Masuk“Aku nggak peduli. Itu bukan tanggung jawabku lagi,” sahut Mas Yuda semakin ketus dan dingin, “Kamu bukan istriku lagi. Pergilah, aku sudah muak melihatmu. Dasar perempuan nggak bener,” ucapnya masih memaki serampah padaku.
Mas Yuda seakan berubah 180 derajat, bukan seperti suamiku yang baik. Dia nggak pernah berteriak padaku, tapi malam ini dia benar-benar membuatku kecewa. “Mas!” “Pergi. Keluar dari rumahku,” teriak Mas Yuda makin menggelar dan dia benar-benar mendekati koperku lalu mendorong koperku dengan kasar. “Bawa barang-barang kotormu. Keluar dari rumahku. Aku nggak mau melihat perempuan seperti mu,” tegas mas Yuda, dia dengan kasar menarik paksa tanganku, mendorongku keluar kamar bersama dengan koperku. “Huhuhu huhuhu … Mas aku mohon jangan usir aku Mas mas …,” aku menangis tersedu di depan kamar Mas Yuda, kamar dimana biasanya aku dan mas Yuda tiduri. Sekarang aku malah diusir dari sana. “Tega kamu, Mas, kamu nggak mau mendengar penjelasanku. Aku benar-benar nggak bersalah Mas, aku nggak pernah melakukan itu dan aku nggak tahu kenapa bisa begini, Mas, Mas, tolong buka pintunya, dengarkan penjelasan aku, Mas,” raungku di depan pintu kamar Mas Yuda, mencoba menggedor—gedor kamarnya agar Mas Yuda memberikan aku kesempatan bicara. Tapi, nggak ada sahutan apapun kecuali aku mendengar, “Ahh umm Mas ahh enak banget Mas ahh umm kamu jadi tambah semangat setelah mengusir istri kamu ahh enak Mas,” aku membeku kembali saat mendengar suara desahan manja Rania bersama suamiku. “Ahh lubangmu benar benar nikmat sayang, ahh ini nggak ada duanya. Kamu memang yang paling terbaik. Amel itu nggak sebanding dengan kamu, aku yakin, kamu pasti bisa memberikan apa yang aku inginkan kalau aku genjot terus seperti ini ohh ahh ahh emm,” kini sahutan suara dari Mas Yuda bergema, mengisi dan saling bersahutan. Aku hanya bisa meremas jantungku. Air mataku terus saja mengalir nggak henti. Mas Yuda sudah benar-benar berubah, dia sudah nggak seperti mas Yuda suamiku. Dia seperti orang lain. Apa yang harus aku lakukan tanpa mas Yuda? Selama ini aku nggak pernah kemana–-mana. Aku selalu menjadi istri penurut dan apapun yang dia inginkan aku selalu menurutinya. Aku diminta diam di rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Mas Yuda selalu melarangku menggunakan kosmetik karena dia bilang aku cantik meski nggak berdandan sekalipun. Padahal selayaknya seorang wanita terkadang aku pun menginginkan merias diri seperti wanita lainnya. Semua karena mas Yuda, apapun yang dia inginkan aku lakukan. Inikah balasannya, aku seperti barang rongsokan yang tidak berharga dibuang begitu saja tanpa perasaan. Mas Yuda seperti orang lain. Dia entah sejak kapan berubah. Selama ini aku merasa nggak ada pertengkaran di hubungan kami. Aku merasa rumah tangga kami baik-baik saja. Dari mana dia bisa mendapatkan laporan kondisi kesehatanku. Aku nggak pernah merasa melakukan tes apapun. Dan tau—tau mas Yuda mendapatkan surat yang menyatakan aku mandul. Jujur aku masih bingung dengan kondisi itu. Tanganku gemetar menarik koper keluar dari rumah mas Yuda. Air mataku masih saja belum berhenti, aku benar-benar nggak menyangka di malam kami seharusnya merayakan hari bahagia, malah kesedihan ini yang aku rasakan. Diusir mas Yuda karena aku berselingkuh dengan laki-laki lain yang sama sekali aku nggak pernah tahu. Lalu aku dinyatakan mandul adalah hadiah pernikahan kedua yang sama sekali nggak pernah aku bayangkan. Kemudian diceraikan secara sepihak. Duniaku seketika menjadi gelap dan ruangan terasa sesak. Semakin aku pikir, aku semakin nggak mengerti. Hujan benar—benar deras mengguyur bumi. Aku kehilangan arah. Hanya bisa menarik koper dan berjalan di sepanjang trotoar, jika mungkin ada orang yang melihatku saat ini mereka akan menyangka kalau aku gila. Mana ada wanita waras dan normal berjalan di tengah hujan sambil menarik koper dan terus menangis. Saat ini aku nggak tahu harus kemana. Aku merasa nggak punya teman, tujuan atau siapapun yang bisa aku datangi. Benar—benar membuatku makin sesak napas. “Huhuhu, mas Yuda, huhuhu, tega banget kamu, mas, kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini, mas, huhuhu,” tangisku di sepanjang jalan dan diguyur air hujan sangatlah lengkap. Seperti butiran batu kerikil yang menimpuki tubuhku, itu terasa sangat menyakitkan. Aku menghentikan langkahku dan duduk di tengah trotoar. Menangis sekencangnya ditengah hujan agar nggak seorangpun bisa mendengar perasaan terluka diriku. “Mas Yuda aaagghh kamu benar-benar tega Mas, kamu jahat, Mas, huhuhu!” semua cairan dari hidungku benar—benar sudah nggak bisa terbendung. Suara serak, badan menggigil terus menyapu kulitku. Semua penghianat mas Yuda sama sekali nggak pernah aku bayangkan. Aku nggak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini. Ini semua karena si Rania wanita penggoda suami orang itu. Kalau bukan dia yang meracuni suamiku, mas Yuda nggak akan pernah melakukan hal seperti ini. Aku nggak menyadari kalau ada sepasang mata dari dalam mobil sedang mengamatiku. Dia benar—benar melihat kehancuran ku. “Amel … Amel. ini beneran elo kan?” Aku hampir nggak mendengar suara teriakan itu karena sudah dibarengi dengan hujan dan juga petir yang bergemuruh. Suara itu mendekati, aku merasa ada seseorang yang memayungi tubuhku. Aku mengangkat kepalaku perlahan meskipun sudah terasa sangat berat dan pusing. “Donna …,” suaraku hampir nggak terdengar, aku merasakan tubuhku dipapah berdiri. Dia merangkulku dalam pelukan. “Ngapain Lo disini? Trus kenapa Lo bisa kayak gini, Mel?” suaranya setengah berteriak, namun yang terdengar di kepalaku seperti dengungan—dengungan yang hampir nggak terdengar. Tubuhku melemah dan aku merasakan pandanganku gelap. Saat aku terbangun, aku sudah terbaring di ranjang. Mataku menatap sekeliling, nggak ada aksen kamar yang kukenal, jelas sekali ini bukan di kamar Mas Yuda. “Lo udah bangun, Mel,” suara itu menyapa kembali, Donna duduk di pinggir ranjang dengan pandangan yang mengkhawatirkanku. Aku menatapnya tanpa bicara, namun tanpa terasa air mataku mengalir kembali. Donna terkejut, “Elo, kenapa, Mel? Apa yang terjadi?” Aku nggak kuasa membendung air mata, meraung tambah kencang saat Donna mempertanyakan kondisiku. “Tarik napas, buang, tarik napas lagi trus buang, Mel, pelan-pelan aja, gue nggak maksain buat Lo cerita sekarang kok,” Donna berusaha mengerti kondisiku yang memang belum bisa diajak cerita. Dia menenangkanku, mengusap punggungku. Rasanya, itu yang paling aku butuhkan sekarang. Aku hanya butuh seseorang yang memelukku dengan erat. “Donna …,” suaraku berat dengan limbangan air mata, benar—benar terasa sangat sesak. “Tenang Mel, pelan-pelan aja ceritanya, nggak harus sekarang, uhm … Lo udah makan belum? Tadi pas Lo pingsan, gue udah sempet buatin makan,” kata Donna, dia benar-benar menghawatirkan kondisiku yang lemah dengan tubuh yang terus menggigil. Aku menggeleng pelan. Makan? Bahkan hari ini sebelum benar—benar berakhir, aku sudah lupa, apa aku sudah makan atau belum. Aku hanya ingat pagi tadi sempat menggigit satu helai roti saking senangnya menerima telepon mas Yuda yang meminta ku untuk keluar rumah siang hari dan jangan pulang sebelum jam 9 malam.Mas Yuda juga terkejut saat mendengar aku hamil. Dia yakin 100% kalau laporan yang diberikan Rania itu asli, tapi sekarang sepertinya itu kebalikan. Dan Mas Yuda sudah berpikir pasti ada sesuatu hal yang dia nggak tahu. Jadi dia tetap akan melakukan tes ulang tentang kesuburan tubuhnya. Setelah dia yakin dan tahu lalu semua perbuatan Rania itu terbukti, mas Yuda pasti nggak akan memaafkan juga melepaskan Rania seumur hidupnya.“Apa kau bilang? Jangan main-main, Jimmy. Kau jangan membohongiku!” Zack mencengkraman lagi kerah jas putih milik Jimmy.“CK, CK, kapan memangnya aku pernah berbohong padamu. Aku katakan karena sudah sesuai dengan pemeriksaan!” tegas Jimmy.Zack berbalik dan menatap ku yang masih terbaring belum sadarkan diri. Namun, beberapa detik kemudian aku membuka mataku perlahan. Melihat sekeliling dipenuhi orang sedikit membuatku terkejut. Bagaimana tidak, dulu saat aku menikah dengan mas Yuda ketika aku sakit pun sudah kadang nggak peduli. Dia hanya menyuruhku meminu
“Apa lagi sih, Mas? Kamu lagi ngomong apaan sih? Aku gak ngerti!” benar-benar sudah muka tembok super si Rania itu.Dia bahkan gak pernah mengira kalau mama Erlita dan mas Yuda sudah menyaksikan pertunjukkannya tadi.“Sudah gak usah berbohong lagi, Rania. Kamu benar-benar membuatku kecewa!” decak mas Yuda bekacak pinggang dan menepis tangannya yang ingin mendekat.“Mama gak nyangka. Kamu benar-benar tega melakukan itu, Rania. Selama ini Mama percaya sama kamu. Lalu apa ini balasannya?” Mama Erlita menimpali dan gak ingin kalah. Dia benar-benar muak dengan sandiwara yang sudah dilakukan Rania.“Mama, Mas Yuda, kalian kenapa? Kalian jangan sampai terjebak dan tertipu omongan. Rania sayang banget sama Mama, Mas Yuda, mana mungkin Rania membohongi kalian?” ucap Rania lagi, dia maju mendekati Mama Erlita.Berharap masih ada sedikit cara untuk memperbaiki situasi.“Diam Rania, kamu benar-benar ya, Mama gak pernah sangka ternyata ini sifat asli kamu. Kamu wanita munafik yang pernah Mama kena
Leticia segera menghubungi tuannya. Dia gak ingin menjadi sasaran. Karena kemarin kena tumpah air saja sudah membuatnya patah tulang apalagi ini aku pingsan dan mengeluarkan darah.“Tuan, Nyonya Amel dibawa ke rumah sakit oleh …,” belum sempat Leticia menjelaskan, “kau bawa dia ke tempat Jimmy?” mendengar pertanyaan tuannya Leticia terdiam sesaat.“Sepertinya … saya akan segera menghubungi tuan,” Leticia segera menutup telepon dan berlari mengejar Kenzo juga Lexi yang sudah keluar.“Bagaimana ini, Yuda? Wanita sial itu gak apa-apa kan? Mama sedikit takut, sepertinya ancaman laki-laki itu gak main-main. Dasar wanita murahan, dia benar-benar wanita penggoda. Setelah bercerai denganmu, berapa banyak laki-laki yang berhubungan dengannya!” Mama Erlita masih saja mengumpatku. Dia benar-benar gak merasa bersalah sama sekali.Mas Yuda terlihat berpikir. Dia gak menggubris ucapannya mamanya.“Ma, apa mungkin apa yang dia ucapkan benar? Mungkinkah Rania?” hati mas Yuda sekarang sedang merayu.
Aku berbalik badan dan gak ingin mendengar. Itu memang bukan urusanku. Aku gak mau tahu dan ikut campur.“Dengarkan aku dulu!” Kenzo ingin memegang tanganku, tapi aku menghindar.Lexi sampai geleng-geleng kepala. Dia merasa temannya sudah benar-benar gila karena seorang wanita. Bahkan yang gak pernah dilakukan sekarang sepertinya dia sudah seperti laki-laki pebinor yang mengejar seorang wanita bersuami.Aku menggeleng.“Kali ini saja, sungguh. Aku mohon. Aku tidak berniat jahat denganmu. Aku hanya ingin kenal dan dekat denganmu!” ucapan yang gak masuk akal buatku. Dia tahu, aku sudah menikah, tapi masih nekat melakukannya.“Aku hanya ingin kamu tahu kebenarannya. Dia, wanita yang kemarin itu, dia hamil, tapi bukan anak dari mantan suamimu itu!” cetusnya. “Oww!” reaksiku mungkin membuatnya bingung.“Aku melihatnya sendiri, tadi, dia sedang bersama laki-laki lain di bar …,” Kenzo menyebutkan nama bar itu, tapi aku hanya manggut-manggut. Benar-benar gak mau peduli apapun yang terjadi de
“Kenapa melamun?”Siang ini Lexi berada di kantor Kenzo. Dia melihatnya hanya berdiri di jendela seolah memikirkan sesuatu. Sejak pertemuannya semalam denganku, Kenzo jadi lebih pendiam.“Kau sudah menghubungi papamu?” Kenzo masih diam, “atau dia sudah menyetujui kesepakatan?” Kenzo hanya memutar tubuhnya dan kembali ke dalam.“Apa kau benar—benar menyukainya? Hah! Ini membuatku gila. Kau ditanya tidak menjawabku dan berekspresi yang benar? Ada apa sebenarnya!” rasanya sekarang Lexi ingin meninju wajahnya karena kesal.“Kita pergi kesana!” Kenzo berbicara dan bersiap keluar pintu ruangannya.“Tunggu, kemana? Maksudmu, ke restorannya lagi? Kau gila! Dia itu sudah bersuami dan kau tahu siapa dia. Jangan buat masalah. Aku yakin, dia tidak akan mungkin tinggal diam!” Lexi menarik tangannya mencegahku dia berbuat yang gak-gak.Kenzo menepis tangannya dan tetap melangkah keluar dari ruangan kerjanya.“Tidak masuk akal. Dia gila karena satu wanita yang sudah bersuami. Aku tidak habis pikir
Zack terlihat puas dengan kejadian tadi. Dia bahkan gak menyangka kalau aku bersikap manja seperti tadi.“Kamu masih marah, Zack?” aku meliriknya karena ekspresi sekarang sedikit berbeda.“Kau ingin aku marah?” aku menggeleng, “kamu benar-benar mengenal orang tadi?” aku malah bertanya balik.“Kau tertarik padanya?” picingan kuat sudah terlihat Dimata Zack.“Aku sudah punya suami, untuk apa memikirkan atau melirik laki-laki lain. Memangnya kamu bersedi– aw! Zack sakit!” aku kembali protes, dia mencubit pinggangku.“Aku benar-benar gak mengenalnya, sungguh, Zack. Meskipun dia tadi berbicara seperti itu, aku hanya baru bertemu dengannya tiga kali,” kataku jujur, Zack malah menautkan keningnya.“Jangan marah dulu, pertama saat aku mau ikut ke tempat pertemuan dan menunggumu. Kedua tadi di toko dan ketiga tadi!” aku hanya bisa bilang itu saja, gak ingin mengatakan hal yang lebih.Yang terpenting Zack tahu dan aku memang gak berbohong.“Kenapa kamu diam? Kamu gak percaya denganku? Sungguh,







