Share

DYHTAL-2

[Jangan panggil Pak Ustadz donk, Bu Dede. Panggil aja kaya dulu. Aa Iz ... ]

Begitulah isi pesan Izandra saat aku memanggilnya Pak Ustadz. Dia bilang enakan di panggil Aa Iz atau hanya Aa saja. Dan dia memanggilku, Bu Dede. Lucu sekali. Aku juga memprotes panggilan dia yang memakai embel-embel "Bu" di depannya. Aku ingin di panggil Dede saja seperti dulu. Sama seperti panggilan kedua orangtuaku dan teman-teman dekatku, karena aku adalah anak bungsu, jadi kedua orangtua dan teman dekatku terbiasa memanggilku seperti itu, sekalipun sekarang aku sudah memiliki anak. Jika di pikir-pikir, rasanya aneh juga, sudah kepala tiga masih di panggil Dede, seperti sebutan untuk anak balita. Tapi ya sudahlah, jadi serasa awet muda juga ... Apalagi panggilan itu panggilan kesayangannya padaku. Eh.

Setelah awal mula chat basa-basi yang menanyakan kabar, anak, istri dan lain-lain. Semakin kesini chat dari Izan semakin menjurus ke masa lalu. Dia bilang, dulu sebelum tahun 2015 dia mencari ku. Dia ingin memperbaiki hubungan kita dulu yang sempat tak baik dan ingin serius ke jenjang berikutnya denganku. Sayangnya, saat itu aku sudah menikah dan memiliki anak. Takdir sudah memisahkan kita begitu jauhnya. Saat itu saat terakhir kali kami berkomunikasi.

Siapa yang tidak tersentuh hatinya jika mendengar betapa jika dulu dia sangat ingin menikahiku. Dan andai aku saat itu masih sendiri, mungkin sekarang akulah yang menjadi istrinya dan bahagia bersamanya.

Aku juga marah padanya saat itu. Ya, aku marah. kenapa dia bisa datang terlambat, saat aku sudah milik orang lain. Andai dia datang lebih awal, mungkin saat ini aku takkan berada di posisi seperti saat ini.

Saking marahnya aku saat itu, aku sampai memblokir semua tentang dia. Aku pikir setelah itu aku akan hidup bahagia bersama anak dan suamiku. Bisa move on darinya. Tapi nyatanya takdir berkata lain. Akhir tahun 2020 aku menyerah dengan pernikahan ku. Aku tak tahan hidup dengan suamiku yang sangat posesif. Aku serasa bagaikan seekor burung yang dikurung di dalam sangkar.

Mantan suamiku adalah orang yang sangat pengekang. Aku tak boleh melakukan apapun yang bersangkutan dengan lawan jenis. Jangankan berinteraksi dengan lawan jenis, dengan sahabat-sahabatku saja, dia tak mengijinkanku untuk sering berkomunikasi.

Aku tak boleh memiliki satupun akun sosial media, kecuali WA. Semua F*, I* dan lain-lain dia hapus sejak kami menikah. Padahal dia pun memiliki itu semua dan aku tak pernah memprotesnya. Bahkan aku tak pernah memiliki izin untuk membuka HP dia.

Awal-awal menikah, aku menerima sifatnya yang ku anggap saat itu masih wajar. Saat itu bagiku mungkin mantan suamiku terlalu menyayangiku atau takut aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, pikirku. Tapi semakin kesini, sifat pengekangnya semakin tak masuk akal. Bakan sifat overprotective-nya bagiku sangat menyiksa jiwa ragaku.

Saat aku sakit kelenjar tiroid 2tahun lalu dan harus di operasi, dia tak mengijinkan aku untuk di operasi oleh dokter laki-laki. Bahkan dari saat konsultasi pun, dia sudah sering membentak ku hanya karena tersenyum saat menyapa dokter saat berkonsultasi. Aku sangat malu, apalagi dengan terang-terangan dia menunjukkan wajah tak sukanya pada orang lain termasuk pada dokter yang menanganiku.

Bukan hanya itu saja, bahkan saat selesai operasi, dia bukan bertanya bagaimana keadaanku, dia malah langsung bertanya "Saat operasi dokternya laki-laki atau perempuan? Apa aja yang udah diliat? Apa aja yang dokter itu pegang?"

Aku sampai melongo, kaget, speechless, sebegitu murahan kah aku di matanya, sampai dia berpikir jauh ke sana? Rasanya jika saat itu aku dalam keadaan yang sehat dan mampu untuk berteriak, aku ingin sekali memaki dirinya sampai puas saking geramnya hatiku saat itu. Hanya saja kondisiku yang lemah hanya bisa membuatku diam dan meneteskan air mata.

Aku sama sekali tak habis pikir dengan cara pikirnya.

Jika dia dari kalangan orang yang sangat taat agama, mungkin aku bisa memakluminya.

Tapi ini? Dia dalam hal agama biasa saja, bahkan mungkin bisa dibilang agak kurang. Tapi, saat melihat istrinya berinteraksi dengan lawan jenis, pasti dia akan marah, membentak bahkan mengata-ngataiku dengan kata-kata yang kasar dan menyakitkan.

Aku ingat saat suatu waktu, aku membeli sayur di tukang sayur yang sering lewat di depan rumahku. Seperti biasa aku memanggil tukang sayur tersebut, lalu aku memilah dan memilih sayuran yang akan aku beli.

Saat itu entah apa yang di bahas si bapak tukang sayur tersebut, hingga aku dan ibu-ibu yang juga sama sedang memilih sayuran pun tertawa. Dan memang kadang kita sebagai ibu-ibu itu sambil memilih sayuran pasti sambil bercerita apa saja kejadian yang lucu dengan si bapak tukang sayur atau dengan tetangga yang juga sama-sama membeli sayuran.

Tapi semuanya ternyata berbeda di mata suamiku. Saat aku kembali ke dalam rumah dengan menenteng kresek belanjaan sayuran ku, ternyata dia sudah ada di ambang pintu dengan tangannya sudah bersilang di depan dada sambil menatapku dengan tajam.

"Kenapa, Yah?" Tanyaku yang tak mengerti dia kenapa.

"Ngapain tadi Nda ketawa-ketawa sama tukang sayur begitu? Sengaja ya, mau godain tukang sayur itu?"

Brukk!

Kantong kresek berisi sayuranku jatuh, sesaat setelah aku mendengar pertanyaan dari suamiku itu. Sumpah, jika aku bisa memaki, rasanya aku ingin memaki nya saat itu juga. Tapi tetap saja aku tak bisa, aku bukanlah wanita seperti itu.

"Maksud Ayah, apa?" Dengan suara rendah dan mata berkaca-kaca aku bertanya maksud dari ucapannya barusan.

"Maksud Ayah? Nda nanya maksud Ayah? Harusnya Ayah yang nanya sama Nda, maksudnya Nda ketawa-ketawa sama tukang sayur tadi itu apa? Gak inget ya, kalo Nda itu udah punya suami? Ko malah ketawa-ketawa sama tukang sayur? Memalukan! Sama tukang sayur aja kecentilan sekali!" Ucapnya menggebu-gebu.

"Astaghfirullah, Yah!! Ayah sadar sama yang Ayah ucapin barusan? Ayah nuduh Nda godain tukang sayur? Ayah itu kenapa, sih? Mana mungkin Nda godain tukang sayur? Jelas-je---" belum selesai aku bicara, suamiku sudah memotong kata-kataku.

"Udah stop!! Ayah udah liat dengan mata kepala Ayah sendiri! Ayah gak butuh penjelasan dari Nda!" ucapnya sambil melengos pergi dari hadapanku.

Aku masih mematung di tempat, mencerna apa yang salah pada diriku, sampai akhirnya aku terduduk lemas di lantai.

Sungguh itu adalah kejadian yang tak pernah bisa aku lupakan hingga saat ini. Bagaimana bisa seorang suami menuduh istrinya selingkuh, hanya dengan seorang tukang sayur yang sudah sepuh, sedangkan suaminya sendiri adalah seorang pekerja kantoran dan jauh lebih segalanya dari si tukang sayur tersebut.

Itulah sebabnya aku memilih kabur dari rumah, dan pulang ke rumah orangtua ku. Tak lama setelah itu aku langsung melayangkan surat gugatan cerai padanya. Aku tak bisa hidup dengan orang yang selalu menuduhku tak setia, menyakitiku dengan kata-kata kasar dan bahkan dia selalu mengekang ku tanpa ampun.

Aku muak. Aku sesak. Aku ingin bebas dari tekanan-tekanan yang membuat hidupku seakan di penjara.

Dan sekarang setelah dua tahun menjanda ... Aku seakan bertemu dengan oase di tengah gurun saat bisa berkomunikasi lagi dengan Izandra.

[Boleh aku egois?Aku gak mau cuma bersama kamu di akhirat, tapi aku mau sama kamu di dunia juga, Aa Izz]

Begitu isi pesanku pada Izandra. Entah apa yang merasuki aku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status