Nyeri di perutnya tak bisa ditahan. Belum lagi rasa tak enak yang dirasakannya di satu bagian tubuh. Ditambah situasi yang menasi yang menyudutkannya sekarang, ia tak bisa menahannya lagi hingga meluapkan segala sesuatunya melalui air mata.
Tidak hanya sakit, tapi Chiara juga menanggung malu. Ia baru saja dibantu berdiri oleh si bos galak. Tak berhenti di sana, tubuhnya pun diangkat dan dibawa ke sebuah ruang di mana Sukma menunjuknya sebagai kamar yang akan ditempatinya selama bekerja nanti.
“Kamu perlu sesuatu?” tanya Yanuar setelah merebahkan Chiara di ranjang. “Masih bisa berdiri buat ganti pembalut sendiri, ‘kan?”
Dua netra Chiara mengerjap cepat. Kepalanya mencerna ucapan si pria. Lalu ia mengangguk ringan sambil meremas seprei kasurnya.
“Emang sejak kapan ada cewek yang minta tolong digantiin pembalut sama orang lain?” protes Chiara blak-blakkan.
Yanuar nyaris tersedak mendengarnya. Lantas menggeleng sambil mengibaskan sebelah tangan. Ia mengatupkan mulut untuk berusaha lebih berhati-hati menjaga ucapan di depan gadis yang terpaut jarak usia cukup banyak.
“Bapak keluar aja, ngapain masih nunggu di sini?” dengkus Chiara setelah beberapa waktu menyaksikan Yanuar berdiam diri duduk di sofa sambil memandanginya. “Saya perlu privasi buat bebersih.”
“Bebersih dan nangis?” celetuk Yanuar.
Merotasikan kedua bola mata, Chiara berujar tegas, “Pak ….”
Yanuar mengulum senyum jenaka. “I-iya, saya pergi. Kalau sudah, panggil aja. Saya tunggu di depan pintu.”
Pria itu bangkit dari duduk bersiap melangkah menuju daun pintu, tapi menoleh ke belakang. Ia berkedip saat Chiara menyahuti ucapannya tadi. Wajah gadis itu tampak memerah.
“Astaga Bapak, ngapain juga pakai nunggu di depan pintu?” keluh Chiara seraya bangkit duduk.
“Pembicaraan kita belum selesai, Bocah Tengil,” balas Yanuar penuh percaya diri. “Kamu pikir, saya setuju kamu bekerja di sini?”
“Jadi, Bapak tega ngusir saya dalam keadaan begini?”
Yanuar terkekeh geli. “Memang kamu kenapa?” katanya dengan menaikkan sebelah alis, kelihatan meremehkan lawan bicara.
Chiara tak bisa membalas, sebab pintu sudah ditutup dari luar. Tampaknya Yanuar juga sudah pergi dan tak berniat kembali masuk ke kamar. Barulah ia beringsut sambil memegangi pantat dan mengaduk kantung plastik minimarket.
Sebuah benda penyelamat datang bulannya sudah di tangan. Chiara bergegas masuk ke kamar mandi yang sepaket dengan kamarnya sendiri. Ia akui, kamar yang ditempatinya ini cukup spesial. Tak seperti kamar asisten rumah tangga kebanyakan yang toiletnya terpisah dari kamar.
“Kalau aku beneran diusir, gimana nasibku nanti?” gumamnya dalam hati. “Pokoknya adegan pemecatan waktu itu nggak akan terulang, aku harus bisa bertahan di rumah ini. Sekalipun seatap sama si Kulkas!”
Bersama anggukkan kepala, Chiara keluar dari kamar mandi. Ia tak payah mencuci celana karena yang keluar tak sebanyak yang ia kira. Baru selangkah menjejaki kamar, irisnya melotot saat menemukan sosok Yanuar tengah meletakkan sesuatu di meja.
“Ngapain, Pak?!” pekik Chiara. “Bapak ini mesum ya!”
Yang diteriaki pun sama terkejutnya. Begitu memutar tubuh, Yanuar sudah merasakan pukulan keras menimpa punggungnya. Seketika terdengar teriakan mengaduh memenuhi ruangan.
“Chiara, kamu benar-benar!” Yanuar menunjuk wajah gadis di hadapannya yang tak ada raut bersalah sama sekali. Justru kelihatan menantang. “Ini … sakit! Kamu nggak sadar atas apa yang kamu lakukan? Saya bisa laporin kamu atas tindak kekerasan!”
Ancaman demi ancaman yang dilontarkan Yanuar bukan apa-apanya bagi Chiara. Si gadis malah berkacak pinggang sambil menaikkan dagu. Terlebih matanya penuh amarah.
“Silakan! Saya juga bisa laporin Bapak yang mesum karena asal masuk ke kamar mahasiswi kayak saya!” tantangnya telak.
“Mesum?”
Chiara mengangguk cepat. “Bapak mesum!”
“Astaga, lihat ini, lihat!” Yanuar menunjuk ke arah meja yang terletak di samping ranjang. “Saya antar termos berisi air panas supaya nyeri haid kamu bisa mereda. Sekarang kamu masih berpikir saya berniat mau mesum?”
Dalam sepersekian detik, Chiara bisa melihat benda yang dimaksud Yanuar. Dan sekarang, kepercayaan dirinya lenyap entah ke mana. Membalas tatapan bosnya saja, ia tak seberani itu.
“M-maaf.”
Hanya satu kata terbata yang lolos dari bibir Chiara. Mana sempat ia berpikir pria yang galaknya bukan main bisa berbaik hati memberikan termos isi air panas untuknya? Orang tua dan dua saudaranya saja masa bodoh.
Sampai kemudian, Yanuar mencengkeram pergelangan tangan Chiara dan menyeretnya. “Sekarang, kamu ikut saya!” katanya tegas.
Chiara berjengkit. “M-mau ke mana, Pak?”
***
Sudah lewat 10 menit Chiara menunggu Yanuar angkat suara setelah tiba di halaman samping rumah. Ia tak paham tujuan pria itu menyeretnya. Bahkan sampai sekarang, tak ada pembicaraan untuk memulai apa pun. Mau tak mau, ia harus menunggu sambil bergulat dengan rasa nyeri di perut.
Tak lama kemudian, datanglah pria berusia 50-an yang membawa kantung plastik. Orang itu memakai seragam petugas keamanan. Pria yang tadi sempat Chiara tanyai saat baru tiba di rumah megah ini.
“Ini, Mas pesanannya,” ujar pria itu.
“Makasih, Mang Dar.” Yanuar menyambut pemberian si satpam. Lalu melirik sekilas pada Chiara. “Kamu udah kenalan belum sama satpam di rumah saya?” tanyanya pada si gadis.
Takut-takut, Chiara mengangkat wajah dan menggeleng pelan. “Saya Chiara, Pak. Yang bekerja jadi asisten baru di sini, mohon kerjasamanya ya, Pak.”
“Panggil Mang Darman aja, Neng. Atau simpelnya sih, Mang Dar,” jelas si satpam.
Chiara membalas melalui senyum sopannya. Begitu Mang Dar pergi, barulah Yanuar berdeham pendek sebelum mengangsurkan kantung plastik tadi pada Chiara. Entah kurang paham atau bagaimana, gadis itu hanya menggerakan alis dan tak bicara sama sekali padanya.
“Ini ambil, kok malah diam kayak patung?”
“Buat saya, Pak?”
“Nggak, buat tanaman di depan!” ucap Yanuar kesal. “Ya jelas buat kamu, pakai nanya!”
“Perasaan saya yang lagi datang bulan, kenapa Bapak yang emosian?” timpal Chiara setengah berbisik, tapi masih bisa didengar baik oleh lawan bicaranya.
Sontak saja Yanuar menatap tajam Chiara. “Masalah buat kamu?”
Chiara menggeleng ragu. Lalu tersenyum masam. Ia mengaduk isian kantung dan mengambil salah satu botol minuman khusus pereda nyeri datang bulan. Kedua alisnya kontan bertaut sembari menunjukkannya pada Yanuar seakan meminta penjelasan lebih.
“Jujur saya kurang paham, Pak. Ini semua … buat apa?”
Napas Yanuar menghela berat. Nyaris mengumpat karena sikap Chiara yang kelihatan naif. “Saya nggak tahu apa yang cocok buat kamu kalau lagi nyeri begitu, jadi ya … pilih aja salah satunya,” ungkapnya. “Ke depannya saya nggak mau angkat kamu ke kamar, apalagi sampai melihat kamu nangis karena sakit tiap bulan. Pasti bakal merepotkan.”
“Oh, wow.” Chiara terlihat takjub mendapat perlakuan Yanuar. “Tapi saya nggak nangis di depan orang-orang kok, Pak, saya biasa tahan sakitnya,” timpal Chiara.
“Terus tadi kenapa nangis di depan saya?”
Gadis itu meringis sambil menggaruk tengkuk. “Selain sakit, sebenarnya saya takut dan bingung kalau Bapak ngusir saya. Pak … saya benar-benar butuh kerjaan ini dan mau bekerja dengan sungguh-sungguh.”
Yanuar terdiam sesaat, hingga sebelah alisnya terangkat. “Kamu yakin?”
“Yakin 100%!” seru Chiara sambil mengangguk cepat. “Saya janji.”
Tanpa disadari Chiara, rupanya pria di hadapannya itu terkekeh kecil. Baru kali ini ia menyaksikan sosok yang baginya menyebalkan, rupanya bisa melakukan hal seperti manusia lainnya. Larut dalam pikirannya sendiri, Chiara sampai terhenyak ketika Yanuar memanggilnya beberapa kali.
“Kamu tuli? Saya bilang sini, cepat ke sini!” titah Yanuar dengan menepuk bagian tempat duduk di sampingnya yang kosong.
Menelan ludah, Chiara pun berdiri dan mendekati sang bos. Namun, langkahnya terhenti saat ia menangkap Yanuar baru saja melakukan hal di luar prediksi. Segera ia menutup mata menggunakan kedua tangan rapat-rapat.
“Pak … Bapak ngapain buka baju?!”
"Chiara pecah ketuban, Nu."Satu pernyataan berbuah informasi penting itu berhasil membuat tubuh Yanuar kaku. Tangannya terhenti di udara ketika hendak meminum kopi hangat untuk menyegarkan diri dari kantuk."Sekarang udah di rumah sakit." Yabes yang berada di sampingnya menambahkan. "Kata Tante Sukma, Chiara udah masuk pembukaan delapan. Dokter menyarankan pindah ke ruang bersalin, tapi Chiara menolak karena bersikeras nunggu lo."Yanuar memejamkan mata sejenak. Mengingat janji mereka yang akan menyambut kelahiran bayi bersama. Tindakan Chiara tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena wanita itu masih berupaya keras.Bayangan Chiara yang merintih dan menahan sakit perutnya sekelebat terlintas di benak Yanuar. Sontak Yanuar bangkit dari duduk. "Kita ke rumah sakit sekarang," putusnya cukup mengejutkan Yabes. "Lagi pula pesawat kita delay lama."Seharusnya Yanuar dan Yabes sudah tiba di Kalimatan untuk keperluan dinas, tapi karena cuaca buruk, jadwal penerbangan berubah total. Ia menungg
Rasanya beban-beban di pundak makin berat saja tiap kali ia pulang dari perkumpulan Rein dan yang lain. Tak hanya pundak, rupanya punggung hingga pinggulnya sudah menunjukkan rasa lelah sejak di perjalanan tadi. Perutnya kian membesar di usia kandungan pada bukan ke-7 ini, napasnya sering sesak setiap kali merebahkan diri.Apalagi selama melewati pertemuan tadi, Chiara tak begitu menikmati makanan. Ia hanya menyimak tiap kali perbincangan muncul. Walaupun isinya hanya itu-itu saja. Obrolan wanita berkelas yang membicarakan kekayaan keluarga hingga pasangan, dan sayangnya Chiara tak mampu melakukan hal sama.Memang apa yang harus ia pamerkan dari harta suaminya? Meskipun keluarga Yanuar jauh lebih di atas Rein dan yang lain, tetap saja Chiara tak bisa bercuap-cuap asal agar dianggap ada orang lain. Ia pikir, itu tindakan kekanakan dan kurang pantas.“Kita istirahat habis ini ya, Dek,” gumam Chiara sambil mengelus perutnya yang buncit. “Udah sampai rumah, nih.” Ia membuka pintu dan mela
Ada getar yang bisa Yanuar rasakan ketika menggenggam tangan Chiara. Ia mengeratkannya, berusaha menenangkan tiap detik hingga getaran itu perlahan redup dan akhirnya menghilang. Yanuar tak tahu apa yang tengah dipikirkan Chiara sekaligus disembunyikan istrinya itu sekarang. Yang jelas, mereka sempat cekcok sebentar sebelum berangkat ke rumah sakit seperti sekarang. Di perjalanan pun, tak ada perbincangan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama bungkam sampai Yanuar membuka suara begitu merangkul pinggul Chiara menuju poli yang dituju. "Kamu kelihatan gugup, dan ... pucat," celetuk Yanuar sesaat setelah duduk di kursi begitu tiba di ruangan dokter. Chiara mengambil napas dan menggeleng kemudian. "Biasa kalau mau check up pasti ada gugupnya, Mas." Suara itu terdengar penuh kebohongan di telinga Yanuar, tapi ia tak mempermasalahkannya sekarang. Beberapa rangkaian pemeriksaan sudah dilewati Chiara dan Yanuar melihatnya saksama. Penuh perhatian lekat dan fokusnya pun sengaj
“Jadwal gue setelah ini apa lagi, Bes?”Tanpa mendongak ke arah bawahannya, Yanuar melempar tanya sambil menatap foto yang dikirimkan Chiara belum lama ini. Istrinya itu sedang rajin-rajinnya pergi ke kelas yoga dan beberapa pertemuan dengan Lily dan juga Rein.Perubahan Chiara kedengaran bagus sekali. Terutama Mami yang senang bukan kepalang mendapati kabar itu. Sampai Yanuar baru menyadarinya sekarang karena kelewat sibuk dengan urusan kantor dan masalah yang terus datang.“Ada meeting online sama pegawai Kominfo untuk bahas masalah tambang yang sempat muncul di media dua hari lalu.”Kini Yanuar mengalihkan pandangan, beradu tatap dengan Yabes sambil membuang napas kasar. “Jadi, gue nggak dibolehin istirahat atau makan malam di rumah sama istri ya, Bes?”Yabes mengulum senyum samar. Rautnya berubah tak enak mendapati sarkasme yang dilontarkan atasan, tapi apa boleh buat. Semua sudah dirancang baik-baik dan mendapat persetujuan Yanuar secara langsung.“Kasih lima menit,” pinta Yanuar
Chiara menoleh cepat pada meja di dekatnya usai Yanuar memberikan sesuatu di sana. "Itu apa, Mas?""Langsung aja datang ke sana, ya. Mami udah booking paket A buat kamu," jelas Yanuar sambil melangkah pelan mendekatinya. "Nggak perlu pakai taksi, biar sopir yang antar ke manapun kamu pergi."Chiara menjauhkan punggung dari sandaran kursi pijatnya dan menatap bingung Yanuar yang sudah duduk berlutut di depannya sekarang. "Paket A?" tanyanya bingung.Yanuar menganggukkan pelan, tangannya terulur menyentuh lutut Chiara dan memberi usapan lembut. "Pijat di salon, sekalian perawatan," jawabnya. "Kamu pasti capek setelah KKN kemarin. Belum lagi acara penyambutan kepulangan kamu itu."Chiara menyengir lebar, menyadari beberapa bagian tubuhnya memang sedikit pegal semalaman. Namun ia tidak berpikir untuk melakukan spa di salon seperti yang diujarkan Yanuar itu. Perlukah ia?"Emangnya harus, Mas?" Chiara menggaruk tengkuk tak enak. "Aku kan lagi hamil, boleh pijat-pijat gitu?""Boleh, Mami bil
Wajah Chiara sudah berseri-seri sejak berakhirnya malam perpisahan dengan warga desa. Tugasnya dan teman-teman akhirnya selesai. Bukan hanya sambutan di awal, tapi mereka mendapat banyak tanggapan positif di penghujung.Chiara baru saja selesai berkemas barang-barangnya, mengecek ulang isi koper kesekian kali. Kemudian menilik surat-surat yang dituliskan beberapa murid sekolah setelah ia mengisi kelas karya beberapa waktu lalu. Semua indah dan sulit dilupakan begitu saja, sebab mengukir kenangan manis di kepala.“Kerja bagus semuanya!” seru Tino di tengah kesibukan berkemas di posko. “Gue nggak tahu lagi mau apresiasi dengan cara apa, yang jelas gue bangga banget sama kelompok kita ini.”“Ya, gue setuju.” Abas menimpali dengan senyum haru. “Gue pikir, proker kita bakal ngebosenin dan kayak tradisi sebelumnya. Tapi ide-ide yang kita buat cukup cemerlang juga.”Chiara mengangguk setuju. Melihat semuanya menampilkan wajah lega dan penuh bangga, ia pun merasakannya dengan batin berbunga-b