"Gimana sih Lo? Jalan pake mata dong!!!" teriak Zora menabrak Shifra yang sedang mengepel lantai.
"Maaf, Ra! Ha--""Aaarrrgh .... Aaauuuw! Shifra!!!"Belum sempat mengatakan agar Zora berhati-hati melangkah, perempuan yang memakai heels dengan dress super ketat itu sudah jatuh terduduk di lantai. Meringis kesakitan memegang pinggang dan kakinya.Shifra memang sengaja melakukan pekerjaan rumah pada malam hari. Dia tak mau Javaz membawanya pergi dari rumah ini. Haribawa dan Zora tak pernah bersikap manis lagi semenjak tahu bahwa seluruh aset milik Elzien jatuh ke tangannya. Tak lagi menyuruh tinggal di pavilium belakang, tapi seluruh pelayan diberhentikan bahkan hanya meninggalkan satu security. Mau tak mau semua pekerjaan rumah harus dilakukan Shifra sendirian.Seperti malam-malam sebelumnya, Zora yang sekarang menjadi tak terkendali lagi. Sering pulang malam dalam keadaan tak sadar karena minuman keras. Jika dulu aturan Elzien mengharuskan penghuni rumah sudah harus pulang saat makan malam. Semua aturan seperti menghilang bersama pemilik tunggal rumah besar ini."Kenapa kamu jadi kayak gini, sih Ra? Jangan sampai kamu menyesal dengan pergaulan kamu yang kayak gini, lhoooo," tegur Shifra membantu adik iparnya itu berdiri dan memapahnya ke arah tangga."Nggak usah sok nasehatin Gue, deh!" ketusnya menghempaskan tangan Shifra.Perempuan yang ditinggal pergi tanpa kabar oleh suaminya itu menatap punggung terbuka Zora menaiki anak tangga dengan langkah sempoyongan ke arah kamar. Shifra melanjutkan pekerjaannya dengan cepat sebelum Javaz memergokinya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan dia sudah mendengar deru motor sport memasuki halaman rumah.Hanya adik laki-laki suaminya itu yang saat ini masih peduli dengan Shifra. Setiap pagi setelah Haribawa ke kantor, dia menyewa orang untuk membersihkan dan melakukan pekerjaan rumah. Tugas memasak tetap dilakukan Shifra setiap pagi dan sore, meski hanya dirinya dan Javaz yang mau memakannya. Tapi terkadang Sifra kasihan pada orang yang diperintahkan lelaki itu membersihkan seluruh rumah sebesar ini sendirian. Akhirnya dia pun ikut andil juga."Shif ... berapa lama lagi kamu selesai masa iddahnya?" tanya Javaz saat sarapan berdua keesokan paginya."Nggak ada masa iddah, Mas El masih hidup. Dan pasti akan kembali ke rumah ini. Jangan tanyakan itu lagi, Jav!" balas Shifra datar tak jadi memasukkan makanan ke mulutnya. Sudah tak berselera lagi mendengar pertanyaan yang sama setiap pagi dari adik iparnya itu."Aku baca di laman hukum Islam, kalau suami meninggalkan istrinya dan tidak menafkahinya selama tiga bulan--""Jangan tanyakan sesuatu yang sudah kamu tahu! Jika kamu sengaja bertanya dengan tujuan membuat orang yang kamu tanya menjadi tampak bodoh, maka jangan pernah tanyakan apapun, Jav!" pangkas perempuan itu ketus, lalu membawa piring berisi nasi yang masih setengah ke wastafel dan membuangnya ke tempat sampah."Oh ya! Awasi dan beri perhatian adik perempuan kamu saja, sebelum terlambat, Jav! Bukan aku! Kewajiban kamu mengingatkan dia!" ucap Shifra setelah selesai mencuci piringnya sendiri dan berjalan menuju kamarnya."Ada apa dengan Zora? Dia kenapa?" Javaz berdiri menghadang Shifra yang sudah melangkah di anak tangga terbawah.Perempuan itu tak menjawab dan beralih melangkah dari sisi lain tanpa menoleh lagi ke bawah.---"Apa yang kamu adukan ke Kak Javaz tentang Gue?" Zora menarik hijab Shifra hingga perempuan yang sedang memasak itu mendongak dan melepaskan spatula di tangannya. Menahan ujung depan dan belakang hijab agar tak terlihat rambut dan auratnya."ZORA!!! Apa yang Lo lakuin?!" Teriakan menggelegar Javaz yang berjalan cepat menuruni tangga membuat adik perempuannya itu melepas tangannya dari kain berwarna kuning gading penutup kepala Shifra.Tamparan keras mendarat keras di wajah Zora dari sang kakak. Pipi gadis berambut sebahu yang dicat pirang itu memerah dan setitik embun mengendap di sudut matanya."JAVAZ!!!" Kali ini Haribawa yang memanggil dengan suara lantangnya dari arah tangga."Kamu lebih membela perempuan ini dibanding adik kandungmu sendiri, haah!?" lanjutnya mengangkat tangan hendak memberi pukulan pada putranya setelah berjalan cepat mendekat.Tangan itu tertahan oleh satu tangan Javaz."Pukul, Pa! Pukul Gue! Gue emang nggak ada gunanya lagi 'kan di rumah ini?" tantang Javaz menuntun tangan Haribawa menampar wajahnya sendiri."Kamu!!!" geram Haribawa menarik kembali tangan dari genggaman putranya, kemudian mengepal kuat di sisi tubuh.Seringaian licik tercetak di wajah Javaz saat Haribawa dan Zora meninggalkan dapur. Merasa menang dengan semua yang dilakukan Javaz sebagai pengganti Elzien."Kamu nggak ada yang sakit, kan Shif?" tangannya hampir saja menyentuh Shifra membenahi kerundung yang masih sedikit berantakan. Tapi diurungkan saat dengan cepat gerakan perempuan itu menghindarinya."Sorry ... Gue akan beri Zora peringatan keras setelah ini! Dia nggak bakal berani nyakitin Lo lagi, Lo tenang aja, ya?" ucap Javaz tersenyum manis pada perempuan yang sama sekali tak memandangnya itu.'Sebentar lagi pasti Lo bakal jatuh cinta sama Gue, Shif!' batinnya bersemangat mengingat rencana yang disusunnya sebulan lalu."Papa nggak bisa usir Shifra dari rumah itu, Pa! Gue tahu Papa bukanlah ayah kandung Elzien! Entah apa kebenarannya, Gue tahu kenapa bisa semua warisan jatuh ke tangan Shifra, Pa! Selama perusahaan ini ada di tangan Gue, Papa nggak bisa berbuat apa-apa!" tekan Javaz saat dihasut untuk mengalihkan nama perusahaan atas nama Haribawa."Kalau begitu, nikahi Shifra dan dapatkan semuanya untuk kita!" Senyum pria paruh baya itu mengembang, mengungkapkan sebuah ide licik pada putranya."Gue udah siapkan skenarionya, dan Papa harus bantu. Jangan kacaukan semuanya dengan menyakiti Shifra! Biar Gue yang jadi tokoh utama cerita cinta Shifra selanjutnya!" kekehnya tersenyum dan menganggukkan kepala."Jadi kita buat dia jadi upik abu, dan kamu penolongnya? Lalu dia jatuh cinta dan mau menikah dengan kamu! Hahaha ...."Tawa sepasang anak dan orang tua itu memenuhi ruangan kantor milik Elzien dulu.'Jadi ... ini rencana mereka? Baiklah ... let's play the game!' gumam seseorang di balik pintu mendengar semua percakapan Javaz dan Haribawa.***Bersambung ...."Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa