Beranda / Romansa / Diuber Janda / 10. Sarapan dari para janda

Share

10. Sarapan dari para janda

last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-20 10:56:35

Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama. 

Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang. 

"Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios.

"Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celingak-celinguk mencari kendaraan roda dua milik Mbak Elin yang selalu saja mogok.

"Gak mogok kok Bang Amin, saya bukan mau benerin motor saya, tapi mau benerin hati saya," ujar Elin sambil menundukkan wajahnya yang merona malu.

"Hati di sini?" Amin yang masih tak paham, menunjuk dadanya untuk memastikan, bagian tubuh Elin yang sakit. Elin mengangguk, lalu perlahan mengangkat wajahnya menatap wajah tak paham Amin.

"Ya Allah, sejak kapan Mbak? Kalau kata dokter, bisa diobati apa harus dioperasi?" tanya Amin dengan polosnya. Tentu saja hal itu malah membuat Elin tergelak, hingga tubuhnya bergetar.

"Bukan benerin hati ke dokter, Bang, tapi benerin hati ke ...."

"Assalamualaikum, Bang Amin. Ini ada kolak pisang dari Mama," ujar seorang anak kecil berusia tujuh tahun, sambil menyodorkan semangkuk kolak pisang hangat pada Amin. Anak kecil lelaki itu adalah anak dari Nengsih, si janda berkerudung yang memiliki satu anak.

"Eh, makasih bilang Mama ya. Nanti Abang kembalikan mangkuknya," balas Amin dengan wajah sumringah penuh suka cita, karena mendapat kiriman makanan dari Mbak Nengsih.

Wajah Elin.cemberut, ia terlalu banyak basa-basi, jadi keduluan janda lainnya. Padahal di tangannya membawa plastik yang berisi kotak bekal nasi goreng, untuk sarapan Amin.

"Ini, saya juga bawain nasi goreng buat sarapan Bang Amin. Dimakan ya, Bang. Saya permisi dulu." Elin cemberut, dengan bergegas naik ke atas motornya, lalu melesat pergi meninggalkan Amin yang terbenhong, sampai lupa mengucapkan terimakasih.

Rezeki anak sholeh, di saat keuangan morat-marit, ada saja rezeki dari para wanita single baik yang selalu saja royal pada dirinya, yang bahkan cenderung menganggap para janda yang selalu mencoba menarik perhatiannya. Amin melihat kotak bekal nasi goreng dengan telur ceplok, serta tak lupa kerupuk di bawakan juga di dalam plastik lebih kecil. Aroma nasi goreng lebih menggoda perutnya, sehingga ia memutuskan akan sarapan dengan nasi goreng saja. Sedangkan kolak pisang dari Nengsih, akan dia makan sebagai snack jam sepuluh siang nanti.

"Bismillah." Amin mulai menyuapkan satu sendok pertama.

"Hhuu ... Ha ... Pedas juga ya. Aduh, perutku nanti sakit lagi." Amin merasa ragu saat suapan kedua nasi goreng, perutnya mulai bergolak. Amin memutuskan menutup kotak bekal itu, lalu menyimpannya di atas meja kecil di dalam kiosnya.

"Biar buat Imron saja deh, nanti," gumam Amin.

Suara motor berhenti di depan kios. Amin berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang. Ternyata ada Mbak Sena, si janda beranak tiga.

"Bang Amin lagi sepi nih, tumben," ujar Sena saat turun dari motornya. Senyuman manis ia berikan pada Amin yang tentu saja senang dengan kehadiran Sena, karena ia mendapat pelanggan pertama.

"Apa yang rusak, Mbak?" tanya Amin saat menghampiri motor Sena yang terparkir persis di samping kiosnya. 

"Motor saya aman, Bang. Saya cuma mau nganter ini, soto ayam santan untuk Bang Amin." Sena menyerahkan paper bag yang lumayan berat pada Amin, sambil tersenyum.

"Eh, jadi ngerepotin Mbak, makasih banyak ini," ujar Amin sungkan, tetapi tangannya menerima papar bag itu dengan penuh suka cita.

"Saya pamit, Bang. Selamat makan, selamat menikmati masakan saya," ujar Sena sambil naik ke atas motornya, lalu menyalakan mesin.

Sepeninggal Sena, Amin berjalan masuk ke dalam kiosnya. Ia meletakkan bungkusan sarapan yang sudah diberikan oleh ketiga wanita janda padanya. Beruntunglah ia hari ini, bisa pengiritan makan mulai dari sarapan, sampai makan sore. Jadi, ia tidak perlu ke warteg untuk membeli makan siang dan makan sore. 

Amin mengambil posisi nyamannya di balik meja. Diambilnya sendok yang tadi dipakai untuk menyuapkan nasi goreng yang pedas, lalu dipakai untuk menyantap soto ayam santan, lengkap dengan nasi hangatnya.

"Bismillah," ucapanya dengan semangat.

Brrmm

Suara motor berhenti, membuat Amin bangun dari duduknya.

"Mbak Ririn, ada apa?" tanyanya kebingungan saat Ririn berdiri di depan bengkelnya, lengkap dengan baju rapi, jaket, helem, serta sambil menggendong anaknya.

"Saya tadi beli bubur ayam. Ingat Bang Amin, kemarin masih sakit perut, jadi saya belikan juga. Ini, Bang

 Udah ya, saya jalan lagi, Assalamualaikum." Dengan sedikit terseok, Ririn naik kembali ke atas motor, lalu berlalu dari hadapan Amin. 

Lagi-lagi Amin tercengang, belum juga sempat ia mengucapkan terimakasih kepada Ririn, wanita itu malah langsung saja pergi. Ada rasa haru, saat ada seseorang yang mengingat akan kesehatannya.

Dengan senyum lebar, Amin menyantap bubur ayam yang dibelikan Ririn, karena jujur saja. Untuk makan masakan bersantan, dia masih ragu, karena perutnya masih belum benar-benar sembuh. Sampai hari ini, ia juga masih harus minum obat dari dokter.

"Makasih banyak Mbak-mbakku semua," gumamnya dalam hati.

Beep

Beep

Ponsel Amin berbunyi. Bunyi pesan SMS masuk. Amin yang baru saja selesai menyantap bubur ayam enak, langsung menenggak air putih hangat di dalam tumbler miliknya. Setelah itu, Amin mencuci tangan, baru ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya.

Calon istri

Dada Amin berdegub kencang, saat ada kontak nama Jihan di sana, perasaannya langsung tidak enak. Apalagi yang akan Jihan minta darinya kali ini?

Masih saja ia pandangi pesan itu, tidak berani ia membukanya. Jujur, hatinya masih kesal dengan Jihan.

Ah, tapi penasaran juga. Akhirnya Amin memencet tombol baca.

Bang Amin, Jihan putus dengan Bang Edo. Bang Edo selingkuh sama ibu-ibu

Amin menelan salivanya saat membaca pesan dari Jihan. Tiba-tiba saja, angin sejuk seakan bertiup ke arahnya. Inikah saatnya ia bisa menjadi pacar Jihan?

Sementara itu, wanita yang bernama Jihan, sedang tertawa puas bersama seorang lelaki bernama Edo.

"Abang yakin, Amin akan memberikan apapun yang kamu minta, Jihan. Manfaatkan dia, lumayan Abang jadi rada ngirit. Uang Abang bisa dipakai untuk nabung modal nikah kita, bagaimana?" 

****

~Ya Allah, dua ekor singa sedang mengincar Amin~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diuber Janda   74. Ekstrapart 3

    Elok terus saja memandang suaminya yang kini sedang duduk di kursi teras rumah mereka. Lelaki itu akan berangkat bekerja di sebuah mal sebagai petugas parkir. Sepuluh sudah suaminya bekerja di sana dan terlihat lelaki itu sangat menikmatinya. Wajahnya lebih bersih dan bersinar, saat ada istri yang benar-benar mengurusnya. Elok terus saja mengulum senyum. Menikmati debaran di dadanya saat bisa memandang suaminya dengan intens seperti ini. “Udah, jangan lihatin melulu! Nanti saya gak jadi berangkat nih,” celetuk Imron saat dia menyadadri pandangan sang istri tak putus darinya. Elok tergelak dengan wajah memerah. Sisa semalam saja masih membuatnya susah berjalan, masa mau diulang lagi? “Jangan dong, Mas. Mau jalan aja susah nih,” sahut Elok dengan wajah bersemu merah. Imron yang duduk di seberang kursi sang istri;berjalan mendekat, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Lelaki itu mengmabil kedua tangan Elok, lalu mengecupnya

  • Diuber Janda   73. Ekstra part2

    "Lok, ada hal yang ingin saya katakan," ujar Imron dengan suara pelan. Elok tengah menyusui Aya. Balita itu sungguh merindukan asi ibunya yang dua hari tidak ia dapat secara langsung. Selama Elok dan Imron bulan madu di hotel, Aya diberikan ASI yang disiapkan Elok di dalam botol khusus penyimpanan ASI."Apa itu, Mas? Bukan minta jatah lagi'kan?" goda Elok sambil tergelak. Imron pun ikut menyeringai sambil mengusap pipi sang istri."Besok, kita bawa Aya ke rumah sakit. Kita tes DNA bersama Pak Rudi.""Mas, tapi ...." Elok mendadak pucat dan memelas. Imron sangat tahu keresahan yang melanda istrinya. Justru langkah ini harus ia ambil, agar Pak Rudi tidak terus-terusan mengganggu dirinya dan juga Elok. Lelaki itu takkan berhenti sampai keinginannya tercapai."Ada saya. Kamu jangan khawatir. Saya yakin, Aya adalah anak dari Indra, bukan lelaki itu. Kita harus melakukanny

  • Diuber Janda   72. Ekstrapart 1

    Imron terbangun dari tidur nyenyaknya. Pelan ia membuka mata dan berusaha menggerakkan tangan, tetapi tidak bisa. Ada Elok yang kini tidur sambil memeluk dirinya. Tubuh keduanya polos, hanya tertutup selimut tebal. Beberapa jam lalu, untuk kelima kalinya mereka mengulangi aktifitas yang sama.Sudah dua malam mereka menginap di hotel yang difasilitasi oleh Desta. Seharusnya, lelaki itulah yang bersama dengan Elok malam ini. Sungguh rejeki, maut, jodoh, takkan pernah ada yang mengetahui. Pelan Imron mengusap kening sang istri. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang berserakan menutupi kening wanitanya.Senyumnya kembali mengembang, lalu bibir itu kembali mendaratkan ciuman di keningnya. Sungguh luar biasa efek permen yang diberikan oleh Amin. Temannya itu rela menyusul ke hotel hanya untuk memberikan dua buah permen yang katanya sangat berguna untuk stamina. Untung permen, bukan tisu!Imron tergelak dalam hati saat menging

  • Diuber Janda   71. Malam Pertama

    "Bangunlah, Elok. Aku'kan udah bilang, aku memaafkanmu. Ayo, bangun!" Imron meraih pundak sang istri, lalu membawanya duduk kembali ke atas ranjang. Wanita itu masih terus terisak, membuat Imron kebingungan sendiri."Udah, jangan nangis ya. Nanti kalau kita kebanjiran gimana? Sekarang, kamu mandi, ganti baju. Di dalam lemari ada baju yang sudah disiapkan hotel katanya. Setelah mandi, nanti kita bicara lagi," pinta Imron dengan lembut. Lelaki itu kembali mengancingkan baju piyamanya dengan wajah merona malu. Ia yang tadi saling berhadapan dengan istrinya, kini sudah menggeser tubuhnya ke samping. Sangat malu melakukan aktifitas seperti ini sambil diperhatikan wanita."Kenapa dikancing lagi bajunya?" tanya Elok sambil menyembunyikan wajahnya yang juga merona."Gak papa, nanti juga kamu buka lagi'kan?" jawab Imron sambil terbahak. Tawa yang tak pernah dilihat Elok sebelumnya. Wajah suaminya malam ini sungguh tampan tiga ratus

  • Diuber Janda   70. Pengantin Baru

    "Saya di sini, Bu Ririn. Saya baik-baik saja," ucap suara Imron yang tiba-tiba saja berdiri dari balik kerumunan orang yang tengah duduk di kursi. Elok dan Desta terkejut dengan suara lelaki itu, begitu juga dengan Ririn yang memandang iba wajah teman suaminya yang sudah ia anggap teman sendiri. Ditambah lagi, ia tahu betul perjuangan Imron bersabar terhadap sikap Elok."Mas Imron," gumam Elok dari tempat ia berdiri saat ini. Kakinya gemetar dan tak kuat melangkah untuk menghampiri mantan suaminya itu. Tangannya berpegangan pada meja yang sudah dihias sedemikian cantiknya untuk acara pernikahan sederhananya hari ini. Agar tidak limbung, karena yang ia rasakan saat ini adalah seluruh persendiannya melemah.Air matanya membasahi pipi. Lidahnya kelu tak mampu berucap kata maaf pada Imron. Padahal sudah dari lama ia ingin meminta maaf pada lelaki itu atas semua kesalahannya. Namun, di depan sana, seorang Imron tengah tersenyum

  • Diuber Janda   69. Pernikahan Elok

    Istri Wasiat 31Hari minggu pagi yang sangat sejuk. Pukul setengah enam pagi, Desta memutuskan untuk berolah raga dengan berlari di sekitaran komplek tempat ia tinggal. Elok masih sibuk di dapur, membereskan barang-barang sekaligus memasak sarapan untuk mereka.“Lok, sepatu lari saya yang warna merah kamu simpan di mana?” tanya Desta saat menghampiri Elok di dapur. Wanita itu menoleh, lalu tersenyum tipis. Tanpa menjawab pertanyaan Desta, Elok berjalan ke arah lemari yang masih berada di area dapur. Pintu lemari itu ia buka, lalu mengmabilkan sepasang sepatu yang ditanyakan oleh Desta.“yang ini bukan?” tanya Elok memastikan. Tangannya terulur untuk memberikan sepatu sneaker itu pada Desta.“Wah, baru kamu cuci ya? Duh, ini mah calon istri terbaik,” puji Desta tulus. Elok menegang. Sekelebat bayangan Imron muncul di kepalanya. Tidak! Dia bukan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status