Share

04 Come to hell

Liana dan Sakha berhasil sampai ke pavilliun milik keluarga Liana dengan selamat. Sakha menatap bangunan ini dengan kagum. Seumur-umur dia hanya bisa melihat bangunan dengan 1 keutamaan, misalnya kemewahan, tapi tidak dengan keindahan alam yang alami atau sebaliknya.

"Ini rumahmu?" tanya Sakha.

"Bukan."

"Lalu untuk apa kita datang ke sini?" tanya Sakha heran.

"Are you 31 years old? Kenapa pemikiranmu begitu sempit," ejek Liana.

"Maksudmu aku bodoh?" Sakha tidak terima dengan hinaan itu, dia laki-laki dan dia tidak ingin direndahkan apa lagi dengan seorang wanita.

"Bukan aku yang bilang." Liana berjalan mendahului Sakha. Perdebatan bodoh akan segera terjadi dari mulut Sakha yang ternyata sangat berisik.

"Apa hak kamu menghinaku? Memangnya kamu tidak pernah tahu ya, merundung itu bisa berdampak buruk bagi korban." Sakha masih tidak terima dengan apa yang dia terima dari Liana, sekalipun dia adalah orang yang bekerja dengan Liana.

Liana memutar bola matanya dengan malas. Dia adalah pria paling sok suci yang pernah Liana temui. "Ini bukan rumahku, ini rumah keluargaku. Kamu masih tidak paham?"

"Kalau kamu bicara dari tadi, aku kan gak perlu mengeluarkan emosiku," ucap Sakha.

"Jangan berisik, mulailah bersikap cool dan gentelmen. Aku tidak mau ada pengadu yang melihat lalu mengadu pada Papa." Tatapan tajam Liana itu memang selalu menakutkan, wanita itu selalu dikelilingi dengan hawa gelap, sehingga siapapun sulit untuk mendekat.

"Dimana Papaku?" Liana tampak bicara dengan salah satu pekerja di bangunan ini.

"Tuan Ronald sedang ada meeting dengan clien, sebentar lagi akan selesai. Kamu bisa menunggunya."

Liana membawa Sakha untuk keliling bangunan ini, pavilliun ini memiliki beberapa bagian yang berbeda dari kebanyakan rumah. Di dalam rumah masih terdapat rumah yang terpisah. Di tengah rumah ini adalah kolam renang.

Sakha tampak berputar-putar agar bisa melihat bagian-bagian dari rumah tinggal yang sangat kompleks ini.

"Rumah orang tua kamu besar sekali, terus kenapa kamu malah tinggal di apartemen?" tanya Sakha.

"Memangnya kamu mau jadi beban keluarga terus." Ketus Liana. Wanita itu berhenti di depan pintu yang cukup besar, ya semua pintu di sini juga besar-besar.

Sakha yang mendengar hal yang seperti ejekan itu merasa tidak terima, dia bukan beban keluarga, malahan dia yang dibebani utang oleh keluarganya. Rasa ingin protes meninggi, tapi melihat wanita kejam itu rasanya keberanian Sakha menurun.

Tampak wanita itu menarik nafasnya perlahan. Dia seperti ingin pergi ke dunia lain saja.

"Pokoknya kamu harus terlihat hebat. Aku gak mau Papa semakin memandang aku rendah."

Sakha semakin paham, wanita ini benar-benar ingin menang, dia licik.

Lihat saja penampilan Sakha saat ini, dia menggunakan setelan mahal yang mungkin kalau dia punya sendiri akan disimpan baik-baik. Rambutnya yang diberi gel agar tertata dengan rapi, wajahnya dipoles pelembab agar terlihat lebih segar.

Dasarnya Sakha memang seorang laki-laki yang tampan, namun karena ekonomi dan keadaan dia tidak sempat merawat dirinya.

Liana membuka pintu besar itu, terlihat sang Papa sedang duduk santai membaca koran.

"Selamat siang Pa."

"Siang Liana. Bagaimana pekerjaan kamu? Lancar kan?" Itulah hal pertama yang ditanyakan oleh tuan Ronald.

Jujur saja, Sakha yang mendengar itu pun memandang kedua insan di depannya yang terlihat canggung, ternyata hubungan ayah dan anak itu tidak terlalu baik.

Liana melirik Sakha, pekerjaannya sedang ada di hadapan Papa, dia harusnya sudah ada di tempat penjualan manusia.

"Semuanya berjalan dengan baik seperti yang Papa inginkan."

"Baguslah. Oh iya, siapa dia?" tanya tuan Ronald. Orang tua itu tampak berbasa basi, karena sebenarnya dia sudah tahu kalau dia pasti pasangan Liana.

"He's my boyfriend, Pa."

"Selamat siang Om, saya Sakha." Sakha tampak menyesuaikan diri dengan perannya. Perilakunya tampak seperti orang berkelas, dengan senyum kecil yang menghiasi wajah tampannya.

"You're looking good." Tuan Ronald tampak tersenyum pada Sakha, sepertinya menyambut Sakha dengan dengan hati.

"Liana memang suka pria good looking, Om. Jadi dia menerima saya jadi pacarnya." Sakha pun membalas senyum pria bule itu dengan candaan yang membuat suasana di ruangan ini mencair.

Tuan Ronald terkekeh dengan pernyataan pacar dari putri sulungnya, laki-laki itu memberikan kesan yang menyenangkan saat pertama kali bertemu.

"Untuk beberapa hari ini, kamu bisa tinggal di sini untuk mengenal keluarga Liana. Sekalian adiknya Liana akan menikah, kamu bisa membantu kami kan?"

"Oh, siap Om. Saya dengan senang hati akan membantu keluarga Liana." Sakha memberikan prakata terasik yang dia punya, sekaligus membuat Liana bangga dengan acting yang dia tunjukan.

Ronald mengangguk dengan senyum yang cukup berwibawa. Kelihatanya dia sangat senang akan kehadiran Sakha yang berstatus sebagai pacar Liana.

"Liana, antarkan Sakha ke kamar yang sudah dibersihkan."

Sepanjang jalan Liana mengantarkan Sakha, pria itu tampak tersenyum. Seperti mendapat hari yang terbaik dalam hidupnya.

"Apa kamu menikmati peranmu sebagai pacarku? Sampai mulut kamu mau robek karena senyum terus," sindir Liana.

"Siapa yang bilang? Kamu pikir aku senang gitu jadi pacar kamu?"

"Pacar bohongan." Tegas Liana.

"Iya, pacar bohongan. Kamu pikir aku senang? Kalau bukan karena utang itu, aku berharap tidak usah ketemu kamu sekalian." Balas Sakha dengan malas, memangnya cuma Liana yang bisa marah, Sakha juga punya hak untuk merasakan itu juga.

Liana tampak tak peduli, sekalipun Sakha marah padanya dia tidak akan takut.

"Ini kamar kamu, kalau butuh sesuatu, kamu bisa panggil aku atau mereka yang ada di rumah ini."

Seumur hidup Sakha tidak pernah tinggal di rumah semewah ini, bahkan kamar ini lebih besar 5 kali lipat dari kamarnya di rumah dulu, tentu saja karena kamarnya dulu hanya ruangan 3x3 yang sempit dengan barang-barang.

Sayangnya tempat sebesar ini jauh dari kata harmonis, semuanya terasa asing. Ramai orang tapi mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jika nanti Sakha punya keluarga sendiri dia tidak akan membangun rumah sebesar ini, selain mahal, rumah sebesar ini seperti memisahkan keluarga.

Sakha berbaring di ranjang empuk, belakangan ini hidupnya selalu dipenuhi dengan tekanan, tidur pun rasanya seperti dikejar-kejar. Mimpi buruk terus mendatanginya, membayang-bayanginya rasa gelapnya kematian.

Sakha merogoh saku celananya, sebuah ponsel dipinjami oleh Liana untuk berkomunikasi dengannya, karena ponsel lamanya rusak saat dia dipukuli anak buah Liana.

Makan malam yang sangat tenang, Sakha tadi dipanggil oleh Liana untuk makan malam. Dia seperti benar-benar mempunya hubungan dengan Liana.

"Nak Sakha, apa pekerjaanmu?" tanya seorang wanita yang Sakha yakini adalah ibu dari Liana.

"Saya dokter anak tante," ucap Sakha dengan percaya diri, dia terlihat mendalami peran yang Liana berikan.

"Wahh keren dong. Calon suami aku cuma CEO di perusahaan batu bara." Alena terlihat mengagumi Sakha. Selain tampangnya yang memang membuat orang-orang meliriknya, tata krama Sakha juga baik.

Sakha menatap Liana, dia pikir CEO bukanlah sekedar "cuma". Liana meraih tangan Sakha lalu menggenggamnya, dia seperti pacar sungguhan yang memberikan ketabahan pada pasangannya menghadapi keluarganya.

"Berarti kamu suka anak-anak dong?" tanya Marina.

"Ya begitulah Tan, sebelum berkecimpung di suatu bidang, kita harus menyukai dulu aspek-aspek yang ada di bidang tersebut. Seperti saya yang berkecimpung dengan anak-anak, saya harus membuat anak-anak senang dengan saya. Caranya ya saya harus suka dengan mereka." Dengan senyum bijaksana Sakha mengakhiri kalimatnya.

"Coba aja calom suami aku suka anak-anak. Pasti seru kalau aku punya banyak anak, mereka kan lucu-lucu." Berbanding terbalik dengan Liana, yang Sakha lihat, Alena itu gadis yang periang dan juga polos meski agak sedikit sombong.

"Semangat Alena," ucap Sakha.

"Gimana Liana? Pacar kamu ini sama anak-anak yang pasien aja sayang, apa lagi sama kamu. Pasti sayang banget. Oh iya, pertama kali kalian ketemu tuh gimana?" tanya Marina lagi.

Mereka saling berpandangan seperti memberikan sinyal. Namun tidak menangkap apapun.

"2 tahun yang lalu."

"Di rumah sakit."

Keduanya menjawab pertanyaan dengan berbeda, keduanya saling menatap lagi.

"Maksudnya 2 tahun lalu di rumah sakit, Ma." Jelas Liana. Gadis itu sama sekali tidak menunjukan kegugupannya.

"Emangnya kamu ngapain ke rumah sakit?" tanya Ronald.

"Membawa salah satu anak buahku yang terluka Pa."

"Kamu terlalu baik jadi boss. Kenapa tidak berikan uang kompensasi saja."

"Tidak bisa Pa, mereka temanku."

"Mereka cuma orang asing Li, untuk apa kamu peduli," ucap Alena tidak peduli.

"Bagimu mereka orang asing, tapi tidak denganku." Liana mengakhiri makan malamnya lalu pergi. Liana naik emosi, dia memang mempekerjakan mereka tapi Liana sudah menganggap mereka adalah kakak dan adik, mereka lebih berharga karena selalu ada di sekitar Liana meskipun dengan bayaran, tidak seperti keluarganya.

Sakha jadi bingung, dia berada di tengah-tengah pertikaian keluarga asing yang bahkan dia tidak kenal.

"Om, Tante, saya ke Liana dulu ya." Satu-satunya cara adalah menghindar dari masalah ini.

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status