MasukZack Lee melirik ke arah ranjang istimewa yang sudah dipersiapkan Adolf. Seorang wanita dengan kedua tangan terikat di ranjang dan matanya ditutup terlihat disana. Zack mengambil napasnya sesaat dan masuk ke kamar mandi, dia perlu membersihkan diri sebelum melakukan ritual tidurnya.
Hanya beberapa menit, Zack sudah keluar mengenakan piyama tidurnya. Dia berjalan pelan mendekati ranjang dan sepertinya wanita yang dalam kondisi terikat itu menyadari kedatangan Zack. Wanita itu sengaja memberikan gerakan sensual dan membuka kedua kakinya dengan lebar. Seakan memberikan akses kalau dia sudah benar-benar siap melakukan ritual malamnya. Dia hanya dijanjikan gaji yang besar jika dia bisa melewati malam ini dengan baik. Pastinya wanita itu merasa percaya diri, dia mampu memberikan apa yang laki-laki itu inginkan. Lingerie seksi berwarna merah benar—benar sangat menggoda siapapun yang melihatnya. Apalagi dua benda kenyal yang begitu padat, kencang, mulus, putih dan sudah terlihat ujung pucuknya menonjol ketika langkah kaki Zack mendekatinya. “Tuan, apakah itu Anda? Anda sudah ada disini, Tuan?” suara wanita itu sudah benar-benar membuat deg deg ser siapapun yang mendengarnya. Melakukan panggilan yang mendesah dan membuat seluruh tubuh meremang sudah dipastikan membuat gila siapapun yang mendengarnya. Lingerie seksi berwarna merah menggoda yang menampung dua benda kenyal itu seperti mau tumpah. Nggak muat di sana, itu serasa memanggil para laki-laki untuk menyusui nya. Siapapun pasti tergoda dengan ukuran juga bentuknya. Entah apa yang sedang dilakukan Zack, dia nggak mengeluarkan suara. Dia seperti sedang mengendus sesuatu dan tangan dinginnya mulai menyentuh salah satu benda kenyal tersebut. “Ahhh ummm enak banget Tuan, emmm …,” suara wanita sudah benar–benar mengundang siapapun untuk masuk dan mencicipinya. Nggak ada reaksi apapun dari Zack saat dia melakukan peremasan dan mengeluarkan keduanya. Zack benar—benar membuat wanita itu panas dan terus menggeliat seperti cacing kepanasan. “Tuan ahh umm ayo tuan, masukin aja ke mulutnya, aku benar-benar udah nggak tahan lagi, Tuan aaagghh ummmmm,” sepertinya wanita itu sudah diliputi dengan gairah yang tinggi. Apalagi saat Zack melakukan peremasan kedua kakinya yang dilebarkan terasa semakin basah dengan cairan yang dikeluarkan dari belahan bibir bawahnya. “Tuan, ahh umm, ayolah, tuan, aku udah nggak tahan, masukin aja, ummm ahh,” katanya sudah terus dalam penekanan, hawanya sudah semakin tinggi dan sangat siap dieksekusi dengan gaya apapun oleh Zack. Zack Lee mendekat, dia mencoba mengeluarkan ujung lidahnya dan menjilat ujung pucuk kemerahan milik wanita itu, “emmmm Tuan ahh terus lagi Tuann emm tolong lebih dalam lagi, jangan berhenti Tuan,” kata wanita itu semakin menggila, itu baru ujung lidah Zack yang bermain di pucuk miliknya, namun detik kemudian permainannya berhenti. Dua benda kenyal yang sudah diremasnya itu dilepaskan begitu saja. “Adolf!!” teriak Zack dan nggak perlu waktu lama Adolf memasuki kamar istimewa itu. Adolf melihat tuannya sedang berdiri dengan melipat kedua tangannya di dada, “Ini nggak enak sama sekali. Sama saja seperti biasanya. Nggak enak. Bawakan obatku ke kamar,” ucapnya mendengus ketus dan meninggalkan wanita yang sudah dibuat panas dingin hanya dengan sentuhan tangan Zack di dua benda kenyalnya. Adolf mendelik, dia benar-benar sudah kehabisan akal dengan tuannya. Dia nggak tahu kriteria apa yang sedang dicari tuannya. Sudah 68 wanita setengah bulan ini dia berikan pada tuannya, namun belum ada yang cocok lagi. Bulan lalu saja kalau dihitung, dia sudah membawakan sampai 159 wanita, tuannya tetap menolak dan lebih memilih mengkonsumsi obatnya. Sepertinya Adolf harus membuka kembali lowongan pekerjaan untuk pelayan khusus tuannya itu. Padahal pagi tadi, dia sudah yakin 100% kalau pilihannya nggak akan meleset. “Ta–tapi, Tuan, saya pikir, kenapa anda nggak mencoba dulu. Ini saya pesan benar benar khusus tuan, dan dapat dipastikan masih segel an Tuan,” bujuk Adolf, dia benar-benar ingin beristirahat dengan petualangan mencari pelayan khusus untuk tuannya tersebut. “Kau saja yang mencobanya. Aku nggak ada selera. Kau bilang, tubuhnya sangat baik dan benar—benar bikin aku ingin muntah,” jleb, Adolf menelan ludahnya dengan kasar, nggak mengerti dengan kata tuannya hingga dia malah mendekati wanita itu, seperti seekor hewan pencium, Adolf malah mengendus tubuh wanita itu. “Bau? Bau apanya sih? Dia nggak bau sesama sekali?” Batin Adolf, dia melihat tuannya keluar dengan kesal sambil membanting pintu. “Tuan, Tuan, ada apa? Kenapa nggak dilanjutkan lagi?” suara wanita itu dan Adolf yang mendengar dia malah segera mengikuti tuannya keluar kamar. Membiarkan wanita yang kedua tangannya terikat di ranjang dengan posisi su su nya yang keluar dan kedua kakinya melebar. “Amel, Mel, bangun,” suara seseorang membangunkan tidurku. Aku membuka mataku perlahan. Aku melihat Donna sudah rapi dengan blouse ketat dan rok mininya. “Gue udah bikinin sarapan buat Lo atau Lo bisa bikin apa aja yang ada di kulkas gue. Hari ini gue kerja pagi, sore paling balik. Kalo ada perlu apa-apa, Lo bisa hubungi gue kesini,” kata Donna mendekat dan duduk di tepi ranjang. Donna memberikan ponsel miliknya, dia sama sekali nggak bertanya apapun. Dia hanya mencoba mengerti kondisiku. Mungkin tanpa perlu dijelaskan, Donna tahu kesulitan apa yang sedang aku alami. “Lo bisa kirim pesan ke nomor Donna 2, itu nomor ada di hape gue satunya. Lo pake dulu ini dan gue juga udah ninggalin Lo yang di atas kulkas. Pokoknya Lo nggak usah banyak pikiran dulu. Tenangkan hati Lo, kalo udah tenang dan siap cerita apa gue, kapanpun Lo mau cerita, gue siap mendengarkan. Kode rumah gue, udah gue kirim ke chat ya. Lo liat aja, siapa tau Lo bosen di rumah dan mau keluar,” kata Donna sudah seperti emak-emak yang nyeramahin anaknya. Aku hanya mendengarkan dan mengangguk pas Donna mengatakan semua. “Ya udah, gue berangkat kerja dulu ya. Santai aja, pokoknya Lo nggak perlu mikirin apapun dulu,” pesan Donna sebelum dia benar-benar keluar kamarnya. Aku menatap kembali kamar Donna yang hening setelah kepergiannya. Aku benar-benar bingung mau melakukan apa. Aku nggak pernah seperti ini, aku biasanya bangun pagi dan menyiapkan semua keperluan mas Yuda dan sekarang itu nggak kulakukan. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Hampa dan kosong. Aku menghampiri koperku yang ada di sudut kamar Donna. Sepertinya Donna yang meletakkan dan belum membongkar apapun. Baju yang aku pakai adalah milik Donna. Dia yang menggantikan baju basahku. Tubuhku seperti dilindas buldozer. Benar–benar sakit semua. “Aku mandi dulu aja,” ucapku sambil membuka koper, mencari satu baju yang bisa aku pakai.Mas Yuda juga terkejut saat mendengar aku hamil. Dia yakin 100% kalau laporan yang diberikan Rania itu asli, tapi sekarang sepertinya itu kebalikan. Dan Mas Yuda sudah berpikir pasti ada sesuatu hal yang dia nggak tahu. Jadi dia tetap akan melakukan tes ulang tentang kesuburan tubuhnya. Setelah dia yakin dan tahu lalu semua perbuatan Rania itu terbukti, mas Yuda pasti nggak akan memaafkan juga melepaskan Rania seumur hidupnya.“Apa kau bilang? Jangan main-main, Jimmy. Kau jangan membohongiku!” Zack mencengkraman lagi kerah jas putih milik Jimmy.“CK, CK, kapan memangnya aku pernah berbohong padamu. Aku katakan karena sudah sesuai dengan pemeriksaan!” tegas Jimmy.Zack berbalik dan menatap ku yang masih terbaring belum sadarkan diri. Namun, beberapa detik kemudian aku membuka mataku perlahan. Melihat sekeliling dipenuhi orang sedikit membuatku terkejut. Bagaimana tidak, dulu saat aku menikah dengan mas Yuda ketika aku sakit pun sudah kadang nggak peduli. Dia hanya menyuruhku meminu
“Apa lagi sih, Mas? Kamu lagi ngomong apaan sih? Aku gak ngerti!” benar-benar sudah muka tembok super si Rania itu.Dia bahkan gak pernah mengira kalau mama Erlita dan mas Yuda sudah menyaksikan pertunjukkannya tadi.“Sudah gak usah berbohong lagi, Rania. Kamu benar-benar membuatku kecewa!” decak mas Yuda bekacak pinggang dan menepis tangannya yang ingin mendekat.“Mama gak nyangka. Kamu benar-benar tega melakukan itu, Rania. Selama ini Mama percaya sama kamu. Lalu apa ini balasannya?” Mama Erlita menimpali dan gak ingin kalah. Dia benar-benar muak dengan sandiwara yang sudah dilakukan Rania.“Mama, Mas Yuda, kalian kenapa? Kalian jangan sampai terjebak dan tertipu omongan. Rania sayang banget sama Mama, Mas Yuda, mana mungkin Rania membohongi kalian?” ucap Rania lagi, dia maju mendekati Mama Erlita.Berharap masih ada sedikit cara untuk memperbaiki situasi.“Diam Rania, kamu benar-benar ya, Mama gak pernah sangka ternyata ini sifat asli kamu. Kamu wanita munafik yang pernah Mama kena
Leticia segera menghubungi tuannya. Dia gak ingin menjadi sasaran. Karena kemarin kena tumpah air saja sudah membuatnya patah tulang apalagi ini aku pingsan dan mengeluarkan darah.“Tuan, Nyonya Amel dibawa ke rumah sakit oleh …,” belum sempat Leticia menjelaskan, “kau bawa dia ke tempat Jimmy?” mendengar pertanyaan tuannya Leticia terdiam sesaat.“Sepertinya … saya akan segera menghubungi tuan,” Leticia segera menutup telepon dan berlari mengejar Kenzo juga Lexi yang sudah keluar.“Bagaimana ini, Yuda? Wanita sial itu gak apa-apa kan? Mama sedikit takut, sepertinya ancaman laki-laki itu gak main-main. Dasar wanita murahan, dia benar-benar wanita penggoda. Setelah bercerai denganmu, berapa banyak laki-laki yang berhubungan dengannya!” Mama Erlita masih saja mengumpatku. Dia benar-benar gak merasa bersalah sama sekali.Mas Yuda terlihat berpikir. Dia gak menggubris ucapannya mamanya.“Ma, apa mungkin apa yang dia ucapkan benar? Mungkinkah Rania?” hati mas Yuda sekarang sedang merayu.
Aku berbalik badan dan gak ingin mendengar. Itu memang bukan urusanku. Aku gak mau tahu dan ikut campur.“Dengarkan aku dulu!” Kenzo ingin memegang tanganku, tapi aku menghindar.Lexi sampai geleng-geleng kepala. Dia merasa temannya sudah benar-benar gila karena seorang wanita. Bahkan yang gak pernah dilakukan sekarang sepertinya dia sudah seperti laki-laki pebinor yang mengejar seorang wanita bersuami.Aku menggeleng.“Kali ini saja, sungguh. Aku mohon. Aku tidak berniat jahat denganmu. Aku hanya ingin kenal dan dekat denganmu!” ucapan yang gak masuk akal buatku. Dia tahu, aku sudah menikah, tapi masih nekat melakukannya.“Aku hanya ingin kamu tahu kebenarannya. Dia, wanita yang kemarin itu, dia hamil, tapi bukan anak dari mantan suamimu itu!” cetusnya. “Oww!” reaksiku mungkin membuatnya bingung.“Aku melihatnya sendiri, tadi, dia sedang bersama laki-laki lain di bar …,” Kenzo menyebutkan nama bar itu, tapi aku hanya manggut-manggut. Benar-benar gak mau peduli apapun yang terjadi de
“Kenapa melamun?”Siang ini Lexi berada di kantor Kenzo. Dia melihatnya hanya berdiri di jendela seolah memikirkan sesuatu. Sejak pertemuannya semalam denganku, Kenzo jadi lebih pendiam.“Kau sudah menghubungi papamu?” Kenzo masih diam, “atau dia sudah menyetujui kesepakatan?” Kenzo hanya memutar tubuhnya dan kembali ke dalam.“Apa kau benar—benar menyukainya? Hah! Ini membuatku gila. Kau ditanya tidak menjawabku dan berekspresi yang benar? Ada apa sebenarnya!” rasanya sekarang Lexi ingin meninju wajahnya karena kesal.“Kita pergi kesana!” Kenzo berbicara dan bersiap keluar pintu ruangannya.“Tunggu, kemana? Maksudmu, ke restorannya lagi? Kau gila! Dia itu sudah bersuami dan kau tahu siapa dia. Jangan buat masalah. Aku yakin, dia tidak akan mungkin tinggal diam!” Lexi menarik tangannya mencegahku dia berbuat yang gak-gak.Kenzo menepis tangannya dan tetap melangkah keluar dari ruangan kerjanya.“Tidak masuk akal. Dia gila karena satu wanita yang sudah bersuami. Aku tidak habis pikir
Zack terlihat puas dengan kejadian tadi. Dia bahkan gak menyangka kalau aku bersikap manja seperti tadi.“Kamu masih marah, Zack?” aku meliriknya karena ekspresi sekarang sedikit berbeda.“Kau ingin aku marah?” aku menggeleng, “kamu benar-benar mengenal orang tadi?” aku malah bertanya balik.“Kau tertarik padanya?” picingan kuat sudah terlihat Dimata Zack.“Aku sudah punya suami, untuk apa memikirkan atau melirik laki-laki lain. Memangnya kamu bersedi– aw! Zack sakit!” aku kembali protes, dia mencubit pinggangku.“Aku benar-benar gak mengenalnya, sungguh, Zack. Meskipun dia tadi berbicara seperti itu, aku hanya baru bertemu dengannya tiga kali,” kataku jujur, Zack malah menautkan keningnya.“Jangan marah dulu, pertama saat aku mau ikut ke tempat pertemuan dan menunggumu. Kedua tadi di toko dan ketiga tadi!” aku hanya bisa bilang itu saja, gak ingin mengatakan hal yang lebih.Yang terpenting Zack tahu dan aku memang gak berbohong.“Kenapa kamu diam? Kamu gak percaya denganku? Sungguh,







