Setelah hampir 4 jam berolahraga, aku merasa lelah namun tubuhku merasa segar, seperti kembali di charger setelah baterai habis dalam waktu yang lama. “Gimana? Kamu pasti seneng kan sayang? Seger kan badan nya?” ucap mama melihatku merenggangkan tubuhku. “Iya ma, rina merasa badan rina jadi enteng gitu, rina selama ini jadi heran kenapa rina berhenti melakukan ini dulu,” jawabku. “Ya iya lah, kamu terlalu sibuk ngurusin pekerjaan rumah, dari bangun tidur sampai mau tidur kan? Ya walaupun ada art tapi ya gitu kan? Hanif itu benar-benar,” ucap mama kesal sendiri. Mama benar, dulu aku fikir kalau suatu saat aku berubah¸ laki-laki itu akan selalu menerima segala perubahanku. Tapi itu tidak, aku juga tak tau mengapa begitu percaya diri akan hal itu. Dimana pun, laki-laki akan tidak suka dengan perubahan perempuan setelah menikah. Aku merasa sangat bodoh bisa selalu mencintai dan menunggu nya. “Ayo kita pulang rin! Mama tadi sudah suruh sri buat bikini kamu sarapan khusus,” “Iya ma ay
“Ya sudah, ayo kita berangkat sekarang? Udah di tungguin nih,” ucap mama memegang tanganku.“Iya ma, ayo,” jawabku. Kami pun beranjak pergi dari rumah. 10 menit kemudian kami sampai di sebuah rumah sakit. Mama memegang tangan ku dan membawaku keluar dari mobil. “Ayo,” ajaknya. Kami masuk kedalam lalu berjalan ke poli gizi, ku lihat seorang perawat menghampiri kami dan berkata, “Selamat siang bu, Dokter Clara sudah menunggu,” ucap perawat itu. “Baik, terimakasih gis,” jawab mama yang sepertinya kenal dengan perawat itu. Kami pun masuk kedalam ruangan, ku lihat teman mama yaitu ahli gizi dokter clara yang tampak menyalami mama, aku pun turut menyalami nya juga. “Duduk, silahkan duduk dulu,” ucap dokter itu. “Rina, bagaimana kabar kamu? Cantik sekali sih,” ucap dokter dengan mengelus rambutku.“Alhamdulillah baik dokter, dokter bagaimana kabarnya?” "Dokter? lihat anak kamu jeng? panggil aku dokter. Padahal dulu dia sering panggil onty-onty, haha," "Haha iya rina, dulu kamu pangg
Aku terkejut, kenapa mas hanif tumben sekali menjemput kresna? Ada apa ini? “Em, ya sudah pak terimakasih ya pak, saya kembali dulu ke mobil sambil tunggu anak saya satunya,” “Baik bu,”Aku pun berbalik ke mobil lagi, ku buka pintu mobil.”Loh, mana kresna sama abhi?” tanya mama. “Ma, Abhi masih di dalam. Tapi, kresna di jemput sama mas hanif ma,” ucapku.“Apa? Ya udah sekarang telpon dong hanif nya sayang,” ucap mama panik.“Tapi ma, aku gak mau …” “Rina, singkirkan ego kamu dulu. Anak kamu loh di papa nya yang gak bener gitu, Ya sudah mama saja yang telpon,” ucap mama lalu menelpon mas hanif. “Iya maa,” ucapku agak panik tapi tak begitu panik. Mama menempelkan ponselnya pada telinga nya. Lalu dia mulai berbicara, “Halo, hanif. Dimana cucu ku?” tanya mama. “Dimana ma?” bisikku.“Belum diangkat,” jawab mama yang ternyata terkecoh dengan suara tuut setelah dia menelpon. “Loh, belum diangkat kok mama udah tanya gitu?” “Ya kiraain udah di angkat, coba mama telpon lagi,” Mama pu
“Maaaa ..” panggilku untuk menyudahi ini karena ku malu di lihat oleh orang yang lewat.“Tante! Cukup!” ucap mira itu mendorong mama. Ku tahan tubuh mama agar tak jatuh. “Hey! Kamu berani mendorong orang tua?” teriakku lalu menurunkan kresna karena sangat kesal dan maju ke depan mama.“Heh, salah siapa dia mukul orang sembarangan,” “Yang sembarangan itu kam. Sana-sini gandeng aja! Tak tau sopan santun dan tak tau diri,” ucapku sedikit emosi.“Heh, apa maksud kamu hah! Dasar gendut!” ucapnya lagi mengolok ku dan meludah ke samping.“Udah—udah mir,” ucap mas Hanif.“Mas! aku belain kamu loh. Kamu kenapa sih diam saja?” ucapnya pada mas hanif.“Hey! Ini yang pantas untuk kamu wanita pelakor!” ucap mama yang maju lalu menampar mira. Plak! “Aw!" teriak nya dengan memegang pipinya.“Maaahh!” ucap mas hanif yang kesal, dia melotot ke arah mama.“Apa hah? Mata kamu! Seharusnya kamu itu! Wanita gak baik seperti ini kamu pilih dibanding Rina? Sinting kamu! Besok kamu pasti akan menyesal Kam
Kami pun berangkat untuk berbelanja kembali. Di perjalanan yang sedikit macet, Mobil yang kami tumpangi berhenti karena lalu lintas yang sedang padat. Dari arah kanan, sebuah mobil sepertinya menabrak warung di pinggir jalan. Mereka terlihat mendebat tentang hal itu. Tapi tunggu dulu, itu bukannya mobil mas hanif? Ya benar itu mas hanif yang ikut mendebat penjual warung itu. “Hehehe,” ucapku terkekeh.“Kenapa kamu rin?” tanya mama.“Itu ma, mobilnya mas hanif sepertinya nabrak warung orang,” jawabku menunjuk ke arah kanan.“Eh memang iya itu hanif? Haha, kalau iya entah kenapa mama senang juga rin, tapi belum puas kalau hanya seperti itu saja,” “Memang maunya seperti apa ma?” “Ya, pokoknya lebih dari itu. Lihat saja nanti pasti banyak kejadian lagi kok,” Setelah melihat kejadian itu dan sampai di tempat tujuan kami dengan cepat membeli kebutuhan yang diperlukan lagi. hingga hampir 2 jam kemudian, Setelah menemani mama membeli kado untuk temannya, kami putuskan untuk pulang. Ku pen
"Silahkan untuk penggugat dan tergugat dan maju duduk di depan” ucap hakim. Aku pun maju dan duduk di kursi depan. Hakim pun mulai mengajukan pertanyaan pada kami. “Saudara Hanif Sahendra, anda menggugat istri anda yang bernama Rina satyawati untuk bercerai karena sebagai istri dia tidak menjalankan kewajiban nya secara lahir dan batin apa benar?” ucap hakim.“Benar yang mulia,” “Saudari rina satyawati, pekerjaan anda apa?” “Saya tidak bekerja yang mulia,” “Lalu pak hanif pekerjaan anda apa?” “Saya direktur agensi yang mulia,” “Baik-baik, Anak kalian 2?"“Benar yang mulia,” Selanjutnya hakim mulai mengajukan pertanyaan lain kepada saksi perceraian. Kami sempat heboh dan ribut karena aku mengakui semua nya di depan hakim mulai dari mas hanif yang terang-terangan membawa perempuan lain dan mulai berlaku kasar pada ku, aku juga menyampaikan pada hakim bahwa suami ku itu telah menalak 3 diriku. Dan tak ada alasan lagi untuk kami Bersatu. Aku benar-benar tak ingin lagi melihat dan
Anakku tak bisa mengendalikan nya, Dia mundur-mundur hingga ke ruang tamu depan. Dan … Bruk! “Abhii …” panggil ku mendekati nya. “Aduh mama sakit,” “Ya ampun sayang, mana yang sakit?” “Sini ma, huhu,” Aku pun membopong anakku untuk duduk di sofa dulu. “Sini sayang mama lihat dulu,” “Huhuhu,” tangis nya. Ku lihat sedikit memar biru di bagian lutut nya dan memar di lengannya. “Sayang, sebentar tunggu di sini. Mama mau ambil salep memar dulu,” “I-iyaa maa …” Aku dengan cepat bergegas mengambil kotak P3K yang ada di samping tv ruang keluarga. Di saat ku mencari salep dan juga handsaplast untuk mengobati anakku. Tiba-tiba,“Abhi? Kamu kenapa nak?” terdengar suara serak dalam yang ku kenal. “Papa!” suara anakku kresna terdengar. “Kresna?” “Awas! Pak Hanif! Kenapa Kamu kesini! Sana pergi!” teriak anakku. “Abhi … Kenapa begitu?” Aku berbalik dan melihat mas hanif yang masuk berbicara dengan kedua anakku. Ku berlari dengan cepat mendekati mereka dan melepaskan tangan mas hanif
Anak ku kresna mengigit leher mas hanif sementara anakku abhi mengigit lengan mas hanif. Mereka pun bisa melepaskan diri dan berlari ke arah ku. DI sat yang sama, entah itu kebetulan atau bukan, Pak yatno dan pa kadi keamanan komplek datang dengan membawa pemukul seperti akan memukuli maling. “Pak, tangkap orang itu. Dia sudah membuat onar di rumah ini.” Teriak papa menunjuk mas hanif.Sontak mas hanif pun panik, “Eh pak, tunggu pak, Ini salah paham. Ini istri dan anak saya,” “Bukan, DIa memang penculik anak. Pak tangkap saja dia, laporkan saja dia ke kantor polisi.”“Serius pak, percaya saja dengan saya, Tidak. Papa jelaskan pada mereka pa, hanif Cuma itu satu saja pa. Paa …” teriak mas hanif di saat sedang di bawa oleh para petugas keamanan itu. “Bawa dia pak,” lanjut papa. “Pa, kalau papa cabut saham papa. Maka aku tak akan pernah menceraikan Rina pa, Papa dengar bukan? Aku akan mencabut gugatan cerai ku pa.. ma …” suara mas hanif terdengar makin jauh namun entah kenapa itu mem