Share

Bab 10

"Pak Darwin?" Begitu berada di pelukan Darwin, Paula langsung membuka matanya. Pelukan ini terasa agak dingin karena Darwin baru datang dari luar. Meskipun demikian, Darwin memeluknya dengan erat, seperti khawatir ada harta karun yang rusak.

Paula pun tidak bisa mengendalikan suasana hatinya lagi. Air mata berderai di wajahnya. Dia berkata, "Perutku sakit sekali ...."

"Jangan takut." Darwin membawanya ke Maybach hitam, lalu langsung mengemudikan mobilnya ke rumah sakit.

Willy memeriksa kondisi Paula. Setelah selesai, dia menoleh menatap Darwin sembari mengernyit. "Kenapa kamu cemas sekali? Biasanya kamu nggak begitu."

Darwin tidak memedulikan godaan temannya itu dan hanya bertanya, "Gimana kondisinya?"

"Perutnya ditendang. Dia mengalami syok dan kontraksi janin, tapi nggak ada masalah serius. Yang penting istirahat dengan tenang," jawab Willy.

Begitu mendengarnya, Darwin sontak mengepalkan tangan dengan erat. Pena di tangannya sampai patah karena tenaganya terlalu besar.

"Tsk, tsk, tsk." Willy menggeleng. Sahabatnya ini biasanya selalu menjauhi wanita, lantas mengapa begitu tertarik kepada Paula?

"Oh ya, aku mendapat informasi kalau Paula adalah putri tertukar. Dia bukan putri kandung Keluarga Ignasius. Dia seharusnya bertunangan dengan Richie, tapi pertunangan dibatalkan," tambah Willy.

Darwin sudah mengetahui semua ini sejak awal. Itu sebabnya, dia sama sekali tidak menyahut. Willy pun merasa pria ini sangat membosankan. Ketika melihat Paula keluar dari lift, Willy berkata, "Nah, kesayanganmu sudah keluar. Jaga dia baik-baik, jangan sampai kenapa-napa lagi. Kesehatannya agak buruk."

Darwin hanya diam, tetapi sudah bangkit dari kursinya dan menghampiri Paula. Saat ini, suasana hati Paula sedang tidak karuan karena nyaris mengalami keguguran. Dia merasa makin panik saat melihat Darwin.

"Gimana?" tanya Darwin dengan ekspresi datar.

"Nggak sakit lagi," jawab Paula sambil mengangguk. Setelah berjeda, dia meneruskan, "Pak Darwin, terima kasih sudah menolongku."

Jika tidak, Paula akan mengalami keguguran karena Richie si bajingan itu. Berani sekali bajingan itu menendang perutnya! Dasar tidak berperikemanusiaan! Untung saja, mereka tidak jadi bertunangan!

Paula tetap merasa tidak puas meskipun telah memaki dalam hatinya. Darwin menatap Paula yang menunduk, mengira wanita ini masih ketakutan. Dia yang merasa tidak tega pun berujar, "Demi keamanan, kamu tinggal di rumah sakit malam ini."

Sebelum sempat bereaksi, Paula sudah digendong oleh Darwin. Dia buru-buru berkata, "Pak Darwin, aku bisa jalan sendiri." Dia tanpa sadar ingin melompat dari pelukan Darwin.

"Jangan sembarangan, kamu bisa terluka kalau jatuh nanti. Kamu nggak ingin anakmu kenapa-napa, 'kan?" Darwin sengaja menakut-nakuti supaya Paula bersikap lebih patuh. Wanita ini pun merangkul leher Darwin dengan hati-hati. Ketika melihatnya yang seperti ini, Darwin pun merasa agak bersalah karena seperti telah menindas anak kecil.

Di bangsal VIP rumah sakit, Darwin menurunkan Paula dengan hati-hati dan berucap, "Tunggu di sini, biar kuambilkan selimut."

Usai berbicara, Darwin berbalik dan hendak pergi, tetapi sebuah tangan kecil tiba-tiba meraih ujung pakaiannya.

Paula mendongak menatapnya dengan tatapan agak takut sambil berkata, "Pak Darwin, aku nggak merasa sakit lagi kok. Sebaiknya aku pulang, biaya opname sangat mahal."

Paula telah diusir oleh Keluarga Ignasius sehingga tidak punya banyak uang lagi. Dia harus berhemat sebisa mungkin.

"Tenang saja, kamu nggak perlu mencemaskan apa pun," sahut Darwin. Dia membatin, 'Gadis ini meremehkanku, ya?'

Paula menatap Darwin sambil menarik napas dalam-dalam, seperti telah membulatkan tekadnya. Kemudian, dia berbaring dengan patuh.

"Kamu baik sekali. Bukan hanya menolongku, tapi juga menolong anakku. Terima kasih." Sesudah terdiam sejenak, Paula akhirnya mengungkapkan isi hatinya.

Darwin menjulurkan tangan untuk mengelus kepala Paula. Dia bertanya, "Paula, kamu kekurangan uang sekali, ya?"

Paula mengangguk, lalu segera menggeleng. "Aku akan segera mencari pekerjaan. Aku nggak akan merepotkanmu."

Paula merasa sangat malu. Dia menarik selimut hingga menutupi kepalanya, lalu berujar, "Aku sudah ngantuk, selamat malam."

Darwin masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya menggeleng dan bangkit saat melihat Paula seperti ini.

Di luar bangsal, Willy sedang mengintip untuk mencari tahu bagaimana Darwin bisa tiba-tiba tertarik pada wanita. Tanpa diduga, Darwin tiba-tiba membuka pintu sehingga hidungnya hampir terbentur.

"Astaga, kenapa kamu nggak berjaga di dalam? Kenapa malah keluar?" tanya Willy dengan kesal.

Darwin tidak meladeninya, melainkan berpesan dengan serius, "Suruh dokter dan suster perhatikan dia dengan baik, jangan sampai ada kesalahan."

"Tenang saja, aku sudah mengatur semuanya." Willy sudah bersahabat lama dengan Darwin, tetapi tidak pernah melihatnya begitu peduli pada seorang wanita. Itu sebabnya, dia tidak berani bersikap lalai dalam hal ini.

Darwin berjalan ke luar rumah sakit, sedangkan Willy mengikutinya dari samping. Tiba-tiba, Darwin menginstruksi, "Cari tahu pria itu menendang perut Paula dengan kaki sebelah mana, aku akan meminta kompensasi darinya."

"Oke, serahkan saja kepadaku." Willy jelas mendukung Darwin.

....

Paula terlalu lelah sehingga langsung tertidur. Namun, tidak lama setelah dia tidur, ponselnya malah berdering.

Itu adalah nomor asing, tetapi Paula merasa sangat familier. Setelah ragu-ragu sejenak, dia pun menerimanya. "Paula, ya? Aku ibumu!"

Terdengar suara melengking di ujung telepon. Paula termangu sesaat, lalu tidak sengaja menyentuh tombol pengeras suara.

"Aku dan ayahmu mencarimu selama belasan tahun. Kami akhirnya mendapat kabar tentangmu, kenapa kamu nggak mencari kami? Kami nggak punya nomor teleponmu, jadi menyuruh Nona Aurel memberimu nomor telepon kami. Kenapa kamu nggak menelepon kami? Jangan-jangan kamu nggak mau mengakui kami sebagai orang tua?"

Paula merasa tidak nyaman dengan suara tajam itu. Setelah berpikir sesaat, dia membalas, "Bibi, aku belum pernah melihat kalian. Kita juga belum melakukan tes DNA. Jadi, jangan membuat kesimpulan secepat itu."

"Kamu kira aku penipu?" Wanita di ujung telepon terdengar marah. "Aku tahu kamu sudah menjadi anak orang kaya, makanya meremehkan kami yang dari desa. Keluarga Ignasius sudah mengusirmu, sebaiknya kamu lupakan mereka!"

"Aku ...."

"Aku dan ayahmu sudah tiba di ibu kota untuk mencarimu. Kami di stasiun kereta api, cepat jemput kami!" perintah wanita itu.

Paula masih ingin berbicara, tetapi wanita itu sudah mengakhiri panggilan. Karena tidak berdaya, dia terpaksa bangkit dan pergi ke stasiun kereta api. Setibanya di sana, dia melihat sepasang suami istri yang mengangkat papan bertuliskan namanya. Paula pun menghampiri mereka.

"Kamu Paula?" tanya wanita itu dengan suara yang sama tajamnya dengan saat di telepon. Paula mengamatinya dari atas hingga bawah. Kulit wanita ini cukup putih, tatapannya sangat tajam, dan bibirnya tipis. Tubuhnya memancarkan aura yang kuat.

"Ya." Paula mengalihkan pandangan dan berkata, "Aku akan membawa kalian makan dulu, lalu kita baru bicarakan hal itu. Gimana?"

"Oke." Wanita itu tidak keberatan. Adapun si pria, dia hanya melirik Paula sekilas dan tidak berbicara. Setelah semuanya beres, Paula mencari sebuah kafe. Dia duduk berseberangan dengan wanita dan pria yang mengaku sebagai orang tuanya.

"Aku dan ayahmu sudah mencarimu belasan tahun," ujar wanita itu sambil menyerahkan setumpuk dokumen. Dari perkenalan barusan, Paula sudah tahu bahwa wanita ini bernama Yuni dan pria ini bernama Kamil.

"Kami datang ke ibu kota untuk bekerja. Tapi, setelah kamu hilang, ayahmu mengundurkan diri dari pekerjaan untuk mencarimu, bahkan menjual rumah. Kerjaannya hanya mencarimu setiap hari," ujar Yuni sambil menatap Paula dengan tatapan penuh keluhan.

"Gara-gara mencarimu, ayahmu bahkan mengalami kecelakaan dan sakit parah. Kami menjual semua barang-barang di rumah dan terpaksa berutang," lanjut Yuni.

Paula tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hidup bersama Keluarga Ignasius selama 20 tahun, tetapi diusir begitu saja setelah mereka menemukan putri kandung mereka. Bahkan, mereka membiarkan Aurel mencelakainya!

Sementara itu, wanita yang mengaku sebagai ibunya ini malah tidak terlihat senang sedikit pun saat bertemu putri kandungnya. Yang terlihat hanya keluhan dan kekesalan.

Paula merasa sedih memikirkan semua ini. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum dengan sopan, "Sebaiknya kita lakukan tes DNA."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status