Share

DYHTAL-3

[Boleh aku egois?Aku gak mau cuma bersama kamu di akhirat, tapi aku mau sama kamu di dunia juga, Aa Izz.]

Rasanya urat malu ku sudah benar-benar putus. Bisa-bisanya aku mengirimkan pesan seperti itu pada Izandra. Otak dimana otak? Aku menepuk keningku dengan telapak tanganku keras berulang kali.

Kring!!

Terlihat Izan melakukan panggilan telepon padaku. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika dia bertanya soal pesanku tadi?

'Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kamu bodoh banget Indri!'

Aku terus saja menggerutu sambil menatap layar ponsel yang menampilkan nama Izandra sedang memanggil. Aku terus menggigiti ujung kuku jari telunjukku sambil mondar mandir cemas. Aku baru bisa bernafas lega saat panggilan itu telah berhenti.

Fyuuhh!!

Aku mengusap keningku yang sama sekali tak berpeluh.

Sayang kelegaan itu hanya sebentar, karena beberapa detik kemudian, Izandra kembali menelpon ku.

Aku yakin dia takkan berhenti menelpon sebelum aku angkat. Dan benar saja setelah beberapa menit, dia tetap tak menyerah dan terus menghubungi ku.

Akhirnya di panggilan ke 10, aku memberanikan diri untuk mengangkat telepon darinya.

"Ha-halo. A-assalamu'alaikum?" ucapku ragu-ragu.

"Halo, De. Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Lagi apa? Ganggu, gak?" Kata Izandra diseberang sana.

Aaahhhh. Suaranya membuat jantungku seakan sedang ikut lari maraton. Berdebar-debar dengan sangat cepat.

Aku buru-buru menetralisir rasa gugupku. "Ehm ... De lagi diem aja, A. Emmm ... Aa lagi apa? Enggak kok, gak ganggu sama sekali." Untung ini hanya telepon biasa bukan video call. Jika video call mungkin saat ini dia bisa melihat pipiku yang sekarang berubah merah seperti tomat karena malu.

"Syukurlah kalo gak ganggu. Ko diem aja, lagi ngelamun ya? Jangan bilang ngelamunin Aa?" Katanya dengan percaya diri tingkat dewa.

Aku ingin cekikikan, tapi dengan sekuat tenaga aku menahannya. Aku lalu menarik nafas panjang dan berusaha untuk tidak salah tingkah. Bisa-bisa dia besar kepala.

"Siapa juga yang lagi mikirin Aa. Orang De lagi mikirin masa depan De." Kataku sambil mesem-mesem gak jelas.

Aku jadi berasa anak ABG yang lagi di telepon gebetannya. Kejang-kejang gak jelas sambil guling-guling di atas kasur.

'Istighfar Indri ... Dia suami orang.' Peringatku dalam hati agar aku tidak terbawa suasana.

"Yakin? Bukannya masa depan Dede itu Aa yah? Buktinya tadi ada yang chat romantis sama Aa."

Sumpah! Kalau ada lubang cacing disini sekarang, rasanya aku ingin masuk dan sembunyi di dalamnya.

"Ehm! Ko diem aja, De? Gak pingsan, kan?" Tanya Izandra lagi.

Ish ... Apaan sih dia ini. Bikin hatiku jadi tak karuan!

"E-eh ... Enggak kok. Ini masih sadar. Cuma ... De aja yang gak sadar diri, berani-beraninya kirim pesan kek gitu sama Aa. Jadi berasa pelakor deh, Dede," ucapku sendu.

Tiba-tiba suasana jadi canggung dan hening beberapa saat. Izandra juga tak mengatakan apapun.

"Emmmm ... De ... Masa Aa harus poligami sih?" tanyanya polos.

Duaarrrr!!

Berasa di sambar petir siang bolong pas dia bilang soal poligami. Sumpah, aku gak ada pikiran jauh sampai ke sana.

Mungkin iya, aku belum move on dari masa lalu dengannya. Tapi untuk merusak rumah tangganya atau menjadi madu dikehidupan dia dengan istrinya, tak terpikirkan sama sekali dalam pikiran dan hatiku.

Apalagi aku sadar, aku juga seorang perempuan dan seorang ibu. Rasanya terlalu kejam jika aku harus menjadi duri untuk perempuan lain. Tak ada satupun perempuan yang benar-benar rela untuk berbagi suami dengan perempuan lain.

"A ... De tadi cuman bercanda ... De gak mau lah jadi perebut suami orang, apalagi anak-anak Aa sekarang udah empat dan masih kecil-kecil. Pasti mereka akan sedih jika tau ibu mereka diduakan oleh Ayahnya," ujarku dengan sangat pelan agar tak menyinggung perasaannya.

"Aa tau ko. Dede bukan perempuan seperti itu. De bukan tipe perebut suami orang. Tapi asal Dede tau, sampe sekarang pun, dihati Aa masih ada nama Dede. De punya tempat khusus di dalam hati Aa," lirihnya.

Air mataku mengalir seketika. Entah harus bahagia atau sedih. Tapi yang pasti, aku benar-benar tak bisa menjadi jahat pada perempuan lain hanya demi menuruti egoku sendiri.

Jujur, aku sangat bahagia. Aku sangat bersyukur bisa menjalin komunikasi lagi dengan Izandra. Tapi aku masih punya perasaan sebagai seorang perempuan. Jika aku ada di posisi istri Izandra, aku akan sangat terluka saat tahu suamiku masih memikirkan perempuan lain dan bahkan membuatkan tempat khusus di hatinya.

Aku akan berpikir seribu kali untuk merusak hubungan Izan dengan istrinya. Karena aku takut Allah akan murka kepadaku.

"A ...."

Hening.

"Aa gak boleh kek gitu sama De. Biar gimanapun, kisah kita udah selesai, A. Udah gak bisa diperbaiki lagi. Sebenernya dengan seperti ini pun, De udah ngerasa berdosa banget sama istri Aa. Apa istri Aa tau kalau Aa suka chat Dede, bahkan sampai nelpon De kayak gini? Pasti istri Aa gak tau, kan?" tanyaku.

Terdengar helaan nafas panjang darinya.

"Iya, istri Aa gak tau, De. Ini Aa pakai HP lain khusus buat temen-temen Aa. Bukan HP khusus keluarga dan kerjaan," cicitnya. "De gak usah khawatir, kita gak akan ketahuan suka komunikasi."

"Ck!! Udah De duga dari awal. De mau komunikasi sama Aa, bukan berarti De mau balikan sama Aa. De cuma pure mau silaturahim sama Aa, gak lebih. Tapi kenapa Aa malah jadi kek gini? De gak enak sama istri Aa. De juga perempuan," kataku panjang lebar.

"Entahlah, De. Buat Aa, Dede itu beda. Bahkan asal De tau, tiap Aa lewat daerah rumah Dede, Aa selalu nyempetin buat bener-bener lewat didepan rumah Dede, Aa selalu berharap bisa ketemu Dede meskipun hanya sekilas. Bahkan Aa sering banget datengin taman tempat kita dulu sering ketemuan." Ada kegetiran yang terdengar dari nada suara Izandra. Aku bisa merasakannya.

"Aa sadar gak? Kita kek gini aja tuh udah salah. Jangan bikin De tambah ngerasa salah lagi dengan sikap Aa yang kek gini sama De. De takut De khilaf. Aa paham kan, sekarang Aa pimpinan pondok pesantren. Aa harusnya lebih tau bagaimana batasan antara 2 orang yang bukan mahram dalam berkomunikasi. Kita udah kelewat batas kek gini tuh, Aa!" Aku mulai menangis sesegukan.

"Aa tau dan Aa juga paham. Tapi, hati Aa gak bisa bohong, De. Bahkan hampir di setiap doa, Aa selalu minta sama Allah, buat menyatukan kita kelak di surga. Aa minta sama Allah agar De jadi Bidadari Surganya Aa kelak. Dan rasanya sakit banget, De. Apalagi pas Aa tau, De udah pisah dengan suami De. Hati Aa rasanya ikut sakit. Aa ikut khawatir sama De."

"Cukup, A! Cukup!" ucapku. "Aku gak mau makin ngerasa bersalah seperti ini sama istri Aa. Please, De mohon. Kita bersikap biasa aja, A ... Komunikasi juga seperlunya jangan kayak gini. De gak mau jadi duri dalam keluarga Aa." Aku makin terisak.

"De ... Sebenernya, tahun lalu saat Aa tahu Dede udah pisah sama suami Dede dari Irene, Aa pernah minta ijin poligami sama istri Aa. Dan dia ... ternyata ngijinin."

Aku kehilangan kata-kata mendengarnya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status