"Ceweknya ya, Bang?" tanya Ririn sambil menyerahkan uang lima belas ribu pada Amin. Gadis muda yang mengajak Amin ke toko buku tadi, baru saja pergi.
"Calon istri, Bu. Doakan ya," sahut Amin dengan mantap. Senyumnya cerah ceria, secerah rezeki pagi hari ini.
"Wah, selamat Bang. Masih muda, cantik pula. Emang sekarang daun muda lagi laris ya, Bang. Kalau daun kering kayak saya, pasti gak ada yang mau." Ririn tergelak. Ia pun kini sudah naik ke atas motor, siap melanjutkan perjalanan ke rumah sang mama.
"Daun kering mah, cocoknya sama aki-aki garing, Bu," timpal Amin ikut tergelak. Baru kali ini, masih pagi ia sudah mendapat pelanggan yang lucu, janda pula. Biasanya janda gemesin, tetapi janda yang ini ngeselin.
"Huh, calon istri juga masih calon, Bang. Udah resmi aja masih bisa lepas, apa lagi baru calon. Awas, jaman sekarang banyak cewek muda tukang plorotin celana," ujar Ririn mengingatkan sambil menyalakan mesin motornya. Amin menelan salivanya saat mendengar kata plorotin celana. Pikirannya melayang ke negeri antah-barantah.
"Bu, anaknya jangan ketinggalan!" mata Amin mengarah pada kursi panjang, di mana Dira sedang berbaring menyantap biskuit dengan tenang. Lelaki itu tergelak lagi. Jika tadi Mbak Katini hampir ketinggalan bakul jamu, maka janda yang satu ini hampir ketinggalan anak, dan ini yang paling parah.
"Eh, ya Allah." Ririn lekas turun dari motornya, lalu memasukkan Dira ke dalam gendongan. Namun, susah. Dira terus saja bergerak ke sana-kemari, sehingga Ririn cukup kesulitan. Amin hanya menoleh sebentar, kemudian melanjutkan kembali aktifitasnya. Ia memang tak terlalu suka dengan anak kecil, kecuali anaknya sendiri nanti.
"Ya Allah, susah ya, Bu. Sini saya bantu!" Imron yang baru saja tiba di depan bengkel Amin, langsung saja membantu Ririn yang kesulitan memasukkan Dira ke dalam gendongan depan. Dengan cekatan dan hati-hati Imron menolong Ririn, karena memang ia mengenalinya. Amin menoleh, lalu memperhatikan kedua orang dewasa di depannya yang sibuk dengan seorang balita.
"Makasih Bang Imron," ucap Ririn setelah berhasil menggendong Dira dengan nyaman.
"Sama-sama, Bu. Hati-hati di jalan. Da ... Da ... Dek Dira!" Imron tersenyum sangat manis, lalu melambaikan tangan pada Dira. Gadis kecil itu pun tersenyum, lalu tanpa sengaja kepalanya menoleh hingga saling pandang dengan Amin.
"Hek ... Hek ...." Dira tiba-tiba menangis saat berhadapan dengan Amin.
"Eh, anak balita aja nangis lihat Bang Amin," celetuk Ririn sambil menyeringai.
"Mari, Bang." Ririn pun bergegas melajukan motornya. Imron memperhatikannya sampai hilang di belokan depan jalan.
Imron mengeluarkan rokok dari saku celana panjangnya, lalu ia menyalakan rokok, dan duduk di kursi plastik depan bengkel.
"Angin, Min," kata Imron sambil menunjuk ban belakang motor dengan dagunya.
"Oke. Lu kenal sama ibu janda tadi?" tanya Amin yang kini tengah memasukkan ujung selang ke dalam pentil ban motor Imron.
"Itu Min yang gue bilang. Majikannya Laili. Orang kaya itu. Rumahnya aja gede banget," terang Imron berapi-api. Amin hanya menoleh sekilas, lalu memutar bola mata malasnya.
"Gak minat gue, Im. Nih, nanti malam gue mau ke toko buku sama Jihan. Lihat saja sampai bulan depan, pasti Jihan resmi jadi pacar gue. Tahun depan baru gue lamar. Ngumpulin duit dulu buat ngasih anak perawan." Amin menyeringai sangat lebar, seringai kebahagiaan yang sebentar lagi akan menyapanya.
"Jihan kembang Gang Mawar? Serius, Lu? Bukannya di pacarnya Edo, anak Pak Lurah." Imron mematikan rokoknya, laly berjalan mendekat pada Amin.
"Mana mungkin pacar orang mau jalan sama cowok lain. Dah, Lu doain aja gue sama Jihan berjodoh," ujar Amin sambil menepuk pundak Imron yang masih melongo.
"Kayaknya lu terlalu terobsesi sama anak perawan, awas kena karma lu, Min. Dah, ah. Gue mau mangkal lagi." Imron memberikan satu lembar uang dua ribu rupiah pada Amin, sebagai bayaran isi angin motornya.
Sepeninggal Imron, Amin mencuci tangan lalu sarapan. Setelah sarapan satu bungkus roti dan minum air putih hangat, Amin kembali fokus pada pekerjaannya. Untung saja ada lagi pelanggan yang ingin ganti busi motornya dan langsung dipasang oleh Amin. Hari terus berlalu hingga sore, tak terasa Amin sudah mendapat sepuluh kustomer bengkel hari ini, termasuk Mbak Elin si janda beranak dua dan Mbak Sena si janda beranak tiga.
Tentu saja Amin menolong dengan suka hati, karena keduanya ada termasuk pelanggan dengan totalitas tinggi. Setiap hari ke bengkel Amin hanya untuk tambal ban atau sekedar tambah angin. Lebih menguntungkannya adalah jika pelanggan lain tambah angin, hanya memberikan uang dua ribu sampai lima ribu rupiah. Namun, beda dengan Mbak Elin, Mbak Nengsih, dan Mbak Sena. Jika menambah angin, mereka akan berlomba memberikan uang lebih.
Amin masih memandang uang lima puluh ribu pemberian dari Mbak Elin. Dalam hati ia bersorak, uang lima puluh ribu bisa digunakan untuk mentraktir Jihan makan es campur nanti malam, atau menikmati pecel lele pinggir jalan sambil suap-suapan. Amin tergelak dalam hati, sekaligus mengharu biru gembira, dilihatnya jam di dinding, sudah pukul lima sore. Hari ini ia sudah mendapatkan uang tiga ratus enam puluh ribu. Sangat lumayan untuk bengkel kecil seperti miliknya.
"Tutup lebih awal saja deh, biar bisa siap-siap," gumam Amin sembari merapikan peralatannya. Untngnya sudah tidak ada pelanggan lain, sehingga Amin lebih mudah untuk rapi-rapi.
****
Selesai sholat magrib, Amin pun memakai baju batik berlengan panjang lain miliknya. Dipadu padankan dengan celana bahan berwarna coklat, tak lupa topi merah, yang selalu ia pakai jika ia ingin pergi keluar, selain ke bengkel. Parfum haji yang ia beli sepulang sholat jumat, ia oleskan pada lengan, leher, serta bajunya. Wanginya memang sangat mirip dengan para jama'ah yang baru pulang haji. Tak lupa, Amin menumpahkan sekali lagi minyak kayu putih di atas perutnya, agar di sana nanti ia tidak mulas.Kini, ia sudah berdiri di depan rumah. Menatap senang pintu rumah Pak RW, rumah yang suatu hari akan ia tempati juga saat sudah menjadi menantu Pak RW. Amin mengulum senyum, tepat Bu RW membuka pintu rumah karena sedang menyapu.
"Permisi, Bu. Dek Jihannya ada?" tanya Amin malu-malu.
"Loh, Jihan udah berangkat ke toko buku, katanya janjian sama Bang Amin," terang Bu RW sambil mengerutkan keningnya. Jangankan Bu RW, Amin pun kaget atas informasi yang diberikan ibu dari calon istrinya ini.
"Saya kirain janjian di rumah, Bu. Oh, ternyata janjian di toko buku. Baik, Bu. Saya ke toko buku sekarang. Toko buku XXXX ya, Bu?" tanya Amin yang bersiap menyusul Jihan.
"Iya, yang dekat dari sini, Bang."
"Oke, Bu. Saya permisi, assalamualaykum."
Amin berlari ke depan gang, untuk memberhentikan angkutan umum yang memiliki trayek ke toko buku tempat Jihan berada. Hanya butuh waktu lima belas menit, Amin sudah sampai di sana. Lekas ia turun, lalu memberikan uang tig ribu rupiah pada sopir angkutan.
Kakinya melangkah lebar masuk ke dalam toko buku, bertepatan dengan adzan isya berkumandang.
Drrt
DrrtAmin mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, senyumnya terbit tatkala melihat nama siapa yang ada di layar ponselnya.
Calon istri
Hallo, Assalamualaikum Dek.
Bang Amin di mana? Saya di kasir Bang. Dompet saya ketinggalan. Saya pinjam uang Bang Amin. Gak banyak, Bang. Tiga ratus enam puluh ribu saja.
Amin terdiam.
****
~Bersambung~
Dengan berat hati, Amin akhirnya berjalan ke kasir untuk menebus enam novel milik Jihan. Bahkan ia sudah menerka, akan berapa tersisa isi dompetnya nanti. Hanya ada KTP, SIM, kartu BPJS yang sudah tiga bulan tidak ia bayarkan iurannya, serta satu keping uang koin lima ratus rupiah. Jihan senyam-senyum dengan mata berbinar, saat Amin datang menghampiri dengan memakai batik.Orang-orang di sekitar Jihan yang ikut mengantre, terpana melihat gaya Amin yang begitu jadul. Gaya yang membuat Amin terlihat lebih tua dari usianya."Eh, Mamang udah datang. Ini, Mang, harus bayar tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah!" Jihan menunjuk angka pada monitor kasir. Amin tersenyum tipis, ia dipanggil Mamang oleh Jihan, mungkinkah Jihan sebenarnya malu dengan dirinya, orang tak punya ini?"Mamang! Ye ... kok bengong? Ini cepetan bayarin, udah pada antre tuh," rengek Jihan dengan suara kesal. Gadis itu mendadak khawatir, kalau saja tiba-tiba Amin mengurungkan niatnya untuk memba
Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama.Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang."Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios."Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celinga
Amin menutup kios bengkelnya, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia mau bersiap-siap mandi, lalu melaksanakan sholat magrib berjama'ah di masjid. Untung saja, saat akan tutup memang belum ada kustomer lagi. Paling akhir tadi diisi oleh Mbak Nengsih yang minta dibenarkan rem motornya yang macet.Sebelum menurunkan rolling door, Amin kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kustomer yang mampir lagi. Benar saja, jalanan ramai lalu lalang kendaraan, tetapi sepertinya memang tak ada pelanggan lagi.GgrreeSuara rolling door diturunkan, tak lupa Amin mengunci pintu kiosnya. Halaman depan kios memang tak terlalu banyak sampah, sehingga Amin tak perlu menyapu halaman, cukup memunguti sampah daun dan bungkus makanan yang berserakan tidak terlalu banyak."Bang Amin," suara merdu seorang wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di telinganya. Amin menoleh, lalu memberikan senyum terbaiknya p
Dua hari sudah berlalu, sejak insiden Jihan yang lalai saat dititipin pulsa oleh Amin. Gadis itu juga tak nampak batang hidungnya, bahkan pesan WA-nya pun tak aktif. Ami melirik sekilas, ke pintu rumah Pak RW yang masih tertutup rapat, saat ia akan keluar bekerja hari ini. Besok adalah hari di mana, Jihan akan menjawab ajakannnya waktu itu. Apakah Jihan akan menerimanya? Ataukah Jihan akan menolaknya?Sebenarnya, ada sedikit keraguan di hati Amin, setekah beberapa kali harus korban isi dompet saat berdekatan dengan Jihan. Kekhawatiran itu ada, bahkan semakin ke sini, semakin kuat. Hanya saja, ia masih sangat berharap mendapatkan seorang pendamping hidup yang masih gadis. Ia tak ingin seperti Rahmat, Ojan, Panjul, dan Asep, teman-teman STM-nya itu menikah dengan para janda. Ia tak mau sama, ia ingin mendapatkan perawan ting-ting, bukan bekas siapa-siapa.Agar dia bisa lebih percaya diri dan pamer pada teman-temannya, saat ia pulang ke Yogya nanti. Sepertinya memang
"Alhamdulillah. Soto ayamnya enak sekali, Bang. Beli di mana?" puji Ririn setelah menenggak habis kuah soto di dalam mangkuk. Tanpa rasa sungkan, tadi Ririn malah minum langsung dari mangkuknya, hingga membuat Amin tercengang. Sungguh wanita yang sangat cuek, pikirnya."Oh, itu Bu. Di dekat kios bengkel saya," jawab Amin sambil melirik sebentar ke arah Ririn. Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah Ririn sangat cantik. Natural, kulitnya putih bersih, tanpa jerawat di wajahnya."Oh, iya Bang. Kapan-kapan saya mau mampir deh, beli di sana," timpal Ririn."Minum, Bang!" Ririn mengangkat cangkir teh hangat untuk Amin, lalu memberikannya ke tangan Amin. Tanpa disengaja, Amin kembali kesetrum, saat sedikit dan hanya sepersekian detik kulit tangan Ririn menyentuh jemarinya. Amin menggerakkan kepalanya, seperti ingin tersadar dari sesuatu."Kenapa, Bang?" tanya Ririn keheranan."Ada gempa gak sih, Bu?" Amin malah berbalik tanya pada Ririn. Kali ini wajahnya
Amin bangun pagi dengan begitu semangat, setelah semalam berbalas pesan pada Ririn. Walau tak lama dan tak banyak, tetap saja cukup menghibur hatinya yang kesal dengan Jihan. Tidurnya nyenyak, dan bangun tepat pukul empat, untuk segera bersiap ke masjid.Ada Mbak Katini yang sedang menyapu teras kontrakan, saat dirinya mau melewati jalan di depan rumah kontrakan Mbak Katini. Namun, langkahnya terhenti. Dalam diam, ia menanti Mbak Katini masuk ke dalam rumah. Jujur, ia sudah tak sanggup mencoba aneka olahan pisang yang dibuat oleh Mbak Katini.Begitu Mbak Katini masuk ke dalam rumah, serta menutup sedikit pintu rumahnya, Amin berlari melesat, bagai dikejar setan untuk segera sampai di rumahnya. Dengan nafas ngos-ngosan, akhirnya Amin selamat dari Ratu Pisang. Julukan yang diberikan Imron pada Mbak Katini. Karena bukan hanya dengan dirinya, Imron pun kerap menjadi sasaran olahan pisang. Entahlah, apa sebenarnya dari maksud Mbak Katini.Mata Amin melirik sedi
Jihan merasa masa bodoh dengan Amin yang sedang repot membantu ibu-ibu di depan jalan sana. Bahkan ia memesan lagi dua bungkus mie ayam untuk dibawa pulang, sebagai oleh-oleh untuk mama dan papanya. Minuman es teh manis juga ia pesan lagi, sedangkan mie ayam pesanan Amin belum juga tersentuh."Dek Jihan, tunggu ya, saya benerin ini ke bengkel depan!" ujar Amin dengan sedikit berteriak. Jihan tersenyum kecut, lalu mengangguk. Ia masih fokus pada mangkuk mie ayam dan minumannya, sambil memainkan ponsel, sedangkan Amin sudah berjalan mendorong motor Ririn menuju bengkel yang masih buka."Ibu kalau capek, tunggu di sini saja, biar saya bawa motornya ke depan," kata Amin sambil menatap wajah lelah Ririn yang kepayahan berjalan sambil menggendong Dira yang tertidur."Saya ikut saja, Bang. Gak papa. Maaf ya, Bang. Saya jadi ganggu kencan Bang Amin," kata Ririn merasa tak enak."Gak papa, Bu. Ya udah, kalau gitu, pelan-pelan saja jalannya, j
Amin masih terus saja menghubungi nomor ponsel Jihan, tetapi sepertinya sudah diblokir, karena nomornya tak kunjung tersambung. Amin duduk di dekat jendela mengintip keadaan rumah Jihan, yang lampunya sudah padam. Dengan tubuh lemas tak bertulang, ia kembali ke atas kasur busanya, kali ini mencoba mengirimkan pesan pada Jihan. Namun, sepertinya nomornya memang telah diblokir oleh Jihan."Heh, ditolak. Ya sudahlah. Mungkin belum jodoh. Masih banyak janda-janda di luaran sana, atau anak perawan yang ekonomis. Diajak makan cilok doang udah tersenyum manis. Daripada perawan bintang lima," gumam Amin sebelum menutup matanya.Di dalam rumahnya, Jihan tak kunjung bisa tidur, karena Edo tak mengaktifkan ponselnya, padahal ia ingin sekali bercerita tentang kekesalannya pada Amin. Sang papa juga baru saja memarahinya habis-habisan karena terus saja berulah dengan Amin. Semua tentu saja karena Edo. Lelaki itulah yang menyuruh dirinya mendekati dan mempermainka