Semua seperti mimpi. Aku bahkan nggak menyangka, rumah tanggaku hanya dalam satu kali kedipan mata berakhir. Aku masih belum mempercayai itu.
“Yuk, makan, gue temenin Lo makan,” Donna berkata lagi dan membantuku turun dari ranjangnya. Kaki telanjangku menyapa lantai. Sedikit bergetar karena mungkin aku pingsan belum makan. “Gue nggak sempet masak berat, nasi goreng sama telor ceplok nggak apa-apa kan, Mel!” ucap Donna menarik kursi dan membantu aku duduk. Aku hanya menatapnya saat Donna mengambil piring dan menaruh satu porsi nasi goreng ke piring tadi. “Ini coklat panas, Lo angetin perut Lo dulu deh,” kata Donna lagi sambil meletakkan cangkir yang berisi coklat panas. Sesaat aku menatap apa yang disiapkan Donna, meski sederhana, namun ada ketulusan dari apa yang dia hidangkan. Bahkan aku nggak sangka akan bertemu dengannya. “Mel, Lo nggak akan ke ganggu kan, nanti ada teman gue yang datang. Kayaknya dia udah ada di depan pintu deh,” kata Donna tiba—tiba meraih ponselnya. Aku baru menyadari penampilan Donna, dia mengenakan tanktop dengan rok super mini. “Elo tenang—tenang aja, Mel, gue nggak akan paksa Lo cerita sampe Lo mau cerita. Kalo Lo habis makan, saran gue Lo istirahat dulu aja. Ruangan depan soalnya mau gue pake,” kata Donna lagi, aku sebenarnya masih belum mengerti ucapannya, tapi dengan cepat aku mengangguk pelan. Aku juga nggak mau bikin Donna kesulitan karena menunggu jawabanku apalagi dia udah baik banget bawa aku ke tempatnya. Tanpa aku minta, dia dengan senang hati membantu, padahal aku benar—benar ngerasa nggak terlalu dekat banget dengan dia. Donna berlari ke arah pintu, terdengar suara bel beberapa kali seperti nggak sabar. Aku juga nggak mau mengganggu jadi aku putuskan segera menyantap makanan yang sudah disiapkan Donna. Aku merasa perutku sudah terisi dan full. Tenagaku terasa sedikit pulih. Meskipun masih sedikit pusing, mungkin karena terkena air hujan kelamaan. Niatku ingin bertanya dimana kotak obat, jadinya aku berjalan ke ruang tengah. “Ahh ahh enak banget sayang hisap lebih dalam sayang,” aku tersentak saat akan mendekat, kulihat Donna sedang di pangkuan seorang laki-laki dengan posisi tank topnya sudah di perut dan terlihat laki-laki itu sedang melakukan serangkaian serangan di dua benda kenyal milik Donna. Sedangkan pinggulnya bergoyang diatas benda panjang keras milik laki-laki itu. Aku membekap mulutku, mencoba nggak mengeluarkan suara. Tapi, sepertinya si laki-laki yang sedang melakukan serangkaian serangan di dua benda kenyal milik Donna berhenti. Dia menyadari keberadaan ku. “Siapa itu, sayang?” suaranya serak dan tertahan karena melihatku. Donna menolehkan kepala. “Eh, Mel, so–sorry, ini cowok gue. Gue pikir, Lo langsung ke kamar dan tidur habis makan,” kata Donna ngerasa nggak enak sama aku dan dia buru–buru menarik tanktopnya supaya menutupi dua benda kenyal miliknya. Donna menarik pinggulnya dari barang panjang milik laki-laki itu dan perlahan turun dari pangkuannya. “Maaf ganggu, aku cuma mau tanya, apa ada obat sakit kepala?” ucapku, buru–buru berbalik badan karena jelas sekali barang laki—laki itu masih kokoh kuat berdiri. “Eh, ada di kamar Mel, Lo cari aja, kotaknya ga jauh dari tempat tidur gue. Disana ga banyak obat sih, cuma kayaknya kalo obat sakit kepala ada deh,” Donna ingin mendekat, “I—iya, makasih, aku cari sendiri aja, kamu lanjut aja, Don,” aku nggak mau mengganggu, kabur secepatnya dari hadapan Donna biar nggak mengganggu kesenangan mereka. “Siapa dia, sayang?” si laki-laki masih mengulangi perkataan dan mendekap tubuh Donna dari belakang. “Temanku, sudah lupakan, ayo kita lanjutkan,” Donna menggeliat seperti ulat keket, berbalik dan merontok bibir laki–laki itu. Mereka melanjutkan adegan panasnya yang sempat tertunda. “Bahaya banget, untung aja aku segera sadar,” kataku mengusap dada saat sudah berada di dalam kamar dan menutup pintunya, namun pintu ditutup pun suara meresahkan itu tetap masih ada. Sesaat kepalaku terasa nyeri kembali, terlintas lagi bayangan dimana mas Yuda bersama dengan Rania. Adegan panas mereka nggak mungkin begitu aja aku lupakan. Mas Yuda begitu bergairah saat bersama dengan Rania, berbeda ketika dia melakukan itu bersama denganku. Tanpa aku rasa, air mataku mengalir kembali. Semua penghianatan mereka tetap terngiang di telinga. Sepertinya momentum itu sudah lama direncanakan oleh mas Yuda. “Kamu benar-benar nggak punya perasaan, Mas, kamu tega banget sama aku,” aku kembali terpuruk di lantai sambil memukuli dadaku. Begitu sesak dan sakit. Ini bukan hanya hadiah pernikahan, tapi merupakan gelapnya kehidupan rumah tanggaku. Aku mencoba berdiri meski tubuhku bergetar. Aku harus menguatkan diri dan nggak boleh seperti ini. Aku nggak boleh menyerah dan kalah. Aku yakin, meski luka ini nggak akan cepat pulih, aku pasti bisa melewatinya. Kulihat kotak obat yang dikatakan Donna berada nggak jauh dari ranjang, aku mendekati dan mencari obat sakit kepala. Tadinya aku ingin sekali meminum obat tidur kalau saja Donna memiliki. Setidaknya aku bisa sejenak melupakan kenangan buruk malam ini. Aku mengambil dan meminumnya. Mencoba merebahkan tubuh dan menarik napas ku dalam—dalam. Memejamkan mata, mencoba untuk istirahat. Aku harus melakukannya karena esok aku harus bisa kembali lebih kuat. *** “Anda sudah kembali, Tuan?” sapa seorang kepala pelayan saat melihat tuannya melenggang masuk dengan aura dingin yang menyeruak sehingga siapapun yang menatap membuatnya bergidik. Dia hanya melirik tanpa berbicara, “Saya sudah menyuruh pelayan menyiapkan air hangat untuk anda mandi, Tuan dan anda bisa ke kamar biasanya untuk memeriksa apa yang ini sudah cocok dengan keinginan Anda,” ucapnya lagi, melihat kerut tuannya tanpa ekspresi, dia tahu kalau tuannya sudah nggak tidur beberapa hari. “Aku harap malam ini aku bisa tidur, kalau masih saja belum bisa. Bawakan obatku seperti biasanya dan kau harus mencari lagi,” ucapnya, ketus dan tanpa basa-basi. Dia benar-benar sudah nggak memperdulikan apapun. “Maafkan saya, Tuan, semoga yang ke 68 ini benar benar bisa membuat anda tidur nyenyak dan bisa bertahan lebih dari satu minggu,” ucapnya kembali benar—benar membuat siapapun nggak mengerti dengan arah pembicaraan mereka. “Satu Minggu katamu? Kamu gila, Adolf? Aku membutuhkan lebih dan sudah sangat malas berganti-ganti. Rasanya benar—-benar nggak enak. Kamu saja rasakan sendiri kalau mau,” dengusnya kembali sambil menarik sudut bibirnya kecut keatas. “Saya akan berusaha lebih baik lagi, Tuan Zack, semoga yang ini benar—benar cocok dengan selera yang anda inginkan dan cari,” ucap Adolf terdengar frustasi, dia benar-benar sudah nggak punya hal apapun selain keinginan tuannya terpenuhi dengan baik. Nggak ada jawaban lagi dari laki-laki bertubuh berperawakan tinggi dan besar itu, dia berjalan ke kamar yang dijanjikan dengan hal itu dan melihat seorang pelayan keluar dari kamar setelah memastikan apa yang tuannya butuhkan ada di dalam kamar istimewaZack tersenyum puas saat melihatku sudah blingsatan seperti itu, kemudian dia mengangkat kepalanya sambil menjilati asupan yang sudah dia hisap barusan.“Kamu mau ini kan?” jelas secara gamblang Zack mengeluarkan benda pusaka miliknya yang sudah benar-benar besar, tegang dan siap memasukiku, aku mengangguk dan, ‘Agh!” sudah gak diragukan lagi, benda besar itu sudah masuk kembali didalam milikku.“Bersiaplah, aku akan memberikanmu tidur yang nyenyak, Sayang!” siap dengan cepat Zack sudah memompa lagi milikku yang aku merasakan penuh di dalam milikku.“Ahh Amel, kamu benar-benar sempit banget ah aku suka milikmu ini emmmm!!” rancu Zack terus memompa ku semakin cepat hingga keringat kami sudah sangat deras.Kenikmatan sampai langit ke tujuh ini hanya bisa aku dapatkan dengan benda milik Zack. Selama ini aku menganggap kalau milik mas Yuda sudah yang terbaik, ternyata saat aku merasakan milik Zack, ini benar-benar gak ada tandingannya. Ini sangat memuaskan aku.“Ah mmm!” kami berbarengan
Aku hanya berdiri di ruangan sampai Zack akhirnya keluar dari ruangan tersebut. Dia menatapku dan berjalan perlahan. Handuk putih membalut pinggangnya. Otot-otot dadanya terlihat kuat dan basah.Aku hampir saja lupa diri menatapnya, air liurku tanpa sadar kutelan sendiri.“Kenapa tidak membuat dirimu nyaman, apa kau takut?” aku mengerjapkan mata saat dia menyentuh pipiku.“Aku mau bilang, aku bisa tidur di sofa dan kamu di ranjang,” sudut bibirnya langsung terangkat saat aku mengatakan hal itu.“Kau pikir, siapa dirimu? Bisa menyuruh-nyuruh aku?” leherku terasa tercekat, aku gak sangka dia akan membalikkan ucapanku dengan kasar.Aku tertunduk, ‘Ma—maafkan aku!”“Pergilah!” katanya.Aku kaget, rupanya dia menyuruhku pergi. Syukurlah, aku bisa keluar kamar ini, pikirku dan berbalik, tapi detik kemudian dia mencengkram tanganku, “Mau kemana?” aura sudah berubah kembali.“Ta–tadi, bukannya kamu bilang, pergi? Bukannya itu berarti aku bisa keluar dari kamar ini,” kataku.*Kau berani?” deca
Aku menarik napasku sebelum bercerita, aku juga gak menyadari kalau Zack sudah berdiri dibelakangku sejak tadi, tapi dia gak bersuara sama sekali, dia sedang mendengarkan aku cerita.“Hari itu sebenarnya, ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Aku tiba-tiba dihubungi mas Yuda akan memberikanku kejutan, tapi dia meminta aku keluar rumah terlebih dahulu. Dia bilang jangan pulang sebelum jam 9 malam. Aku berpikir, itu memang hadiah spesial yang mas Yuda siapakah untukku, tapi ternyata saat aku pulang aku malah melihat mas Yuda bercengkrama dengan wanita lain di ranjang kami.”“Aku benar-benar gak menyangka akan ada hadiah seperti itu. Dan sepertinya mas Yuda gak menyesal sama sekali saat aku memergoki. Dia malah memberikan aku laporan kesehatan, disitu aku dinyatakan mandul,” Donna mengerutkan kening saat mendengar ceritaku.“Mandul?” Aku mengangguk, “padahal aku gak ingat kapan aku melakukan tes itu. Aku merasa gak pernah melakukannya. Kemudian yang membuat aku terkejut selain wanita y
“Huhuhu, iya kan mas, aku juga gak tau kenapa jadi bodoh banget. Huhuhu, aku ditipu temanku 400 juta, sekarang aku lebih baik mati saja kalau begini, huhuhu!” Rania masih menangis kencang. Rania berpura-pura berdiri dan siap untuk mencari sesuatu untuk membenturkan kepalanya.“Hey, kamu mau apa, Rania? Jangan gegabah! Aku akan bantu, tenanglah, aku pasti bantu. Itu urusan kecil,” kata mas Yuda, berbicara seperti tidak keberatan, tapi napasnya berhembus dengan kasar.“Masalah mama tadi tanya aku, Mas, dia kayaknya sudah mulai curiga kalau uangnya aku yang pakai. Aku bingung, Mas, gak berani pulang,” kata Rania lagi berbicara pelan, tapi nadanya terkesan mendesak.“Sudahlah, sudahlah, aku akan segera transfer sekarang, sudah jangan menangis lagi,” mas Yuda mengeluarkan ponsel dan, “sudah aku transfer, kamu bisa cek sekarang!” ucapnya, Rania tersenyum, dia benar-benar berhasil meminta uangnya.“Mas Yuda makasih banyak ya, Mas, kalau bukan kamu sama Mama Erlita yang nolongin aku, aku gak
“Diam! Tutup mulutmu, Felix. Jangan banyak bicara lagi. Aku akan usahakan uang itu, tapi 3 hari itu gak mungkin. Aku belum bisa memberikan uangnya karena aku tetap harus terlihat seperti bukan wanita mata duitan dihadapan mas Yuda. Kalau dia tahu, aku aslinya suka menghamburkan uang, mana mungkin dia membandingkan aku dengan istri bodohnya itu,” decak Rania.“Kalau gak bisa manfaatkan laki-lakinya kenapa kau gak manfaatkan keluarganya? Bukannya kau bilang, ibunya sangat perhatian dan menurutku ucapanmu? Hah … atau ini alasan saja, apa ini yang dibilang perhatian? Ini maksud dari perkataanmu itu? Perhatian itu yang terpenting nilainya uang, Rania. Orang bodoh juga tahu, tanpa uang mana bisa kita hidup!” ejek Felix lagi.“Diam, jangan bicara lagi. Anggap saja aku gak mendengar semua ucapanmu itu. Aktingku itu harus maksimal agar bisa mendapatkan seluruh kekayaannya. Kalau hanya sebentar saja gak bisa bertahan, bagaimana bisa mendapat kepercayaan dari mereka,” elak Rania, dia merasa seka
Ancamannya jelas terdengar gak main—main. Zack sedang menegaskan wilayah kekuasaannya padaku. Dia hanya ingin aku pindah dari tempat yang dikategorikan biang masalah.“Zack, kamu benar—benar ya, aku kan udah bilang gak mau. Aku bisa mengatasi semua,” kataku sebenarnya hanya untuk melakukan negosiasi saja dengan Zack.“Bagaimana dengan pilihanmu?” Zack mengabaikan ucapanku berarti kode keras penuh tekanan untuk Donna.“Ish, jangan mengancam temanku!” aku gak terima kalau Donna diperlakukan seperti itu. Dia satu—satunya teman yang menerima saat aku berada dalam kondisi tersulit ya meskipun itu hanya dari sudut pandangku. Aku nggak mungkin melupakannya begitu saja. Semua kebaikan Donna datang disaat aku benar—benar membutuhkan tempat bersandar.“Diamlah, aku tidak bertanya padamu!” Zack menangkap tanganku saat aku akan mengarahkan tangan protes pada ucapannya, matanya hanya melirik Donna tajam.“A—aku …,” Donna masih melirik ku untuk mengambil keputusan. Dia benar—benar bingung meskipun