Share

Berobat

Berobat

"Maaf, saya mencoba untuk melihat wajahnya ya, Bu Aisyah.  Silahkan berbaring di sini." Seorang pria tampan bergelar dokter kecantikan tersenyum dan mempersilahkanku untuk berbaring di brankar. Saat ini aku sedang berada di sebuah  klinik kecantikan, saat Bu Indria membawaku ke tempat ini, untuk mengobati wajahku yang sudah sangat memprihatinkan. 

Sepertinya wanita itu kasihan kepadaku, apalagi setelah kujelaskan kisah hidupku tadi.  Katanya, dia tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang karena meyakini jika aku akan menjadi seorang bintang setelah wajahku mulus.

 Apalagi ditunjang dengan kulitku yang putih, tinggi badan yang proporsional, bentuk tubuhku yang tidak berubah meskipun sudah melahirkan, ditambah penampilanku yang sebentar lagi akan Bu  Indria rubah, membuatnya optimis jika aku akan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Meski itu juga adalah harapanku. 

Dokter itu kemudian mengambil sebuah alat yang diarahkan ke wajahku,  membuat seluruh apa yang tidak ada di wajahku terlihat sempurna, melalui layar kebiruan yang aku duga itu adalah sinar ultraviolet atau semacamnya.

"Bagaimana keadaan wajahnya, Dokter? Apakah Aisyah bisa sembuh, dan wajahnya bisa kembali mulus dan cantik?" tanya wanita yang duduk di sampingku.

Sebelum masuk tadi, dia mengatakan padaku jika klinik ini adalah langganan kaum sosialita dan sudah dipakai oleh para artis. Dan tentu saja aku percaya.

Pria yang bernama Dokter Hoki itu tersenyum kemudian kembali duduk di tempatnya, dan memintaku untuk duduk kembali di samping Bu Indria.

"Masalah di wajahnya cukup parah dan mulai terkena infeksi. Sepertinya dari kosmetik yang salah dan jerawat yang muncul memperparah kondisinya, hingga membuatnya infeksi seperti sekarang ini. Kita butuh perawatan ekstra dan biayanya tentu saja tidak murah. Bagaimana menurut Bu Indria?  Apa kita mau melanjutkannya?" tanya dokter yang tampan khas orang Chinese tersebut.

"Tidak masalah, Dokter. Lakukan apa saja, yang penting wajah Aisyah kembali mulus. Untuk urusan biaya, saya yang akan menanggungnya sendiri,"  ujar Bu Indria meyakinkan dokter itu yang langsung mengangguk-ngangguk. 

Setelahnya kemudian, dokter itu menjelaskan rincian biaya yang harus Bu Indria keluarkan untuk perawatan kulitku. Yang satu kali perawatannya saja bisa mencapai hampir 35 juta hanya untuk wajahnya saja. Dan itu tentu saja membuatku menganga dan tak percaya. Seumur hidup itu adalah biaya perawatan kecantikan termahal yang pernah  kudengar untuk sebuah perawatan kulit wajah. 

Namun sepertinya Indria terlihat biasa saja dan malah menanggapinya dengan anggukan dan senyum di bibirnya.

"Asal wajah Aisyah kembali cantik dan mulus, uang berapapun akan saya keluarkan. Lagi pula itu adalah aset dan Aisyah harus memperbaikinya dulu, sebelum dia menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk saya." Bu Indria terlihat sangat santai ketika berbicara.

"Anda benar-benar pebisnis yang hebat, Bu Indria!"  ujar dokter itu sambil berdiri dan mengangsur tangannya yang langsung diraih oleh Bu Indria. 

Sementara aku terpaku di tempatku. Selama ini Mas Andra hanya memberiku uang sebanyak dua ratus ribu per minggu, untuk biaya kebutuhan dapur dan Diandra. Sedangkan untuk masalah kontrakan, serta token listrik, Mas Andra yang membayarnya.

"Ayo Aisyah  kita langsung ke lantai dua untuk diperiksa," ajak Bu Indria. Aku mengangguk pasrah menuruti keinginan wanita itu. Sementara Bu Indria menggendong Farel dan menyerahkannya kepada pengasuh yang sengaja dibawanya.

 Aku disuruh masuk ke sebuah ruangan yang sangat dingin dan mewah, di mana berbagai alat ada di sana. Ada beberapa orang juga yang tengah melakukan perawatan. Bahkan ada seorang wanita yang entah seperti sedang disuntik hidungnya agar lebih mancung atau semacamnya, entahlah. Aku hanya memperhatikannya sekilas, karena dokter wanita  itu mulai menyuruhku untuk berbaring, setelah aku memakai pakaian khas rumah sakit berwarna biru muda.

Setelah aku berbaring, entah apa yang mereka lakukan pada wajahku. Katanya itu di anastesi  atau apalah. Rupa-rupa alat dan krim bergantian memenuhi wajah dan setelahnya terasa kebas. Lalu entah seperti alat seperti apa, yang jelas wajahku tetap saja sakit. Seperti dicongkel dan itu membuatku terasa nyeri dan ngilu. Meskipun sebelumnya sudah diolesi dengan anastesi, namun rupanya rasa sakit itu terasa menusuk seperti ditusuk-tusuk jarum.

"Kamu tahan rasa sakitnya, Aisyah. Karena cantik itu perlu pengorbanan. Oke?"  ujar Bu Indria sebelum aku masuk ke ruangan ini tadi.

********

Perawatan itu membutuhkan waktu kurang lebih empat jam. Farel  beberapa kali menyusul, setelahnya kembali diraih oleh pengasuh yang sengaja dibawa oleh Bu Indria. Setelah selesai aku kembali ke rumah wanita itu.

"Ini obat dari dokter Hoki kamu diminum, agar nggak terlalu nyeri.  Dan salepnya oleskan ke wajahmu. Tapi ingat, jangan dulu terkena air kotor. Usahakan membersihkannya dengan air yang bening meskipun hanya untuk bagian wajahmu saja, agar kulitmu tidak semakin infeksi. Tadi itu dokter mengeluarkan nanah-nanah dan kulit mati dari  wajahmu. Jadi kamu harus hati-hati jika ingin kulitmu cepat sehat." Aku mengangguk mendengarkan ucapan Bu Indria barusan. Memang benar apa yang dikatakannya tadi sewaktu aku bangun setelah perawatan, banyak sekali kapas berwarna kemerahan dengan bau yang amis yang berasal dari jerawat jerawat di wajahku yang infeksi.

"Makasih, Bu Indria. Aku tidak tahu harus bagaimana membalasnya," ujarku sepenuh hati, karena memang aku tidak memiliki uang saat ini. Bahkan di rumah  beras pun hanya tinggal satu kali masak lagi. Entah jika Mas Andra besok tidak memberikan uang mingguan, aku akan makan apa selama seminggu ke depan. Tiba-tiba saja dadaku kembali sesak mengingat bagaimana pria itu memperlakukanku dan selingkuh di belakangku. Tapi lihat saja mas, setelah ini aku akan berubah dan aku  tak akan membiarkanmu memperlakukan aku bahkan menyelingkuhiku seperti ini.

Tekadku dalam hati, aku harus menjadi lebih baik seperti yang Bu Indria katakan. Cantik itu luka, dan  sebelum cantik, aku harus merasakan luka-luka di wajahku dan diobati sedemikian rupa. Sebelum akhirnya lahir kulit baru setelah penyembuhan.

******

Berjalan dengan kepala menunduk sambil menyelimuti wajah Farel dari teriknya sinar matahari menjelang sore ini. Kata dokter kulitku belum boleh terkena paparan sinar matahari secara langsung, dan aku harus berdiam dulu di dalam rumah. Tapi tak apa, ini adalah proses untukku menjadi cantik. Dan untuk urusan menjemur Farel, aku akan menjemurnya di bagian belakang, tepat di mana jemuran pakaian berada. 

Ketika aku hendak memasukkan anak kunci kepada lubangnya, ternyata pintu itu tidak dikunci. Bahkan motor Beat Mas Andra terparkir di depan kontrakan yang berjajar ini. Padahal ini masih siang. Apakah suamiku itu tidak bekerja? Entahlah aku tidak tahu. Namun yang jelas, sikapnya padaku pasti tidak akan pernah berubah.

"Mas kamu sudah pulang?" tanyaku menatap pria itu yang tengah duduk sambil menonton TV. Dan seperti biasanya, bukannya menjawab, pria itu tetap saja asik tanpa memperdulikan pertanyaanku. 

Tak ingin banyak pikiran, langsung saja aku masuk ke kamar dan membaringkan Farel di sana. Saat aku keluar kamar untuk mengambil wudhu, mata kami bertatapan sekilas dan Mas Andra langsung membuang muka ke arah lain.

"Ya ampun, makin menjijikan saja itu mukamu,"  gumamnya namun masih bisa terdengar dengan jelas olehku. 

Mungkin sekarang menjijikan, Mas. Tapi nanti wajah ini akan menjadi aset penting untuk menarik rupiah yang sangat banyak. Dan  akan kupastikan kau akan menyesal pada saat itu.

 Aku tersenyum dalam hati, tanpa  memperdulikan lagi sikapnya kepadaku. Yang jelas ini adalah awal  perubahan dariku menuju masa depan yang lebih baik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status