Sembari mengambil motor di parkiran aku memikirkan pesanan Mas Baja. Martabak telur dengan dua telur bebek. Uang seratus ribuan yang sudah tidak lengkap lagi karena harus kualokasikan untuk membeli bensin, akan semakin berkurang sore ini. Sementara gajianku harus menunggu sampai tanggal empat. Tidak seperti perusahaan pada umumnya yang tanggal dua puluh lima gaji sudah masuk ke rekening.
Aku tetap meneruskan perjalanan meski sesekali perutku berbunyi. Berkendara ke arah barat dari kantor setelah dua puluh menit, membuatku menemukan penjual martabak langganan keluarga Mas Baja. Mereka terutama Ibu sangat suka dengan martabak terang bulan ini. Pernah suatu hari aku membelikan dengan merek lain, Ibu sama sekali tidak menyentuhnya. Jantungku berdebar saat tampak dari jauh tenda berwarna biru milik penjual itu belum terbentang. Jangan-jangan hari ini libur. Aku pun menarik kencang gas di tangan kanan. Memastikan dugaanku itu. Tepat saat roda motorku berhenti di depan gerobak, terdapat tulisan : HABIS (SEDANG ADA PESANAN). Penjual tersenyum ramah. Aku sudah paham tanpa perlu menanyakannya. Terpaksa berputar balik untuk mencari martabak di tempat lain.Tanpa berpikir lagi, mengingat waktu sudah semakin gelap, aku terus berkendara. Martabak terang bulan hanya ada satu di daerah ini. Aku tidak mungkin membeli di lain daerah. Dengan sangat berat hati kuputuskan membeli martabak yang tidak sesuai keinginan Ibu."Telor bebeknya gak ada, Mbak. Adanya ayam," jawab tukang martabak itu."Ya udah gak apa-apa, Pak. Yang penting martabak." Aku sedikit malas menimpali penjual ini. Terlebih ini kali pertama aku membeli.Setelah menyerahkan uang dan menerima martabak telor ayam, kembali aku melaju bersama motor matic merah. Wajah Akila yang belum sempat mandi tadi pagi terbayang di kaca helm. Sedang apa putri kecilku? Bahagiakah ia bersama neneknya?***Tepat pukul setengah delapan malam aku tiba di rumah dengan pagar besi yang menjulang. Salah satu rumah besar di komplek ini. Jantungku terus berdegup lebih kencang. Aku juga mengalami kegugupan. Menginjakkan kaki di sana sama saja siap untuk menjadi bahan hinaan."Tidak apa-apa. Demi Akila dan Mas Baja, Amira." Hatiku terus merapal doa. Kudorong pintu gerbang itu. Mengayunkan langkah dan menenteng martabak tadi. Motor sengaja kuparkir di pinggir jalan."Assalamualaikum," sapaku dari luar. Meski rumah ini besar lampu penerangan di teras sangat tidak terang. Pernah aku berkomentar dan malah diperingatkan sama Mas Baja. Akhirnya aku terbiasa meski tidak suka dengan suasana gelap."Waalaikumsalam. Ayah, Ibu pulang!" suara Akila terdengar. Gadis itu sudah pasti menungguku. Perlahan pintu utama terbuka. Akila dengan baju piama gambar frozen menyambutku hangat. Mas Baja berdiri di belakang."Mana martabaknya?" todong Mas Baja. Ia bahkan tak menyapaku terlebih dahulu."Ini, Mas.""Yang biasa, kan?""Nggak." Ada kalanya aku merasa kesal. Menjawab singkat dan melawan Mas Baja kadang kulakukan."Hmm. Habis, dah kita. Tidak bakal dapat pinjaman bulan ini." Dengan sangat santai Mas Baja membahas pinjaman. Ia seperti amnesia saja pagi tadi sudah marah-marah di rumah."Ja, Baja. Mana martabaknya?" Suara Ibu terdengar sampai teras rumah. Aku sangat sungkan saat harus bertemu beliau. Usaha kami untuk mengambil hatinya selalu tidak tepat."Ya, Bu, sebentar." Mas Baja bersiap mengantarkan martabak itu. Namun, ternyata Ibu justru keluar dan memilih mengambil sendiri."Kok kreseknya beda?" Tatapan mata Ibu mengarah pada martabak yang dibawa Mas Baja. Beliau tidak menyapaku."Dah, kamu kasih kucing, aja. Bulan ini tidak ada pinjaman untuk angsuran." Tatapan Ibu berubah sinis. Kali ini tertuju padaku. Beliau bersiap masuk kembali ke rumah."Tapi, Bu. Gak kaya gitu. Ini Amira memang gak pernah becus kalau Baja minta tolong. Selalu gini, Bu." Kesekian kalinya Mas Baja tidak membelaku."Udah tahu gak becus masih dipertahankan. Balikin aja ke orang tuanya. Di kampung!"Kupegang erat tangan Akila. Malam ini aku memang sudah siap dengan segala hal yang akan membuatku menangis. Termasuk ucapan ibu mertuaku ini. Namun, aku menepisnya. Mencoba bersikap kuat di depan mereka."Maaf, Bu. Tadi yang biasa tutup.""Alasan. Paling sengaja cari yang murah, 'kan? Biar Ibu sakit setelah menelan martabak itu?" Raut wajah Ibu berubah. Seakan membayangkan martabak yang aku beli tidak higeinis."Bukan begitu, Bu. Amira tidak bohong. Kalau ada yang biasa pasti Amira belikan." Aku yang biasanya memilih diam sedang ingin melawan. Menimpali ucapan Ibu dan Mas Baja."Hobi, kok, ngelak!" Mata Ibu membelalak. Sungguh ia sangat baik dengan semua orang, tetapi tidak denganku. "Akila, ayo masuk. Nanti kamu digigit nyamuk!" perintahnya."Akila mau pulang, Nek. Akila mau sama Ibu." Kadang, Akila juga ingin memiliki kesempatan memilih. Tidak menurut terus seperti biasa."Biarin Akila pulang sama Amira, Bu. Ini bukan hari libur. Akila sudah bolos satu hari." Tahun ini Akila masuk TK. Ia sudah mulai terbiasa dengan rutinitas sekolah."Lah, yang punya yayasan juga Om nya Akila. Kok pusing. Gak apa-apa bolos sehari. Ibu masih mau sama Akila."Pada saat seperti ini aku sangat mengharapkan sosok Mas Baja yang dulu. Mas Baja yang akan dengan sigap membela dan melindungiku. Mas Baja yang dengan segala cara akan membujuk Ibu."Ibu benar, Amira. Kamu pulang saja. Lagian kita juga sebentar lagi berpisah. Akila sudah pasti akan ikut aku." Mas Baja benar-benar serius dengan ucapannya. Ia terus mengulang kata berpisah."Mas! Kalau bicara yang benar. Akila dengar, Mas." Segera kututup telinga Akila."Ayo Akila masuk. Besok Nenek belikan boneka baru. Punya boneka kok hasil ngumpulin koin dari time zone. Kasihan amat." Ibu menarik tangan Akila. Beliau benar-benar tidak mau kalah."Gak mau, Nek. Akila mau pulang. Atau Ibu nginep sini!" Solusi dari Akila harusnya menjadi yang terbaik. Namun, tidak mungkin itu akan terjadi. Enam tahun hidup bersama Mas Baja, aku belum pernah menginap di sini.Sorot mata Mas Baja mengarah pada Akila. Putri kami jelas tak bisa menolak saat ayahnya sudah menatap dengan tatapan perintah semacam itu. Sejak awal Mas Baja sudah keras mendidik Akila meski ia sangat menyayanginya. Perlahan Akila melepaskan tangannya dari genggamanku. Ia berjalan maju ke arah neneknya. Dengan cepat mereka meninggalakan teras dan sengaja membiarkan pintu tertutup."Akila," lirihku."Ayo bicara di luar!" ajak Mas Baja. Ia meletakkan martabak itu di atas meja yang tersedia di teras. Lalu melangkah menuju luar gerbang.Aku bergeming. Satu tahun ini Mas Baja sangat berubah. Ia tak lagi menjadi suami yang mencintaiku apa adanya. Perutku sangat lapar. Aku bahkan rela tidak makan siang demi menghemat pengeluaran. Seenak sendiri mereka mengabaikan martabak telur ayam ini.Kuambil kembali martabak itu. Menentengnya, lalu berjalan keluar gerbang. Mas Baja menunggu tak jauh dari motorku terparkir. Punggungnya saja sudah sangat berbeda. Aku benci sekalgus mencintai pria ini dalam waktu bersamaan. Sebuah ide gila terlintas di kepala. Dengan cepat aku mengambil kunci dan menancapkannya pada motor. Aku ingin kabur. Untuk pertama kali."Amira!"Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed