Setelah kakeknya pergi, Rey keluar dari ruangannya dengan langkah tenang namun tegas. Sepatu kulitnya berbunyi ringan di atas lantai marmer, menarik perhatian karyawan yang berada di area meja kerja.
Semua karyawan serempak berdiri menyambut kedatangan CEO mereka. Di antara mereka, Rocky, salah satu supervisor tim, melangkah maju dan memberi salam dengan hormat. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Rocky dengan nada formal namun penuh rasa hormat. Rey mengedarkan pandangannya ke seluruh area, matanya sekilas berhenti di meja Hana sebelum ia menjawab dengan suara yang tenang namun tegas. “Setelah pulang kerja, mari makan malam bersama untuk penyambutan karyawan baru.” Rocky, yang menangkap maksud itu, melirik cepat ke arah Hana sebelum kembali menatap Rey. “Oh, tentu, Tuan! Saya akan mengatur semuanya.” Rey mengangguk singkat. “Saya yang traktir,” tambahnya. Seisi ruangan langsung menjadi sedikit ramai dengan bisikan dan ekspresi terkejut yang tertahan. Rocky, yang terlihat lebih senang daripada biasanya, langsung membungkuk sopan. “Terima kasih banyak, Tuan! Anda benar-benar murah hati.” “Pilihkan restoran yang bagus,” kata Rey lagi, memberikan instruksi sebelum berbalik pergi. “Iya, Tuan! Akan saya pastikan semuanya siap,” jawab Rocky penuh semangat. Saat Rey berjalan menjauh, Rocky segera kembali ke mejanya, mengangkat telepon untuk mulai mencari restoran yang sesuai. Sementara itu, beberapa karyawati mulai berbisik-bisik di antara mereka, dan salah satu dari mereka berteriak kecil, “Tumben sekali CEO kita mau traktir!” “Benar! Bukankah dia biasanya dingin dan menjaga jarak?” timpal yang lain, suaranya terdengar sedikit geli. Hana, yang menyaksikan semuanya dari sudut pandangannya, hanya bisa diam. Ada rasa campur aduk dalam dirinya—antara bingung, senang, dan canggung. Malam pun tiba, Rocky memastikan segala sesuatunya sudah diatur dengan sempurna. Restoran yang ia pilih sederhana namun elegan, nyaman untuk semua kalangan, termasuk seorang CEO sekaliber Rey. Ia bahkan memesan ruang makan pribadi, “Agar Tuan Rey lebih nyaman,” pikirnya dengan puas. Para karyawan berkumpul, suasana terasa hangat dengan tawa dan obrolan ringan yang mengalir. Hidangan-hidangan khas restoran tersebut disajikan dengan apik, menambah semarak acara makan malam itu. Di tengah kebersamaan itu, Rey terlihat lebih tenang dari biasanya, meski sesekali tatapannya jatuh pada sosok Hana yang duduk tak jauh darinya. Ia memperhatikan gerak-gerik Hana, cara dia tersenyum saat berbicara dengan rekan kerjanya, atau ketika dia terlihat sedikit malu-malu menanggapi candaan Rocky. Pikiran Rey kembali ke percakapan tadi siang dengan kakeknya. Pernyataan kakeknya yang mengira Hana adalah wanita spesial di hidupnya terus berputar di kepalanya. Ia mengepalkan tangan ringan di bawah meja, merasa bahwa situasi ini bisa jadi peluang yang tak terduga. “Hana,” panggil Rey tiba-tiba, membuat perhatian di ruangan langsung tertuju padanya. Hana menoleh dengan ekspresi bingung namun tetap sopan. “Ya, Tuan?” Rey memberikan senyum tipis, nada suaranya datar namun tegas. “Selamat datang di agensi kami. Saya harap Anda betah di sini.” Hana membungkuk sedikit. “Terima kasih, Tuan. Saya akan berusaha bekerja dengan baik.” Malam itu berakhir dengan baik sesuai rencana. Semua karyawan beranjak pulang setelah menikmati makan malam yang hangat dan penuh canda tawa. Hana, yang belum memesan kendaraan, berdiri sendirian di depan restoran sambil sesekali memeriksa ponselnya. Tak jauh dari sana, Rey baru saja keluar setelah menyelesaikan pembayaran. Langkahnya terhenti ketika melihat Hana sendirian. Ia berniat menghampirinya, namun perhatiannya teralihkan saat melihat sosok Juna mendekat, ditemani seorang wanita cantik di sampingnya—Dara. Hana mengangkat wajah, matanya bertemu dengan Juna yang langsung memasang ekspresi dingin. “Apa yang kau lakukan di sini, Hana?” tanyanya dengan nada tajam. “Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu,” jawab Hana tegas, meski ada kilatan emosi di matanya. Juna mendengus, mengambil sebuah map dari tas kerjanya. “Baiklah, kalau begitu. Ini yang kau tunggu-tunggu, kan?” Ia menyerahkan map itu ke Hana. “Aku sudah menandatangani surat perceraian kita. Tanda tanganlah, dan kita selesai.” Hana menatap map itu dengan rahang mengeras. Ia tahu keputusan ini adalah yang terbaik, tapi rasa sakit yang mengiringinya tak bisa dihindari. “Akhirnya,” gumamnya lirih, tangannya gemetar saat mengambil map itu. Dara yang berdiri di samping Juna tersenyum sinis. “Sudah waktunya kau sadar diri, Hana. Kau hanya menghalangi jalan kami.” Suaranya terdengar lembut, tapi penuh sindiran. Hana menatap Dara dengan tatapan tajam. “Aku tidak peduli dengan kalian. Jika Juna memilih wanita seperti kamu, itu cukup menjelaskan semuanya.” Juna mendekat, ekspresinya menunjukkan ketidaksabaran. “Hana, cukup. Tanda tangan saja dan jangan membuat ini lebih sulit.” Dari kejauhan, Rey memperhatikan interaksi itu dengan wajah datar, namun matanya tajam mengamati setiap gerak-gerik mereka. Meski ia belum tahu semua detailnya, ia mulai memahami bahwa hubungan Hana dan Juna telah benar-benar berakhir. Hana akhirnya menarik napas dalam dan berkata, “Aku akan tanda tangan, tapi tidak di sini. Aku akan mengirimkannya setelah aku selesai membaca semuanya.” Juna mengangguk singkat, jelas tidak ingin memperpanjang perdebatan. “Terserah.” Dara menautkan lengannya di lengan Juna dan tersenyum penuh kemenangan. “Ayo, Sayang, kita punya tempat yang lebih baik untuk didatangi.” Mereka pun pergi meninggalkan Hana yang masih memegang map dengan tangan gemetar. Rey yang memperhatikan dari sudut restoran akhirnya melangkah mendekat. Ia tahu, ini saat yang tepat untuk masuk ke dalam kehidupannya. Rey melangkah mendekat, suaranya terdengar tegas di tengah udara malam yang mulai dingin. “Hana Varelly.” Hana menoleh, wajahnya sedikit terkejut namun tetap berusaha tenang. “Ya, Tuan? Anda masih di sini?” tanyanya, mencoba berbasa-basi untuk menyembunyikan kegelisahannya. Rey tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia menatap Hana dengan serius, lalu melontarkan sesuatu yang mengejutkan. “Hana, bertunanganlah denganku.” Hana terpaku, tubuhnya membeku di tempat menatap Rey dengan kerutan di dahi.Hari-hari Hana berlalu dalam kesunyian yang sibuk. Ia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang sengaja ia cari-cari, seolah sibuk adalah pelarian terbaik dari kenyataan yang terus membayanginya.Meski tubuhnya mulai terasa mudah lelah, ia tetap memaksa diri untuk aktif, menyibukkan tangan dan pikirannya, agar tak terlalu larut dalam rasa sepi.Dalam sela-sela rutinitasnya, saat malam tiba atau waktu istirahat siang, Hana punya satu hiburan kecil yang setia menemani, game restoran favoritnya. Ia memainkan game itu bukan sekadar untuk kesenangan, tapi juga sebagai tempat di mana ia merasa bebas, bebas dari penilaian, dari kenyataan, dan dari rasa sesak di dada. Ia pun mulai aktif di grup chat dalam game, sesekali ikut dalam obrolan ringan yang membuatnya tertawa kecil.Waktu berlalu, dan sedikit demi sedikit Hana membuka diri. Ia menulis dengan hati-hati, seolah masih ragu, namun merasa ada kehangatan dari komunitas kecil itu."Aku sedang mengandung," tulisnya di salah satu obrolan grup
Juna menatap tajam ke arah Rey, tidak gentar sedikit pun dengan emosi yang membara di mata pria itu. Dengan satu gerakan tegas, ia menepis tangan Rey yang masih mencengkeram kerah bajunya."Sebaiknya kau yang menjauhi Hana! Bukan aku!" desis Juna, suaranya rendah namun penuh tekanan. Ia sadar ini adalah koridor rumah sakit, dan pertengkaran terbuka hanya akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.Rey terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, wajahnya menegang dalam campuran emosi yang sulit dijelaskan. Perlahan, ia mengendurkan cengkeramannya, melangkah mundur selangkah demi selangkah, tapi sorot matanya masih tertuju ke pintu ruangan dokter.Hana masih di dalam sana.Ia ingin masuk, ingin bertanya langsung kepada wanita itu, ingin mendapatkan kepastian dari bibirnya sendiri. Tapi sebelum ia sempat bergerak lagi, Juna mendorongnya. Bukan dorongan kasar, melainkan gerakan halus, namun bagi Rey, dorongan itu terasa seperti hantaman yang mengguncang hatinya."Pergi," bisik Juna, nada suara
Sudah hampir sebulan sejak Hana mulai bekerja sebagai owner PT. First Food. Waktu berlalu begitu cepat, dan meskipun ia masih menyesuaikan diri dengan peran barunya, ia mulai terbiasa dengan ritme pekerjaannya.Namun, di balik kesibukannya, ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia perhatikan, kehamilannya. Hari ini adalah jadwal kontrolnya, dan tanpa bisa dihindari, seseorang menawarkan diri untuk mengantarnya.Juna.Pria itu masih saja muncul dalam hidupnya, berusaha mengambil celah sekecil apa pun untuk mendekat lagi. Meski Hana berusaha menjaga jarak, Juna selalu menemukan alasan agar tetap ada di sekitarnya.Dan sekarang, di dalam mobil yang melaju menuju rumah sakit, suasana terasa canggung.“Apa masih sering mual?” tanya Juna sambil menyetir.Hana yang sejak tadi hanya menatap keluar jendela, menghela napas. “Udah mulai berkuran, nggak separah pertama kali.”Juna meliriknya sekilas. “Aku masih sering kepikiran. Kalau aja aku dulu lebih—”“Jangan bahas masa lalu, Juna.” Suara
Malam semakin larut, dan Hana yang awalnya hanya berniat merebahkan diri di kasur akhirnya tertidur dengan tenang. Rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya perlahan memudar seiring napasnya yang semakin teratur.Keesokan paginya, sinar matahari yang menerobos melalui celah tirai membangunkannya. Hana menggeliat pelan sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Saat layar menyala, sebuah notifikasi dari game yang biasa ia mainkan menarik perhatiannya.Notifikasi dari akun bernama Reys_toran muncul di layar:[Hi, apa kau mau masuk grup?]Hana tersenyum kecil, lalu mengetik balasannya dengan ringan.[Ya, tentu]Setelah itu, ia meletakkan kembali ponselnya dan bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah hari penting, ia harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor PT. First Food sebagai owner baru. Meskipun pagi harinya masih dihiasi rasa mual seperti biasa, kali ini tidak separah sebelumnya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan perutnya sebelum beranjak ke kamar mandi.Se
Malam itu, Hana kembali duduk di kursi makan dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam sendok, tetapi setiap kali ia hendak menyendok makanan, rasa mual kembali menghantam.Aroma makanan yang dulu ia sukai, kini terasa begitu menyiksa. Bahkan sekadar mencium bau kopi yang diseduh ibunya pagi tadi saja sudah cukup membuat perutnya bergejolak.Bu Lauren yang sudah mengamati putrinya sejak tadi, akhirnya meletakkan semangkuk sup hangat di hadapan Hana."Ibu buat yang ringan saja. Setidaknya sup ini bisa kamu terima di perutmu," ucapnya lembut, duduk di seberang meja.Hana menatap sup yang mengepul itu. Aroma kaldu yang ringan sedikit menenangkannya, dan tanpa banyak kata, ia mulai menyendok sup tersebut pelan-pelan.Setelah beberapa suap, tubuhnya mulai terasa sedikit lebih baik. Ia meletakkan sendok, lalu menghela napas panjang.Hening menyelimuti mereka sejenak sebelum tiba-tiba Hana terisak.Tanpa peringatan, ia bangkit dari tempat duduknya dan memeluk ibunya erat. Bahunya terguncang
Siang itu, Rey melewati meja kerja Hana, dan di sana telah kosong.Tak ada lagi tumpukan naskah atau secangkir kopi yang biasa menemani wanita itu bekerja. Tak ada jejaknya di sini. Hanya ruang hampa yang tersisa, sama seperti hatinya yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Hana.Dulu, ia mungkin tidak menyadari betapa terbiasanya melihat wanita itu di sekelilingnya. Tapi sekarang, setiap sudut gedung ini mengingatkannya pada sosoknya, suara lembutnya saat mendiskusikan naskah, ekspresi seriusnya saat mengetik, bahkan aroma parfumnya yang samar.Rey mendesah pelan, tak bisa berdiam diri lebih lama di sini. Pikirannya kacau. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah keluar dari gedung agensinya, membiarkan udara siang yang terik menerpa wajahnya.Langkahnya cepat menuruni anak tangga menuju pelataran parkir, hingga suara seseorang mengejar dari belakang."Tuan! Anda mau ke mana?"Rey menoleh sekilas. Itu Bastian, sekretarisnya, yang kini sedikit terengah mencoba menyusul.Tatapan Rey tajam,
Hana menarik napas perlahan, mencoba menenangkan dirinya agar tidak terlihat gelisah. Ia tahu tatapan Rey tengah mengamatinya, menuntut jawaban lebih dari sekadar kata-kata. Tapi tidak, ia tidak bisa membiarkan Rey tahu yang sebenarnya."Hanya kelelahan saja, Tuan," jawabnya akhirnya. Suaranya terdengar cukup tenang, tapi jari-jarinya yang meremas kain celana di sisi tubuhnya mengkhianati kegelisahannya.Rey menatapnya lekat, seakan mencoba menembus pertahanannya. Ia bersandar ke sandaran kursinya, menghela napas panjang seolah frustasi."Hana …" Suaranya sedikit lebih lembut, tidak lagi sekadar suara seorang atasan kepada bawahannya. "Berhenti bersikap begini padaku… Aku—"Namun sebelum Rey bisa melanjutkan kata-katanya, suara lain tiba-tiba memotong momen di antara mereka."Rey?"Hana refleks menoleh. Veronica berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat, seakan tak sengaja mengganggu percakapan mereka. Wanita itu melangkah masuk dengan santai, membawa tas kotak
Di rumah sakit yang sama, Rey berdiri di koridor lantai dua, tepat di depan jendela besar yang menghadap ke halaman parkir. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat dengan jelas sosok Hana yang baru saja keluar dari pintu utama rumah sakit.Langkahnya terhenti.Matanya tidak bisa lepas dari wanita itu. Wajah Hana tampak pucat, rautnya lelah, dan gerakan tubuhnya lebih lambat dari biasanya. Bahkan dari kejauhan, Rey bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda.Tapi perhatiannya semakin teralih ketika seorang pria menghampiri Hana.Juna.Pria itu dengan sigap membukakan pintu mobil untuknya, memperlihatkan perhatian yang begitu terang-terangan. Rey mengepalkan tangannya tanpa sadar. Ada sesuatu yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas sejenak.Kenapa Juna selalu ada di dekat Hana?Rey tahu mereka punya sejarah, tapi bukankah mereka sudah berpisah? Lalu, kenapa sekarang seolah-olah Juna yang menjadi tempat bersandar bagi Hana?Dia ingin mendekat, ingin bertanya langsung pada Hana. Tapi
Hana melangkah keluar dari ruang periksa dengan langkah yang terasa begitu berat. Seolah setiap langkah yang ia ambil adalah satu langkah menuju ketidakpastian yang lebih besar. Pikirannya penuh, emosinya bercampur aduk. Ia menekan perutnya dengan tangan, seolah mencoba menyerap kenyataan bahwa ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.Bukan ia tidak senang. Tidak sama sekali. Tapi waktu yang tidak tepat ini membuatnya bingung. Bagaimana ia akan menjalani semuanya? Bagaimana ia akan menghadapi Rey?Di sampingnya, Bu Lauren diam-diam menghela napas panjang sebelum akhirnya merangkul pundak Hana dengan penuh kasih sayang."Nak …," suara Lauren terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Ia menatap wajah putrinya dengan penuh kekhawatiran. "Itu anak Rey, 'kan?"Hana menegang. Ia tidak menjawab, hanya menundukkan kepala.Lauren menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. "Dia harus tahu," bisiknya lembut.Namun, Hana dengan cepat menggeleng. Matanya terpejam sejenak sebelum ia mengang