Gue! Lo, harus kuat! Lo harus bisa hidup tanpa El! Masih ada Gue yang peduli sama Lo! Gue jan--"

"Cukup!!!"potong Shifra mengangkat tangannya yang terbuka lalu berdesis dengan satu jari di depan mulut.

"Oke! Tanpa menyentuh Lo, Gue bakal terus nglindungi Lo! Jangan anggap Gue orang lain. Jangan pendam kesakitan dan kesusahan Lo sendirian. Ada Gue, Shif!" Kalimat Javaz terdengar lebih lembut dan tulus. Tak seperti awal tadi yang menggebu dan terkesan marah.

"Kak Javaz ngapain masih deket-deket sama Shifra? Dia udah nggak level lagi sama kita, Kak!" Zora tiba-tiba masuk dan menarik lengan kakak laki-lakinya menjauh.

Shifra hanya melongo mendengar perkataan seseorang yang telah dianggapnya sebagai adik sekaligus sahabatnya itu. Tak menyangka ketidakberadaan Elzien, berdampak begitu besar pada orang-orang di rumah ini.

"Lo apaan sih, Ra! Gue punya kaki dan badan sendiri yang nggak bisa seenaknya diatur-atur sama Papa! Apalagi sama Lo!" Javas menghempaskan tangan Zora yang mengait pada lengannya.

"Papa!!! Kak Javaz masih ngeyel nemuin Shifra!" teriak Zora lantang, mengadu pada sang ayah yang dengan cepat sudah berada di ambang pintu.

Dua security sudah berada di belakang pria berusia lima puluh tahun itu. Berdiri tegap siap menerima perintah lanjutan dari sang atasan.

"Bereskan barang perempuan itu dan pindahkan ke pavilium belakang! Kalo dia masih tidak mau keluar, seret saja! Saya yang berkuasa di rumah ini sekarang! Saya yang bayar Kalian! Paham!?" titah Haribawa tersenyum sinis pada Shifra kemudian meninggalkan kamar diikuti sang putri kesayangan.

"Papa masih nahan Lo tetap di rumah ini. Semoga dengan begitu, Lo bisa dikit dikit lupain El dan move on, jadi lebih kuat! Sorry, Gue cuma bisa bantu Lo semampu Gue, Shif ...," kata Javaz mendekat lagi pada Shifra yang akhirnya mengangguk dan menunduk tajam.

'Benar kata Javaz, aku nggak boleh keluar dari rumah ini, apapun yang terjadi. Dan aku sangat yakin Mas El masih hidup. Aku hanya perlu lebih banyak berdoa lagi, 'kan?' Batin Shifra menegakkan kepala dan mulai mengemas barangnya juga milik Elzien dibantu Mbok Minah dan dua security.

---

"Apa maksud semua ini? Bagaimana mungkin Saya hanya mendapatkan lima persen saja? Saya Papanya! Kenapa bisa perempuan yatim piatu yang baru dua tahun menjadi istrinya ini mendapatkan lebih dari delapan puluh persen harta kekayaan Elzien?" Ungkapan kekesalan dan kemarahan Haribawa tak terbendung lagi. Dia memukul meja di depan para notaris dan pengacara keluarga.

Hari ini tepat empat puluh hari hilangnya Elzien Kagendra. Atas perintah Haribawa lima pengacara keluarga Kagendra dan beberapa orang notaris dari pengadilan didatangkan ke rumah membahas harta warisan. Berharap semua harta kekayaan akan jatuh ke tangannya dia sangat menantikan hari ini.

"Maaf, Pak Haribawa. Dua hari sebelum Pak Elzien mengalami kecelakaan. Beliau bersama Nona Shifra telah menandatangani sebuah dokumen pelimpahan seluruh aset. Silakan diteliti keasliannya!" Salah seorang pengacara yang paling sepuh menyerahkan sebuah amplop hitam ke hadapan semua orang.

"Nggak mungkin! Ini pasti palsu dan rekayasa kalian agar mendapatkan keuntungan lebih! Saya akan menuntut Kalian agar kasus ini jelas!" tolak Haribawa melemparkan dokumen itu.

Pengacara dan notaris saling pandang, begitu juga Shifra yang duduk di antara mereka terperanjat kaget. Matanya kembali basah mengingat hari-hari terakhir bersama Elzien yang mengajaknya pada pertemuan seperti ini. Bertemu pengacara dan notaris menanda tangani pelimpahan aset dan malamnya dihadiahi prank. Tak bisa dilupakannya, terekam jelas di benaknya hingga tak mampu berkata-kata lagi.

"Silakan Anda membuat laporan dan segala sesuatunya ke pengadilan. Kami sebagai pengacara yang sejak dulu dipercaya keluarga Kagendra sangat tahu dengan pasti jik--"

"Diam! Keluar dari rumah ini! Tak perlu lagi bicarakan masalah ini!" pungkas Haribawa semakin meradang saat pengacara keluarga Kagendra yang mengetahui segala rahasia itu akan mengungkapkan sesuatu.

Shifra mengangkat kepalanya dan menyipitkan mata menatap keheranan dengan perubahan sikap ayah mertuanya. Tadinya sangat antusias ingin segera membagi harta waris putranya, Elzien. Bahkan mengancamnya agar keluar dari rumah ini tanpa membawa sepeser pun milik keluarga Kagendra.

"Jangan harap kamu bisa keluar dari rumah ini dengan membawa harta milik Elzien! Kamu datang kemari tanpa membawa apapun maka keluar dari sini pun sama! Yatim piatu dan miskin! Paham?!" ucap Haribawa sebelum para pengacara dan notaris datang pagi tadi.

'Apa ada sesuatu yang disembunyikan dari semua orang? Bukankah aneh, jika semuanya dihibahkan padaku?" Shifra bertanya-tanya dalam hati. Mencerna kata-kata dari pengacara bernama Arya yang dipotong begitu saja oleh Haribawa.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status