Di umurnya yang hampir kepala tiga. Shana Sabana didesak orang tua dan seluruh keluarganya untuk segera menikah dan membangun rumah tangga. Bukan Shana yang tidak mau, tetapi lelaki yang ia harapkan membangun istana seumur hidup itu tak kunjung terlihat hilalnya. Di saat yang sama, entah semesta sedang bercanda. Ia bertemu dengan Saka, pemilik cafe di dekat tempat kerja Nana sahabatnya. Pada ketukan pertama pertemuan mereka, Shana sudah dibuat hilang rotasi. Shana sudah kadung malu dengan Saka hingga ia sengaja menarik diri dari lelaki itu tetapi semesta mendorong keduanya bersama. Namun, siapa sangka, obrolan dan perasaan mereka lebih dahulu mengembara sebelum tahu keyakinan keduanya berbeda. Shana yang menengadahkan kedua tangan dengan Saka yang menyatukannya kala berdoa. Satu yang Shana dan Saka sadari, prasada yang diimpikan Shana tak bisa sepenuhnya dengan mudah Saka wujudkan. Tidak cukup karena itu, kehadiran Kania Atmadja sebagai mantan terakhir Saka mampu membuat Shana kalang kabut. Di saat Kania mampu menjadi pasangan seiman sementara ia hanya bisa seamin. Belum lagi sepupunya sendiri, Lusi yang juga menaruh rasa pada Saka sejak lama. Bagaimana kelanjutan kisah Shana dan Saka? Apakah Saka adalah orang yang akan mengabulkan prasada yang diimpikan Shana? Atau mungkin hubungan keduanya akan karam bahkan sebelum mereka bisa berlabuh?
View MoreBel cafe yang bernuansa cerah itu berbunyi. Sosok perempuan dengan surai panjang hitam legam berjalan masuk dengan terburu-buru seraya melihat sekeliling mencari sosok yang ingin ditemuinya. Suasana cafe cukup ramai meskipun waktu masih menunjukkan pukul sepuluh lewat. Beberapa tanaman hias terlihat memenuhi seisi ruangan dengan penempatan yang cukup presisi.
Voila! Ketemu. Dengan cepat dilangkahkan kakinya pada sisi meja yang sedikit menjorok mendekati bagian kasir. Dihempaskan dengan kasar tubuhnya seraya meraup sebanyak mungkin oksigen kala berhasil duduk di depan gadis yang sedang fokus melihat buku menu itu. Ia mengembuskan napas perlahan. "Na.., " rengeknya kemudian dengan tangan yang memegang lengan kanan sosok di depannya. Si Na berdehem sebagai jawaban. Gadis dengan rambut kuncir kuda itu tidak menoleh sama sekali. Yakin sosok di depannya mendengarkan. Gadis dengan surai panjang itu berseru pelan. "Aku disuruh nikah, Na." "Ya bagus dong. Perempuan kalau udah cukup umur pasti nikah, kan?" respon Na cepat. "Kok gitu sih responnya? Sahabat kamu disuruh nikah loh ini. Nikah. Pacaran aja belum pernah," sewot gadis bersurai panjang. Na mendesah lalu meletakkan buku menu. "Dijodohin emang?" tanya Na kalem. Shana, sosok di depan Na mengangguk lesu. "Dijodohin kalau nggak bawa calon atau kandidat. Bisa kebayang nggak sih? Seumur umur teman main aku kan kebanyakan kamu doang." Kiana atau yang acap kali disapa Nana mengangguk-angguk dengan tangan yang bersidekap. "Udah aku pikirin sih dari lama. Pada akhirnya kamu bakal disuruh nikah." "Terus solusinya gimana dong? Yakali aku nikah karena dijodohin. Gimana bisa bangun chemistry coba," keluh Shana lalu menyenderkan punggungnya pada kursi. "Chemistry apaan deh, Sha, dikira artis lagi syuting kali ah." Nana mengangkat tangan memanggil waitress berbaju merah hitam. Shana mendengus pelan. "Kamu beneran nggak kaget? Kok bisa sih?" "Mau pesan apa Mbak Nana?" tanya gadis yang mendatangi mereka berdua. Gadis tomboi itu menatap Shana yang terlihat tidak ingin bicara. "Ris, aku seperti biasa mocca latte kalau dia milkshake strawberry. Tadi aku juga lihat ada menu baru ya?" Nana berbicara santai pada pelayan yang bernama Risa. "Iya Mbak, Mas Saka keluarin varian baru lagi." "Mm... Boleh deh coba itu. Eclair satu, macaron matcha satu, strawberry dua, sama classic vanilla satu. Oh iya, sama cream puff-nya dua ya," seru Nana senang. "Baik Mbak Na. Risa ulangi ya. Mocca latte, milkshake strawberry satu satu. Eclair satu, macaron matcha satu, yang strawberry dua, classic vanilla satu terakhir cream puff dua Mbak." Nana mengangkat jempolnya ke atas. "Sip, Ris." Seberes kepergian Risa, Shana tidak dapat menahan diri untuk bertanya. "Kamu beli Eclair terus cream puff juga?""Kenapa? Eclair baru disini aku kepo mau coba." "Kalau kamu lupa the two are choux," cibir Shana pelan. "Nope, aku laper, at least bisa buat ganjal perut," elak Nana santai. "Oh iya, mama kamu udah cerita ke aku sebelum kasih tahu kamu." Perkataan tiba-tiba Nana yang tidak pernah terlintas sedikit pun di benak Shana membuat gadis itu membulatkan matanya. "Serius? Kok bisa? Terus respon kamu gimana?" "Ya kegetlah. Emang aku kalau kaget kayak gimana? Bayangin aja lah," seloroh Nana cepat. "Kamu kan bar-bar. Kalau kaget pasti heboh." Nana yang mendengarnya memutar bola matanya malas. "Ya gitu emang. Makanya tadi nggak kaget, kan udah kemaren lalu," balasnya enteng.
"Terus menurut kamu gimana?" tanya Shana merengek. "Kamu pasti juga udah tahu kan kalau sekeluarga besar yang desak aku buat nikah." "Emang bener-bener nggak ada yang lagi dekat sama kamu sekarang?" "Emang ada gitu hal kayak gitu yang aku sembunyikan dari kamu?" balas Shana dengan pertanyaan.
"Nggak ada sih. Yaudah sih, terima aja. Lumayan kan mengurangi energi dan waktu nyari laki. Tuh om sama tante udah available mau bantuin. Sukur-sukur kalau cocok kan?" "Kamu kayaknya disogok sama mama, deh. Disogok berapa he?!" Shana menyipit memandang Kiana yang bersikap tidak seperti biasanya. Sebenarnya sejak semalam Shana menghubungi Kiana lewat panggilan seluler sahabatnya itu seperti kurang tertarik dan hanya bilang iya saja di telepon. Sangat bukan sifat Kiana sekali yang suka kepo, heboh dan bar-bar di saat bersamaan. Hari ini, pembawaan gadis itu terlihat tenang dan sedikit salah tingkah kala ia memandang sahabatnya dengan lekat. "Apa sih lihatnya gitu banget?!" Lama-lama Kiana jengah juga ditatap seperti tersangka oleh gadis bersurai panjang di depannya itu. Kali ini dirinya tidak akan terlalu mengintervensi keputusan keluarga besar Shana. Bagaimana pun Tante Sania—mama Shana sudah mengandalkannya untuk membujuk gadis itu agar mau menuruti permintaan orang tuanya. Ia mendesah diam-diam. They are worried about you, Sha, aku juga, batin Kiana. "Hem." "Oke-oke, gini deh. Aku saranin kamu cari kandidat, kalau emang nggak mau dijodohin," kata Kiana tenang kemudian tak lama setelah Risa datang membawakan pesanan mereka. Shana menggeleng. "Dikira gampang kali, Na. Aku nyari laki-laki yang mau bangun istana yang udah aku impikan sejak lama. Dia yang melihat aku sebagai satu untuk selamanya. Dan itu nggak mudah apalagi dengan proses yang terbilang sebentar." "Cari pasangan yang realistis, Sha." "No. No. Kali ini kita beda jalan. Aku nggak mau gadai hidup aku dengan pernikahan yang berpeluang kandas di tengah jalan," balas Shana mantap seraya menyesap milkshake strawberry miliknya. "Ih, ini enak by the way, racikannya pas." Kiana hanya bergeming. Ia tahu maksud Shana tidak menyinggung dirinya yang terlahir di tengah keluarga broken home. "He'em emang enak enak sih di sini. Ownernya juga masih muda. Nanti aku kenalin deh," balas gadis itu beberapa saat kemudian. Shana terlihat menikmati minumannya. Kali ini ia mencoba macaron strawberry kesukaannya. "Mm... Sumpah bener sih enak lho, Na." Kiana mengangguk mengiyakan. "Gimana kalau aku nyari cowok random aja buat jadi kandidat, Na?" seru Shana tiba-tiba yang membuat Kiana tersedak. "Hah?" "Iya, kamu kan dulu gitu. Sering banget nggak tahu malu nembak cowok duluan," jelas Shana dengan polos. "Itu kena hukuman main ToD ya, bukan akunya yang agresif," sewot Kiana. "Tetep aja sih nggak diterima juga. Ngeri kali lihat preman pasar kayak kamu." Kiana melotot mendengarnya. Gadis itu akan membalas Shana sebelum suara teriakan laki-laki memenuhi seisi kedai. "Kalau dikasih tahu putus ya putus! Lo tuli apa budeg sih? Cewek nggak guna emang lo!" lelaki jangkung berkemeja hitam kotak-kotak itu berteriak lantang seraya mendorong seorang gadis sampai jatuh ke lantai. Gadis itu menangis terisak dengan wajah yang seluruhnya tertutup rambut panjangnya. "Aku salah apa sa-ma kamu?" gadis itu berbicara dengan lirih. "Masih nanya lagi?! Lo budeg apa gimana sih?! Gue lihatnya aja udah muak tahu nggak? Gue gampar juga lo!" Shana yang melihatnya kaget sama seperti pengunjung yang lain. Sedang Kiana sudah akan beranjak menghampiri si lelaki yang sudah bertingkah semena mena. Lelaki kasar tadi terlihat akan melayangkan tangannya kalau saja tidak segera dihentikan oleh seseorang.
"Maaf, Anda laki-laki kan? Apa pantas berbuat kasar pada perempuan?" dua pertanyaan berhasil menarik atensi semua pengunjung pada lelaki yang datang dengan pakaian merah hitam beserta apronnya. Lelaki kasar tadi langsung menepis tangannya yang ditahan. Tanpa aba-aba ia melayangkan tinju pada sosok di depannya tanpa ampun. Lelaki yang berpakaiaan pelayan itu hanya memasang tameng dan tidak berniat memukul. Pekikan sahut-sahutan memenuhi ruangan.
"Hei... Hei... Itu berhentiin" "Astaga...." Kiana langsung menendang pinggang lelaki kasar tadi agar berhenti mengamuk. Sontak Shana ikut bergerak membantu sang gadis berdiri lalu mengajak menepi. "Kalau mau kelahi jangan disini. Cari sana ring tinju. Cemen banget jadi laki, beraninya kasarin perempuan," teriak Kiana dengan napas memburu. Gadis itu benar-benar kesal dibuatnya.
Lelaki kasar tadi terlihat akan membalas sebelum sebuah suara menginterupsi dengan tegas. "Silakan pergi dari sini. Sebelum saya lapor polisi, di sini ada CCTV yang bisa menjerat anda kapan saja." Ancaman tadi berhasil membuat lelaki kasar itu pergi setelah berhasil menendang satu kursi sampai patah. Teriakan demi teriakan dialamatkan pada lelaki yang tidak tahu diri itu oleh para pengunjung cafe. Kiana menatap lelaki yang habis dipukuli dengan brutal. "Ka, kamu nggak papa?" "Nggak papa, Na. Kamu sendiri gimana nggak ada yang sakit?" balas lelaki itu dengan pertanyaan. "Ck. Nggak ada lah. Lagian juga kenapa nggak balas sih pukulannya." Lelaki yang dipanggil Ka itu hanya tersenyum simpul. "Kekerasan nggak akan menyelesaikan masalah, kan?" Interaksi sahabatnya dan pelayan seperti yang diduga Shana terlihat dekat. Keduanya terlihat sudah saling mengenal. Shana lalu menoleh pada gadis di sampingnya yang masih sedikit terisak. "Kamu udah nggak apa apa?" Gadis itu menggangguk pelan. "Sa-ya mau pulang. Permisi," jawabnya pelan lalu segera berdiri.
"Tunggu dulu," seru Ka dengan cepat lalu segera lari ke belakang. Tak butuh waktu lama lelaki itu kembali dan menyerahkan bungkusan kertas berisi makanan manis. "Makan ini ya, semoga membantu," serunya ramah sembari tersenyum kecil karena pipinya yang masih terasa ngilu. "Seperti biasa Saka yang baik hati," seloroh Kiana cepat seberes gadis malang itu pergi dan mengucapkan terima kasih. "Seperti biasa, Nana yang lebay," balas Saka sambil tertawa pelan. Shana yang melihat tawa Saka membuat ia hilang rotasi. Entah dorongan dari mana gadis itu menatap Saka dalam lalu sedikit maju di samping Kiana. "Permisi, Saka. Kamu mau nggak jadi suami saya?"
Semenjak kelakuan Arka yang sangat menganggu saat di pasar malam membuat Shana enggan untuk mengajak Saka mampir ke rumah. Kini ia lebih memilih jalan-jalan keluar bersama lelaki itu. Biasanya selepas pulang kerja atau Shana yang akan datang ke cafe Saka. Hari ini Saka mengajaknya untuk makan malam. Sejak keduanya berkomitmen tak pernah sekali pun mereka menghabiskan waktu dengan makan di tempat dan waktu yang sama. Dan Shana sangat menunggu datangnya kesempatan ini. Hubungan Shana dan Saka kini memasuki usia sebulan. Meski tak terlalu banyak waktu dipakai bersama karena kesibukan masing-masing. Shana yang kembali berkutat dengan banyak pekerjaan sembari mengurus annual event Edifice Land pun sama halnya dengan Saka yang berencana membuka usaha baru hingga keduanya mencuri-curi waktu agar bisa lebih mengenal dan mendekatkan diri. Sementara Kania sampai saat ini belu
Kelakuan Arka tidak hanya sebatas di dalam mobil tadi. Shana yakin adiknya akan kembali berulah mengingat sifat menyebalkannya lelaki itu. Lihat saja sekarang bagaimana Arka merangkul lengan tangannya dengan erat. Shana bahkan ditarik untuk jalan bersisian dengannya sementara Saka berjalan di belakang mereka."Kamu kenapa, sih?" bisik Shana mendekatkan wajahnya ke telingan Arka. Ia perlu sedikit mendongak karena tingginya hanya sebatas telinga adiknya."Nggak papa." Arka menjawab dengan datar."Nggak usah bohong. Aku pikir kamu ke pasar malam karena mau have fun bukan jadi bodyguard," sentak Shana dengan sorot tajam.Arka terkekeh pelan lalu semakin menarik kakaknya mendekat. "Maunya gitu tapi lihat cowok di belakang kita rencananya jadi berubah. But it's okay. Aku bisa ke pasar malam ngajak mama papa nanti."Shana mendelik. "Yang kamu sebut cowok di belakang itu punya nama, Arka."Arka tak acuh, ia lalu m
"Udah mau berangkat, Kak?" Sania menatap anaknya yang baru saja turun dari tangga. Gadis muda itu mengambil tempat duduk di sebelahnya. "Belum, Ma. Saka masih di rumahnya," balas Shana lalu merangkul lengan mamanya manja. Malam ini Shana memakai rok tutu hitam di bawah lutut dengan sweater rajut berwarna navy. Rambutnya sengaja digerai agar lebih terasa hangat saat terkena udara dingin di luar. Selang beberapa menit. Ardi datang membawa sesuatu. "Papa dari mana?" "Nyari angin sekalian beli pesanan mama kamu." Ardi menaikkan satu alisnya menggoda. Shana mencebikkan bibir. "Nggak lucu, Pa. Angin kok dicari, yang ada nyari penyakit." Gadis itu lalu menatap mamanya. "Itu suaminya ke luar kenapa nggak dilarang?" Perkataan Shana sontak membuat Sania menyentil dahi anaknya. "Kalau ngomong, ya! Mentang-mentang seka
Shana melirik kembali ke arah ponselnya yang tersimpan di atas meja. Gadis itu menunggu pesan seseorang yang tak kunjung menghubunginya. Hari ini Saka mengajaknya jalan setelah ia menerima ajakan berkomitmen dari lelaki itu. Dan sampai sekarang Kiana belum mengetahui hubungan keduanya. Selain Shana yang belum mau bercerita pun kesibukan Kiana yang semakin padat seiring kembalinya ia mengabdi pada organisasi di kampus mereka yang dulu. Dua hari yang lalu, setelah Saka mengajaknya berkomitmen. Sania memaksa Shana menberitahukan keseriusan lelaki itu padanya. Ia awalnya menolak tetapi saat melihat raut bahagia keluarganya membuat hati Shana tak kuasa untuk menyembunyikannya lebih lama. Gadis itu masih mengingat betul bagaimana drama bergejolak di tengah keluarga mereka. "Saka beneran ngomong gitu, Kak?" Sania bertanya seraya mengguncang kedua bahu anaknya. Ia sangat tahu kalau Shana tidak mungkin berbohong.
Sudah 10 menit Shana berdiri di depan pagar berwarna hitam keluarga Sabana. Gadis itu bergeming dengan tangan kanan mengusap dagu. Benaknya berkecamuk. Hatinya bergejolak. Bibirnya tak berhenti tersungging dengan pipi yang terasa hangat sejak keluar dari cafe Saka. Mengembuskan napas perlahan lalu mengipas bagian wajah, Shana bergumam pelan. "Sha, ini nggak mimpi 'kan." Gadis itu bermonolog seraya memegang pipi kanannya. Ia ingin menjerit tetapi urung saat terdengar suara dari balik pagar. Memperbaiki posisi tubuhnya, Shana sebisa mungkin menahan ekspresi berlebihannya. Shana berniat melangkahkan kedua kakinya bersamaan dengan perkataan seseorang. "Lho, Kak. Kamu ngapain berdiri di situ?" Ardi menatap anaknya yang terlihat kaget. Shana mencebikkan bibir lalu mengusap dadanya pelan. "Papa kenapa bikin kaget, sih," dumelnya menatap Ardi. "La
Suara lonceng cafe berbunyi bersamaan dengan kepala Saka yang menoleh ke arah pintu masuk. Senyum lelaki itu merekah melihat kedatangan orang yang ditunggunya sedari tadi. Saka segera bergegas menyelesaikan pesanan. "Minum dulu." "Aku belum pesan loh, Ka." Shana mengerutkan dahi melihat Saka yang membawakannya segelas strawberry milkshake . Saka tersenyum. "Kamu baru nyampe, pasti haus." Shana mengangguk kaku lalu menyeruput minumannya perlahan. Gadis itu merasa kikuk saat Saka hanya diam memandangnya masih dengan senyum yang tak pudar. "Belum banyak orang ya," pungkas Shana mencairkan suasana. Pandangan gadis itu sengaja mengitari cafe Saka yang masih diisi oleh beberapa orang. "Kalau hari libur paling siang atau sore baru ramai." Shana menganggukkan kepala. "Kenapa mau ketemuan di cafe? Padaha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments