"Non ... Non Shifra! Bangun Non!" panggilan salah seorang pelayan di rumah kediaman Haribawa menyadarkan Shifra yang masih dalam posisi bersujud di samping ranjang kamarnya.
"Apa Mas El sudah pulang, Mbok?" tanya Shifra sambil meluruskan tubuhnya. Menggeliat dan mengucek matanya yang tampak bengkak dan sembab."Apa yang kamu katakan, Shifra? Kamu sudah gila? Elzien sudah meninggal seminggu lalu! Kenapa kamu masih saja meratapinya? Bukankah meratapi seseorang yang sudah meninggal itu haram hukumnya, hah?" sahut Haribawa tiba-tiba masuk ke kamar putra pertamanya.Shifra tertunduk lesu dan terisak lagi. Dia mengangguk membenarkan kalimat sang ayah mertua."Maaf, Pa ... Shifra masih merasakan bahwa Mas El masih hidup. Dia baik-baik saja dan masih berusaha untuk pulang dengan jalannya sendiri suatu saat nanti. Jadi-""Baiklah kalau itu maumu! Sekarang, keluar dari kamar ini dan pindahlah ke pavilium belakang bersama para pelayan rumah ini! Kamu tak selayaknya tinggal di kamar ini lagi!" sentaknya memotong ucapan wanita yang terlonjak kaget memegang dadanya."Pa-pa ...," lirihnya terbata."Dan lagi! Jangan panggil Papa mulai sekarang, kamu bukan lagi menantuku! Kemasi barang-barangmu sekarang juga!!!" teriak Haribawa memutar tubuhnya keluar dari kamar paling mewah dan paling besar di rumah itu."Apa ini, Mbok? Kenapa sikap Papa berubah kasar pada Shifra? Apa hanya Mas El yang benar-benar menerima Shifra di rumah ini sejak dulu, Mbok?" isaknya menggeleng lalu dipeluk oleh wanita sepuh bernama Aminah itu.Satu minggu setelah diumumkannya status meninggal Elzien, Shifra hanya mengurung diri di kamar. Terus mengerjakan shalat sunnah di sela shalat wajibnya. Siang dan malam membaca Alquran dan berdoa meminta keajaiban pada Tuhannya. Sesekali makan dengan harus dipaksa dan tak jarang disuapi Mbok Aminah di kamarnya."Mbok? Mbok boleh keluar, Gue mau bicara sama Shifra!" Javaz tiba-tiba menyelonong masuk tanpa ijin ke kamar Shifra."Maaf, Den." Mbok Aminah menggeleng kuat, "Non Shifra dan Aden bukan mahram, jadi--""Nggak usah ngajarin Gue, Mbok! Keluar Gue bilang!!!" potongnya mengucapkan nada tinggi wanita tua itu."Javaz!!! Kamu jangan kasar sama Mbok Minah! Biarkan dia di sini! Aku juga nggak sudi ngomong sama kamu kalo cuma berdua di sini! Katakan apa maumu?" sentak Shifra mengusap dua pipi basahnya kasar lalu berdiri di hadapan pria yang menatapnya sendu."Gue nggak sanggup liat Lo kayak gini, Shif! Lo harus move on. Satu-satunya cara adalah pergi sejauh mungkin dari yang berhubungan dengan Elzien!" ucap Javaz menahan dua bahu Shifra yang langsung menepisnya."Jangan sentuh aku sembarangan, Jav! Haram bagiku untuk semua laki-laki di dunia ini! Aku sebatang kara sekarang!" sentaknya mundur selangkah dengan terisak lagi."Shiiiif, jangan seperti ini! Lihat Gue! Lo, harus kuat! Lo harus bisa hidup tanpa El! Masih ada Gue yang peduli sama Lo! Gue jan--""Cukup!!!"potong Shifra mengangkat tangannya yang terbuka lalu berdesis dengan satu jari di depan mulut."Oke! Tanpa menyentuh Lo, Gue bakal terus nglindungi Lo! Jangan anggap Gue orang lain. Jangan pendam kesakitan dan kesusahan Lo sendirian. Ada Gue, Shif!" Kalimat Javaz terdengar lebih lembut dan tulus. Tak seperti awal tadi yang menggebu dan terkesan marah."Kak Javaz ngapain masih deket-deket sama Shifra? Dia udah nggak level lagi sama kita, Kak!" Zora tiba-tiba masuk dan menarik lengan kakak laki-lakinya menjauh.Shifra hanya melongo mendengar perkataan seseorang yang telah dianggapnya sebagai adik sekaligus sahabatnya itu. Tak menyangka ketidakberadaan Elzien, berdampak begitu besar pada orang-orang di rumah ini."Lo apaan sih, Ra! Gue punya kaki dan badan sendiri yang nggak bisa seenaknya diatur-atur sama Papa! Apalagi sama Lo!" Javas menghempaskan tangan Zora yang mengait pada lengannya."Papa!!! Kak Javaz masih ngeyel nemuin Shifra!" teriak Zora lantang, mengadu pada sang ayah yang dengan cepat sudah berada di ambang pintu.Dua security sudah berada di belakang pria berusia lima puluh tahun itu. Berdiri tegap siap menerima perintah lanjutan dari sang atasan."Bereskan barang perempuan itu dan pindahkan ke pavilium belakang! Kalo dia masih tidak mau keluar, seret saja! Saya yang berkuasa di rumah ini sekarang! Saya yang bayar Kalian! Paham!?" titah Haribawa tersenyum sinis pada Shifra kemudian meninggalkan kamar diikuti sang putri kesayangan."Papa masih nahan Lo tetap di rumah ini. Semoga dengan begitu, Lo bisa dikit dikit lupain El dan move on, jadi lebih kuat! Sorry, Gue cuma bisa bantu Lo semampu Gue, Shif ...," kata Javaz mendekat lagi pada Shifra yang akhirnya mengangguk dan menunduk tajam.'Benar kata Javaz, aku nggak boleh keluar dari rumah ini, apapun yang terjadi. Dan aku sangat yakin Mas El masih hidup. Aku hanya perlu lebih banyak berdoa lagi, 'kan?' Batin Shifra menegakkan kepala dan mulai mengemas barangnya juga milik Elzien dibantu Mbok Minah dan dua security.---"Apa maksud semua ini? Bagaimana mungkin Saya hanya mendapatkan lima persen saja? Saya Papanya! Kenapa bisa perempuan yatim piatu yang baru dua tahun menjadi istrinya ini mendapatkan lebih dari delapan puluh persen harta kekayaan Elzien?" Ungkapan kekesalan dan kemarahan Haribawa tak terbendung lagi. Dia memukul meja di depan para notaris dan pengacara keluarga.Hari ini tepat empat puluh hari hilangnya Elzien Kagendra. Atas perintah Haribawa lima pengacara keluarga Kagendra dan beberapa orang notaris dari pengadilan didatangkan ke rumah membahas harta warisan. Berharap semua harta kekayaan akan jatuh ke tangannya dia sangat menantikan hari ini."Maaf, Pak Haribawa. Dua hari sebelum Pak Elzien mengalami kecelakaan. Beliau bersama Nona Shifra telah menandatangani sebuah dokumen pelimpahan seluruh aset. Silakan diteliti keasliannya!" Salah seorang pengacara yang paling sepuh menyerahkan sebuah amplop hitam ke hadapan semua orang."Nggak mungkin! Ini pasti palsu dan rekayasa kalian agar mendapatkan keuntungan lebih! Saya akan menuntut Kalian agar kasus ini jelas!" tolak Haribawa melemparkan dokumen itu.Pengacara dan notaris saling pandang, begitu juga Shifra yang duduk di antara mereka terperanjat kaget. Matanya kembali basah mengingat hari-hari terakhir bersama Elzien yang mengajaknya pada pertemuan seperti ini. Bertemu pengacara dan notaris menanda tangani pelimpahan aset dan malamnya dihadiahi prank. Tak bisa dilupakannya, terekam jelas di benaknya hingga tak mampu berkata-kata lagi."Silakan Anda membuat laporan dan segala sesuatunya ke pengadilan. Kami sebagai pengacara yang sejak dulu dipercaya keluarga Kagendra sangat tahu dengan pasti jik--""Diam! Keluar dari rumah ini! Tak perlu lagi bicarakan masalah ini!" pungkas Haribawa semakin meradang saat pengacara keluarga Kagendra yang mengetahui segala rahasia itu akan mengungkapkan sesuatu.Shifra mengangkat kepalanya dan menyipitkan mata menatap keheranan dengan perubahan sikap ayah mertuanya. Tadinya sangat antusias ingin segera membagi harta waris putranya, Elzien. Bahkan mengancamnya agar keluar dari rumah ini tanpa membawa sepeser pun milik keluarga Kagendra."Jangan harap kamu bisa keluar dari rumah ini dengan membawa harta milik Elzien! Kamu datang kemari tanpa membawa apapun maka keluar dari sini pun sama! Yatim piatu dan miskin! Paham?!" ucap Haribawa sebelum para pengacara dan notaris datang pagi tadi.'Apa ada sesuatu yang disembunyikan dari semua orang? Bukankah aneh, jika semuanya dihibahkan padaku?" Shifra bertanya-tanya dalam hati. Mencerna kata-kata dari pengacara bernama Arya yang dipotong begitu saja oleh Haribawa.***"Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa