Share

Ajakan Berkomitmen

    Suara lonceng cafe berbunyi bersamaan dengan kepala Saka yang menoleh ke arah pintu masuk. Senyum lelaki itu merekah melihat kedatangan orang yang ditunggunya sedari tadi. Saka segera bergegas menyelesaikan pesanan. 

    "Minum dulu." 

    "Aku belum pesan loh, Ka." Shana mengerutkan dahi melihat Saka yang membawakannya segelas strawberry  milkshake . 

    Saka tersenyum. "Kamu baru nyampe, pasti haus." 

    Shana mengangguk kaku lalu menyeruput  minumannya perlahan. Gadis itu merasa kikuk saat Saka hanya diam memandangnya masih dengan senyum yang tak pudar. "Belum banyak orang ya," pungkas Shana mencairkan suasana. Pandangan gadis itu sengaja mengitari cafe Saka yang masih diisi oleh beberapa orang. 

    "Kalau hari libur paling siang atau sore baru ramai." Shana menganggukkan kepala. "Kenapa mau ketemuan di cafe? Padahal kita bisa hang out ke luar," tanya Saka ingin tahu. 

    Shana menyelipkan rambut ke belakang telinga guna menutupi kegugupan. Ia bergumam pelan. "Nggak papa. Kamu 'kan pasti kerja di cafe." 

    "Nggak juga, ada anak-anak lain kok yang jaga." Dengan cepat Saka membalas. 

    Shana memilih diam. Ia tidak tahu akan menjawab apa. Saka terlihat mendominasi obrolan dan Shana malas mengakui itu. C'mon Sha, kemarin aja berani ngomong panjang lebar depan Katrin, batin Shana kesal. 

    "Males keluar, panas," keluh Shana pada akhirnya. Saka tersenyum melihat Shana yang mulai terbuka. 

    "Jadi, mau di sini aja seharian?" 

    "Boleh 'kan?" 

    Senyum Shana semakin lebar kala Saka mengangguk mengiyakan. "Karena hari minggu dan kamu juga nggak mungkin kerja di sini. Gimana kalau bantu aku bikin kue?" 

    Binar di mata Shana membuat Saka tidak bisa menahan tangannya mengusap kepala gadis itu. Shana terlihat seperti remaja polos padahal umurnya hampir menginjak tiga puluh. Saka berdiri saat lonceng cafe kembali berbunyi. "Habisin dulu milkshake kamu. Aku tunggu di belakang," tukasnya lalu menepuk pundak Shana pelan. 

    Selepas kepergian Saka, Shana mengembuskan napas lega. Ia benar-benar tidak memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukannya di sini. Tidak mungkin juga langsung mengajak lelaki itu mengobrol hal serius. Ini bahkan masih pukul 11 dan Saka juga sedang bekerja.

 

    Shana memilih melihat seisi cafe dibanding mendatangi Saka. Gadis itu menikmati milkshake-nya seraya memperhatikan dekorasi ruangan. Beberapa bakery mural memenuhi satu dua bagian dinding cafe. Pemilihan warna yang beragam dan cerah menambah kesan manis tampilan dan suasana cafe ini.  

    Lokasi tempat ini cukup strategis karena mengambil center position dibanding toko yang lain. Kantor media Kiana berada di seberang jalan. Beberapa gedung instansi pemerintah dan swasta turut berdiri kokoh sepanjang jalan. Tak jauh dari sini, ada satu kampus swasta yang cukup terkenal. Bisnis passive income tidak mau kalah dengan membangun kos-kosan di dekat area kampus.  

    Tak heran di waktu libur seperti ini, pelanggan cafe kebanyakan kaum muda yang sedang hang out bersama teman atau pacar. Dalam analisis singkat Shana, citra baik dan signature cafe ini terlihat dari sikap pelayan, makanan dan minuman yang disajikan serta tak boleh ketinggalan kehadiran Saka. 

    Apa pelanggan cafe ini sebenarnya hanya ingin melihat Saka? 

    Shana mengangguk tanpa sadar. Siapa coba yang tidak tertarik dengan pesona Saka. Namun di sisi lain, tipe cafe yang diusung lelaki itu terbilang unik. Bakery cafe yang ditawarkan Saka cukup menarik bagi yang ingin breakfast, brunch atau sekadar berbincang santai. Terdapat beragam baked  goods dan minuman di cafe ini. Mulai dari macarons, cookies, cupcakes, muffins. Cream puffs dan jenis choux yang lain kesukaan Kiana juga tersusun cantik dalam etalase. Sandwich dengan banyak varian juga menjadi andalan tempat ini, bahkan Shana pernah mencobanya untuk mengganjal lapar. Untuk item minumannya ada coffes, milkshakes, smoothies, dan juices. 

    Cafee', nama yang terpasang pada plang pintu masuk cafe dan Shana baru menyadari itu hari ini. Ia kira cafe Saka sengaja tak diberi nama sebab Kiana yang selalu menyebut cafe. Nama yang unik, seperti pemiliknya, puji gadis itu dalam hati. 

    Minuman Shana telah tandas bersamaan dengan salah satu karyawan cafe yang mendatanginya. "Mbak, dipanggil Mas Saka di belakang," pungkas gadis ber-nametag Ria. 

    Shana mendongak. "Oh, okay. Thanks ya." Ia berdiri lalu mengikuti langkah gadis itu. Semakin melangkah masuk ke bagian back-of-house wangi harum sesumbar masuk ke indra penciuman Shana. Ia berniat memanggil Saka yang terlihat sibuk berbicara tetapi lelaki itu lebih dulu menyapa kala kepalanya menoleh. 

    "Ke ruangan aku aja yuk, bikin kuenya nanti aja," seru Saka cepat seraya menarik pergelangan tangan Shana. 

    "Kenapa?" tanya Shana saat keduanya telah duduk anteng di sofa. Saka mengipas lehernya dengan tangan. 

    "Mulai hectic, Sha. Nggak cocok kalau nge-bake sekarang. Di sini aja ya, lebih tenang." Saka membuka sekaleng soda yang sempat diambilnya di kulkas. "Oiya, katanya ada yang mau kamu obrolin. Apa?" 

    Shana tersentak. "Lain kali aja, deh."

    "Sekarang aja. Iam all ears." 

    "Nggak penting kok, Ka," 

    "Now or never," seru Saka pada akhirnya. "Say it, Sha. It may be make you ease your mind." Melihat lelaki itu dengan pendiriannya membuat Shana mengepalkan kedua tangan. Ia menarik napas dalam sebelum begumam sangat pelan. "Maksud kamu deketin aku apa?" 

    Saka tersenyum mendengarnya. "Kenapa nanya gitu?" 

    Shana menatap langsung pada mata lelaki itu. Saka terlihat santai lantas kenapa ia harus ketar-ketir. Menegakkan badan Shana langsung bersidekap. "Memastikan sikap kamu agar aku tidak salah menilai." 

    Suara tegas Shana yang jarang didegarnya membuat Saka sedikit kaget. "Bagaimana kamu menilai sikapku memangnya?" 

    "Lelaki yang mendekati perempuan dengan maksud menjalin hubungan. Isn't it?"

    Saka mengangguk. "Kamu keberatan, Sha?" 

    "Not really, tapi kamu datang di waktu yang salah." Ucapan Shana berhasil menciptakan kerutan di dahi Saka. 

    "Maksudnya? Kamu udah punya pasangan?" 

    "No. Aku jomblo selama dua puluh delapan tahun. Stop! Nggak usah senyum kayak gitu, ya!" pekikan Shana berhasil membuat Saka mengulum bibir menahan senyum. 

    "Aku didesak nikah, Ka. They said it's definitely my time. Dan kamu datang sebagai 'lelaki itu' atau mau memilih pergi, lalu aku akan dijodohin." Shana mencoba menjelaskan duduk permasalahaan sesederhana mungkin. Ia melirik Saka yang tiba-tiba diam. Lelaki itu tak benar serius padanya. 

    "Siti Nurbaya banget 'kan? Haha ...." Tawa sumbang Shana masih tak berhasil membuat Saka bersuara. Ia seperti mendadak bisu. Sadar tidak ada harapan, Shana berniat mengakhiri obrolan. "Jangan diambil serius, Ka. Aku pikir-" 

    "Kamu mau kalau aku ajak berkomitmen? Untuk seumuran kita bukan lagi waktunya pacaran 'kan? Kita coba belajar saling terikat, mau?"  

    Untuk kedua kalinya, Shana kembali kehilangan rotasi. 

    

    

    

    

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status