Amin berusaha fokus menambal ban motor customernya yan sudah menunggu dari pagi. Walau di tengah rasa melilit perut yamg sungguh membuatnya tak nyaman. Berkali-kali ia mengusap peluh yang bercucuran, padahal langit pagi masih nampak mendung. Wajahnya pun lama-kelamaan pucat, karena menahan mulas yang luar biasa.
"Bu, saya ke kamar mandi sebentar ya?" pamit Amin pada Ririn yang tengah duduk di kursi plastik sambil menimang puteri kecilnya yang terlelap.
"Mau ngapain? Lama gak?" tanya Ririn dengan polosnya. Entahlah, semenjak resmi menjadi janda, otaknya lama sekali mencerna sebuah kalimat.
"Saya mau liburan ke kamar mandi, Bu," sahut Amin yang diikuti gelak tawa. Kepalanya ia gelengkan, kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang berada di belakang kios.
Ririn hanya mengangkat bahu, lalu kembali memainkan ponselnya. Melihat akun sosial media teman-teman dan para artis yang selalu ramai berita. Menunggu lima menit, sang montir belum juga keluar dari kamar mandi. Ririn memutuskan untuk berdiri, lalu berjalan mendekati ruang belakang bengkel.
Tak ada suara sama sekali, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam kamar mandi sana.
"Bang, tidur?" panggil Ririn sambil memasang telinganya.
"Belum, Bu. Udah sana, di depan saja menunggunya. Jangan di sini!" teriak Amin dari dalam kamar mandi.
"Eh, jangan dijawab, Bang. Dosa loh, ngomong di dalam kamar mandi," kata Ririn lagi yang masih saja berdiri di depan pintu belakang.
"Ya, jangan ditanya kalau gitu," timpal Amin dengan wajah kesal di dalam sana.
"Ya udah, cepetan Bang. Saya buru-buru nih!" Ririn kembali ke depan, duduk di kursi plastik. Semenit kemudian, Dira yang terlelap dalam gendonganya pun terbangun. Lekas Ririn membuatkan susu untuk Dira, untunglah ia selalu membawa tumbler dan susu bubuk, berjaga-jaga bila Dira rewel atau kehausan. Namun, sayang sekali, Dira tak mau menyusu. Balita yang berusia sembilan belas bulan itu, malah ingin mengempeng ASI Ririn.
"Nini ... Nini ....," celoteh Dira sambil memegang dada mamanya. Ririn tak punya pilihan lain, dengan sangat terpaksa, ia membuka kancing baju kemejanya, lalu menyusui Dira. Tentulah ia menutup bagian dadanya dengan kerudung yang ia pakai.
Tak lama, Amin pun keluar dari tempat persembunyiannya. Tanpa menoleh pada kustomernya yang sedang menyusui, Amin langung saja berjongkok, membetulkan ban motor Ririn yang pecah. Untunglah tidak terlalu lama, karena tinggal merekatkan kertas alumunium pada bagian yang bocor.
"Assalamualaikum, Bang Amin. Minum jamu ndak?" tegur Mbak Katini yang sudah berdiri di depan bengkel, dengan bakul jamu di punggungnya.
"Eh, Mbak Katini. Saya libur dulu minum jamunya. Perut saya sedang gak enak," sahut Amin sambil menoleh pada Mbak Katini. Ririn pun ikut memperhatikan keduanya orang di depannya yang sedang bercakap-cakap.
"Udah ke dokter belum?" tanya Mbak Katini dengan nada khawatir, sambil menurunkan bakul jamunya di tanah. Kakinya melangkah maju untuk memastikan kondisi Amin yang katanya kurang sehat.
"Udah, Mbak, tapi masih mules aja," sahut Amin lagi, tanpa menoleh.
"Kelamaan jomblo itu, Bang." Mbak Katini tergelak, begitu pun Amin dan Ririn.
"Mau saya pijat ndak? Nanti setelah tutup bengkelnya saja," rayu Mbak Katini dengan suara mendayu-dayu. Amin terdiam, susah payah ia menelan salivanya, saat Mbak Katini menawarkan pijatan.
"Gak usah, Mbak. Nanti juga sembuh, terimakasih."
"Pijatan saya mantul loh, Bang Amin," ujar Mbak Katini lagi dengan penuh semangat. Amin berusaha menolak dengan cara halus, sambil mengurut dadanya. Ya Allah, kapan hamba punya istri, biar gak digoda terus sama para janda. Amin bermonolog. Karena Amin tak menggubris, Mbak Katini akhirnya pergi dari sana dengan wajah cemberut.
"Mbak, Mbak!" panggil Amin, saat langkah Mbak Katini semakin jauh.
"Tadi aja gak mau, sekarang panggil-panggil. Gak konsisten," gumam Mbak Katini sambil mengulum senyum di balik punggungnya. Hatinya bersorak dengan gembira, saat Amin terus saja memanggilnya.
"Apa sih, Bang?" Mbak Katini berbalik, dengan wajah merona dan malu-malu menatap Amin yang menggelengkan kepala.
"Ini loh, bakul jamunya ketinggalan," tunjuk Amin pada bakul jamu yang masih bertengger manis di atas tanah, depan bengkelnya. Lagi-lagi Ririn terbahak, Amin pun ikut menahan tawa. Ada saja kejadian konyol, padahal masih pagi. Dengan serampangan, Mbak Katini berjalan kembali mengambil bakul jamunya, tanpa menoleh pada Amin. Dengan lihai, ia menggendong kembali bakul jamunya, tanpa melihat pada Amin dan seorang wanita yang tengah menyeringai menatapnya.
"Lucu juga ya, Bang," komentar Ririn masih dengan tawanya.
"Bingung saya, Bu. Para janda demen banget sama saya. Padahal saya nggak ganteng, nggak kaya. Entah apa yang membuat para janda itu terpesona pada saya," terang Amin panjang lebar, membuat Ririn menaikkan sebelah alisnya.
"Saya nggak tuh!" ujar Ririn sambil memutar bola mata malasnya. Amin tergugu, ia mengira wanita di depannya ini memiliki suami, ternyata janda juga.
"Oh, Ibu Janda juga. Saya kirain ada suami."
"Suami saja nikah lagi, trus saya ditinggal. Makanya saya males sama laki-laki, Bang."
"Oh, kasian. Sabar, Bu. Semoga mendapat jodoh lagi yang baik dan dewasa," ujar Amin tulus. Ririn hanya tersenyum, lalu mengangguk.
"Apalagi anak baru satu. Pasti banyak yang mau, Bu," ujar Amin lagi, berusaha memberikan semangat.
"Anak saya tiga, Bang." Ririn terkekeh geli, apalagi ekspresi montir di depannya nampak terkejut, bagai melihat setan.
"Oh, banyak." Amin menyeringai, sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Bang Amin, nanti sore mau nemenin Jihan ke toko buku gak?" suara wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja muncul di depan bengkel, sambil mengulas senyum sangat manis.
"Mau dong. Habis magrib ya?" Amin mengiyakan dengan hati bersorak gembira.
Jihan pun bersorak gembira di dalam hati. Nanti malam, ia bebas belanja aneka novel dan alat tulis, karena pasti Bang Amin dengan senang hati mantraktirnya.
****
~Bersambung~"Ceweknya ya, Bang?" tanya Ririn sambil menyerahkan uang lima belas ribu pada Amin. Gadis muda yang mengajak Amin ke toko buku tadi, baru saja pergi."Calon istri, Bu. Doakan ya," sahut Amin dengan mantap. Senyumnya cerah ceria, secerah rezeki pagi hari ini."Wah, selamat Bang. Masih muda, cantik pula. Emang sekarang daun muda lagi laris ya, Bang. Kalau daun kering kayak saya, pasti gak ada yang mau." Ririn tergelak. Ia pun kini sudah naik ke atas motor, siap melanjutkan perjalanan ke rumah sang mama."Daun kering mah, cocoknya sama aki-aki garing, Bu," timpal Amin ikut tergelak. Baru kali ini, masih pagi ia sudah mendapat pelanggan yang lucu, janda pula. Biasanya janda gemesin, tetapi janda yang ini ngeselin."Huh, calon istri juga masih calon, Bang. Udah resmi aja masih bisa lepas, apa lagi baru calon. Awas, jaman sekarang banyak cewek muda tukang plorotin celana," ujar Ririn mengingatkan sambil menyalakan mesin motornya. Amin menelan salivanya saat mendeng
Dengan berat hati, Amin akhirnya berjalan ke kasir untuk menebus enam novel milik Jihan. Bahkan ia sudah menerka, akan berapa tersisa isi dompetnya nanti. Hanya ada KTP, SIM, kartu BPJS yang sudah tiga bulan tidak ia bayarkan iurannya, serta satu keping uang koin lima ratus rupiah. Jihan senyam-senyum dengan mata berbinar, saat Amin datang menghampiri dengan memakai batik.Orang-orang di sekitar Jihan yang ikut mengantre, terpana melihat gaya Amin yang begitu jadul. Gaya yang membuat Amin terlihat lebih tua dari usianya."Eh, Mamang udah datang. Ini, Mang, harus bayar tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah!" Jihan menunjuk angka pada monitor kasir. Amin tersenyum tipis, ia dipanggil Mamang oleh Jihan, mungkinkah Jihan sebenarnya malu dengan dirinya, orang tak punya ini?"Mamang! Ye ... kok bengong? Ini cepetan bayarin, udah pada antre tuh," rengek Jihan dengan suara kesal. Gadis itu mendadak khawatir, kalau saja tiba-tiba Amin mengurungkan niatnya untuk memba
Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama.Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang."Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios."Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celinga
Amin menutup kios bengkelnya, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia mau bersiap-siap mandi, lalu melaksanakan sholat magrib berjama'ah di masjid. Untung saja, saat akan tutup memang belum ada kustomer lagi. Paling akhir tadi diisi oleh Mbak Nengsih yang minta dibenarkan rem motornya yang macet.Sebelum menurunkan rolling door, Amin kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kustomer yang mampir lagi. Benar saja, jalanan ramai lalu lalang kendaraan, tetapi sepertinya memang tak ada pelanggan lagi.GgrreeSuara rolling door diturunkan, tak lupa Amin mengunci pintu kiosnya. Halaman depan kios memang tak terlalu banyak sampah, sehingga Amin tak perlu menyapu halaman, cukup memunguti sampah daun dan bungkus makanan yang berserakan tidak terlalu banyak."Bang Amin," suara merdu seorang wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di telinganya. Amin menoleh, lalu memberikan senyum terbaiknya p
Dua hari sudah berlalu, sejak insiden Jihan yang lalai saat dititipin pulsa oleh Amin. Gadis itu juga tak nampak batang hidungnya, bahkan pesan WA-nya pun tak aktif. Ami melirik sekilas, ke pintu rumah Pak RW yang masih tertutup rapat, saat ia akan keluar bekerja hari ini. Besok adalah hari di mana, Jihan akan menjawab ajakannnya waktu itu. Apakah Jihan akan menerimanya? Ataukah Jihan akan menolaknya?Sebenarnya, ada sedikit keraguan di hati Amin, setekah beberapa kali harus korban isi dompet saat berdekatan dengan Jihan. Kekhawatiran itu ada, bahkan semakin ke sini, semakin kuat. Hanya saja, ia masih sangat berharap mendapatkan seorang pendamping hidup yang masih gadis. Ia tak ingin seperti Rahmat, Ojan, Panjul, dan Asep, teman-teman STM-nya itu menikah dengan para janda. Ia tak mau sama, ia ingin mendapatkan perawan ting-ting, bukan bekas siapa-siapa.Agar dia bisa lebih percaya diri dan pamer pada teman-temannya, saat ia pulang ke Yogya nanti. Sepertinya memang
"Alhamdulillah. Soto ayamnya enak sekali, Bang. Beli di mana?" puji Ririn setelah menenggak habis kuah soto di dalam mangkuk. Tanpa rasa sungkan, tadi Ririn malah minum langsung dari mangkuknya, hingga membuat Amin tercengang. Sungguh wanita yang sangat cuek, pikirnya."Oh, itu Bu. Di dekat kios bengkel saya," jawab Amin sambil melirik sebentar ke arah Ririn. Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah Ririn sangat cantik. Natural, kulitnya putih bersih, tanpa jerawat di wajahnya."Oh, iya Bang. Kapan-kapan saya mau mampir deh, beli di sana," timpal Ririn."Minum, Bang!" Ririn mengangkat cangkir teh hangat untuk Amin, lalu memberikannya ke tangan Amin. Tanpa disengaja, Amin kembali kesetrum, saat sedikit dan hanya sepersekian detik kulit tangan Ririn menyentuh jemarinya. Amin menggerakkan kepalanya, seperti ingin tersadar dari sesuatu."Kenapa, Bang?" tanya Ririn keheranan."Ada gempa gak sih, Bu?" Amin malah berbalik tanya pada Ririn. Kali ini wajahnya
Amin bangun pagi dengan begitu semangat, setelah semalam berbalas pesan pada Ririn. Walau tak lama dan tak banyak, tetap saja cukup menghibur hatinya yang kesal dengan Jihan. Tidurnya nyenyak, dan bangun tepat pukul empat, untuk segera bersiap ke masjid.Ada Mbak Katini yang sedang menyapu teras kontrakan, saat dirinya mau melewati jalan di depan rumah kontrakan Mbak Katini. Namun, langkahnya terhenti. Dalam diam, ia menanti Mbak Katini masuk ke dalam rumah. Jujur, ia sudah tak sanggup mencoba aneka olahan pisang yang dibuat oleh Mbak Katini.Begitu Mbak Katini masuk ke dalam rumah, serta menutup sedikit pintu rumahnya, Amin berlari melesat, bagai dikejar setan untuk segera sampai di rumahnya. Dengan nafas ngos-ngosan, akhirnya Amin selamat dari Ratu Pisang. Julukan yang diberikan Imron pada Mbak Katini. Karena bukan hanya dengan dirinya, Imron pun kerap menjadi sasaran olahan pisang. Entahlah, apa sebenarnya dari maksud Mbak Katini.Mata Amin melirik sedi
Jihan merasa masa bodoh dengan Amin yang sedang repot membantu ibu-ibu di depan jalan sana. Bahkan ia memesan lagi dua bungkus mie ayam untuk dibawa pulang, sebagai oleh-oleh untuk mama dan papanya. Minuman es teh manis juga ia pesan lagi, sedangkan mie ayam pesanan Amin belum juga tersentuh."Dek Jihan, tunggu ya, saya benerin ini ke bengkel depan!" ujar Amin dengan sedikit berteriak. Jihan tersenyum kecut, lalu mengangguk. Ia masih fokus pada mangkuk mie ayam dan minumannya, sambil memainkan ponsel, sedangkan Amin sudah berjalan mendorong motor Ririn menuju bengkel yang masih buka."Ibu kalau capek, tunggu di sini saja, biar saya bawa motornya ke depan," kata Amin sambil menatap wajah lelah Ririn yang kepayahan berjalan sambil menggendong Dira yang tertidur."Saya ikut saja, Bang. Gak papa. Maaf ya, Bang. Saya jadi ganggu kencan Bang Amin," kata Ririn merasa tak enak."Gak papa, Bu. Ya udah, kalau gitu, pelan-pelan saja jalannya, j