Share

10. Sarapan dari para janda

Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama. 

Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang. 

"Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios.

"Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celingak-celinguk mencari kendaraan roda dua milik Mbak Elin yang selalu saja mogok.

"Gak mogok kok Bang Amin, saya bukan mau benerin motor saya, tapi mau benerin hati saya," ujar Elin sambil menundukkan wajahnya yang merona malu.

"Hati di sini?" Amin yang masih tak paham, menunjuk dadanya untuk memastikan, bagian tubuh Elin yang sakit. Elin mengangguk, lalu perlahan mengangkat wajahnya menatap wajah tak paham Amin.

"Ya Allah, sejak kapan Mbak? Kalau kata dokter, bisa diobati apa harus dioperasi?" tanya Amin dengan polosnya. Tentu saja hal itu malah membuat Elin tergelak, hingga tubuhnya bergetar.

"Bukan benerin hati ke dokter, Bang, tapi benerin hati ke ...."

"Assalamualaikum, Bang Amin. Ini ada kolak pisang dari Mama," ujar seorang anak kecil berusia tujuh tahun, sambil menyodorkan semangkuk kolak pisang hangat pada Amin. Anak kecil lelaki itu adalah anak dari Nengsih, si janda berkerudung yang memiliki satu anak.

"Eh, makasih bilang Mama ya. Nanti Abang kembalikan mangkuknya," balas Amin dengan wajah sumringah penuh suka cita, karena mendapat kiriman makanan dari Mbak Nengsih.

Wajah Elin.cemberut, ia terlalu banyak basa-basi, jadi keduluan janda lainnya. Padahal di tangannya membawa plastik yang berisi kotak bekal nasi goreng, untuk sarapan Amin.

"Ini, saya juga bawain nasi goreng buat sarapan Bang Amin. Dimakan ya, Bang. Saya permisi dulu." Elin cemberut, dengan bergegas naik ke atas motornya, lalu melesat pergi meninggalkan Amin yang terbenhong, sampai lupa mengucapkan terimakasih.

Rezeki anak sholeh, di saat keuangan morat-marit, ada saja rezeki dari para wanita single baik yang selalu saja royal pada dirinya, yang bahkan cenderung menganggap para janda yang selalu mencoba menarik perhatiannya. Amin melihat kotak bekal nasi goreng dengan telur ceplok, serta tak lupa kerupuk di bawakan juga di dalam plastik lebih kecil. Aroma nasi goreng lebih menggoda perutnya, sehingga ia memutuskan akan sarapan dengan nasi goreng saja. Sedangkan kolak pisang dari Nengsih, akan dia makan sebagai snack jam sepuluh siang nanti.

"Bismillah." Amin mulai menyuapkan satu sendok pertama.

"Hhuu ... Ha ... Pedas juga ya. Aduh, perutku nanti sakit lagi." Amin merasa ragu saat suapan kedua nasi goreng, perutnya mulai bergolak. Amin memutuskan menutup kotak bekal itu, lalu menyimpannya di atas meja kecil di dalam kiosnya.

"Biar buat Imron saja deh, nanti," gumam Amin.

Suara motor berhenti di depan kios. Amin berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang. Ternyata ada Mbak Sena, si janda beranak tiga.

"Bang Amin lagi sepi nih, tumben," ujar Sena saat turun dari motornya. Senyuman manis ia berikan pada Amin yang tentu saja senang dengan kehadiran Sena, karena ia mendapat pelanggan pertama.

"Apa yang rusak, Mbak?" tanya Amin saat menghampiri motor Sena yang terparkir persis di samping kiosnya. 

"Motor saya aman, Bang. Saya cuma mau nganter ini, soto ayam santan untuk Bang Amin." Sena menyerahkan paper bag yang lumayan berat pada Amin, sambil tersenyum.

"Eh, jadi ngerepotin Mbak, makasih banyak ini," ujar Amin sungkan, tetapi tangannya menerima papar bag itu dengan penuh suka cita.

"Saya pamit, Bang. Selamat makan, selamat menikmati masakan saya," ujar Sena sambil naik ke atas motornya, lalu menyalakan mesin.

Sepeninggal Sena, Amin berjalan masuk ke dalam kiosnya. Ia meletakkan bungkusan sarapan yang sudah diberikan oleh ketiga wanita janda padanya. Beruntunglah ia hari ini, bisa pengiritan makan mulai dari sarapan, sampai makan sore. Jadi, ia tidak perlu ke warteg untuk membeli makan siang dan makan sore. 

Amin mengambil posisi nyamannya di balik meja. Diambilnya sendok yang tadi dipakai untuk menyuapkan nasi goreng yang pedas, lalu dipakai untuk menyantap soto ayam santan, lengkap dengan nasi hangatnya.

"Bismillah," ucapanya dengan semangat.

Brrmm

Suara motor berhenti, membuat Amin bangun dari duduknya.

"Mbak Ririn, ada apa?" tanyanya kebingungan saat Ririn berdiri di depan bengkelnya, lengkap dengan baju rapi, jaket, helem, serta sambil menggendong anaknya.

"Saya tadi beli bubur ayam. Ingat Bang Amin, kemarin masih sakit perut, jadi saya belikan juga. Ini, Bang

 Udah ya, saya jalan lagi, Assalamualaikum." Dengan sedikit terseok, Ririn naik kembali ke atas motor, lalu berlalu dari hadapan Amin. 

Lagi-lagi Amin tercengang, belum juga sempat ia mengucapkan terimakasih kepada Ririn, wanita itu malah langsung saja pergi. Ada rasa haru, saat ada seseorang yang mengingat akan kesehatannya.

Dengan senyum lebar, Amin menyantap bubur ayam yang dibelikan Ririn, karena jujur saja. Untuk makan masakan bersantan, dia masih ragu, karena perutnya masih belum benar-benar sembuh. Sampai hari ini, ia juga masih harus minum obat dari dokter.

"Makasih banyak Mbak-mbakku semua," gumamnya dalam hati.

Beep

Beep

Ponsel Amin berbunyi. Bunyi pesan SMS masuk. Amin yang baru saja selesai menyantap bubur ayam enak, langsung menenggak air putih hangat di dalam tumbler miliknya. Setelah itu, Amin mencuci tangan, baru ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya.

Calon istri

Dada Amin berdegub kencang, saat ada kontak nama Jihan di sana, perasaannya langsung tidak enak. Apalagi yang akan Jihan minta darinya kali ini?

Masih saja ia pandangi pesan itu, tidak berani ia membukanya. Jujur, hatinya masih kesal dengan Jihan.

Ah, tapi penasaran juga. Akhirnya Amin memencet tombol baca.

Bang Amin, Jihan putus dengan Bang Edo. Bang Edo selingkuh sama ibu-ibu

Amin menelan salivanya saat membaca pesan dari Jihan. Tiba-tiba saja, angin sejuk seakan bertiup ke arahnya. Inikah saatnya ia bisa menjadi pacar Jihan?

Sementara itu, wanita yang bernama Jihan, sedang tertawa puas bersama seorang lelaki bernama Edo.

"Abang yakin, Amin akan memberikan apapun yang kamu minta, Jihan. Manfaatkan dia, lumayan Abang jadi rada ngirit. Uang Abang bisa dipakai untuk nabung modal nikah kita, bagaimana?" 

****

~Ya Allah, dua ekor singa sedang mengincar Amin~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status