Share

8. Kelakuan Jihan

"Ceweknya ya, Bang?" tanya Ririn sambil menyerahkan uang lima belas ribu pada Amin. Gadis muda yang mengajak Amin ke toko buku tadi, baru saja pergi.

"Calon istri, Bu. Doakan ya," sahut Amin dengan mantap. Senyumnya cerah ceria, secerah rezeki pagi hari ini.

"Wah, selamat Bang. Masih muda, cantik pula. Emang sekarang daun muda lagi laris ya, Bang. Kalau daun kering kayak saya, pasti gak ada yang mau." Ririn tergelak. Ia pun kini sudah naik ke atas motor, siap melanjutkan perjalanan ke rumah sang mama.

"Daun kering mah, cocoknya sama aki-aki garing, Bu," timpal Amin ikut tergelak. Baru kali ini, masih pagi ia sudah mendapat pelanggan yang lucu, janda pula. Biasanya janda gemesin, tetapi janda yang ini ngeselin.

"Huh, calon istri juga masih calon, Bang. Udah resmi aja masih bisa lepas, apa lagi baru calon. Awas, jaman sekarang banyak cewek muda tukang plorotin celana," ujar Ririn mengingatkan sambil menyalakan mesin motornya. Amin menelan salivanya saat mendengar kata plorotin celana. Pikirannya melayang ke negeri antah-barantah.

"Bu, anaknya jangan ketinggalan!" mata Amin mengarah pada kursi panjang, di mana Dira sedang berbaring menyantap biskuit dengan tenang. Lelaki itu tergelak lagi. Jika tadi Mbak Katini hampir ketinggalan bakul jamu, maka janda yang satu ini hampir ketinggalan anak, dan ini yang paling parah.

"Eh, ya Allah." Ririn lekas turun dari motornya, lalu memasukkan Dira ke dalam gendongan. Namun, susah. Dira terus saja bergerak ke sana-kemari, sehingga Ririn cukup kesulitan. Amin hanya menoleh sebentar, kemudian melanjutkan kembali aktifitasnya. Ia memang tak terlalu suka dengan anak kecil, kecuali anaknya sendiri nanti. 

"Ya Allah, susah ya, Bu. Sini saya bantu!" Imron yang baru saja tiba di depan bengkel Amin, langsung saja membantu Ririn yang kesulitan memasukkan Dira ke dalam gendongan depan. Dengan cekatan dan hati-hati Imron menolong Ririn, karena memang ia mengenalinya. Amin menoleh, lalu memperhatikan kedua orang dewasa di depannya yang sibuk dengan seorang balita.

"Makasih Bang Imron," ucap Ririn setelah berhasil menggendong Dira dengan nyaman.

"Sama-sama, Bu. Hati-hati di jalan. Da ... Da ... Dek Dira!" Imron tersenyum sangat manis, lalu melambaikan tangan pada Dira. Gadis kecil itu pun tersenyum, lalu tanpa sengaja kepalanya menoleh hingga saling pandang dengan Amin. 

"Hek ... Hek ...." Dira tiba-tiba menangis saat berhadapan dengan Amin.

"Eh, anak balita aja nangis lihat Bang Amin," celetuk Ririn sambil menyeringai.

"Mari, Bang." Ririn pun bergegas melajukan motornya. Imron memperhatikannya sampai hilang di belokan depan jalan. 

Imron mengeluarkan rokok dari saku celana panjangnya, lalu ia menyalakan rokok, dan duduk di kursi plastik depan bengkel. 

"Angin, Min," kata Imron sambil menunjuk ban belakang motor dengan dagunya.

"Oke. Lu kenal sama ibu janda tadi?" tanya Amin yang kini tengah memasukkan ujung selang ke dalam pentil ban motor Imron.

"Itu Min yang gue bilang. Majikannya Laili. Orang kaya itu. Rumahnya aja gede banget," terang Imron berapi-api. Amin hanya menoleh sekilas, lalu memutar bola mata malasnya.

"Gak minat gue, Im. Nih, nanti malam gue mau ke toko buku sama Jihan. Lihat saja sampai bulan depan, pasti Jihan resmi jadi pacar gue. Tahun depan baru gue lamar. Ngumpulin duit dulu buat ngasih anak perawan." Amin menyeringai sangat lebar, seringai kebahagiaan yang sebentar lagi akan menyapanya.

"Jihan kembang Gang Mawar? Serius, Lu? Bukannya di pacarnya Edo, anak Pak Lurah." Imron mematikan rokoknya, laly berjalan mendekat pada Amin. 

"Mana mungkin pacar orang mau jalan sama cowok lain. Dah, Lu doain aja gue sama Jihan berjodoh," ujar Amin sambil menepuk pundak Imron yang masih melongo.

"Kayaknya lu terlalu terobsesi sama anak perawan, awas kena karma lu, Min. Dah, ah. Gue mau mangkal lagi." Imron memberikan satu lembar uang dua ribu rupiah pada Amin, sebagai bayaran isi angin motornya.

Sepeninggal Imron, Amin mencuci tangan lalu sarapan. Setelah sarapan satu bungkus roti dan minum air putih hangat, Amin kembali fokus pada pekerjaannya. Untung saja ada lagi pelanggan yang ingin ganti busi motornya dan langsung dipasang oleh Amin. Hari terus berlalu hingga sore, tak terasa Amin sudah mendapat sepuluh kustomer bengkel hari ini, termasuk Mbak Elin si janda beranak dua dan Mbak Sena si janda beranak tiga. 

Tentu saja Amin menolong dengan suka hati, karena keduanya ada termasuk pelanggan dengan totalitas tinggi. Setiap hari ke bengkel Amin hanya untuk tambal ban atau sekedar tambah angin. Lebih menguntungkannya adalah jika pelanggan lain tambah angin, hanya memberikan uang dua ribu sampai lima ribu rupiah. Namun, beda dengan Mbak Elin, Mbak Nengsih, dan Mbak Sena. Jika menambah angin, mereka akan berlomba memberikan uang lebih.

Amin masih memandang uang lima puluh ribu pemberian dari Mbak Elin. Dalam hati ia bersorak, uang lima puluh ribu bisa digunakan untuk mentraktir Jihan makan es campur nanti malam, atau menikmati pecel lele pinggir jalan sambil suap-suapan. Amin tergelak dalam hati, sekaligus mengharu biru gembira, dilihatnya jam di dinding, sudah pukul lima sore. Hari ini ia sudah mendapatkan uang tiga ratus enam puluh ribu. Sangat lumayan untuk bengkel kecil seperti miliknya. 

"Tutup lebih awal saja deh, biar bisa siap-siap," gumam Amin sembari merapikan peralatannya. Untngnya sudah tidak ada pelanggan lain, sehingga Amin lebih mudah untuk rapi-rapi.

****

Selesai sholat magrib, Amin pun memakai baju batik berlengan panjang lain miliknya. Dipadu padankan dengan celana bahan berwarna coklat, tak lupa topi merah, yang selalu ia pakai jika ia ingin pergi keluar, selain ke bengkel. Parfum haji yang ia beli sepulang sholat jumat, ia oleskan pada lengan, leher, serta bajunya. Wanginya memang sangat mirip dengan para jama'ah yang baru pulang haji. Tak lupa, Amin menumpahkan sekali lagi minyak kayu putih di atas perutnya, agar di sana nanti ia tidak mulas. 

Kini, ia sudah berdiri di depan rumah. Menatap senang pintu rumah Pak RW, rumah yang suatu hari akan ia tempati juga saat sudah menjadi menantu Pak RW. Amin mengulum senyum, tepat Bu RW membuka pintu rumah karena sedang menyapu.

"Permisi, Bu. Dek Jihannya ada?" tanya Amin malu-malu.

"Loh, Jihan udah berangkat ke toko buku, katanya janjian sama Bang Amin," terang Bu RW sambil mengerutkan keningnya. Jangankan Bu RW, Amin pun kaget atas informasi yang diberikan ibu dari calon istrinya ini.

"Saya kirain janjian di rumah, Bu. Oh, ternyata janjian di toko buku. Baik, Bu. Saya ke toko buku sekarang. Toko buku XXXX ya, Bu?" tanya Amin yang bersiap menyusul Jihan.

"Iya, yang dekat dari sini, Bang." 

"Oke, Bu. Saya permisi, assalamualaykum."

Amin berlari ke depan gang, untuk memberhentikan angkutan umum yang memiliki trayek ke toko buku tempat Jihan berada. Hanya butuh waktu lima belas menit, Amin sudah sampai di sana. Lekas ia turun, lalu memberikan uang tig ribu rupiah pada sopir angkutan.

Kakinya melangkah lebar masuk ke dalam toko buku, bertepatan dengan adzan isya berkumandang.

Drrt

Drrt

Amin mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, senyumnya terbit tatkala melihat nama siapa yang ada di layar ponselnya.

Calon istri

Hallo, Assalamualaikum Dek.

Bang Amin di mana? Saya di kasir Bang. Dompet saya ketinggalan. Saya pinjam uang Bang Amin. Gak banyak, Bang. Tiga ratus enam puluh ribu saja.

Amin terdiam. 

****

~Bersambung~


Komen (1)
goodnovel comment avatar
TISYAMAN
Pesona Amin membuat org kena alzhaimer dadakan :"
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status