Share

9. Ditraktir Janda

Dengan berat hati, Amin akhirnya berjalan ke kasir untuk menebus enam novel milik Jihan. Bahkan ia sudah menerka, akan berapa tersisa isi dompetnya nanti. Hanya ada KTP, SIM, kartu BPJS yang sudah tiga bulan tidak ia bayarkan iurannya, serta satu keping uang koin lima ratus rupiah. Jihan senyam-senyum dengan mata berbinar, saat Amin datang menghampiri dengan memakai batik. 

Orang-orang di sekitar Jihan yang ikut mengantre, terpana melihat gaya Amin yang begitu jadul. Gaya yang membuat Amin terlihat lebih tua dari usianya.

"Eh, Mamang udah datang. Ini, Mang, harus bayar tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah!" Jihan menunjuk angka pada monitor kasir. Amin tersenyum tipis, ia dipanggil Mamang oleh Jihan, mungkinkah Jihan sebenarnya malu dengan dirinya, orang tak punya ini?

"Mamang! Ye ... kok bengong? Ini cepetan bayarin, udah pada antre tuh," rengek Jihan dengan suara kesal. Gadis itu mendadak khawatir, kalau saja tiba-tiba Amin mengurungkan niatnya untuk membayar semua tagihan novel dirinya. Tidak, Bang Amin pasti tak tega dengan dirinya.

Seketika ketakutan itu pun sirna. Karena Amin dengan gerakan sangat perlahan, akhirnya mengeluarkan dompetnya yang sudah lusuh, lalu menarik uang di dompetnya yang berjumpah tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah. Dengan tangan gemetar, sekilas Amin melirik Jihan yang tersenyum senang padanya. Senyum yang mampu memperpanjang semangat hidupnya. 

Amin menghela nafas panjang, lalu memberikan uang yang ia punya pada kasir toko buku. Jihan pun dengan senang menerima goodie bag yang berisi enam novel pilihannya, yang diberikan oleh kasir.

"Makasih, Bang." Jihan berjalan lebih dulu, meninggalkan Amin yang mengekorinya di belakang. Tiba-tiba saja, perut Jihan berteriak lapar. Diliriknya Amin yang kini tersenyum tipis di belakanganya. 

"Bang Amin, Jihan lapar. Itu ada restoran fried chicken. Makan itu yuk, Bang Amin masih ada uangkan?" tanya Jihan dengan penuh semangat. Sedangkan wajah Amin berubah pias.

"Ada nih, sisa gopek koin!" Amin menunjukkan satu keping koin lima ratus rupiah, yang ia ambil dari saku kemeja batiknya.

"Yah ... Jihan lapar nih. Masa harus nahan lapar sih? Ntar kalau maag Jihan kambuh bagaimana, Bang Amin mau tanggung jawab? Ngajakin jalan, tapi gak bawa duit. Payah ah, Bang Amin," gerutu Jihan marah sambil menghentak-hentakkan kakinya.

"Jihan, tadikan uang saya dipakai Jihan. Niqtnya juga saya mau traktir Jihan makan pecal lele, karena saya juga sudah lapar. Namun, uang yang saya bawa udah Jihan pinjam untuk bayar buku Jihan, jadi ...."

"Alah, alesan aja. Udah! Jihan males sama Bang Amin. Jihan mau pulang aja!" Jihan sudah berjalan cepat ke arah parkir, sambil memainkan ponselnya. 

"Kita pulang saja naik taksi online, nanti Abang yang bayar ongkosnya, begitu sampai di rumah," bujuk Amin pada wanita yang sangat ia cintai ini. Bahkan Amin memberanikan diri memegang lengan Jihan,agar Jihan menghentikan langkahnya ke arah pelataran toko buku.

"Lepas, Bang. Jihan udah pesan ojol saja. Tuh, dia!" Jihan menepis kuat tangan Amin, lalu berlari menghampiri ojol yang sudah menunggunya. 

"Jalan, Bang!" ujar Jihan tak sabar, ia takut Amin mengejarnya dan meminta ia turun dari ojek online.

"Jihaan!" teriak Amin, tepat saat ojek online itu melesat membawa Jihan pergi dari hadapannya.

Tinggalah Amin sendiri di tengah hiruk pikuk jalan raya. Matanya menoleh ke kanan, ke kiri. Betapa masih sangat jauh kalau berjalan kaki sampai di rumah. Bisa-bisa pukul sepuluh malam ia baru sampai, ditambah belum makan dalam cuaca dingin seperti ini. Amin mengangkat kepalanya, melihat bintang di langit yang begitu banyak menghiasi malam. Bintang-bintang itu tak sendiri, selalu ada teman-teman di atas sana. Saling berbagi keluh dan kesah. Lalu ia bagaimana?

Amin berjalan dengan lemah menyusuri trotoar jalan, agar bisa sampai di Gang Mawar. Masih sangat jauh serta harus melewati dua lampu merah jalan raya besar. Tak apalah, mau bagaimana lagi? Tidak mungkin ia naik angkutan dan membayar dengan uang lima ratus rupiah. Mau pesan ojol, dia tak memiliki paket internet, baru saja habis saat akan pergi ke toko buku tadi.

Ingin protes dan marah sebenarnya pada Jihan, tetapi mana mungkin. Bisa-bisa Jihan enggan lagi bepergian dengan dirinya, dan mencoret namanya dari daftar kandidat calon suami. Dia harus belajar sabar, namanya juga anak perawan. Butuh perjuangan dan modal ekstra untul mendapatkan mereka. 

Hidung Amin membaui aroma ikan lele yang tengah digoreng dari kejauhan. Ya, saat ini ia berjalan melewati jejeran pedagang makanan malam. Mulai dari martabak telur dan manis, pedagang, bubur ayam, pedangang ketoprak malam, pedagang nasi goreng, pedagang nasi kucing, pedagang wedang jahe, dan paling ujung ada pedagang pecal lele. Perut Amin semakin keroncongan, saat semakin mendekati warung makan itu. 

Cacingnya seakan tengah melakukan orasi, meneriakkan kata lapar dengan begitu kencang. Amin meletakkan tangannya di atas perut, lalu berkata," sabar ya, Cing. Sampai kontrakan kita makan telur ceplok pakai kecap. Sabar ya," ujarnya berbisik pada perutnya.

"Bang Amin!" suara teriakan seorang wanita membuat Amin menoleh.

"Eh, Ibu," sahutnya sambil menunduk, lalu tersenyum.

"Mau ke mana? Kok jalan kaki? Sini!" panggil wanita itu dengan semangat. 

"Saya mau pulang, Bu," jawabnya masih berdiri di depan tenda warung pecal lele. Tak berani ia masuk ke dalam, khawatir diminta untuk bayari makan wanita itu.

"Jalan kaki?"

"Iya."

"Saya antar saja ya, kan kita searah, tapi saya makan dulu. Sini, Bang, duduk!" Ririn menepuk sisi kosong kursi di sampingnya. Amin hanya tersenyum, tak berani masuk.

"Sini, Bang! Ngapain di sana? Takut disuruh bayarin ya? Ha ha ha ...." Ririn tergelak.

"Tenang, Bang. Janda kayak saya mah, bukan janda licik! Ayo, duduk di sini!" kata Ririn lagi setengah memaksa.

"Bu, teh hangat satu ya," pesan Ririn pada si ibu penjual pecal lele. Amin duduk tepat di sampingnya dengan ragu-ragu.

Krruk

Krruk

Ririn seketika menoleh, pada Amin yang menyeringai sambil memegang perutnya.

"Abang lapar? Belum makan?" tanya Ririn lagi. Kali ini memandang Amin dengan seksama. Lelaki itu mengangguk pelan sambil menahan senyum.

"Bu, pecel lele satu lagi ya?" suara Ririn kembali memesan.

"Mau pakai nasi uduk atau nasi biasa, Bang? Trus, ikannya garing atau biasa?" tanya Ririn pada Amin, sambil tetap menyuapi Dira daging ikan lele.

"Aduh, gak usah, Bu. Saya jadi gak enak. Gak papa, saya minum teh saja," tolaknya halus, karena perasaannya benar-benar sungkan pada Ririn.

"Gak baik nolak rezeki, Bang. Nasi uduk ya, ikannya goreng garing, bagaimana?" 

Amin mengangguk kaku, "terimakasih, Bu. Maaf saya merepotkan," ujar Amin dengan malu-malu.

Inilah yang dinamakan rezeki. Siapa sangka ia bertemu Ririn, janda yang tadi pagi sebagai penglaris bengkelnya. Janda yang memiliki keistimewaan saat berjalan, karena kakinya pincang. Ternyata janda yang baik hati dan tidak tidak perhitungan. Amin dapat makan dengan lahap, tanpa diganggu oleh Ririn. Janda itu sibuk dengan balitanya yang ikut makan bersamanya.

Setelah semua selesai makan, Ririn memberikan sejumlah uang pada ibu penjual pecal lele. Lalu dengan langkah sedikit terseok berjalan ke parkiran motornya, diikuti Amin yang berjalan di belakangnya sambil memperhatikannya.

"Biar saya yang bawa motornya, Bu. Kasian Ibu pasti repot bonceng saya, sambil bawa bayi gitu," kata Amin sambil menawarkan bantuan. Ririn mengangguk, lalu tersenyum. 

Amin mengendarai motor matic Ririn, membelah jalan raya sambil membonceng Ririn di belakangnya.

"Kenapa pulang malam, Bu?" tanya Amin berbasa-basi, saat mereka berhenti di lampu merah.

"Saya keliling cari kerja, Bang. Sekalian interview tadi."

"Oh, gitu. Mau kerja apa?"

"Apa saja, asal halal. Namun, sepertinya belum rezeki hari ini, Bang, karena kaki saya cacat. Tak apa, besok saya keliling lagi cari pekerjaan."

"Oh, trus anaknya dibawa-bawa?"

"Nggak, Bang. Saya titipkan di mama saya."

"Oh, begitu. Semangat ya, Bu."

"Selama masih ada nafas dan sehat, kita harus semangat Bang. Ya, walaupun cacat, saya yakin, saya masih berkesempatan memiliki suami, eh ... rezeki maksudnya."

Amin tersenyum. Dihirupnya udara malam yang sekarang tidak terlalu dingin, karena ada balita Ririn yang duduk cukup dekat di belakangnya.

"Terimakasih untuk traktirannya, Bu. Lain waktu, saya deh gantian yang traktir," kata Amin begitu turun di depan Gang Mawar.

"Jangan dipikirkan, Bang. Santai saja. Mari, saya pamit." Ririn pindah duduk di depan, lalu melesatkan motornya, meninggalkan Amin yang masih berdiam diri di depan gang. Setelah Ririn menghilang di belokan arah komplek, Amin pun berjalan masuk ke dalam Gang Mawar. 

"Hi hi hi ... geli, Mas. Jangan begini, nanti dilihat Papa," ujar Jihan dengan mesranya pada seorang pria yang mengendarai motor besar. Keduanya tengah duduk merajut kasih di kursi teras rumah Jihan. Amin menoleh, tepat saat Jihan pun menyadari kehadiran Amin di depan rumahnya. Karena memang rumah kontrakan Amin, persis di depan rumahnya. Jihan membuang muka, lalu fokus kembali pada pacarnya. 

Amin membuka kunci rumah, lalu masuk ke dalam dengan hati sakit.

Dengan perawan uangku habis, dengan janda malah ditraktir. Apakah harus berubah haluan?

*****

~Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status