:-0
“Dia pernah terlibat dalam penggelapan dana salah satu perusahaan startup digital dua tahun lalu. Perusahaan itu bangkrut. Pemiliknya nyaris dipenjara. Tapi Alicia atau siapa pun nama aslinya waktu itu menghilang sebelum penyelidikan selesai.”“Tapi … kenapa dia bisa lolos?” tanya Ralin dengan suara tercekat.“Karena dia cerdas. Dia tahu kapan harus menghilang, kapan harus muncul lagi dengan identitas baru. Dan sayangnya, dia muncul kembali sebagai 'penyelamat' Hartadi Group. Membawa ide-ide digitalisasi yang sebenarnya hasil curian dari blueprint perusahaan sebelumnya.”Ralin membeku. “Kamu yakin?”David mengangguk perlahan. “Saya tidak akan bicara ke Nyonya kalau belum verifikasi. Bahkan Andre pun sekarang sedang mengumpulkan bukti tambahan.”Ralin memejamkan mata. Matanya panas. Tenggorokannya kering.“Kenapa kamu nggak bilang ke Mas Luis biar kamu dapat dukungan nyari semua kecurangan Alicia?”“Tidak semudah itu, Nyonya.” David berusaha sesopan mungkin pada Ralin, “Kalau informasi
Lewis menatap Alicia yang berdiri begitu percaya diri di hadapannya.Senyum perempuan itu memang selalu sulit ditebak, antara tulus atau penuh perhitungan. Apalagi setelah hari yang begitu melelahkan dan pertengkaran yang menyisakan luka dengan Ralin, pikiran Lewis sedang tidak jernih.“Aku…” Lewis membuka mulut, lalu menatap jam dinding. “Maaf, Al. Aku harus pulang cepat.”Alicia mengangguk pelan, seolah mengerti, tapi ekspresinya tetap mengandung harapan.“Cuma satu jam saja, Pak. Tempatnya juga dekat. Saya butuh Pak Lewis denger langsung ide baru saya, mumpung masih segar. Ini juga demi perusahaan.”Kata-kata terakhir itu sukses membuat Lewis ragu sejenak. Kepalanya sedang penuh. Tapi kalau ini urusan pekerjaan, mungkin ini bisa sedikit mengalihkan rasa bersalahnya pada Ralin. Lagipula, satu jam saja, pikirnya.“Oke,” jawab Lewis akhirnya. “Tapi hanya sebentar ya?”Wajah Alicia langsung berbinar dan penuh harap. “Terima kasih, Pak. Kita naik mobil baru saya … atau naik mobil Bapak?”
Pagi itu, ruang rapat utama Hartadi Group dipenuhi para kepala divisi, direktur anak perusahaan, dan beberapa pemegang saham minoritas.Luis, si kakak, biasanya memimpin rapat, hari ini duduk sedikit menahan raut bingung, sebab Lewis memutuskan mengambil alih presentasi langsung.Dan lebih mengejutkan lagi, Alicia yang berdiri di depan layar, memaparkan strategi ekspansi digital masif, termasuk pemotongan anggaran distribusi lama dan investasi besar ke platform daring eksklusif buatan pihak ketiga.“Dengan platform ini, kita menghemat 38% biaya distribusi dalam 6 bulan. Targetnya adalah menyasar pasar anak muda usia 21–30 yang menginginkan pembelian cepat dan fleksibel,” jelas Alicia tenang.Luis menoleh pada Lewis. “Kamu yakin mau langsung commit ke platform ini, Dek? Kita belum analisis vendor-nya lebih dalam.”Lewis mengangguk cepat. “Sudah cukup, Mas. Kita harus gesit. Jangan terlalu lama di tahap validasi. Kita butuh terobosan.”Luis mengangkat alis sedikit tidak setuju. “Kita pun
Di sebuah rumah makan sederhana di tepi kota menjadi tempat makan siang Ralin dan Levi hari itu.Entahlah, setelah menjemput Levi sekolah, Ralin ingin kembali ke masa-masa dia sering keluar berdua dengan Levi. Dan kali ini dia mengikuti intuisinya.Levi duduk ceria di sampingnya dengan menikmati es campur buah yang segar dengan sedikit gula dan susu. Sedang Ralin menikmati makan siangnya dengan memperhatikan Levi yang sangat senang mendapatkan es campur itu.Maklum, dia jarang mendapatkan makanan manis seenaknya demi kesehatan dan kebaikannya.Ketika Levi menyuapi Ralin dengan es miliknya, seseorang menyapanya.“Bu Ralin ya?” suara itu terdengar sopan.Ralin menoleh. Seorang perempuan, mungkin sekitar usia dua puluh limaan, mengenakan blouse dan name tag karyawan Hartadi Group.“Iya.” Ralin menjawab sopan.“Maaf, saya Sari, karyawan bagian administrasi logistik. Pernah lihat Ibu waktu acara di rumah Pak Lois beberapa waktu yang lalu.”Ralin mengangguk dan tersenyum ramah. “Oh, iya. Sen
Sore itu, senja oranye menembus jendela besar apartemen kantor Hartadi Group, memantulkan cahaya ke dinding-dinding berwarna hangat.Alicia berdiri di balkon lantai atas, memegang secangkir teh. Angin sore menyibak ujung rambutnya yang digelung rapi. Ia memandangi jalanan kecil di bawah sana, lalu tersenyum penuh kemenangan, dan masuk kembali ke ruang tengah.Apartemen ini mewah, bersih, dan nyaris senyap. Akses lift privat, dapur modern, kamar dengan kasur empuk seperti hotel bintang lima, dan tentu saja perlindungan ekstra yang diperintahkan langsung oleh Lewis.Ia membuka ponsel, mengetik pelan dengan senyum yang sedari tadi tidak luntur dari bibirnya yang berwarna pink. Layar menunjukkan nama ‘Pak Lewis’.[Terima kasih untuk perhatian dan semua kenyamanan ini, Pak. Saya merasa sangat dihargai. Semoga saya bisa terus memberi hasil terbaik untuk Hartadi Group.]Ia menambahkan emoji senyum profesional. Rasanya cukup hangat dan tidak mencurigakan. Namun memiliki makna yang dalam. Lalu
Dalam dua bulan terakhir, penjualan produk baru Hartadi Group naik lebih dari 60%.Media bisnis mulai meliput kebangkitan bisnis pabrik rokok keluarga itu. Judul-judul seperti "Strategi Pricing Hartadi Menekan Pesaing Lokal" atau "Kembalinya Dua Bersaudara Hartadi dan Wanita di Balik Layar" mulai bermunculan.Dan setiap kali wartawan bertanya soal strategi, Lewis hanya menjawab singkat, “Tanyakan ke Alicia.”Kini, di setiap pertemuan penting—baik dengan distributor besar, investor luar negeri, bahkan saat bertemu pihak regulator cukai—Alicia selalu ada di samping Lewis.Kadang berdiri dua langkah di belakang, kadang duduk tepat di sebelahnya. Karyawan mulai menyebutnya, setengah serius, “wakil bos”.Namun banyak yang tidak suka!Sebagian rekan kerja masih menyimpan kecanggungan dan rasa iri. Mereka tahu Alicia cerdas, tapi juga melihat bagaimana Lewis memperlakukannya dengan perhatian lebih.Sampai akhirnya, pada sebuah rapat mingguan, seorang supervisor mengeluh—sindirannya halus tapi